Anda di halaman 1dari 3

VISI INDONESIA MASA DEPAN: INDONESIA YANG LEBIH RELIGIUS Indonesia bukan negara agama, namun Indonesia juga

bukan negara sekuler. Indonesia adalah negara kebangsaan yang religius. Indonesia mendasarkan gagasan filsafatnya pada Pancasila, yang menjadi idiologi hidup berbangsa dan bernegara. Makna Religius Ada banyak tokoh yang berpendapat tentang pengertian religius, pendapat tersebut pun berbeda-beda tergantung dari konteks apa agama tersebut dilihat. Definsi ag ama menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut: a. Kata religi - religion dan religio, secara etimologi menurut winker paris dalam algemene encyclopaedie mungkin sekali dari bahasa latin, yaitu dari kata r eligere atau religare yang berarti terikat, maka dimaksudkan bahwa setiap orang yang bereligi adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang di anggap suci. Kalau dikatakan berasal dari kata religere yang berarti berhati-hat i, maka dimaksudkan bahwa orang yang bereligi itu adalah orang yang senantiasa b ersikap hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci. b. Menurut Gazalba (1987) religi atau agama pada umumnya memiliki aturan- a turan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemelukn ya. Semua hal itu mengikat sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesa ma manuasia dan alam sekitarnya. Sedangkan menurut Shihab (1993) agama adalah hu bungan antara makhluk dengan Khalik (Tuhan) yang berwujud dalam ibadah yang dila kukan dalam sikap keseharian. c. Menurut Anshori (1980), ia memberikan pengertian agama dengan lebih deta il yakni agama sebuah sistem credo (tata keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak dan suatu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan antara manusia deng an sesama manusia, dan alam sekitarnya, sesuai dengan keimanan dan tata peribada tan tersebut. d. Menurut Harun Nasution agama berasal dari kata al-din, religi (religare) dan agama. Al-din (semit) berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab k ata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebias aan. Sedangkan kata relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Dan religere bera rti mengikat, sedangkan kata agama terdir dar a = tak, gama = pergi mengandung a rti tak pergi, tetap ditempat atau diwarisi turun temurun. Secara defenitif Haru n Nasution menjelaskan pengertian agama adalah : 1) Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang har us dipatuhi. 2) Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia. 3) Mengikat dii. pada suatu bentuk yang mengandung pengakuan, pada suatu su mber yang berada di luar menusia yang mempengaruhi perbuatan - perbuatannya. 4) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertent u. 5) Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekutan ga ib. 6) Pengakauan terhadap adanya kewajiban - kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib. 7) Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan pera saan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar. 8) Ajaran - ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Ras ul. e. Thouless (dalam Solahuddin), mendefinisikan agama sebagai sikap terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukkan lingkungan lebih luas daripada lingk ungan fisik yang terikat ruang dan waktu - the spatio - temporal physical world(dalam hal ini yang dimaksud adalah dunia spritual). f. Glock dan Strack (dalam Nashori & Mucharam dalam Solahuddin), menyatakan bahwa religi adalah sistem symbol, keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan - persoalan yang diha yati sebagai sesuatu yang maknawi.

