Oleh:
Ir. Usman Yassin, M.Si
Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu
PENDAHULUAN
Sesuai dengan amanat UUD 1945, pemerintah daerah berwenang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Otonomi
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan
keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI.
Prinsip otonomi seluas-luasnya adalah daerah diberikan kewenangan dan
mengatur urusan pemerintahan diluar urusan Pemerintah pusat yang diatur dalam UU.
Seiring dengan itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan
aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat (Bukan nafsu dan keingianan sang penguasa
saja). Selain itu juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan
Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah, agar
tidak terjadi backwash effect.
Ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi yaitu
tujuan politik dan tujuan administratif. Tujuan politik akan memposisikan Pemda sebagai
medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan
berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mempercepat terwujudnya
civil society. Sedangkan tujuan administratif akan memposisikan Pemda sebagai unit
pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat
secara efektif, efisien dan ekonomis.
Agar Daerah dapat menentukan isi otonomi yang sesuai dengan kebutuhan
warganya, maka diperlukan adanya assessment atau penilaian atas isi otonomi Daerah
untuk melaksanakan pelayanan kebutuhan dasar (basic services) dan kewenangan untuk
pengembangan usaha ekonomi masyarakat. Dengan demikian Daerah akan terhindar
untuk melakukan urusan-urusan yang kurang relevan dengan kebutuhan warganya dan
tidak terperangkap untuk melakukan urusan-urusan atas pertimbangan pendapatan
semata.
Provinsi Bengkulu terdiri atas 8 kabupaten dan 1 kota, setelah pemekaran terdiri
dari 93 kecamatan, 119 Kelurahan dan 1.120 desa, dengan luas wilayah 1.978.870 ha,
jumlah penduduk akhir tahun 2005 sebanyak 1.598.177 jiwa, dengan tingkat kepadatan
sebesar 81 jiwa /km2.
Dalam hal kependudukan dan kemiskinan, diperoleh gambaran bahwa rata-rata
tingkat pertumbuhan penduduk tahun 2000-2005 adalah sebesar 0,46%/tahun dengan
sebaran penduduk tidak merata. Kepadatan penduduk tertinggi ada di Kota Bengkulu
yang mencapai 1.905 jiwa/km2 dan terendah di Kabupaten Mukomuko, yaitu 32
jiwa/km2. Sedangkan, tingkat pengganguran cenderung tidak berkurang yang pada
tahun 2005 mencapai 6,15%. Begitu pula dengan tingkat kemiskinan yang meningkat
menjadi 24,72% pada tahun 2006 dibandingkan dengan tahun 2005 yang sebesar
22,39%.
Salah satu indikator yang menunjukan struktur perekonomian suatu daerah adalah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pemahaman terhadap karakteristik dan pola
pertumbuhan PDRB akan dapat menjelaskan stuktur perekonomian daerah. Dari hasil
kajian oleh Bank Indonesia Bengkulu dan LP2EM FE UNIB diketahui bahwa untuk bidang
ekonomi, dalam kurun waktu 2000-2006 Provinsi Bengkulu masih bertumpu pada sektor
pertanian yang berkontribusi rata-rata 39,7% terhadap total PDRB. Terbesar kedua
adalah kontribusi oleh sektor sektor perdagangan-hotel dan restoran, yaitu 20,16%,
sektor jasa-jasa 16,15%.
Struktur perekonomian menunjukkan bahwa sektor pertanian masih mendominasi
perekonomian Bengkulu dan sebagai Leading Sector diantara sektor-sektor yang lainnya.
Sejalan dengan perekonomian yang masih bertumpu pada sektor pertanian, penduduk
yang bekerja pada umumnya juga terserap pada usaha pertanian. Hal ini terlihat dari
proporsinya yang cukup sigfikan dari tahun ke tahun. Tahun 2000 penduduk yang
bekerja di sektor pertanian sebesar 69,20% dan pada tahun 2001 sebesar 69,07% dari
hasil penduduk yang bekerja.
