Anda di halaman 1dari 11

1. Dasar filosofis historiografi modern dan historiografi post modern.

a. Dasar filosofis historiografi modern


Modernisme merupakan gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang
awalnya diinspirasikan oleh Descartes, dikokohkan oleh gerakan Pencerahan
(Enlightenment/Aufklarung), dan mengabadikan dirinya hingga hari ini melalui
dominasi sains dan kapitalisme (Sugiharto, 1996: 29).
Dasar filosofis dari modernisme menurut Wora (2006: 3) diantaranya bahwa
"Materi dan pikiran adalah dua entitas yang berbeda," kata Descartes dalam teori
"cogito ergo sum"-nya, lagi pula lanjut Descartes, karena saya berpikir maka saya
ada, maka tidak ada satu pun di dunia ini yang punya eksistensi yang sejati
kecuali pikiran. Dengan demikian, dalam dikotomi antara pikiran dan materi tadi,
yang sungguh-sungguh eksis hanyalah pikiran. Dengan kata lain, pikiran berada di
atas materi. Konsep Descartes inilah yang menjadi perintis terjadinya dikotomi
antara manusia dan alam, yang selanjutnya melegitimasi kekuasaan dan
eksploitasi manusia atas alam.
Gagasan Descartes tentang keutamaan rasionalitas ini, yang selanjutnya
semakin diradikalkan oleh berbagai pemikir modern, terutama mereka yang
bergerak di dalam bidang filsafat sekular dan sains, ternyata punya andil yang
sangat besar dalam menciptakan krisis kedirian manusia. Rasio atau akal adalah
segala-galanya bagi manusia, meski rasio ini sendiri sangat terbatas. Dengan kata
lain, satu-satunya jalan yang benar untuk memahami realitas kehidupan dan
kedirian manusia hanyalah melalui akal. Ada berbagai aspek lain yang sebenarnya
juga ada di dalam alam dan dalam diri manusia, tersisihkan oleh rasio manusia,
bukan karena mereka tidak eksis, melainkan karena rasio itu sendiri tidak mampu
menjangkau mereka. Dengan demikian, manusia modern sebenarnya bisa
dikatakan hidup tidak di dalam kepenuhannya. Terlalu banyak hal yang terabaikan
yang sebenarnya sangat vital bagi keutuhan diri manusia itu sendiri.
Bagi kaum modernis, ilmu dipandang sebagai awal dan akhir, bukan hanya
yang terpenting melainkan juga puncak dari modernitas (Sugiharto, 1996: 29)
sehingga kaum modernis percaya dengan apa yang disebut dengan kebenaran
universal. Hal ini membawa konsekwensi dalam memandang informasi,
pandangan modernis, menurut Subekti (2006: 5-10) tidak dapat memahami
bahwa informasi yang menarik akan menghasilkan lebih banyak informasi. Bagi
mereka, informasi yang bermakna adalah informasi yang diletakkan pada akhir
suatu tulisan. Mereka tidak dapat menjelaskan secara tepat perihal yang dapat
diperdebatkan sebagai landasan bagi kemajuan ilmu, sebagaimana dikemukakan
oleh Bachelard, manakah di antara fakta-fakta yang dapat diperdebatkan itu
merupakan fakta-fakta yang benar.
Selanjutnya dalam hal penggunaan gaya bahasa, bagi para modernis, gaya
pengungkapan itu dipandang tidak relevan, kurang penting, yang penting adalah
isi. Dan bagi para modernis, bukti adalah sesuatu terjadi di masa lalu. Sejarawan
modernis mengikuti suatu alur penalaran dari sumber-sumbernya, dan bukti atas
suatu realitas sejarah tersembunyi di belakang sumber-sumber .
Dapat kita katakan bahwa dasar filosofis historiografi modern menggunakan
paradigma Positivis dalam penulisan sejarah. Karakternya menjadi empiris-skeptis
karena menggunkan pendekatan teori kebenaran korespondensi. Sehingga
penulisan sejarah berpusat pada pelaku dan peristiwanya serta fokus pada
kesinambungan antar periode.

