Anda di halaman 1dari 39

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA TERHADAP TINGGINYA PREVALENSI KUSTA DI DESA MOJOMULYO KECAMATAN PUGER

JEMBER

PENELITIAN

Oleh Bunge Dian Mentari, S. Ked Tofan Margaret Dwi Saputra, S. Ked Ratih Justitia Kartika, S.Ked Diniusi Septiari, S. Ked Defyna Dwi Lestari, S. Ked Noverio Haris Setyawan, S. Ked Rika Ainun Tikha, S. Ked Rizka Arifani, S.Ked Wilis Nurkumala, S. Ked Ida Bagus Margayuso, S. Ked 032011101027 062011101060 072011101001 072011101022 072011101018 072011101020 072011101048 072011101050 072011101056 072011101062

SMF. ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PUSKESMAS PUGER - FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

2011

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA TERHADAP TINGGINYA PREVALENSI KUSTA DI DESA MOJOMULYO KECAMATAN PUGER JEMBER

PENELITIAN diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Oleh Bunge Dian Mentari, S. Ked Tofan Margaret Dwi Saputra, S. Ked Ratih Justitia Kartika, S.Ked Diniusi Septiari, S. Ked Defyna Dwi Lestari, S. Ked Noverio Haris Setyawan, S. Ked Rika Ainun Tikha, S. Ked Rizka Arifani, S.Ked Wilis Nurkumala, S. Ked Ida Bagus Margayuso, S. Ked 032011101027 062011101060 072011101001 072011101022 072011101018 072011101020 072011101048 072011101050 072011101056 072011101062

SMF. ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PUSKESMAS PUGER - FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

ii

2011

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI BAB 1. PENDAHULUAN
1.1

i ii iii 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 4 4 4 5 7 7 7 8 9 9 11 12 14 14


iii

1.2

1.3

1.4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengetahuan 2.1.1 Definisi 2.1.2 Tingkat Pengetahuan 2.2 Kusta
2.2.1 Definisi 2.2.2 Epidemiologi 2.2.3 Gejala Klinis 2.2.4 Patogenesis 2.2.5 Klasifikasi 2.2.6 Pemeriksaan 2.2.7 Pengobatan

2.1.3 Macam - Macam Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan 5

BAB 3. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian

3.2 Populasi dan Sampel 3.3 Variabel Penelitian 3.3.1 Variabel Bebas 3.3.1 Variabel Terikat 3.4 Definisi Variabel 3.4.1 Pengetahuan tentang Kusta 3.4.2 Prevalensi Kusta 3.5 Tempat dan Waktu Penelitian 3.6 Teknik Pengumpulan Data 3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.7.1 Kriteria Inklusi 3.7.2 Kriteria Eksklusi 3.7 Teknis Analisis Data BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Karakteristik Responden 4.1.2 Tingkat Pengetahuan Responden 4.1.3 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan Prevalensi Kusta Prevalensi Kusta 4.2 Pembahasan 4.2.1 Karakteristik Responden 4.2.2 Tingkat Pengetahuan Responden 4.2.3 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan Prevalensi Kusta Prevalensi Kusta BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran
iv

14 14 14 14 15 15 15 16 16 16 16 16 16 17 17 17 19 20 22 23 23 26 26 28 31 31 31

4.1.4 Derajad Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan

4.2.4 Derajad Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Kusta dengan

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

32 33

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang sifatnya kronis dapat menimbulkan berbagai masalah yang kompleks. Masalah yang dimaksud tidak hanya secara medis namun juga meluas sebagai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan kesehatan nasional. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh masyarakat. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf tepi yang ireversibel diwajah dan anggota gerak, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah mati rasa disertai kelumpuhan dan mengecilnya otot (Djuanda, 2008). Berdasarkan data WHO pada akhir tahun 2007 jumlah penderita kusta berjumlah 224.717 kasus, sementara pada tahun 2006 berjumlah 259.017 kasus di dunia. Selama kurang dari lima tahun terakhir, jumlah kasus yang terdeteksi diseluruh dunia terus mengalami penurunan tapi tidak untuk Indonesia. Pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ketiga penyumbang penderita kusta di dunia dengan jumlah 17.723 orang, sementara peringkat satu yakni India sebanyak 137.685 orang dan diikuti Brazil sebagai peringkat kedua dengan jumlah 39.125 orang (Anonim, 2009). Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Secara nasional, Indonesia telah mencapai angka eliminasi kusta pada tahun 2000 yang lalu, namun masih ada 12 provinsi yang memiliki angka morbiditasnya diatas 1 per 10.000 penduduk. Dari 12 provinsi tersebut terdapat beberapa daerah yang memiliki angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi

Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, NAD, Jakarta, Nusa Tenggara Timur dan Riau (Depkes RI, 2005). Sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 kasus penyakit kusta di Indonesia mengalami penurunan yang berarti dimana pada tahun 2000 angka morbiditas penyakit kusta sebesar 7,6 per 10.000 penduduk, turun menjadi 5,9 per 10.000 penduduk pada tahun 2001. Kemudian pada tahun 2002 mengalami penurunan menjadi 2,2 per 10.000 penduduk dan hingga tahun 2003 angka morbiditas penyakit kusta hanya sebesar 1,3 per 10.000 penduduk dan menjadi 0,9 per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2005). Di Indonesia pengobatan dan perawatan penyakit kusta secara terintegrasi dengan unit pelayanan kesehatan Puskesmas. Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sejak tahun 1992 yaitu pengobatan dengan kombinasi MDT (multi drug therapy) secara teratur sampai selesai sesuai dengan dosis dan waktu yang ditentukan untuk semua penderita kusta tetapi tanpa melibatkan keluarga dengan maksimum (Depkes RI, 2002). Berdasarkan data di atas, provinsi Jawa Timur menduduki peringkat ke-6 se-Indonesia. Hal ini menunjukkan prevalensi penderita kusta di provinsi Jawa Timur cukup tinggi. Untuk Kabupaten Jember prevalensi penderita kusta tertinggi ke-4 se Jawa Timur. Kecamatan Puger terutama Desa Mojomulyo merupakan salah satu daerah yang ikut menyumbangkan angka prevalensi kusta yang cukup tinggi. Minimnya informasi yang benar tentang penyakit kusta membuat persepsi salah pada masyarakat sehingga kerap menganggap penyakit kusta sebagai penyakit kutukan, penyakit keturunan, akibat guna-guna, salah makan, hingga penyakit sangat menular dan tidak dapat disembuhkan. Pamahaman keliru melahirkan tindakan keliru oleh masyarakat. Penderita kusta semakin malang. Ketakutan masyarakat tertular, membuat mereka tega mengusir penderita kusta. Bahkan, yang sudah sembuh dan tidak menular kesulitan untuk memulai hidupnya lagi (Anonim, 2009). Dari uraian di atas, peneliti ingin mencari hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta terhadap tingginya prevalensi penyakit kusta di Desa Mojomulyo, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember. 1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta terhadap tingginya prevalensi penyakit kusta di Desa Mojomulyo, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember. 1.3 Tujuan Mengetahui hubungan antar tingkat pengetahuan tentang penyakit kusta terhadap tingginya prevalensi penyakit kusta di Desa Mojomulyo, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember. 1.4 Manfaat 1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Jember dalam menyusun perencanaan program pemberantasan penyakit kusta selanjutnya. 2. Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan dalam promosi kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit kusta dan proses penyembuhannya. 3. Sebagai proses belajar bagi penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Universitas Jember. 4. Sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk penelitian selanjutnya.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan 2.1.1 Definisi Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa ,dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo,1993). Pengetahuan terhadap kesehatan adalah pengertian dan pola pikir yang dimiliki oleh seseorang terhadap kesehatan yang diwujudkan dalam perilaku yang berhubungan dengan kesehatan. Pengertian dan Pola pikir seseorang terhadap kesehatan dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut tentang kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan dapat diperoleh secara formal maupun non formal. Secara formal, pengetahuan kesehatan dapat diperoleh dari pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan dll. Sedangkan pengetahuan tentang kesehatan secara non formal melalui media massa, media cetak, media elektronik. Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas terhadap kesehatan maka akan dapat memahami nilai kesehatan itu sendiri yang nantinya dapat diwujudkan dalam perilaku yang selalu menjaga kesehatan pribadi maupun lingkungan. Mayoritas masyarakat pedesaan kurang mendapat informasi tentang kesehatan sehingga dalam menjaga kesehatannya masih menganut nilai-nilai tradisional yang belum tentu benar. dapat diperoleh