Menurut perkiraan BPS Pusat, pada tahun 2006 luas area sawah di Provinsi
Bengkulu hanya sekitar 108.864 hektar dengan produksi mencapai 408.887 ton. Luas
area tersebut hanya 0,92% dari luas area persawahan di Indonesia sedangkan dari
angka produksi hanya merupakan 0,75% dari total produksi beras Indonesia yang
mencapai 54.663.594 ton. Sehingga baik dilihat dari luasan sawah maupun produksi
belum mendominasi angka secara nasional.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa struktur ekonomi Provinsi Bengkulu
masih bertopang pada sektor pertanian. Perbankan juga telah menjadikan sektor ini
sebagai sektor utama untuk dibiayai melalui penyaluran kredit. Meski menurut luasan
lahan, perkebunan lebih mendominasi dibanding tanaman bahan makanan namun
secara PDRB justru sebaliknya. Hal ini dikarenakan, untuk Provinsi Bengkulu, nilai
tambah yang diberikan hasil tanaman bahan makanan lebih banyak dibanding
perkebunan.
Terkait dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah tetap perlu memberikan prioritas
kepada sektor pertanian yang saat ini menjadi penggerak utama perekomian di Provinsi
Bengkulu. Terhadap subsektor perkebunan, Pemerintah Daerah diharapkan mampu
mendorong terbentuknya industri pengolahan hasil perkebunan agar nilai tambah dari
kegiatan ini tidak berpindah ke daerah lain. Subsektor tanaman pangan juga
membutuhkan kebijakan yang mendukung peningkatan produktifitas seperti penyediaan
bibit unggul, ketersediaan pupuk, irigasi, serta bimbingan dan teknologi pertanian yang
tepat guna. Prioritas ini semakin perlu dengan melihat ironi saat ini dimana
perekonomian Provinsi Bengkulu yang didominasi oleh pertanian tanaman pangan,
namun untuk memenuhi kebutuhan beras harus mendatangkan dari daerah lain.
Dari segi UMKM diperoleh gambaran bahwa UMKM dianggap menjadi salah satu
sektor yang memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi daerah. Dari
data statistik, terdapat 141.379 unit usaha di Provinsi Bengkulu, 123.862 unit
dikategorikan mikro, 16.671 unit dikategorikan mikro, 632 unit dikategorikan menengah
dan hanya 154 unit dikategorikan usaha besar, sisanya tidak teridentifikasi. Pada tahun
2006 sektor UMKM berhasil menyerap tenaga kerja sebanyak 9.378 orang.
Diketahui pula bahwa terjadi pergeseran pada struktur ekonomi UMKM, yaitu
terjadinya tendensi penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap keseluruhan UMKM.
Sedangkan sektor non-pertanian dan aneka usaha sebaliknya mengalami peningkatan.
Walapun tendensi perubahan tersebut tergolong masih kecil, namun tetap perlu
mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah karena hal tersebut tidak sesuai dengan
perencanaan jangka menengah (RPJMD) maupun yang berjangka panjang (RPJPD) yang
menjadikan sektor pertanian sebagai leading sector.
PDRB per kapita dapat digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan tingkat
kemakmuran penduduk suatu wilayah atau daerah. Pendapatan perkapita di Bengkulu
dibandingkan secara nasional masih tergolong rendah, hal ini juga dipengaruhi
pertumbuhan penduduk Bengkulu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
nasional. PDRB perkapita Propinsi Bengkulu tahun 2006 hanya sebesar Rp 7,27
juta/tahun, jauh dibandingkan PDB perkapita Indonesia sebesar Rp15,24 juta/tahun.
Hal ini menggambarkan bahwa Provinsi Bengkulu masih termasuk daerah tertinggal atau
daerah miskin.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa baik dari sisi kebijakan ekonomi,
kebijakan ketenagakerjaan dan bidang UMKM persepsi masyarakat bermuara pada dua
masalah utama yaitu kemiskinan yang dan tingkat penggangguran. Berdasarkan kajian
itu, maka kebijakan pembangunan ekonomi Provinsi Bengkulu ke depan disarankan agar
diprioritaskan pada program-program dan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada
peningkatan pendapatan dan pengurangan pengangguran. Peningkatan pendapatan
masyarakat diprioritaskan pada komunitas masyarakat miskin dan pengangguran.