g. Vergilius Ferm mengartikan religion adalah seperangkat makna dan kelakua n yang berasal dari individu - individu yang religious. h. James (dalam Crapps dalam Salahuddin), mendefinisikan agama sebagai pera saan, tindakan dan pengalaman manusia secara individual dalam keheningan mereka, sejauh mereka itu menangkap diri mereka berada dalam hubungan dengan apapun yan g mereka pandang sebagai Ilahi. Dari banyaknya istilah tentang agama atau religi yang disebutkan para tokoh diat as, menunjukkan bahwa manusia membutuhkan agama dalam kehidupan sehai-hari, kare na di dalam agama atau religi terdapat kewajiban yang harus kita laksanakan dan selain itu di dalamnya terdapat cara bagaiman kita bersikap dan beretika terhada p sesama manusia dan alam sekitar. Oleh karena itu religi dapat diamkan sebagai keyakinan atas adanya yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan alam semest a, yang didalamnya terdapat perasaan, tindakan dan pengalaman yang bersifat indi vidual. Di dalam religi dapat berbentuk simbol, keyakinan, sistem nilai dan sist em perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan yang diang gap sebagai sesuatu paling bermakna. Indonesia yang Religius: Amanat Konstitusi Dalam pasal 29 ayat 1 UUDN RI jelas disebutkan bahwa negara kita berdasarkan ket uhanan Yang Maha Esa. Ini menandaskan bahwa kehidupan masyarakat Indonesia yang religius adalah amanat konstitusi kita yang harus diwujudkan. Kemudian dalam TAP MPR RI NOMOR VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia 2020 dalam B ab IV disebutkan bahwa visi Indonesia 2020 adalah terwujudnya masyarakat Indones ia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri , serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Untuk mengukur tingkat keb erhasilan perwujudan Visi Indonesia 2020 dipergunakan indikator-indikator utama, dalam aspek religius, disebutkan: 1. terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya, te rutama kejujuran, dihayati dan diamalkan dalam perilaku kesehariannya. 2. terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama; 3. terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Melihat Sejarah Dalam sejarah Indonesia modern religiusitas berperan amat penting semasa pergera kan nasional hingga masa pembangunan nasional. Religiusitas di Indonesia terbukt i telah mempunyai andil dalam nasionalisme. Dalam hal ini tidak ada korelasi lan gsung antara religiusitas dan nasionalisme, antara keberagamaan dan kehidupan be rbangsa. Seorang nasionalis tidak otomatis religius. Sebaliknya, seorang religiu s juga tidak otomatis nasionalis. Tepatnya, bisa diadakan korelasi religiusitas dengan pengabdian kepada Tanah Air. Dalam sejarah kemerdekaan, perang Diponegoro, Pattimura, Padri, Aceh sampai mere but kemerdekaan dari penjajah tidak semata-mata dibakar semangat nasionalisme, t etapi juga semangat keagamaan. Maka para pendiri Republik mengakui dalam Pembuka an Undang-Undang Dasar 1945 bahwa kemerdekaan bukan hanya hasil usaha sebuah per gerakan atau perjuangan fisik, tetapi juga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Pada masa pergerakan nasional, Haji Agus Salim (1884-1954), tokoh Syarekat Islam , berhasil menjadikan energi religiusitasnya sebagai nasionalisme. Dalam soal ag ama, ia dikenal berpendirian keras. Namun, ia juga dikenal sebagai pribadi yang terbuka dan berwawasan. Cita-cita perjuangannya adalah melihat bangsa Indonesia menjadi tuan di Tanah Air sendiri. Untuk itu, ia mengupayakan kegiatan sosial ya ng langsung bersentuhan dengan persoalan umat dengan kesadaran pula bahwa pendid ikan akan mencerahkan kesadaran nasionalisme. Dalam Kongres Jong Islamieten Bond pertama di Yogyakarta (1926), Agus Salim mene gaskan keyakinan religiusnya dalam konteks nasionalisme, "Islam memberikan penge rtian yang terang tentang penghidupan dunia, tentang penghidupan kemanusiaan pad a umumnya dan manusia sendiri. Ia memberikan sarana-sarananya untuk meningkatkan penghidupan yang mungkin dicapai". Beliau mendukung JIB sebagai sebuah organisa si kaum muda idealis, yang mempelajari agama Islam dan melaksanakan ajarannya de

ngan kesadaran bahwa lewat ajaran Islam cita-cita Indonesia merdeka akan tercapa i. Religiusitas dan nasionalisme mendapat tempat dalam disain Indonesia sebagai Neg ara Ketuhanan. Dalam pidato yang berjudul "Pendidikan Menengah Kooperasi" (Semin ar Koperasi, Yogyakarta 1958), Proklamator Bung Hatta menegaskan makna sosial da ri mengaku percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa, yakni "mengajak manusia melaksanak an harmoni di dalam alam, dilakukan terutama dengan jalan memupuk persahabatan d an persaudaraan. mewajibkan manusia dalam hidupnya membela kebenaran, dengan kel anjutannya, menentang segala yang Dusta, membela keadilan, dengan kelanjutannya, menentang atau mencegah kezaliman, berbuat baik selalu, dengan kelanjutannya, m emperbaiki kesalahan, bersifat jujur, dengan kelanjutannya, membasmi kecurangan . berlaku suci, dengan kelanjutannya, menentang segala yang kotor." Dalam pidato yang bertajuk "Jiwa Islam dalam Membangun Negara dan Masyarakat" (p ertemuan KAMI, Bogor 25 Juni 1966), Hatta menegaskan bahwa Negara Ketuhanan deng an sendirinya mewajibkan orang Indonesia "berjalan di atas rel kebenaran, keadil an, kejujuran, kesucian untuk melaksanakan segala yang baik bagi masyarakat dan negara." Beberapa tokoh di atas adalah contoh keberhasilan transformasi kesalehan individ ual menjadi kesalehan sosial dalam bentuk pengabdian kepada bangsa. Ini kewajiba n warga negara Indonesia yang dikenal religius. Para rohaniwan dari semua agama di Tanah Air wajib memberikan pencerahan religius agar aplikasi dari iman warga juga berbentuk pengabdian kepada negeri dan partisipasi dalam pembangunan nasion al. Sudah waktunya religiusitas diberdayakan untuk memerangi korupsi dan mengore ksi inefisiensi penyelenggaraan negara.

Anda mungkin juga menyukai