Anda di halaman 1dari 18

9

BAB II KERANGKA TEORITIS

2.1. Deskripsi Teori 2.1.1. Pembelajaran Matematika Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 41 Tahun 2007, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Menurut Erman (2003: 7) pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberikan nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal. Pembelajaran adalah proses, cara, dan perbuatan mempelajari yang berpusat pada peserta didik dan guru mengorganisir lingkungan terjadinya pembelajaran (Agus, 2010: 13). Jadi,

pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan guru dimana proses tersebut berpusat pada peserta didik dan guru hanya sebagai fasilitator yang menyediakan fasilitas belajar bagi peserta didik sehingga tercipta suasana belajar yang optimal. Matematika diambil dari bahasa Yunani, mathematike, yang berarti relating to learning. Kata ini mempunyai akar kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu. Kata mathematike berhubungan sangat erat dengan sebuah kata lainnya yang serupa, yaitu mathenein yang mengandung arti belajar. James dan James (1976) dalam kamus matematikanya mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk susunan, besaran, dan konsep-konsep yang

10

berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, dan geometri (Erman, 2003: 15). Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran matematika adalah interaksi antara guru dengan peserta didik dalam belajar dan berpikir untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi dengan cara menggunakan informasi, pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, pengetahuan tentang menghitung, dan menggunakan hubungan-hubungan antar gagasan matematika yang bertujuan untuk mencapai hasil belajar matematika yang lebih optimal. Untuk mencapai pembelajaran matematika yang optimal diperlukan tujuan pembelajaran yang dapat mendasari pembelajaran matematika tersebut. Menurut Sri (2008: 2) Pada SI Mata Pelajaran Matematika untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah dinyatakan bahwa tujuan mata pelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep atau logaritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melaksanakan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematis. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan hasilnya. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, table, diagram, atau media lainnya untuk memperjelas keadaan atau masalah.

11

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. 2.1.2. Objek Belajar Matematika Objek menjadi perantara bagi siswa dalam menguasai kompetensi dasar (KD) yang dimuat dalam SI mata pelajaran matematika. Bells dalam Setiawan (2005) dalam Sri (2008: 9-10) menyatakan bahwa objek dalam pembelajaran matematika adalah: 1. Fakta adalah sebarang kemufakatan dalam matematika yang meliputi istilah (nama), notasi (lambang), dan kemufakatan (konversi). Contoh: kaitan kata lima dengan simbol 5, kaitan tanda = dengan kata sama dengan, kesepakatan pada garis bilangan yaitu sebelah kanan O adalah positif dan sebelah kiri O adalah negatif. 2. Konsep adalah ide yang dapat digunakan atau memungkinkan seseorang untuk mengelompokkan/menggolongkan sesuatu objek. Suatu konsep biasanya dibatasi dengan suatu ungkapan yang disebut definisi. 3. Prinsip adalah rangkaian konsep-konsep beserta hubungannya. Umumnya prinsip berupa pernyataan,misalnya dua dua segitiga ikatakan kongruen jika dua pasang sisinya sama panjang dan sudut yang diapit kedua sisi sama besar. 4. Skill atau ketrampilan dalam matematika adalah kemampuan pengerjaan (operasi) dan prosedur yang harus dikuasai oleh siswa

12

dengan kecepatan dan ketepatan tinggi, misalnya operasi hitung, operasi himpunan. 2.1.3. Kemampuan Koneksi Matematis Koneksi berasal dari kata connection dalam bahasa Inggris yang diartikan hubungan. Koneksi secara umum adalah suatu hubungan atau keterkaitan. Koneksi dalam kaitannya dengan matematika yang disebut dengan koneksi matematika dapat diartikan sebagai keterkaitan secara internal dan eksternal. Keterkaitan secara internal adalah keterkaitan antara konsep-konsep matematika yaitu berhubungan dengan matematika itu sendiri dan keterkaitan secara eksternal, yaitu keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (Utari, 2010: 6). Koneksi matematika (mathematical connection) merupakan salah satu dari lima kemampuan standar yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika yang ditetapkan dalam NCTM (2000: 29) yaitu: kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan penalaran (reasoning), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan membuat koneksi (connection), dan kemampuan

representasi (representation). Koneksi matematika juga merupakan salah satu dari lima keterampilan yang dikembangkan dalam pembelajaran matematika di Amerika pada tahun 1989. Lima keterampilan itu adalah sebagai berikut: Communication (Komunikasi matematika), Reasoning (Berfikir secara matematika), Connection