Salah satu kebijakan jangka pendek yang dapat diambil oleh PEMDA yaitu melalui
kebijakan fiskal dengan intervensi pengalokasian keuangan daerah. Karena dalam era
otonomi, daerah mempunyai keleluasaan untuk mengambil kebijakan fiskalnya yang
berpihak kepada komunitas masyarakat miskin serta kegiatan-kegiatan yang
bersentuhan langsung dengan pengurangan penganguran baik melalui pendidikan dan
latihan untuk meningkatkan kualitas SDM penganggur maupun meningkatkan jiwa
kewirausahaan yang diikuti oleh penyertaan modal pemerintah serta pendampingan
yang terus-menerus.
Provinsi Bengkulu mengalami penurunan nilai IPM (Indeks Pembangunan Manusia)
dari 68,4 point pada tahun 1996 menjadi 59,3 poin pada tahun 1999, 66.2 pada tahun
pada tahun 2002 (Mubyarto, 2005). IPM Provinsi Bengkulu berada pada pada peringkat
15 tahun 2002.
Secara sekilas orang akan beranggapan bahwa dalam hal perekonomian Provinsi
Bengkulu disumbang oleh sektor Pertanian subsektor Perkebunan, sebagaimana secara
umum terjadi di Pulau Sumatera. Namun anggapan tersebut ternyata kurang tepat,
karena di Provinsi Bengkulu sektor yang dominan dalam pembentukan PDRB bukan
subsektor perkebunan tetapi subsektor tanaman pangan.
Masih rendahnya sumbangan subsektor perkebunan dalam pembentukan PDRB
di Provinsi Bengkulu ditengarai disebabkan masih belum banyaknya aktivitas ekonomi
lanjutan yang memanfaatkan hasil perkebunan sehingga nilai tambah dari aktivitas
subsektor ini relatif kecil. Pabrik pengolahan minyak kelapa sawit misalnya, jumlah dan
kapasitas mesinnya masih terbatas dibandingkan dengan hasil produksi petani.
Keterbatasan ini selanjutnya berdampak pada nilai jual di tingkat petani menjadi rendah
dan akhirnya pendapatan petani juga rendah.
Contoh lain kopi yang banyak dibudidayakan di Provinsi Bengkulu, namun belum
ada eksportir kopi di Bengkulu, sehingga ekspor dilakukan oleh daerah lain seperti
Lampung dan Padang.
Rendahnya produktivitas hasil perkebunan juga masih menjadi masalah dalam
subsektor perkebunan. Rendahnya produktivitas ini disebabkan beberapa hal, untuk
pohon karet misalnya banyak tanaman produksi yang telah berumur. Cara penyadapan
karet yang salah, juga dapat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman karet.
Sedangkan untuk komoditas kelapa sawit, banyak tanaman petani berasal dari bibit
asalan/bibit palsu sehingga hasil tandannya tidak optimal dan nilai jualnya juga kurang
bagus.
Di samping kendala di atas, ada beberapa kendala lainnya yang berpengaruh
terhadap perkembangan industri perkebunan khususnya dalam skala besar, seperti;
1. Keterbatasan infrastruktur perhubungan Infrastruktur perhubungan terutama jalan
dari/ke sentra produksi banyak yang rusak atau bahkan tidak beraspal. Sedangkan,
pelabuhan laut Pulau Baai hingga kini masih terus mengalami pendangkalan. Untuk
komoditas seperti kelapa sawit apalagi bila jauh dari pabrik pengolahan, lamanya
perjalanan ke tempat pengolahan akan berdampak pada kualitas tandan buah segar.
2. Topografi tanah. Topografi tanah di Bengkulu bergelombang sehingga cukup sulit
menyediakan lahan datar dengan luas lebih dari 5.000 ha. Bagi investor besar kondisi
tanah tersebut kurang menguntungkan untuk perkebunan karena menimbulkan
biaya ekstra untuk perawatan tanaman maupun pemanenan hasilnya.
3. Pelayanan Perizinan dari Pemerintah Daerah. Pelayanan perizinan dari instansi terkait
di Pemerintah Daerah perlu dilakukan terobosan, misalnya pembentukan unit
pelayanan satu atap. Dengan cara ini perizinan dapat lebih mudah, efisien baik dari
segi biaya maupun waktu serta memberikan kepastian kepada calon investor. Upaya
perbaikan pelayanan ini perlu dilakukan karena bila tidak, investor akan berpaling ke
daerah lain yang memberikan pelayanan yang lebih baik.