2.1.2 Tingkat Pengetahuan Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan yaitu (notoatmodjo,2003): 1. Tahu adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari semuanya. 2. Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui. 3. Aplikasi adalah suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada kondisi sebenarnya. 4. Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi ke dalam komponen-komponennya. 5. Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menghubungkan bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan. 6. Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap objek. 2.1.3 Macam- Macam Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan a. Pendidikan Pendidikan adalah segala sesuatu yang dilakukan secara sadar dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik. Notoatmodjo (2003), berpendapat bahwa pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk mepengaruhi orang lain baik individu, kelompok, maupun masyarakat, sehigga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 1989 pasal 2, jenjang pendidikan adalah suatu tahap dalam pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran. dan jenjang pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. di Indonesia terdapat 3 bentuk pendidikan dalam sistesm pendidikan yaitu:

1)

Pendidikan formal

Pendidikan yang diadakan di sekolah / tempat tertentu secara sistematis, mempunyai jenjang dan dalam kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, berdasarkan aturan resmi yang telah ditetapkan. Dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidikan formal dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu pendidikan dasar diperuntukan bagi warga negara yang berumur 7 tahun, pendidikan menengah dibedakan atas pendidikan menengah pertama dan menengah atas, sedangkan perguruan tinggi dengan lama belajar 3-5 tahun bagi penduduk yang berusia diatas 19 tahun.
2) Pendidikan non formal

Pendidikan yang diadakan dengan sengaja, tertib, dan berencana, diluar kegiatan persekolahan. Menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 079/01975 tanggal 17 April, bidang pendidikan non formal meliputi: pendidikan masyarakat, keolahragaan, dan pembinaan generasi muda.
3) Pendidikan informal

Pendidikan yang diadakan oleh siapa saja, dimana saja dan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendidikan ini terutama berlangsung di lingkungan keluarga, tetapi dapat juga berlangsung di lingkungan sekitar setiap hari tanpa ada batas waktu. b. Pengalaman Pengalaman adalah segala sesuatu yang pernah dialami oleh masyarakat dalam kehidupan, baik hal yang menyenangkan maupun menyedihkan. Pengalaman diperoleh baik secara sadar maupun tidak sadar yang dimulai sejak lahir sampai manusia tersebut meninggal. Pengalaman yang diperoleh akan menambah pengetahuan seseorang yang nantinya akan mempengaruhi tingkah laku.

2.2 Penyakit Kusta 2.2.1 Definisi Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Kosasih,2003). Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang intraselular obligat (Kosasih, 2003). 2.2.2 Epidemiologi Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang telah terkena penyakit tersebut. Masukknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina (Kosasih,2003). Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan kemungkinan-kemungkinan adanya Reservoir diluar manusia. (Sri Linuwih, 2003). Frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Faktor sosial ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah sosial ekonominya makin subur penyakit kusta. Sebaliknya, faktor sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Ada variasi reaksi terhadap infeksi Mycobacterium Leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di berbagai suku bangsa, rupanya disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda (Hiswani,2000). Kusta terdapat dimana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah trpopis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT,

2000). Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar Negara Wilayah yang endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di 55 Negara atau Wilayah, 91% dari jumlah kasus berbeda di 16 Negara, dan 82%-nya di 5 Negara (Brazil, India, Indonesia, Myanmar dan Nigeria). Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1.57 (EKT,2000). Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : 1. Usia 2. Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa 3. Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti 4. Ras 5. Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti 6. Kesadaran social 7. Umumnya negara-negara endemis kusta adalah Negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah. 2.2.3 Gejala klinis a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia b. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama- kelamaan semakin melebar dan banyak c. Adanya pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus d. Adanya bintil-bintil kemerahan (Leproma, Nodul) yang tersebar pada kulit e. Alis rambut rontok f. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut Facies Leomina (muka singa) (Zulkipli,2002).

