Anda di halaman 1dari 9

Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Sindroma distres pernapasan dewasa (Adult Respiratory Distress Syndrome [ARDS]) adalah

suatu sindrom kegagalan pernapasan akut yang ditandai dengan edema paru akibat peningkatan permeabilitas. Keadaan ini diperagakan dengan adanya infiltrasi luas pada radiografi dada, gangguan oksigenasi, dan fungsi jantung normal (edema paru nonkardiogenik). Sindrom ini lebih tepat disebut sebagai sindrom distres pernapasan akut karena mulainya bersifat akut dan telah dijumpai pada penderita pediatri berusia 1-2 minggu. Definisi sindrom distres pernapasan akut meliputi: 1. Oksigenasi buruk (PaO2/FIO2 200 tanpa memandang nilai positif akhir ekspirasi (positive end-expiratory pressure [PEEP])), 2. Infiltrat bilateral yang tampak pada radiografi dada frontal, dan 3. Tekanan oklusi arteri pulmonalis 18 mmHg bila diukur atau tidak ditemukannya bukti klinis hipertensi atrium kiri berdasarkan data klinis.

ETIOLOGI ARDS, suatu cedera paru difus, dipercepat oleh berbagai agen pemicu, yang meliputi kejadian paru langsung, syok, sepsis, dan hampir-tenggelam merupakan penyebab tersering ARDS pada pediatri. ARDS telah dikaitkan dengan trauma, overdosis obat, aspirasi, cedera inhalasi, dan kelainan koagulasi intravaskular. Insidensi yang mengenai penderita pediatrik belum diketahui. Pada orang dewasa, ARDS diperkirakan terjadi pada 150.000 orang dewasa pertahun. Anak dengan kegagalan pernapasan akut meliputi 8% dari penderita total pada unit perawatan intensif pediatrik setiap hari.

PATOLOGI Setelah kejadian pemicu, kerusakan alveolus difus dapat diidentifikasi sebagai akibat dari perubahan struktur unit kapiler alveolus. Ada tiga stadium nyata perkembangan ARDS. Pada stadium eksudat awal, didapatkan kongesti kapiler berat dan edema paru interstisial. Hal ini tampak dari adanya cairan edema kaya-protein yang timbul akibat peningkatan permeabilitas membran kapiler alveolus. Alveoli sendiri sering mengandung cairan tidak homogen, darah, atau agregasi leukosit. Stadium eksudatif biasanya mulai pada 6 jam pertama dan dapat

berakhir sampai 72 jam sebelum terjadinya perbaikan atau perburukan. Penderita dapat sembuh dari fase eksudatif selama beberapa hari pertama; banyak pula yang berlanjut ke stadium kronis atau proliferatif, yang terjadi antara minggu pertama sampai minggu ketiga setelah cedera. Fase proliferatif ditandai dengan peningkatan densitas pneumosit tipe II dan fibroblas. Kemudian pneumosit tipe II ini diubah menjadi pneumosit tipe I. Edema interstisial dan sel-sel radang merangsang penumpukan kolagen oleh fibroblas, dan akhirnya terjadi perubahan dari stadium proliferatif ke stadium akhir atau stadium fibrotik. Stadium fibrotik ini biasanya terjadi jika ARDS telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Selama waktu tersebut, paru-paru dibentuk kembali oleh jaringan kolagen sehingga timbul fibrosis paru. Fibrosis sering mengakibatkan penurunan daerah permukaan pertukaran gas yang membahayakan.