Beberapa kendala di atas bukan berarti pengembangan subsektor perkebunan
sulit dilakukan di Bengkulu. Justru ini merupakan tantangan untuk mengembangkan
potensi subsektor tanaman perkebunan masih terbuka lebar.
Dari luas wilayah Propinsi Bengkulu 1.978.870 Ha, potensi untuk areal lahan
perkebunan masih seluas lebih kurang 818.784,7 Ha. Sedangkan, lahan yang diusahakan
oleh subsektor perkebunan baru seluas lebih kurang 344.360,3 Ha atau baru 42% yang
dimanfaatkan.
Mencermati harga komoditas utama perkebunan saat ini menunjukkan tren yang
semakin membaik. Apalagi harga minyak bumi yang semakin mahal saat ini mendorong
untuk pengembangan energi alternatif biodiesel dengan memanfaatkan minyak kelapa
sawit. Kecenderungan ini tentunya membawa optimisme peningkatan harga minyak
kelapa sawit. Demikian pula dengan harga karet yang dalam dua tahun terakhir juga
meningkat secara signifikan, seiring dengan peningkatan harga karet sintetis dari minyak
bumi.
Konsekuensi peningkatan harga karet dan minyak sawit berimbas pada nilai
ekspor kedua komoditas tersebut di Bengkulu. Nilai ekspor komoditas karet tahun 2005
sebesar 57.215 ribu USD, sedangkan tahun 2006 (sampai dengan Triwulan III) telah
mencapai 67.215 ribu USD. Untuk minyak sawit tahun 2005 nilai ekspornya mencapai
17.591 ribu USD dan sampai dengan Triwulan III 2006 nilai ekspornya telah mencapai
36.739 ribu USD.
Kendala-kendala pengembangan subsektor perkebunan seperti keterbatasan
infrastruktur diharapkan dapat diatasi dengan pelaksanaan program pembangunan yang
dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu. Sedangkan kendala alam seperti topografi
tanah dapat dilakukan kajian oleh instansi terkait atau Perguruan Tinggi di Bengkulu,
karena pada dasarnya tanah di Provinsi ini tergolong subur. Pelaksanaan program
revitalisasi pertanian pada 2007 yang dicanangkan Pemerintah Daerah diharapkan
memperbaiki produktivitas subsektor perkebunan dengan adanya peremajaan tanaman
produksi. Dengan demikian diharapkan subsektor perkebunan ini terus mendapatkan
perhatian dari pihak/instansi terkait. Potensi yang ada pada subsektor ini perlu
dimanfaatkan untuk mempercepat laju perekonomian di Provinsi Bengkulu sehingga
dapat mengejar ketertinggalannya dengan daerah lain di Indonesia
Meningkatkan Daya Tarik Investasi
Dalam konteks pembangunan regional, investasi memegang peran penting untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi atau penanaman modal, baik PMDN
maupun PMA membutuhkan iklim yang sehat dan kemudahan serta kejelasan prosedur
penanaman modal. Iklim investasi juga dipengaruhi kondisi makroekonomi suatu negara
atau daerah.
Investasi akan masuk ke suatu daerah tergantung dari daya tarik daerah
tersebut, dan adanya iklim investasi yang kondusif. Keberhasilan daerah untuk
meningkatkan daya tarik terhadap investasi salah satunya tergantung dari kemampuan
daerah dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan investasi dan dunia usaha
serta peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat. Kemampuan daerah untuk
menentukan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai ukuran daya saing daerah
relatif terhadap daerah lainnya juga sangat penting dalam upaya meningkatkan daya
tariknya dan memenangkan persaingan. Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan
dalam menarik investor, selain makroekonomi yang kondusif juga adanya
pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur dalam artian luas. Hal ini
menuntut perubahan orientasi peran pemerintah, yang semula lebih bersifat sebagai
regulator, harus diubah menjadi supervisor, sehingga peran swasta dalam perekonomian
dapat berkembang optimal.
Berdasarkan identifikasi daya tarik suatu daerah Kabupaten/Kota terhadap
investasi dengan pemahaman studi literatur, opini para pelaku usaha, masukan para ahli
dan hasil riset KPPOD (Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, 2003),
menemukan variabel-variabel yang mempengaruhi daya tarik investasi kedalam 5 faktor,
yaitu: (1) Kelembagaan, (2) Sosial Politik, (3) Perekonomian Daerah, (4)Tenaga Kerja
dan Produktivitas, (5) Infrastruktur Fisik.