b. Dasar filosofis historiografi postmodern


Postmodernisme secara harafiah berarti "pasca modernisme/sebuah "isme"
yang menggantikan modernisme. Asal usulnya adalah dari wilayah seni, dan dari
situ merembet menjadi istilah dalam ilmu-ilmu lain (Barker, 2003:228). Akhirnya
istilah itu oleh filosof Perancis, Jean-Francois Lyotard, dimasukkan ke dalam
kawasan filsafat dan sejak itu dipergunakan sebagai sebuah "isme" baru.
Walaupun pemikiran postmodernisme ini berbeda-beda tapi mereka tetap
mempunyai kesamaan, yaitu penolakan terhadap kediktatoran dalam konsep-
konsep. Dengan kata lain, menurut Magnis-Suseno (2005: 229), postmodernisme
melawan pemikiran totaliter dan filsafat identitas. Postmodernisme, ia
melanjutkan, curiga terhadap prinsip-prinsip universal sebagai sarana dominasi.
Dengan kata lain, menurut istilah Lyotard, postmodernisme menolak "cerita besar"
demi "cerita-cerita kecil”. Untuk melawan itu semua, para postmodernis
mengajukan hak realitas individual dan konkret, hak realitas setempat, pluralitas
sikap, paham, cara berpikir, dan model penghayatan kemanusiaan.
Sementara itu, menurut Schroeder (2005: 323), postmodernisme berusaha
untuk mengklarifikasi ciri-ciri unik zaman ini. Klaim sentral postmodernisme
adalah bahwa zaman ini (yang dianggap mulai pada 1945, setelah Perang Dunia
II, atau pada 1960 dengan datangnya abad generasi baru) secara kuantitatif
berbeda dari zaman terdahulu (modernitas). Beberapa postmodernis, khususnya
Lyotard dan Rorty, mengamati perubahan-perubahan dalam asumsi-asumsi
filosofis dan ilmiah. Postmodernis lain, khususnya Baudrillard dan Jameson,
menjelaskan perubahan dalam kebudayaan, khususnya seni, kehidupan sosial, dan
teknologi.
Menurut Sjamsuddin (2007: 335), istilah postmodernisme merupakan konsep
yang cukup sulit untuk ditangkap maknanya. Oleh sebab itu, makna istilah
"postmodemisme" memang lebih ambigu lagi; ia menjadi sekedar istilah yang
memayungi hampir segala bentuk kritik atas modernisme, meskipun satu sama lain
bisa sangat berbeda (Sugiharto, 1996: 28). Dengan kata lain, istilah postmodern
secara filosofis menunjuk pada segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-
paradigma modern dan atas metafisika pada umumnya.
Dasar filosofis historiografi postmodern bisa dilihat dari pandangannya
terhadap ilmu dan informasi. Bagi postmodernisme (Subekti, 2006: 5), ilmu dan
informasi merupakan objek kajian independen yang mempunyai kaidah sendiri.
Kaidah prinsip pertama dari teori informasi postmodernis bahwa informasi
berkembang-biak. Salah satu karakteristik paling fundamental dari informasi
bahwa informasi yang benar-benar penting tidak pernah merupakan akhir dari
suatu genealogi informasi, melainkan arti pentingnya dalam fakta yang dinilai
secara intelektual a posteriori. Karya-karya besar sejarah tentang historiografi,
seperti Tocqueville, Marx, Burcardt, Weber, Huizuinga, maupun Braudel,
membuktikan berulang-kali menjadi perangsang kuat bagi gelombang baru
publikasi. Secara paradoks, jika suatu interpretasi lebih kuat dan otoritatif, maka
akan lebih banyak penulisan yang dihasilkan.
Menurut postmodernisme, ilmu bersifat “tidak mapan” yang berada di luar
pusat dirinya. Reversibilitas pola-pola pemikiran dan kategori-kategori pemikiran
ditekankan, tanpa menyarankan alternatif tertentu yang bersifat definitif.
Rasionalitas ilmiah bukan merupakan aufgehoben dalam artian Hegelian terhadap
rasionalitas lain, setiap pandangan tidak secara otomatis menimbulkan
antitesisnya; melainkan dianggap setiap pandangan memiliki sisi luar yang lepas
dari catatan ilmu, di samping sisi dalam yang diteguhkan secara ilmiah.
Wittgenstein dalam karyanya Tractatus menyarankan sesuatu yang serupa dengan
setiap alur penalaran yang valid. Faktanya, alur penalaran yang valid menjadikan
penalaran berlebihan, maka selalu merupakan suatu perjalanan menghindarkan
jalur yang tidak benar, yaitu perjalanan dari kesalahan awal ke pemahaman yang
benar. Konsekuensinya, apa yang benar senantiasa dinodai oleh apa yang tidak
benar.
Subekti (2006: 7) juga berpendapat bahwa ilustrasi dari tesis postmodernis
dalam historiografi, yakni bahwa interpretasi-interpretasi sejarah atas masa lalu
pertama-tama dapat dikenali melalui pertentangan dengan interpretasi-interpretasi
lainnya. Misalnya bagi seseorang yang hanya mengetahui satu interpretasi tentang
Perang Dingin, ia tidak akan mengetahui seluruh interpretasi fenomena tersebut.
Oleh karena itu, setiap pemahaman sejarah mempunyai sifat paradoksal secara
intrinsik. Hayden White dalam karyanya Metahistory memiliki penalaran yang
sama ketika menyifatkan bahwa semua penulisan sejarah sebagai ironis secara
fundamental.
Selanjutnya, pergerakan dalam kesadaran sejarah dapat digambarkan dengan
tamsilan sejarah seperti sebuah pohon. Perhatian historisisme dan historiografi
ilmiah modernis difokuskan pada apa yang terjadi di masa lalu serta kekurang-
penerimaannya terhadap skema-skema a priori yang disituasikan dalam cabang-
cabang pohon. Sementara pilihan historiografi postmodernis tidak jatuh pada
batang maupun cabang-cabang, melainkan pada dedaunan pohon. Pandangan
sejarah postmodernis bukan berpusat pada integrasi, sintetis, dan totalitas;
melainkan potongan-potongan sejarah. (Subekti, 2006: 13).
Historiografi dengan menggunakan paradigma Postmodern memiliki ciri khas
kontekstualisasi-dekontekstualisasi-rekontekstualisasi dalam penulisan sejarah.
Historiografi post modern ini menggunakan pendekatan multiperspektif
sehingga sejarah tidak hanya ditulis dari satu sudut pandang, melainkan banyak
alternative. Berbeda dengan historiografi modern, historiografi modern fokus
pada ketidak-sinambungan daengan melihat perbedaan antara satu periode dengan
periode lain.