2.2.4 Patogenesis Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi, dan iklim (Arif mansjoer,2000). Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat (Arif mansjoer, 2000). Bila seseorang terinfeksi Mycobacterium Leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% interminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh (Arif mansjoer,2000). Setelah Mycobacterium Leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas di lampaui tergantung pada system imunitas selular (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang ke arah Tuberkuloid dan bila rendah berkembang kearah Lepromatosa (Arif mansjoer, 2000). 2.2.5 Klasifikasi Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum Determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu: TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil T I : Tuberkuloid Indefinite BT : Borderlines Tuberculoid BB: Mid Borderline BL : Borderline Lepramatous L I : Lepromatosa Indefinite LL: Lepramatosa polar, bentuk yang stabil.

Tabel 2.1 Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasinya Klasifikasi Zona spektrum Kusta

10

Ridley dan Jopling Madrid WHO Puskesmas Sumber : Kokasih, 2003

TT

BT

BB Borderline

BL

LL

Tuberkuloid Pausi Basiler (PB) Pausi Basiler (PB)

Lepromatosa Multi Basiler (MB) Multi Basiler (MB)

Tipe I (Indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe Tuberkuloid Polar, yakni Tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil jadi berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe Lepromatosa Polar, yakni Lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara Tuberkuloid dan Lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50 % Tuberkuloid Lepromatosa. BB dan Ti lebih banyak Tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak Lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL (Sulistyowaty, 2005). Multibasiler berarti mengandung banyak basil yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT dan I (Sulistyowaty, 2005). Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Yang termasuk dalam Multibasiler adalah tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi RidleyJopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan Pausibasiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.

Tabel 2.2 Gambaran Klinis Menurut WHO Gambaran Klinis Lesi Kulit (macula datar, Tipe PB 1-5 lesi, hipopigmentasi/ Tipe MB Lesi >5, distribusi lebih

11

Papul yang meninggi, Nodul) Kerusakan cabang saraf (menyebabkan saraf kehilangan sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh sraf yang terkena)

eritema, distribusi tidak simetris, hilanya sensasi yang jelas. Hanya satu cabang saraf

simetris, hilanya sensasi. Banyak cabang saraf

(Sumber : WHO, 1995) Untuk kepentingan program pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley & Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun (Arif mansjoer, 2000). 2.2.6. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Bakterioskopik Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan Ziehl Neelsen. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung Mycobacterium Leprae (Hiswani,2000). 2. Pemeriksaan Histopatologik Gambaran histopatologik bagi tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata tidak ada basil atau hanya sedikit dan Nonsolid. Bagi Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), ialah suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik, ada sel Virchow (sel lepra) dengan banyak basil. Bagi tip borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut (Hiswani, 2000).

12

2.1.7. Pengobatan Obat anti kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS (Diaminodifenil Sulfon) lalu Klofazimin, dan Rifampisin. DDS mulai dipakai sejak 1948 dan pada tahun 1952 di Indonesia. Kolfazimin dipakai sejak 1962 oleh Brown dan Hoogerzeil dan rifampisin sejak tahun 1970. pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif, yaitu Ofkloksasin, Minisiklin dan Klartromisin (Kosasih,2003). a. DDS Dosis DDS ialah 1-2mg/kg berat badan setiap hari. Efek samping yang mungkin timbul antara lain nyeri kepala, Erupsi obat, Anemia Hemolitik, Leukopenia, Insomnia, Neuropatia Perifer, sindrom DDS, Nekrolisis Epidermal Toksik, Hepatitis, Hipoalbuminemia, dan Methmoglobinemia (Kosasih, 2003). b. Rifampisin Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi dengan DDS dengan dosisi 10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu ditakutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya (Kosasih,2003). Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrom dan erupsi kulit (Zalbawi,2005). c. Klofazimin (lamprene) Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, satau 100 mg selang hari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan E.N.L. dengan dosis lebih tinggi. Resistensi pertama pada satu kasus dibuktikan pada tahun 1982 (Kosasih,2003). Efek sampingnya ialah warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan karena Klofazimin ialah zat warna dan tertimbun ditempat tersebut. Obat ini menyebabkan

13

pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek sampingnya hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (Nyeri Abdomen, Nausea, Diare, Anoreksi, dan Vomitus). Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga tertimbun dihati. Perubahan warna tersebut akan menghilang setelah obat dihentikan (Zalbawi, 2005). d. Protionamid/etionamid Dosisnya 5-10mg/kg berat badan setiap hari, untuk Indonesia obat ini tidak atau jarang dipakai (Kosasih, 2003).

BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, ada dua karakteristik dasar penelitian ini yaitu: 1) adanya analisis hubungan antar variabel, dan 2) adanya pengamatan atau pengukuran terhadap variabel subyek penelitian menurut keadaan ilmiah tanpa ada intervensi. Berdasarkan karakteristik tersebut maka penelitian ini termasuk penelitian analitik observasional. Pendekatan dalam penelitian analitik observasional yang digunakan adalah cross sectional desain tanpa mengadakan pengukuran nilai prevalensi. Pendekatan ini digunakan karena dalam penelitian subyek penelitian hanya diobservasi sekali tanpa upaya tindakan berkelanjutan.

3.2 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di wilayah desa Mojomulyo kecamatan Puger. Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Mojomulyo yang memiliki anggota keluarga yang pernah menderita Kusta.

3.3 Variabel Penelitian 3.3.1 Variabel bebas

Variabel yang menjadi penyebab dari hubungan antar faktor yang dipermasalahkan dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang Kusta.

15

3.3.2

Variabel terikat

Variabel yang menjadi akibat dari hubungan antar faktor penyebab dalam penelitian ini yaitu tingginya prevalensi kusta.

3.4

Definisi Variabel Pengetahuan tentang Kusta a. Definisi konseptual Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu (Notoatmodjo, 1993). Pengetahuan tentang Kusta adalah pengetahuan seseorang pasien terhadap penyakit Kusta yang diderita. b. Definisi operasional Pengetahuan mencakup pengertian responden tentang penyakit Kusta yang meliputi pengertian, penyebab, gejala penyakit, cara penularan, pencegahan kecacatan, perawatan kecacatan dan pengobatan penyakit Kusta. Pengetahuan ini diukur dengan menggunakan metode wawancara (Gani,1998). Untuk variabel ini terdapat 11 pertanyaan ,dimana tiap item terdapat 2 alternatif jawaban. Penilainanya yaitu:

3.4.1

a. b.

Untuk pilihan jawaban yang benar mendapat nilai 1 Untuk pilihan jawaban yang salah mendapat nilai 0 Kemudian dari 11 pertanyaan tersebut dibuat dalam 2 kategori skor yaitu:

16

Tinggi : skor 5 Rendah: skor <5

3.4.2

Prevalensi Kusta

a.

Definisi konseptual Prevalensi adalah banyaknya jumlah penderita dalam suatu tempat dalam satu waktu. Definisi operasional Prevalensi adalah banyaknya jumlah penderita dalam suatu tempat dalam satu waktu

b.

3.5

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 3 dusun desa Mojomulyo Kecamatan Puger yaitu dusun Krajan, Kalimalang dan Getem. Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah bulan Januari 2011.

3.6

Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data penelitian akan menggunakan metode kuesioner.

3.7 3.7.1

Kriteria inklusi dan eksklusi Kriteria Inklusi

17

Karakteristik sampel yang dapat dimasukan dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Mojomulyo yang memiliki anggota keluarga yang pernah atau sedang menderita Kusta.

3.7.2

Kriteria Eksklusi a. Masyarakat yang tidak memiliki anggota keluarga yang pernah

menderita Kusta b. Masyarakat yang menolak memberikan informed consent

3.8 Teknik Analisis Data Data hasil pengolahan dianalisis dengan Chi Square untuk uji Independensi. Menurut Nawi dkk (2000), Chi Square untuk uji Independensi dua faktor bertujuan untuk menguji apakah terdapat atau tidak suatu kaitan antara dua faktor, jika ternyata tidak ada kaitan antara dua faktor , biasanya dikatakan bahwa faktorfaktor itu bersifat independen atau saling bebas. Penggunaan uji tersebut untuk analisis data penelitian karena data penelitian merupakan data diskrit atau hasil penghitungan, dan variabel atau faktor dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa kategori tingkatan atau golongan.

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak tanggal 25 Januari 29 Januari 2010 dengan cara mengumpulkan data sekunder responden pasien kusta dan menyebarkan kuesioner kepada responden. Responden pada penelitian ini adalah pria dan wanita. Jumlah responden adalah 56 orang, yang terdiri dari 25 penderita kusta dan 31 orang adalah kerabat dari penderita kusta.
4.1.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden penelitian merupakan penjelasan dari identitas yang dimiliki oleh responden. Identitas yang dimaksud adalah ciri-ciri responden yang digunakan sebagai sampel penelitian. Karakteristik responden perlu dijelaskan guna mempermudah peneliti dalam menggambarkan keadaan responden secara umum. Karakteristik responden pasien kusta dalam penelitian ini meliputi: jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Hasil selengkapnya tersaji berikut ini: a. Jenis Kelamin Responden Jenis kelamin koresponden yang dibedakan secara fisik dikategorikan menjadi jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Distribusi frekuensi jenis kelamin responden berdasarkan data yang diperoleh tersaji dalam tabel 4.1 berikut ini : Tabel 4.1 Distribusi tingkat pengetahuan koresponden berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Penderita Kerabat penderita Total No. n % N % N % Koresponden 1. Laki-laki 12 48 11 36 23 41 2. Perempuan 13 52 20 64 33 59 Total 25 100.00 31 100.00 56 100.00 Sumber: Data Sekunder Terolah (2011)

18

Berdasarkan sebaran data jenis kelamin pasien Kusta pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa jumlah penderita perempuan lebih banyak daripada penderita lakilaki. Sebanyak 48% dari penderita kusta adalah laki-laki dan 52% dari penderita kusta adalah perempuan. Begitu pula dengan jumlah kerabat pasien kusta. Sebanyak 64% adalah perempuan, sedangkan kerabat penderita kusta yang laki-laki hanya 36%. b. Pendidikan Responden Pendidikan responden merupakan pendidikan terakhir formal yang pernah ditempuh. Pengkategorian tingkat pendidikan responden didasarkan pada pengkategorian tingkat pendidikan menurut Departemen Pendidikan Nasional RI (2003) yaitu tingkat pendidikan rendah apabila tidak sekolah - tamat SD, tingkat pendidikan sedang apabila tamat SMP dan tingkat pendidikan tinggi apabila tamat SMA dan Perguruan Tinggi, baik D1, D2, D3, S1, S2, maupun S3. Pengkategorian tingkat pendidikan responden seperti pada tabel 4.2 di bawah ini: Tabel 4.2 Distribusi koresponden berdasarkan tingkat pendidikan Kerabat penderita Tingkat Pendidikan Penderita kusta No. kusta pasien Kusta N % N % 1. Pendidikan Rendah 16 64 22 71 2. Pendidikan Sedang 7 28 5 16 3. Pendidikan Tinggi 2 8 4 13 Jumlah 25 100 31 100 Sumber: Data Sekunder Terolah (2011)

Total N 38 12 6 56 % 68 21 11 100

Berdasarkan sebaran data tingkat pendidikan pasien Kusta pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa jumlah tingkat pendidikan rendah sebanyak 68% dan tingkat pendidikan sedang 21 %, sedangkan untuk tingkat pendidikan tinggi 11 %. c. Usia Responden Usia responden adalah usia saat dilakukan penelitian terhitung setelah ulang tahun terakhir. Distribusi frekuensi usia responden pasien kusta dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut ini :

19

Tabel 4.3 Distribusi pasien kusta berdasarkan golongan usia Penderita kusta Kerabat penderita No. Usia koresponden n % n % 1. < 25 9 36 5 16 2. 25-50 10 40 24 77 3. >50 6 24 2 6 Jumlah 25 100 31 100 Sumber: Data Sekunder Terolah (2011)

Total N 14 34 8 56 % 25 61 14 100

Berdasarkan sebaran data usia pasien kusta pada tabel 4.1 dapat dilihat bahwa usia koresponden < 25 mempunyai nilai distribusi 25% dan usia koresponden 25-50 mempunyai nilai distribusi 61%, sedangkan untuk usia koresponden >50 mempunyai nilai distribusi 14 %.
4.1.2 Tingkat Pengetahuan Responden