Untuk masing-masing faktor tersebut memiliki variabel daya tarik investasi
seperti terlihat pada Diagram 1. di bawah ini.
Bila dilihat lebih dalam tiap-tiap indikator, bobot terbesar yakni indikator Perda
(juga merupakan variabel) yakni 25%, diikuti indikator Penegakan Hukum 17%, dan
seterusnya (Gambar 4).
Faktor Sosial Politik memiliki bobot sebesar 26%, dengan demikian ini cukup
banyak berpengaruh terhadap daya tarik investasi pada suatu daerah secara umum.
Faktor Sosial Politik terbentuk dari akumulasi 3 variabel (Keamanan, Sosial Politik, dan
Budaya), yang terbagi lagi dalam 11 indikator. Bobot dari 3 variabel pada faktor Sosial
Politik ini adalah: (1) Keamanan dengan bobot terbesar 60%, (2) Sosial Politik (27%),
dan (3) Budaya (13%) (Gambar 5).
Melihat struktur bobot variabel dan indikator pada faktor Sosial Politik ini, dapat
dipastikan bahwa peringkat Kabupaten berdasarkan faktor Sosial Politik sangat
dipengaruhi oleh kondisi keamanan daerah yang bersangkutan.
Berdasarkan faktor Sosial Politik, dari 156 kabupaten yang diperingkat,
Kabupaten Bengkulu Selatan berada pada peringkat 112. Sedangkan Kota Bengkulu
berada peringkat peringkat 32 dari 44 Kota
Faktor Ekonomi Daerah memberikan kontribusi terhadap daya tarik investasi
sebesar 17%. Faktor Ekonomi Daerah terdiri dari dua variabel, yakni: (1) Variabel
Potensi Ekonomi dengan bobot 71%, dan Variabel Struktur Ekonomi dengan bobot 29%.
Permasalahan Investasi
Dari Penjelasan di atas menunjukkan bahwa daya tarik investasi sangat
tergantung pada kelembagaan, terutama berkaitan dengan biaya-biaya tidak resmi,
pelayanan oleh birokrasi kepada para pelaku usaha, dan peraturan daerah. Hasil
penelitian KPPOD (2003) terhadap pelaku usaha cukup terbebani dengan berbagai
pungutan tidak resmi. Pungutan tidak resmi bisa dikelompokkan menjadi pungutan tidak
resmi di lingkungan dan di luar birokrasi. Pungutan tidak resmi di lingkungan birokrasi
dilakukan oleh aparat pemerintah daerah, dan dalam proses peradilan. Pungutan tidak
resmi di luar birokrasi dilakukan di lingkungan mereka melakukan kegiatan usaha yang
biasa dilakukan oleh aparat keamanan, kelompok masyarakat sekitar, kelompok preman
dan sebagainya. Dari berbagai pungutan tersebut bila diakumulasikan besarnya
pungutan tidak resmi yang harus dikeluarkan pengusaha berkisar 2 - 10% dari biaya
produksi.
• Pelayanan Birokrasi
Sektor-sektor usaha yang beroperasi di suatu daerah atau negara sangat wajar
berhadapan dengan birokrasi. Hal ini disadari karena pelaku usaha yang bertanggung
jawab tentu membutuhkan legalisasi dari otoritas pemerintah setempat. Konsekwensin-
nya adalah adanya kewajiban, seperti pengurusan perizinan, maupun kontribusi bagi
pemerintah setempat seperti pajak, retribusi dan lain sebagainya. Pelaku usaha
menganggap hal tersebut tidak memberatkan dengan catatan mereka juga
mendapatkan hak serta pelayanan yang baik, seimbang dengan kewajiban yang mereka
jalankan. Dalam prakteknya, mereka seringkali dihadapkan pada kualitas pelayanan yang
tidak sesuai dengan harapan, bahkan menambah beban bagi kegiatan usaha mereka.
Pelayanan birokrasi saat pengurusan perizinan, sertifikasi, pengawasan dan keperluan
lainnya, sering selain harus membayar sebagaimana ketentuan resmi, juga masih harus
membayar biaya-biaya tidak resmi.