2. Metahistory dan poetic history dan hubungannya dengan Narrative turn


dan/atau linguistic turn.
Metahistory dan Poetic History
Menurut White (dalam Sjamsuddin, 2007: 346), metahistory adalah sejarah itu
sendiri. Hal ini karena dalam penulisan sejarah tidak bisa dihindari ‘kiasan’
(troping) bagian-ke-seluruh (parts-to whole) dan seluruh-ke-bagian (whole-to-
parts), maka kisah sejarah akhirnya merupakan metafora (methaporical). White
sendiri mendefinisikan karya sejarah sebagai suatu struktur verbal dalam bentuk
wacana prosa naratif yang mengklasifikasikan struktur-struktur masa lalu dan
proses-proses untuk menjelaskan apa mereka itu dulu dengan merepresentasikan
mereka sebagai model.
Dengan adanya kiasan-kiasan (tropes) ini yang merupakan elemen puitis
masuk ke dalam sejarah, maka sejarah disebut juga “puisi sejarah” (the poetic of
history). Carrad (dalam Sjamsuddin, 2007: 347) mengilustrasikan “puisi” (poetic)
[sejarah] sebagai kajian tentang aturan-aturan, kode-kode dan prosedur-prosedur
yang beroperasi di dalam serangkaian teks-teks tertentu. Hal ini menujukkan bahwa
“Sejarah Baru” dari mazhab Annales di dalamnya adalah “puitis”.
Berbeda dengan sejarawan dan ahli filsafat ejarah Prancis, Philip Charrad
(dalam Sjamsuddin, 2007: 347), mengartikan metahistories itu sebagai “karya-
karya [sejarah] yang tujuannya bukan untuk membuat informasi baru tentang
objek tertentu, tetapi menimbang informasi yang ada, mendiskusikan interpretasi-
interpretasi yang sudah ada, dan kemungkinan mengomentari asumsi-asumsi yang
telah membuat mungkin interpretasi ini.
Bisa kita lihat bahwa White lebih menekankan pada aspek metafora sehingga
karya sejarah iu disebut sebagai metahistory, maka Carrad tampaknya
menekankan kepada interpretasi-interpretasi terhadap karya-karya yang sudah
pernah ada.

