08/278050/PMU/5752
Abstrak
Tema ini merupakan salahsatu gagasan Naqvi dalam proyek besarnya
“Mengagas Ilmu Ekonomi Islam”, setelah konsep masyarakat muslim
diperkenalkan untuk melengkapi ilmu ekonomi Islami dengan suatu landasan
empiris, sehingga hipotesi-hipotesisnya suatu saat dapat diverifikasi. Kontribusi
penting dalam pembahasan ini terletak pada kepiawaian Naqvi dalam
mengintegrasikan etika Islami ke dalam instrumen kebijakan yang harus diambil
sehingga menjadi satu frame work yang independen dan konsisten.
Frame work yang dikembangkan dalam tema ini bersifat analitik-sistemik
yang berisi nilai-nilai etis Islam yang bisa digunakan sebagai dasar dalam
melakukan deduksi logis terhadap pedoman kebijakan ekonomi. Dalam tema ini
ada dua hal yang akan dibahas; Pertama, menentukan sasaran kebijakan
makroekonomi Islam; Kedua, membahas tentang taksonomi instrumen kebijakan
makroekonomi Islam.
Dengan tidak membedakan antara sasaran kebijakan yang ada dalam
ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam, Naqvi mengemukakan lima
sasaran kebijakan. Kebebasana manusia, keadilan distributif, pendidikan untuk
umum, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja secara optimal –
menurut Naqvi – adalah kebijakan kunci dalam ekonomi Islam. Sasaran-sasaran
itu diambil langsung dari aksioma etik dasar Islam dan hipotesis-hipotesis
tambahan yang dijelaskan pada bab sebelumnya.
Kemudian, sasaran-sasaran kebijakan di atas harus dibarengi dengan
instrumen-instrumen yang tepat, sehingga tujuan-tujuan ekonomi dalam
pemerataan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai. Ada beberapa instrumen yang
harus tersedia untuk mencapai sasaran tersebut, diantaranya mengoreksi struktur
kepemilikan (khususnya hak kepemilikan lahan), melembagakan sistem jaminan
sosial yang komprehensif, melembagakan kebijakan peningkatan pertumbuhan
ekonomi yang memadai serta menentukan lingkup dan bentuk intervensi negara.
1
Menentukan Sasaran Kebijakan
Menurut Naqvi, setidaknya ada lima sasaran kebijakan yang bisa ditarik
dari postulat-postulat etik dasar Islam, yaitu kebebasan individual, keadilan
distributif, pertumbuhan ekonomi, pendidikan universal (untuk umum) dan
peluang kerja maksimum.
Kebebasan individu – disamping bernilai suci – berkaitan erat dengan
pelaksanaan tanggungjawab sosial. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
berkaitan dengan hal ini; Pertama, sudut pandang Islam tentang kebebasan
berbeda dengan sudut pandang liberalisme (baca: barat). Islam memandang bahwa
kebebasan absolut hanya milik Tuhan, maka kebebasan manusia hanya bisa
bersifat relatif. Kedua, kuantitas dan kualitas kebebasan manusia, ditentukan oleh
interaksi antara kehendak bebas dan tanggungjawab, sehingga kebebasan tersebut
dimaksudkan untuk menghasilkan akibat sosial yang terbaik. Pandangan Islam
lebih dekat dengan tradisi yang menganggap sebuah masyarakat yang
berorientasikan kesejahteraan sosial yang merupakan akibat logis dari hak-hak
(politis) kewarganegaraan. Ketiga, batas-batas kebebasan berkaitan dengan upaya
menjaga keseimbangan, baik keseimbangan dalam pendapatan maupun
kepemilikan faktor produksi. Hal ini berkaitan erat dengan konsep keadilan
distributif.
Kondisi ekonomi yang bercirikan keadilan distributif didefinisikan
sebagai suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang tinggi, sesuai dengan
norma-norma fairness yang diterima secara universal. Hal ini secara jelas
menggambarkan antara etik dan ilmu ekonomi. Dengan demikian, keadaan sosial
yang benar (secara moral) adalah keadaan yang memperioritaskan kesejajaran
(qist).
Selain itu, masalah pendidikan juga tidak kalah pentingnya. Urgensitas
masalah pendidikan dalam pandangan Islam bisa dilihat dari fakta bahwa setelah
kata ‘Allah’, kata ‘pengetahuan’ (‘ilm) merupakan kata yang sering diulang-ulang
dalam al-Qur’an. Kebijakan pendidikan ini dipertegas kembali dengan pandangan
investasi kapital (sumber daya) manusia, bahwa pendidikan yang lebih tinggi bagi
kehidupan manusia bisa menjadikan mereka lebih produktif dan karenanya
Rizal Muttaqin
08/278050/PMU/5752
3
untuk memenuhi equasi-taksonomi.
Untuk mencapai hal di atas, instrumen-instrumen kebijakan yang cukup
harus tersedia bagi para pembuat kebijakan (decision maker) untuk memperbaiki
kesenjangan yang ada. Maka langkah-langkah yang harus diambil adalah
mengoreksi struktur kepemilikan (khususnya hak kepemilikan lahan),
melembagakan sistem jaminan sosial yang komprehensif, melembagakan
kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang memadai serta menentukan
lingkup dan bentuk intervensi negara.
Salahsatu kebijakan yang harus dilakukan adalah mengatasi ketidakadilan
yang berkaitan dengan struktur hak kepemilikan pribadi. Pertumbuhan ekonomi
tidak akan mampu mewujudkan keadilan jika ketimpangan yang lebar terjadi
dalam struktur dasar kepemilikan pribadi, khususnya kepemilikan lahan/tanah.
Kesenjangan demikian mutlak dilakukan oleh negara yang bertujuan khususnya
penghapusan terhadap sistem sosial.
Sistem jaminan sosial juga perlu diperhatikan. Ketika pertumbuhan
ekonomi tercapai kemudian tidak terjadi pemerataan, maka dalam kondisi
demikian sistem jaminan sosial yang teliti harus digunakan untuk mengurangi
kesulitan akibat pertumbuhan tersebut.
Terakhir, negara – dalam hal ini pemerintah – harus secara aktif
melengkapi – bukan menggantikan – kekuatan pasar untuk menjamin bahwa
inisiatif individu tidak jatuh ke dalam ketamakan pribadi atas perolehan-perolehan
yang tidak produktif.