13

(Koneksi matematika), Problem Solving (Pemecahan masalah), Understanding (Pemahaman matematika), sehingga dapat disimpulkan bahwa koneksi matematika merupakan salah satu komponen dari kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh siswa dalam belajar matematika. Untuk mempelajari suatu materi matematika yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang itu akan mempengaruhi terjadinya proses belajar materi matematika tersebut (Herman, 1988: 4). Apabila para siswa dapat menghubungkan gagasan-gagasan matematis, maka pemahaman mereka akan lebih mendalam dan lebih bertahan lama. Pemahaman siswa akan lebih mendalam jika siswa dapat mengaitkan antar konsep yang telah diketahui siswa dengan konsep baru yang akan dipelajari oleh siswa. Seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang tersebut. Menurut Utari (2010: 6) Kegiatan yang tergolong pada koneksi matematik di antaranya adalah: a. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur b. Memahami hubungan antar topik matematika c. Menerapan matematika dalam bidang lain d. Memahami representasi ekuivalen suatu konsep e. Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen f. Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar matematika

14

Kemampuan koneksi matematis ini dapat tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat tinggi atau tingkat rendah, tergantung pada kekompleksan hubungan yang disajikan (Utari, 2010: 6). Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis,

terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Ibarat membangun sebuah gedung bertingkat, lantai kedua dan selanjutnya tidak akan terwujud apabila fondasi dan lantai sebelumnya yang menjadi prasyarat benarbenar dikuasai, agar dapat memahami konsep-konsep selanjutnya (Erman, 2003: 22). Kemampuan siswa dalam mengkoneksikan keterkaitan antar topik matematika dan dalam mengkoneksikan antara dunia nyata dan matematika dinilai sangat penting, karena keterkaitan itu dapat membantu siswa memahami topik-topik yang ada dalam matematika. Siswa dapat menuangkan masalah dalam kehidupan sehari-hari ke

model matematika, hal ini dapat membantu siswa mengetahui kegunaan dari matematika. Maka dari itu, efek yang dapat ditimbulkan dari peningkatan kemampuan koneksi matematika adalah siswa dapat mengetahui koneksi antar ide-ide matematika dan siswa dapat mengetahui kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari,

15

sehingga dua hal tersebut dapat memotivasi siswa untuk terus belajar matematika. 2.1.4. Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antar materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan (Agus, 2010: 79). Elaine B. Johnson dalam Rusman (2011: 187) mengatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem yang merangsang otak untuk menghasilkan makna dengan mengaitkan setiap materi dengan kehidupan nyata. Menurut Wina (2006: 255), Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi yang menekankan proses keterlibatan siswa secara penuh agar dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga dapat mendorong siswa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam CTL, belajar tidak hanya mendengarkan dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman secara langsung sehingga diharap siswa mengalami perkembangan secara utuh tidak hanya aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor (Wina, 2006: 255).

16

Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung untuk beraktivitas dalam menemukan dan mempelajari konsep dari materi yang akan dipelajari sehingga mendorong siswa untuk dapat mengaitkan dan menerapkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya dengan kehidupannya sehari-hari. Siswa tidak hanya menerima pengetahuan dari guru tetapi siswalah yang beraktivitas mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran tersebut dan kemudian mengaitkan materi yang ditemukan tersebut dengan kehidupan nyata sehingga materi tersebut lebih tersimpan dalam memori siswa dan tidak mudah dilupakan. Menurut Agus (2010: 80-81), prinsip pembelajaran kontekstual terbagi atas tiga macam yaitu saling ketergantungan, diferensiasi, dan pengaturan diri. Prinsip saling ketergantungan merumuskan bahwa kehidupan ini adalah suatu sistem. Maksudnya adalah lingkungan belajar merupakan sistem yang mengintegrasikan berbagai komponen pembelajaran yang saling mempengaruhi secara fungsional.

Berdasarkan prinsip ini, dalam belajar memungkinkan peserta didik membuat hubungan yang bermakna yang karena peserta didik

mengidentifikasi

hubungan

menghasilkan

pemahaman-

pemahaman baru. Prinsip diferensiasi merujuk pada entitas-entitas yang beraneka ragam dari realitas kehidupan di sekitar peserta didik sehingga mendorong pserta didik berpikir kritis untuk menemukan hubungan di antara entitas-entitas yang beraneka ragam itu. Prinsip pengaturan diri

17

mendorong pentingnya peserta didik mengeluarkan seluruh potensi yang dimilikinya. Berdasarkan Development dalam Center Agus for (2010: Occupational 83-85), Research and

penerapan

strategi

pembelajaran kontekstual digambarkan sebagai berikut. 1. Relating, belajar dikaitkan dengan konteks pengalaman kehidupan nyata. 2. Experiencing, belajar adalah kegiatan mengalami peserta didik berproses secara aktif dengan hal yang dipelajari dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap hal yang dikaji, berusaha

menemukan, dan menciptakan hal yang beru dari yang sudah dipelajarinya. 3. Applying, belajar menekankan pada proses mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki dalam konteks dan pemanfaatannya. 4. Cooperating, belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui belajar berkelompok, komunikasi interpersonal, atau hubungan intersubjektif. 5. Transferring, belajar menekankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan pengetahuan dalam situasi atau konteks baru. Menurut Zahorik dalam Agus (2010: 84-85), urutan

pembelajaran kontekstual adalah activating knowledge, acquiring knowledge, understanding knowledge, applying knowledge, dan reflecting knowledge. Pembelajaran kontekstual diawali dengan

18

pengaktifan pengetahuan yang sudah ada atau telah dimiliki peserta didik. Selanjutnya, perolehan pengetahuan baru dengan cara

mempelajari secara keseluruhan dahulu, kemudian memperhatikan detailnya. Selanjutnya integrasi pengetahuan baru ke dalam

pengetahuan yang sudah ada dan penyesuaian pengetahuan awal terhadap pengetahuan baru. Dengan cara merumuskan konsep sementara, melakukan sharing, dan perevisian serta pengembangan konsep, integrasi, dan akomodasi menghasilkan pemahaman baru. Selanjutnya, mempraktikkan pengetahuan yang telah dipahami dalam berbagai konteks dan melakukan refleksi terhadap strategi

pengembangan selanjutnya terhadap pengetahuan tersebut. Menurut Agus (2010: 85-88) ada 7 komponen pembelajaran kontekstual yaitu: a. Kontrukstivisme Belajar berdasarkan kontrukstivisme adalah mengkonstruksi

pengetahuan. Pengetahuan dibangun melalui proses asimilasi dan akomodasi (pengintegrasian pengetahuan baru terhadap struktur kognitif yang sudah ada dan penyesuaian struktur kognitif dalam informasi baru) maupun dialektika berpikir thesa-antithesa-sinthesa. Belajar berbasis konstruktivisme menekankan pemahaman pada pola dari pengetahuan. b. Inkuiri

19

Belajar penemuan menunjuk pada proses dan hasil belajar. Belajar penemuan melibatkan peserta didik dalam keseluruhan proses metode keilmuan sebagai langkah-langkah sistemik menemukan pengetahuan baru atau memverifikasi pengetahuan lama. c. Bertanya (questioning) Pembelajaran kontekstual dibangun melalui dialog interaktif melalui tanya jawab oleh keseluruhan unsur yang terlibat dalam komunitas belajar. Kegiatan bertanya penting untuk menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. Bertanya sangat penting untuk melakukan elaborasi yaitu proses penambahan rincian, sehingga informasi baru akan menjadi lebih bermakna. Melalui berbagai pertanyaan, peserta didik dapat melakukan probing, sehingga informasi yang diperolehnya lebih mendalam. d. Masyarakat belajar (learning community) Pembelajaran kontekstual menekankan arti penting pembelajaran sebagai proses sosial. Melalui interksi dalam komunitas belajar, proses dan hasil belajar menjadi lebih bermakna. Dalam praktiknya, masyarakat belajar terwujud dalam pembentukan kelompok kecil, kelompok besar, mendatangkan ahli ke kelas, bekerja sama dengan kelas paralel, bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, bekerja sama dengan masyarakat. e. Pemodelan (modeling)

20

Pembelajaran

kontekstual

menekankan

arti

penting

pendemonstrasian terhadap hal yang dipelajari peserta didik. Pemodelan memusatkan pada arti penting pengetahuan prosedural. Melaui pemodelan, peserta didik dapat meniru terhadap hal yang dimodelkan. f. Refleksi Refleksi merupakan upaya untuk melihat kembali, mengorganisir kembali, menganalisis kembali, menklarifikasi kembali, dan mengevaluasi hal-hal yang telah dipelajari. g. Penilaian autentik Penilaian autentik adalah upaya pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik. Data yang dikumpulkan adalah dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat pembelajaran 2.1.5. Perbandingan Pembelajaran Kontekstual dengan Pembelajaran Konvensional Menurut Wina (2006: 260-261), perbedaan pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional dilihat dari konteks tertentu adalah sebagai berikut. a. CTL menempatkan siswa sebagai subjek belajar, sedangkan pembalajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai penerima informasi secara pasif. Berarti dalam pembelajaran kontekstual, siswa berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara

21

menemukan dan menggali sendiri materi pelajaran, sedangkan pembelajaran konvensional, siswa hanya menerima informasi dari guru tanpa ada konstruksi pengetahuan. b. Dalam pembelajaran CTL, siswa belajar melalui kegiatan kelompok seperti kerja kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi, sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa lebih banyak belajar secara individual dengan menerima, mendengar, mencatat, dan menghafal materi pelajaran c. Dalam CTL, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil, sedangkan dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran bersifat teoritis dan abstrak d. Dalam CTL, kemampuan didasarkan pada pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran konvensional, kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan. e. Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri, sedangkan dalam pembelajaran konvesional, tujuan akhir adalah nilai atau angka. f. Dalam CTL, tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, sedangkan dalam pembelajaran konvensional, tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya. g. Dalam CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan pengalaman yang dialaminya sehingga setiap siswa bisa terjadi perbedaan dalam memaknai hakikat