Hubungan Metahistory dan Poetic History dengan Narrative turn dan/atau


Linguistic Turn
Perkembangan filsafat selama abad ke-20 dicirikan, salahsatunya oleh
penekanannya terhadap aspek linguistik (Schroeder, 2005: 323). Istilah linguistic
turn (kembali ke linguistik/kembali ke kebudayaan) mempunyai karakteristik
utama memusatkan diri pda filsafat, dan akibatnya juga pada ilmu-ilmu sosial.
Para sejarawan, ahli-ahli sosiologi, ahli-ahli ilmu politik mengarahkan perhatian
mereka kepada masalah-masalah bahasa, identitas, simbol-simbol dan konstruksi-
konstruksi sosial dengan mulai meninggalkan penjelasan-penjelasan materi yang
menggunakan hitungan atau angka-angka (quantifable). Mereka melihat kajian
bahasa sebagai fondasi disiplin ilmu (Sjamsuddin, 2007: 339-340).
Dalam wacana sejarah, kekuatan bahasa ini secara khusus ditunjukkan oleh
hasil kajian “arti kiasan-kiasan retorik” dari Hayden White. Maka linguistic turn
dan kelanjutannya, narrative turn (kembali ke naratif) menjadi trend dalam
memahami sejarah. Dalam hal ini White melakukan pendekatan-pendekatan
linguistik dalam memahami sejarah. Oleh karena itu, muncul konsep Metahistory
dan Poetic History yang sangat memperhatikan aspek analisis linguistik dalam
sejarah.

3. Kaitan ideologi dengan perubahan sosial dalam historiografi postmodern


Proses perubahan sosial dalam masyarakat berlangsung sejalan dengan
perjalanan sejarah umat manusia, dari generasi ke generasi. Perubahan sosial
muncul karena lahirnya ide-ide baru, penemuan-penemuan baru, sebagai upaya
manusia untuk mengatasi hambatan-hambatan serta keinginan untuk
mempertahankan masa depannya.
Perubahan sosial merupakan segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan
dalam sutu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk sikap,
nili-nilai, pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok masyarakat (Iskandar,
2003: 349) termsuk didalamnya ideologi. Proes perkembangan masyarakat
sebagai suatu proses evolusi, seperti proses pertumbuhan yang bertambah
kompleks fungsi dan strukturnya berdiferensi, serta ketergantungan bagian yang
lainnya.
Salah satu tema pengaruh ideologi terhadap perubahan sosial kaum post
modernisme selain teoi kekuasaan adalah tentang disiplin tubuh (tema ini di
usung oleh slaha satu tokoh postmodernisme, Faucault). Ideologi tidak hanya
bermain dalam ranah konsep-konsep, perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran kita,
tetapi ideologi bekerja melalui tubuh kita –sebab kita memang bukan hidup dalam
tubuh tetapi sebagai tubuh (Marleau Ponty)-. Pendisiplinan tubuh dilakukan
melalui tubuh sebagai objek pengetahuan (psikologi, sosiologi,kedokteran),
ataupun oleh institusi-institusi sosial (sekolah, penjara, rumah sakit, bahkan tata
kota). Michael Foucault tertarik bagaimana pendisiplinan tubuh dalam dunia barat
bergeser dari drama tontonan (penyiksaan, pemenggalan dll) ke dalam institus-
institusi. Bahkan Michael Foucault menyebutkan konsep Panopticon yaitu
bagaimana subjek-subjek mengambil jarak mental bagi dirinya sendiri, sehingga
dia menjadi sipir bagi tubuhnya sendiri (Fakih, 2002:172-179).
Begitupun dalam historiografi postmodern. Konsep panopticon ini sangat
berpengaruh dalam bagaimana membaca sejarah. Sihingga dengn konsep ini
perubahan sosial sangat mungkin dan bahkan akan terjadi sejauh ideologi-
ideologi ini berperan.