PATOGENESIS Seperti yang diharapkan dari beratnya perubahan struktur paru, disfungsi sistem kardiorespirasi merupakan gambaran fisiologis utama ARDS, dengan gambaran paling mencolok adalah hipoksemia arteri berat. Rangkaian kejadian tepat yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler dan timbulnya edema paru belum sepenuhnya dimengerti dan tampaknya bersifat multifaktor. Mediator selular yang mungkin berperan menimbulkan cedera pada endotel meliputi sel-sel radang, neutrofil, fagosit mononuklear, eosinofil, trombosit, fibroblas, dan limfosit. Mediator humoral dalam sirkulasi yang dapat menyebabkan atau memperberat cedera paru meliputi komplemen, endotoksin, sitokin, oksigen radikal bebas, histamin, serotonin, protease, asam lemak bebas, bahan yang dihasilkan selama koagulopati intravaskular, dan prosuk jalur asam arakidonat, terutama prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. Peran berbagai mediator ini pada terjadinya ARDS sangat bervariasi dan kompleks. Agregasi leukosit polimorfonuklear dalam sirkulasi paru tampaknya berperan dalam memulai rangkaian kejadian untuk kebanyakan mediator yang dicurigai. Namun ARDS telah dijumpai pada penderita dengan neutropeni; dengan demikian agen pemicu dapat mempengaruhi secara langsung mekanisme yang lebih distal pada kaskade yang memulai pembentukan edema. Toksisitas langsung bahan yang diinhalasi juga merupakan kejadian patofisiologi yang lebih jarang. Kelainan pada sistem surfaktan juga dijumpai pada penderita ARDS. Hal ini akan memberi kecenderungan terjadinya atelektasis paru karena alveolus tidak stabil dan berpotensi

membentuk edema, yang sebagian disebabkan oleh ketidakcukupan produksi, penumpukan, komposisi, metabolisme, inaktivasi, atau inhibisi surfaktan.

PATOFISIOLOGI ARDS ditandai dengan cedera akut dan menyebar ke paru-paru, yang menyebabkan kegagalan pernapasan. Itu adalah pengkondisian dua fase termasuk fase respon eksudasi akut dan fase akhir fibroproliferation. Respon akut adalah reaksi inflamasi sistemik sekunder untuk cedera paru-paru langsung atau tidak langsung. Cedera awal menyebabkan kerusakan endotelium kapiler paru, yang mengaktifkan agregasi besar platelet dan pembentukan trombus intravaskular. Trombosit melepaskan serotonin dan zat yang mengaktifkan neutrofil. Lainnya inflamasi faktor seperti endotoksin, faktor nekrosis tumor, dan interleukin-1 juga diaktifkan. Aktivasi neutrofil menyebabkan pelepasan mediator inflamasi seperti enzim proteolitik, produk beracun O2, metabolit asam arakidonat, dan platelet-activating faktor. Pelepasan mediator ini merusak membran alveolar-kapiler, whick menyebabkan permeabilitas membran kapiler meningkat. Cairan, protein, dan sel darah merembes keluar dari tempat tidur kapiler ke alveoli, mengakibatkan edema paru. Hipertensi pulmonari terjadi sekunder terhadap vasokonstriksi yang disebabkan oleh mediator inflamasi. Hipertensi pulmonari dan edema pulmonari menyebabkan ketidakcocokan V (ventilasi) / Q (Perfusi). Produksi surfaktan dihentikan, dan surfaktan tidak aktif. Selama fase akut dari ARDS, kerusakan pada epitel alveolar dan endotel pembuluh darah terjadi. Sel yang rusak menjadi rentan terhadap infeksi bakteri dan pneumonia. Paruparu menjadi keluhan kurang, sehingga ventilasi menurun. Shunt kanan ke kiri darah paru berkembang, dan hipoksemia refraktori suplementasi O2 menjadi mendalam. Pekerjaan pernapasan meningkat. Tahap akhir dari ARDS adalah tahap fibroproliferation. ARDS sebagai hasil dari waktu ke waktu (lebih dari 24 sampai 48 jam), bentuk matriks fibrin (membran hialin). Setelah sekitar 7 hari, fibrosis melenyapkan alveoli, bronkiolus, dan interstitium. Paru-paru menjadi fibrosis dengan penurunan kapasitas residual fungsional dan berat kanan-ke-kiri shunting. Peradangan dan adema menjadi lebih buruk dengan penyempitan saluran udara. Resistensi terhadap aliran udara dan meningkatkan atelektasis.