• Peraturan Daerah
Pada era otonomi daerah ini peraturan daerah merupakan regulasi di tingkat
Kabupaten/Kota yang dampaknya langsung pada pelaku usaha. Pelaku usaha di daerah
menilai perda-perda atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemda dalam pelaksanaan
otonomi daerah dinilai cukup mendukung atau sekurangnya tidak mengganggu/
menghambat kegiatan usaha mereka. Tetapi masih ada 20,2% pelaku usaha yang
menyatakan bahwa perda-perda yang di keluarkan kurang mendukung kegiatan usaha
mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa perda-perda yang dibuat justru kontraproduktif
terhadap kegiatan dunia usaha.
c. Keamanan
Secara umum kondisi keamanan di Indonesia relatif aman untuk kegiatan usaha.
Walaupun masih ada investor asing yang menilai kondisi kemanan di Indonesia tidak
kondusif untuk kegiatan usaha.
d. Keterbukaan Masyarakat
Sebagian besar pelaku usaha menilai sikap masyarakat terbuka terhadap
kegiatan usaha namun ada kecenderungan bahwa di daerah kurang terbuka terhadap
kegiatan usaha dari luar daerahnya, kecuali pada pelaku usaha lokal. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat cenderung kurang menerima investor yang berasal dari
luar daerahnya. Masyarakat lebih suka jika kegiatan usaha dilakukan oleh para pelaku
usaha yang berasal dari daerahnya sendiri. Jika ada orang dari daerah yang mampu
melakukan kegiatan usaha, mengelola potensi daerahnya, mereka akan lebih terbuka /
lebih suka dibandingkan jika dilakukan oleh orang dari daerah lain.
2. Listrik
Hasil penelitiaan KPPOD (2003) melihat sebagian besar pelaku usaha menilai
suplay listrik saat ini memadai (41,3% menilai memadai, 8,9% sangat memadai).
Sementara yang menilai cukup memadai sebesar 32,4%. Sementara yang merasa bahwa
suplay listrik kurang hingga sangat kurang memadai sebesar 20,7%.
Dilihat dari kualitas sambungan kistrik dilihat sebagian besar pelaku usaha juga
menilai baik (39,2%) dan sangat baik (6,7%). Sementara yang menilai sedang sebesar
32,9%, dan masih ada 21,2% pelaku usaha yang menilai kualitas suplay listrik kurang
baik dan sangat tidak baik. Kualitas suplay listrik yang kurang baik ini ditunjukkan
dengan tegangan listrik yang tidak stabil dan bahkan sering terjadi pemadaman secara
bergiliran. Kualitas sambungan listrik yang kurang baik ini, banyak diantara para pelaku
usaha yang harus menyediakan sumber pembangkit listrik sendiri seperti generator.
Namun demikian sebagian pelaku usaha mengaku bahwa untuk pembangkit listrik yang
disediakan sendiri ini mereka juga harus membayar pajak kepada daerah berupa pajak
penerangan jalan.
3. Telpon
Diantara jenis-jenis infrastruktur pendukung kegiatan usaha, ketersediaan dan
kualitas sambungan telpon merupakan infrastruktur yang paling banyak dikeluhkan oleh
para pelaku usaha. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah-daerah yang
belum terjangkau oleh sarana komunikasi ini.
RELUNG INOVASI
Relung adalah celah dimana suatu kondisi spesifik yang memungkin suatu
terobosan kebijakan dilakukan dari dua atau lebih keadaan permasalahan yang tidak
menguntungkan, misalnya jika ada daerah di sekitar Provinsi Bengkulu telah lebih dahulu
mengembangan konsentrasi pembangunan pada sektor tertentu dan semua faktornya
mendukung, maka semestinya Pembangunan Provinsi Bengkulu harus membuat
terobosan baru yang tidak menjiplak pembangunan di daerah sekitarnya. Hal ini akan
meningkatkan daya saing, keunggulan kompetitif dan komparatif wilayah jika kita tidak
ikut-ikutan mengembangkan seperti daerah sekitar kita.
Persoalanya adalah diperlukan kemampuan kita untuk membidik sektor apa saja
yang ada pada ranah relung inovasi tersebut? Dari hasil kajian dan penjelasan diatas
dapat kita simpulkan bahwa basis perekonomian kita hampir 40% (PDRB) bertumpu
pada sektor pertanian, maka sektor ini harus menjadi perhatian utama kita. Relung
inovasi pembangunan yang mungkin adalah membangun sektor pariwisata, hal ini
dengan pertimbangan ptonensi yang kita miliki baik potensi sumber daya alam,
peningalan sejarah maupun keragaman budaya. Persoalannya adalah bahwa
pembangunan pariwisata bukan berada pada ruang hampa, karena sektor pariwisata
sangat terkait dengan banyak elemen dan sektor-sektor yang lain.
Dari banyak kajian menunjukan bahwa tren setter pariwisata di dunia saat ini
mengharah pada sektor ekowisata. Dari studi Fennell (2001) terhadap difinisi ekowisata
menunjukkan bahwa dari 85 difinisi yang dibuat para ahli sejak 1970 hingga 1999
menunjukkan bahwa secara konten paling tidak kita harus memperhatikan kata kunci
dibawah ini:
1. Tempat dimana ecotourism diselenggarakan ( 53, 62,4 % )
2. Konservasi ( 52, 61,2 % )
3. Budaya ( 43, 50,6 % )
4. Manfaat untuk masyarakat setempat (41, 48,2 % )
5. Pendidikan ( 35, 41,2 % )
6. Keberlanjutan (22, 25,9 % )
7. Dampak (21, 25 % )
Gambar 10. Faktor, aktor, tujuan dan alternatif pengembangan pariwisata (contoh kasus
pengembangan Wisata di Danau Dendam tak Sudah; Usman Yasin, 2007)
Dari kajian yang dilakukan oleh Usman Yasin (2007) menunjukkan bahwa dari
enam komponen utama pembangunan pariwisata yang paling penting kompen
kelembagaan/institusi (37.6%), Atraksi dan Aktivitas (21.2%), infrastruktur (15.3%),
fasilitas dan pelayanan (11.6%), Akomodasi (9%) dan transportasi (5.3%).
Pembangunan pariwisata bukan merupakan tugas pemerintah saja, tetapi harus
melibatkan semua stakeholder yang menjadi penentu berhasil tidaknya program
pembangunan tersebut. Untuk itu sebagai sebuah sistem maka semua elemen, variabel
dan sektor harus terorganisir dan saling terkait untuk mencapai tujuan dari
pembangunan pariwisata tersebut yaitu untuk meningkatkan kesejehteraan masyarakat.
KESIMPULAN
Daya tarik investasi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh potensi ekonomi
berupa “anugerah alam” yang dimilikinya. Daya tarik investasi juga dipengaruhi oleh
pelayanan birokrasi, keamanan, sosial budaya, tenaga kerja, dan sebagainya. Kelemahan
di satu faktor, akan mempengaruhi daya tarik investasi secara keseluruhan.
Proses perumusan kebijakan ternyata kurang melibatkan stakeholders-nya yakni
pelaku usaha. Hal tersebut barangkali yang menjadi salah satu penyebab munculnya
perda-perda yang kontraproduktif terhadap kegiatan usaha di daerah.
Pelayanan birokrasi yang dilakukan oleh aparat pemda dinilai oleh sebagian besar
pelaku usaha masih kurang baik. Dalam melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha harus
mengeluarkan total biaya tambahan dari berbagai jenis pungutan tidak resmi rata-rata
sebesar 2%-10% dari total biaya produksi kegiatan usaha mereka.
Faktor geo-ekonomis sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kualitas
Infrastruktur Fisik suatu daerah. Daerah-daerah di sekitar pusat pertumbuhan ekonomi
atau penyangga kota-kota besar, mendapatkan agglomeration effect dari pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi, yang telah memiliki infrastruktur secara lengkap dan kualitasnya
juga baik. Sebaliknya daerah-daerah secara geo-ekonomis berada jauh dari pusat
pertumbuhan ekonomi kurang mendapat agglomeration effect (share infrastruktur).
Pembangunan pariwisata dapat menjadi relung inovasi dalam melakukan
terobosan pembangunan di Provinsi Bengkulu, asal saja sebagai sebuah sistem maka
pembangunan pariwisata harus mempertimbangkan setiap elemen, variabel, sektor,
faktor dan aktor mulai dari perencanaan, proses pembangunan dan evaluasi yang
terarah dan teroganisir.