4. Latihan
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang
telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak
jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat
candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka
akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses
pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah
terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian,
banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan
hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan telah
membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul
dan berkembang? Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-
asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu
ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal
(Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat
daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang
dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang
melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga
zaman kemerdekaan seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada
setiap fase tersebut.
Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada
prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan
kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-
kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten
dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif
untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama
kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan
Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan
saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu
Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama
juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali
konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain.
Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita
kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah
Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko
Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu
Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan
Ageng Tirtoyoso. Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai
terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah
posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi
dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap
manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi
embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi
jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikemudian
hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi
telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita.
Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah kolonial (terutama oleh
Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-
tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan
daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat
kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan
orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah
territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk
memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk
memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.
Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila,
dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu.
Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan
“Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah
menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si
penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak
oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkan
posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh para
penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan
hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan
menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya
seperti drakula penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi
bertahan hidup (Survival).
Ketiga, Fase Zaman Kemerdekaan. Fase perkembangan praktek korupsi di
zaman kemerdekaan seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa
Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh
penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang
tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut
tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan bahkan anggota-anggota
DPR/DPRD kita. Budaya seperti ini telah dimulai di era Orde lama Soekarno,
yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde
Baru Soeharto hingga Orde Reformasi saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan
yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi
praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah
menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan
hingga saat ini.

5. Manfaat dan mudarat pembelajaran sejarah di kelas perspektif


postmodernisme
Pada jawaban nomor 3, saya telah menjelaskan tentang konsep panopticon.
Dalam dunia pendidikan, konsep panopticon Foucault kita bisa lihat relevansinya.
Bagaimana murid atau siswa merasa diawasi dan berusaha mendisiplinkan diri,
walaupun sipir sekolah (guru, kepsek, mandor sekolah) tidak sedang
mengawasinya. Murid/siswa merasa ada “mata mistis” yang terus-menerus
mengawasi tingkah lakunya. Lalu kita bisa lihat arsitektural atau semiotika tata
lingkungan sekolah tidak ada bedanya dengan penjara, mereka dikelas-kelaskan
agar pengontrolan lebih mudah (karena menurut psikologi anak setiap umur
“kenakalannya” berbeda), militerisasi sekolah seperti apel pagi atau pulang,
upacara dan lain-lain, ini semua dalam rangka pengawasan dan pendisiplinan.
Dalam konteks ini, pembelajaran sejarah di kelas jelas sangat berpengaruh
terhadap bagaimana seorang siswa menjadi sipir dirinya sendiri untuk belajar
sejarah sehingga tujuan pembelajaran yang diharapkan tercapai.
DAFTAR PUSTAKA

Barker, Chris. 2003. Cultural Studies: Theory and Practice, Second Edition,
London: Sage Publications.
Fakih, Mansour. 2002. Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, Yogyakarta:
Pstaka Pelajar.
Iskandar, Jusman. 2003. Teori Sosial, Garut: PPs Universitas Garut.
Magnis-Suseno, Frans. 2005. Pijar-pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Schroeder, William R. 2005. Continental Philosophy: A Critical Approach,
Blackwell Publishing.
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Ombak.
Subekti, Slamet. 2006. Bagaimana Menyikapi Overproduksi Historiografi dalam
Era Postmodern: Pembelajaran dari Perspektif F.R. Ankersmit untuk
Proyeksi Diri Keindonesiaan, Makalah disampaikan pada Konferensi
Nasional Sejarah VIII di Jakarta 14-17 Nopember 2006.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius.
Wora, Emanuel. 2006. Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan
Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai