Anda di halaman 1dari 3

Mengakhiri Derita Papua

Oleh Thomas Koten


Kekerasan yang terus terjadi di Tanah Papua, semakin menguatkan stigma bahwa pulau di timur Indonesia itu penuh kontradiksi. Wajah alam pegunungan dan lembah yang asri dan damai, dengan sumber daya alamnya yang melimpah, tetapi juga sebagai provinsi dengan penduduk sangat miskin dan terkebelakang dan penuh kekerasan. Penduduk aslinya saja tercatat lebih dari 265 suku, dengan jumlah penduduk baru sekitar 1,7 juta lebih, tetapi lebih dari separohnya adalah masyarakat pendatang dari berbagai suku di Tanah Air. Memang benar, bahwa Papua adalah suatu daerah dengan sumber daya alam yang sangat kaya, dengan pengelolaan dan pemanfaatannya yang belum seberapa. Yang paling sering disoroti media massa adalah tambang tembaga PT Freeport Indonesia anak perusahaan Amerika, Freeport McMoRan Copper and Gold. Perusahaan asing lain yang mulai menggarap penambangan gas di bagian selatan daerah kepala burung adalah perusahaan Beyond Petroleum. Juga ada PT Pertamina di Sorong dan sejumlah perusahaan kayu pemilik HPH. Keserakahan perusahaan-perusahaan tersebut dalam menguras sumber daya alam di Tanah Papua itulah yang menjadi sumber konflik yang terus terjadi, tanpa diketahui sampai kapan dapat berakhir. Konflik itulah yang seolah melenyapkan daya tarik Papua yang serba eksotisitas alam dan masyarakatnya, lantaran di timur Indonesia itulah perpaduan yang menarik antara budaya dan peradaban modern dengan budaya dan peradaban zaman batu. Masalah dasar Papua Bagaimana kita mengelaborasi persoalan Papua dalam pertaliannya dengan kekerasan yang terjadi? Untuk mengelaborasinya, harus lebih dulu ditinjau perihal kekerasan itu dari berbagai perspektif, dimensi, konteks dan sejarahnya. Pertama, kekerasan itu dilihat dalam konteks sejarah masa lalu yang keras dan destruktif. Bahwa kekerasan itu tidak terlepas dari sejarah kekerasan di masa lalu di mana Papua dijadikan sebagai daerah operasi militer (DOM) yang tentu saja melanggar HAM dan sangat melukai hati rakyat Papua. Dengan demikian, hingga kini Papua selalu merasa diri diperlakukan diskriminatif dan militeristik. Perilaku dan penilaian itulah yang diteruskan hingga sekarang. Kedua, tingginya arus imigrasi yang tentu saja kian menambah tingginya populasi masyarakat non Papua. Pada mulanya, arus imigrasi dilihat sebagai sesuatu yang biasa saja dan tidak merugikan penduduk asli Papua, lantaran Papua memiliki luas geografis yang tak tertandingi oleh luas geografis daerah lain di Indonesia, dengan jumlah penduduk asli Papua yang belum seberapa. Tetapi, lama kelamaan masyarakat Papua melihat itu sebagai sebuah tantangan alias masalah baru bak monster, yang jika tidak dikendalikan, akan merugikan masyarakat asli Papua, di mana akan semakin meminggirkan eksistensi masyarakat asli Papua. Ketiga, arus deras investasi ke Tanah Papua. Masyarakat Papua yang terdidik semakin sadar bahwa dari program investasi itu, masyarakat Papua sungguh dirugikan lantaran setiap hari yang dipertontonkan adalah ketidakadilan ekonomi. Bahwa, yang menikmati hasil bumi Papua bukan masyarakat Papua, tatapi orang-orang Jakarta dan negara asing. Papua merasa diri hanya

mendapatkan uang recehan sambil terus menyaksikan tanah ulayatnya digerogoti tanpa batas oleh pihak asing, dan kepada mereka hanya ditinggalkan sampah-sampah berupa bebatuan, racun limbah berbahaya, dan lubang menganga lebar yang tidak bisa digunakan lagi. Keempat, hancurnya adat istiadat dan tradisi budaya luhur yang sangat dijunjung tinggi oleh penduduk asli. Kehadiran perusahaan asing dan ditambah lagi dengan tingginya arus imigrasi kian menambah derasnya arus budaya teknologi komunikasi dan informasi. Itu yang kemudian mulai dilihat sebagai suatu ancaman serius terhadap keberadaan adat-istiadat Papua. Perilaku dan gaya hidup masyarakat Papua, terutama di perkotaan semakin terpengaruh oleh budaya asing-Barat yang kian deras masuknya. Perilaku dan gaya hidup mereka pun semakin jauh dari adat istiadat Papua. Oleh karena adat istiadat, seperti kata filsuf William James, sebagai roda masyarakat, yang menggerakkan dan memperdayakan masyarakat, maka tatkala adat istiadat terganggu, perilaku masyarakat pun terganggu. Ketika perilaku dan gaya hidup masyarakat sudah berubah, maka seperti yang kita lihat saat ini, masyarakat Papua yang tadinya ramah, santun, dan tenang, berubah menjadi beringas dan kasar alias senang demonstrasi dan menyebar terror. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi atau keadaan alamnya yang terus dikuras, bukan lagi dicari pemecahan dengan cara damai, tetapi dengan mudah menempuh jalan kekerasan. Separatis bukan masalah utama Dengan melihat paparan di atas, maka persoalan kekerasan yang terus terjadi di Papua, bukan lagi terutama oleh ulah kaum separatis. Meskipun sejumlah aksi kekerasan itu memang disebabkan pula oleh ulah para separatis. Tetapi, itu merupakan salah satu akibat yang dipicu oleh berbagai persoalan di atas. Karena itu, jika ingin melenyapkan aksi separatisme, sekaligus hendak mengakhiri derita Papua, maka persoalan-persoalan di atas harus lebih dulu dipecahkan. Misalnya, tata aturan hukum dan perundang-undangan yang menyangkut investasi di bidang pertambangan harus ditinjau ulang. Trauma masyarakat terhadap militerisme harus dipulihkan dengan tidak terus-menerus melakukan pendekatan terhadap persoalan masyarakat dengan cara kekerasan. Stigma separatisme jangan terus dipertahankan hanya sebagai pembenaran untuk mempertahankan pendekatan sekuriti di Papua. Sekuriti terbukti tidak menyelesaikan masalah, justru semakin mendorong lahirnya kekerasan dan kian menambah trauma masyarakat Papua. Mengenai pelestarian budaya harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah daerah. Ingat bahwa adat istiadat Papua menyatu dengan alam semesta di sekelilingnya. Jadi, tatkala alamnya dirusak, masyarakat juga merasa harga diri dan martabatnya dirusak serta eksistensinya dinodai. Ini sebenarnya sudah lama juga disuarakan oleh para pemerhati budaya lokal, yang belum mendapat perhatian serius dari pihak-pihak yang berkepentingan. Artinya, bukan tidak mungkin derita Papua terus berlanjut, bahkan semakin memprihatinkan jika persoalan-persoalan di atas tidak ditangani dengan cara-cara solutif. Dialog memang merupakan jalan yang tepat, tetapi dialog yang sehebat apa pun tidak akan samapai mengakhiri derita rakyat Papua, jika deretan persoalan itu tidak ditangani secara serius oleh pihakpihak yang berkepentingan. Penulis, Direktur Social Development Center

Anda mungkin juga menyukai