22

pengetahuan yang dimilikinya, sedangkan dalam pembelajaran konvensional hal ini tidak mungkin terjadi karena pengetahuan dikonstruk oleh guru atau orang lain, bukan siswa itu sendiri sehingga kebanaran ilmu yang dimiliki bersifat absolut. h. Dalam pembelajaran CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masingmasing, sedangkan dalam pembelajaran konvensional, guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran. i. Dalam pembelajaran CTL, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan, sedangkan dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran hany terjadi di dalam kelas. j. Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran diukur dengan beberapa cara, misalnya dengan evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara, dan sebagainya, sedangkan dalam pembelajaran konvensional, keberhasilan

pembelajaran biasanya hanya diukur dari tes. Dari beberapa perbandingan di atas, terlihat bahwa

pembelajaran kontekstual akan menghasilkan pembelajaran yang lebih bermakna dan memiliki karakteristik tersendiri daripada pembelajaran konvensional.

23

2.1.6. Hasil Belajar Menurut Agus (2010: 5), hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Hasil belajar merupakan perubahan perilaku secara keseluruhan, bukan hanya dilihat dari salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Gagne dalam Agus (2010: 5-6) menyatakan bahwa hasil belajar tersebut berupa: 1. Informasi verbal, yaitu kemampuan mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. 2. Kemahiran intelektual, yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Winkel (1996: 100-102) menyatakan bahwa

kemahiran intelektual terdiri atas empat subkemampuan yang diurutkan secara hierarkis yaitu: a) Diskriminasi jamak yaitu kemampuan membuat respon yang berbeda terhadap rangsangan yang berbeda-beda sehingga kita dapat membedakan antara objek yang satu dengan objek yang lain. b) Konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama sehingga kita mampu

mengklasifikasikan objek tersebut pada golongan tertentu. Konsep dibedakan atas dua macam yaitu: 1) Konsep konkret yaitu pengertian yang menunjuk pada objekobjek dalam lingkungan fisik. Konsep ini mewakili golongan

24

benda-benda tertentu, sifat-sifat tertentu, relasi tempat diantara benda-benda, dan sebagainnya. 2) Konsep yang didefenisikan adalah konsep yang mewakili realitas hidup tetapi tidak langsung menunjuk pada realitas dalam lingkungan fisik karena realitas itu tak berbadan. c) Kaidah (Rule) Bila dua konsep atau lebih dihubungkan satu sama lain, terbentuk suatu ketentuan yang mempresentasikan suatu keteraturan yang disebut kaidah. d) Prinsip Dalam prinsip telah terjadi kombinasi beberapa kaidah, sehingga terbentuk suatu kaidah yang bertaraf lebih tinggi dan lebih kompleks. Berdasarkan prinsip yang dipegang, kita mampu memecahkan suatu problem dan menerapkan prinsip itu dalam problen yang sejenis. 3. Strategi kognitif, yaitu kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah. 4. Keterampilan motorik, yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urutan tertentu dengan mengadakan koordinasi antar gerak berbagai anggota badan, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani yaitu gerak yang berlangsung secara teratur dan berjalan dengan lancar.

25

5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku. 2.2. Penelitian Yang Relevan Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh: Diane Amor Kusuma dalam skipsinya yang berjudul Meningkat Kemampuan Koneksi Matematika dengan Menggunakan Pendekatan Konstruktivisme. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan koneksi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan

pendekatan konstruktivisme lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya secara konvensional (ekspositori). Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme dapat membuat siswa lebih aktif, kreatif, dan kritis dalam kegiatan pembelajaran, serta pemahaman siswa terhadap suatu konsep pun lebih mendalam karena siswa belajar dengan cara membangun (mengkonstruk) sendiri pengetahuannya. Oneng Hasanah dalam skripsinya yang berjudul Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Pada Konsep Pencemaran Lingkungan Dalam Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Smpn Lemahabang Karawang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa menanggapi dengan baik terhadap kegiatan pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa.

26

2.3. Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka yang telah dikemukakan di atas, maka disusun hipotesis sebagai berikut: Pembelajaran matematika melalui model pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan kemampuan koneksi

matematika siswa. 2.4. Pertanyaan Penelitian Bagaimana kemampuan koneksi matematis siswa setelah dilakukan pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran matematika dalam hal: 2.5.1. Memahami hubungan antar topik matematika 2.5.2. Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehari-hari 2.5.3. Menerapkan hubungan antartopik matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar matematika

Anda mungkin juga menyukai