Mediator peradangan bertanggung jawab atas kerusakan paru-paru juga menyebabkan kerusakan pada organ lain dalam tubuh, sering mengakibatkan sindrom disfungsi organ multiple.

MANIFESTASI KLINIS Ciri khas ARDS adalah hipoksemia yang tidak dapat diatasi selama bernapas spontan. Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna. Sianosis dapat atau tidak terjadi. Hal ini harus diingat bahwa sianosis adalah tanda dini dari hipoksemia. Gejala paru ARDS segera setelah cedera akut mungkin sangat minimal, karena seringkali ada periode laten ketika penderita hanya menunjukkan distres napas ringan yang mungkin disertai hiperventilasi. Pada stadium ini auskultasi paru-paru bersih. Selama 4-24 jam berikutnya, timbul hipoksemia dan distres pernapasan menjadi semakin jelas, ditandai dengan sianosis, dispnea, dan takipnea berat yang disertai ronki basah inspirasi difus. Pada stadium ini dapat diperagakan shunt intrapulmonum besar dan pemberian tambahan oksigen dapat mengurangi gejala sementara. Selanjutnya penderita secara bertahap dapat mebaik, tetapi sebagian besar penderita mengalami perburukan menuju hipoksemia dan hiperkapnea berat. Oksigen tambahan gagal memperbaiki kondisi klinis sehingga diperlukan ventilasi mekanis. Pada stadium ini banyak penderita meninggal dunia, sedangkan yang bertahan hidup memerlukan bantuan pernapasan jangka panjang.

TEMUAN LABORATORIUM Pengukuran gas darah arteri sering menunjukkan PaO2 < 50 mmHg pada FIO2 0,6%. Rasio PaO2 / FIO2 < 200 berkorelasi dengan QS/QT (shunt intrapulmonum) > 20%. Gambaran radiografik ARDS tidak spesifik. Pada awalnya, tidak ditemukan kelainan radiografik yang bermakna. Kemudian, dalam waktu beberapa jam, akan timbul infiltrat retikular halus bilateral yang dapat segera berubah menjadi edema paru yang berkembang sempurna (memutih difus). Timbulnya edema paru alveolus dan interstisial tanpa kardiomegali biasanya akan tampak jelas dalam 72 jam. Meskipun radiografi dada AP menunjukkan infiltrat terletak di bagian posterior atau bagian paling bawah paru-paru. Terapi cairan intravena berlebihan dapat memperberat gejala edema paru ini, sedangkan diuretik dan PEEP atau perubahan ventilasi lain yang meningkatkan tekanan jalan napas utama akan mengurangi

gambaran edema. Pada penderita yang bertahan hidup, komplikasi seperti timbulnya fibrosis interstisial difus dan barotrauma (pneumothorak, pneumomediastinum) dapat menjadi jelas. Selama konvalesens, radiografi dada dapat kembali normal. Uji fungsi paru dan mekanik paru menunjukkan adanya penurunan kapasitas resid fungsional dan pengurangan kelenturan paru. Peningkatan berat pada tekanan arteri pulmonalis dan kelainan tahanan arteri pulmonalis yang tinggi terkait dengan prognosis yang buruk.

PENATALAKSANAAN (TERAPI) ARDS harus dikelola di unit perawatan intensif tempat penderita dapat mendapatkan pengawasan dan terapi kardiorespirasi yang sesuai. Tujuan pengelolaan klinis adalah perawatan suportif, dengan tujuan utamanya memberikan cukup oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Monitor yang sesuai meliputi penilaian hemodinamik invasif, seperti kateterisasi arteri sistemik dan seringkali pemasangan kateter arteri pulmonalis. Pengukuran fungsi paru dan pertukaran gas seperti gas darah arteri, oksimetri pulsa, CO2 akhir tidal dan mekanika paru digunakan untuk menyesuaikan tekanan oksigen inspirasi dan penyesuaian ventilator untuk meningkatkan kecukupan pemberian oksigen ke jaringan dan mengurangi komplikasi. Sebagian besar penderita akan memerlukan intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanik disamping PEEP bila mereka tidak dapat mempertahankan PaO2 di atas 50 mmHg pada oksigen inspirasi 60%. Fraksi Oksigen (FiO2) adalah jumlah oksigen yg dihantarkan/diberikan oleh ventilator ke pasien. Konsentrasi berkisar 21-100%. Rekomendasi untuk setting FiO2 pada awal pemasangan ventilator adalah 100%. Namun pemberian 100% tidak boleh terlalu lama sebab rersiko oxygen toxicity (keracunan oksigen) akan meningkat. PEEP tidak mengembalikan oksigenasi normal pada semua penderita dan bahkan dapat memberi pengaruh yang merugikan pada fungsi jantung. Pemasangan PEEP harus selalu disesuaikan dengan monitor berkelanjutan data klinis dan laboratorium. Pada beberapa keadaan, perlu digunakan tingkat PEEP yang sangat tinggi (10-20 cmH2O). Namun hal ini dapat mengakibatkan barotrauma yang membahayakan jiwa, ataupun gangguan aliran darah balik vena yang pada akhirnya akan menurunkan curah jantung dan mengakibatkan hipotensi sistemik. Perhatian khusus dan ketat harus ditujukan untuk mempertahankan fungsi jantung, terutama bila digunakan PEEP tingkat tinggi karena stabilisasi curah jantung yang disertai manajemen cairan sangat penting untuk penghantaran oksigen. Perubahan posisi yang sering

(posisi dekubitus lateral) sangat dianjurkan karena dapat meningkatkan oksigenasi. Evaluasi dan pemenuhan kebutuhan nutrisi anak sangatlah penting. Penggunaan rutin antibiotik profilaksis tidak dianjurkan. Terapi terbaru yang secara spesifik mengarah ke sasaran mekaisme patogenik yang mendasari ARDS telah digunakan dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. Namun, sebagian besar memang belum berupa penelitian klinis prospektif yang ketat, tetapi tampaknya dapat diharapkan untuk menjadi terapi yang dapat mempengaruhi perawatan. Jenis-jenis terapi tersebut meliputi ventilasi dengan tekanan terkontrol dan membiarkan terjadi hiperkapnea; ventilasi frekuensi-tinggi, osilasi frekuensi-tinggi, dan ventilasi jet frekuensi-tinggi; ventilasi tekanan negatif, ventilasi cairan; oksigenasi membran

ekstrakorporeal yang meliputi baik metode venoarteri maupun metode venovena; penggantian surfaktan eksogen; oksida nitrit inhalasi; transplantasi paru, eikosanoid atau inhibitornya; vasodilator; pentoksifilin, dan kortikosteroid yang tampaknya tidak efektif dan dapat berbahaya pada fase akut, tetapi mungkin bermanfaat pada penderita tertentu bila digunakan pada fase akhir ARDS (hari ke 7-14). Komplikasi utama ARDS meliputi infeksi nosokomial, barotrauma berat, gangguan curah jantung, toksisitas oksigen, fibrosis paru progresif, kegagalan sistem organ multipel (nekrosis tubulus akut, koagulopati, miokardiopati, disfungsi hepatik, disfungsi sistem saraf pusat, perdarahan gastrointestinal, ileus), dan kematian.

PROGNOSIS Ketahanan hidup penderita ARDS pediatri bervariasi. Kebanyakan senter melaporkan angka kematian sekitar 50-75%. Meta-analisis empat laporan mengenai ARDS pada anak mendapatkan angka kematian keseluruhan 52%. Penelitian multisenter pada 41 unit perawatan intensif pediatri didapatkan 470 anak dengan kegagalan pernapasan akut (ditentukan dengan ventilasi mekanik, PEEP 6 cm H2O dan kebutuhan FIO2 0,5 selama 12 jam) dengan angka kematian 43%. Kematian disebabkan karena kejadian yang mengawali, disfungsi organ multisistem, atau sepsis. Untuk yang bertahan hidup, harapan untuk penyembuhan fungsional cukup baik. Kebanyakan anak dapat kembali ke keadaan sebelum sakit pada tahun pertama meskipun mungkin dapat diidentifikasi kelainan minimal pertukaran gas melalui uji fungsi paru. Keluaran jangka panjang kembalinya fungsi paru pada mereka yang bertahan hidup cukup baik dan mungkin lebih baik daripada pada orang dewasa.

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN Distres pernapasan pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh defisiensi surfaktan, tidak lancarnya absorpsi cairan paru (takipnea transien pada bayi baru lahir), aspirasi mekonium, pneumonia bakteri atau virus, sepsis, obstruksi mekanis, atau hipotermia. Bagian ini hanya terlihat sebagai jenis distres pernapasan yang disebabkan oleh defisiensi surfaktan, atau sindrom distres pernapasan (Respirasi Distress Syndrome [RDS]). RDS adalah penyakit paru yang akut dan berat, terutama menyerang bayi-bayi preterm, hal ini dapat terlihat pada 3% sampai 5% bayi-bayi cukup bulan. PENGKAJIAN a. Lakukan pengkajian fisik dan sistematik, dengan penekanan khusus pada pengkajian pernapasan b. Observasi adanya manifestasi RDS: Takipnea (di awal, kemudian apnea) Retraksi substernal Krekels inspirasi Mengorok ekspiratori Pernapasan cuping hidung eksternal Sianosis Pernapasan sulit

c. Bila penyakit berlanjut: Lemah dan lesu Tidak responsif Sering mengalami episode apnea Penurunan bunyi napas Gangguan termoregulasi

d. Penyakit berat berhubungan dengan hal berikut: Keadaan seperti syok Penurunan curah jantung Rendahnya tekanan darah sistemik

e. Bantu saat prosedur diagnostik dan tes-tes (misalnya radiografi, analisis gas darah).

Berbasis Bukti Praktek Masalah Pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) membutuhkan ventilasi mekanis dan dukungan lainnya untuk memastikan oksigenasi yang memadai dan ventilasi. Pertanyaan Apa saja penerapan terbaik untuk ventilasi mekanik untuk pasien dengan ARDS? Referensi Girard T. D., & Bernard, G. R. (2007). mekanik ventilasi di ARDS; Peninjauan negara-of-the-ars. dada, 131, 921-929. Bukti Penulis terakhir 12 uji klinis yang dievaluasi ventilasi mekanis dan strategi lainnya sebagai bagian dari pengobatan untuk pasien dengan ARDS. Mereka

menyimpulkan bahwa ventilasi mekanis dengan volume tidal rendah (<6 mL / kg berat badan diprediksi) hidup secara signifikan meningkat pada penderita dengan ARDS. Studi pengujian tinggi positif akhir ekspirasi tekanan, manuver untuk meningkatkan perekrutan alveolar, dan posisi rawan itu berguna sebagai terapi penyelamatan namun tidak mempengaruhi kematian pasien.

Implikasi untuk Keperawatan Perawat harus berkolaborasi dengan ahli terapi pernapasan dan intensivists dalam menentukan pengelolaan terbaik pasien dengan ARDS. Protokol untuk manajemen ventilator yang mencakup volume tidal rendah dapat membantu dalam pelaksanaan praktek-praktek yang meningkatkan hasil pasien. Beberapa penyedia khawatir bahwa ventilasi dengan volume tidal rendah dikaitkan dengan ketidaknyamanan pasien, takipnea, dan hiperkapnia. Perawat dapat membantu dengan menilai pasien secara teratur untuk hasil-hasil potensial rendah pasang surut ventilasi volume dan memberikan sedasi yang sesuai.

Daftar Pustaka Nelson. 1999. Ilmu Keperawatan Anak Volume 1. Jakarta: EGC. Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC. Sole, dkk. 2009. Introduction to Critical Care Nursing Fifth Edition. Saunders Elseiver.

Anda mungkin juga menyukai