Tingkat pengetahuan responden merupakan segala sesuatu yang diketahui atau dimengerti responden tentang penyakit kusta. Pengetahuan pasien kusta tentang penyakit kusta diukur menggunakan kuesioner melalui tes pengetahuan. Pengetahuan pasien Kusta dihitung berdasarkan skor yang dijawab oleh responden atas 11 pertanyaan berkaitan dengan penyakit kusta, dimana skor terendah dari tes pengetahuan ini adalah 0 dan skor tertinggi adalah 11. Hasil perhitungan skor tiap responden, kemudian dikategorikan menjadi pengetahuan rendah dan tinggi. Pengetahuan tinggi apabila responden mempunyai jumlah nilai tes pengetahuan >5 sedangkan pengetahuan rendah jika responden memiliki skor pengetahuan 5. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan pasien kusta tentang penyakit kusta dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini:

Tabel 4.4 Distribusi pasien Kusta berdasarkan tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta

20

Penderita N % 1. Pengetahuan tinggi 3 12 2. Pengetahuan rendah 22 88 Total 25 100 Sumber: Data Primer Terolah (2011)

No.

Tingkat Pengetahuan

Kerabat penderita N % 31 100 0 0 31 100

N 34 22 56

Total % 61 39 100

Berdasarkan sebaran data tingkat pengetahuan pasien Kusta tentang penyakit Kusta pada tabel 4.4 dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan tinggi mempunyai nilai distribusi 61% dan tingkat pengetahuan rendah mempunyai nilai distribusi 39%. 4.1.3 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Kusta dengan Prevalensi Pasien Kusta Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan Tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo, digunakan analisis data uji Chi-Square. Analisis menggunakan uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo didapatkan hasil:
a.

Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan

(X) adalah sebesar 19675 Uji wald hitung (18,274) tersebut lebih kecil daripada uji wald table (19675 (df=1; =0,05));
b.

Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.496 Tingkat

signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun Kalimalang Desa Mojomulyo. Analisis menggunakan uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di tiap dusun Desa Mojomulyo didapatkan hasil: 1) Uji Chi-Square Prevalensi dengan tingkat pengetahuan pada Dusun Kalimalang.

21

a.

Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X)

adalah sebesar 0.873. Uji wald hitung (0.873) tersebut lebih kecil daripada uji wald table (3,481 (df=1; =0,05)); b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.227 Tingkat signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun Kalimalang Desa Mojomulyo. 2) Uji Chi-Square Prevalensi dengan tingkat pengetahuan pada Dusun Krajan.
a.

Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X)

adalah sebesar 0.852. Uji wald hitung (0.852) tersebut lebih kecil daripada uji wald table (3,481 (df=1; =0,05)); b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.528 Tingkat signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun Krajan Desa Mojomulyo. 3) Uji Chi-Square Prevalensi dengan tingkat pengetahuan pada Dusun Getem.
a.

Nilai uji Wald (Chi square) Variabel Tingkat Pengetahuan (X)

adalah sebesar 0.900. Uji wald hitung (0.900) tersebut lebih kecil daripada uji wald table (3,481 (df=1; =0,05)); b. Coefisien Contingency (C hitung) adalah sebesar 0.577 Tingkat signifikansi tersebut lebih kecil daripada C tabel. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik Ho ditolak dan hipotesis penelitian (Ha) diterima, artinya ada hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun Getem Desa Mojomulyo.

22

4.1.1 Derajat Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang kusta dengan Prevalensi Kusta Untuk mengetahui kuatnya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi kusta di Desa Mojomulyo dapat dilakukan dengan menggunakan uji Chi-Square dengan melihat nilai Coefisien Contingensi pada model Symmetric Measure. kuat hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo didapatkan nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.496 atau sebesar 49.6% artinya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo adalah sebesar 49,6%. Untuk mengetahui kuat hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di tiap dusun Desa Mojomulyo didapatkan hasil: a. Derajat kuatnya hubungan variabel tingkat pengetahuan Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun Kalimalang. Nilai Coefisien Contingensi pada model Symmetric Measure menunjukan bahwa nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.227 atau sebesar 23.0% artinya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo adalah sebesar 23.0%.

b. Derajat kuatnya hubungan variabel tingkat pengetahuan Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun Krajan. Nilai Coefisien Contingensi pada model Symmetric Measure menunjukan bahwa nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.528 atau sebesar 53.0% artinya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun Krajan Desa Mojomulyo adalah sebesar 53.0%.

23

c. Derajat kuatnya hubungan variabel tingkat pengetahuan Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun Getem. Nilai Coefisien Contingensi pada model Symmetric Measure menunjukan bahwa nilai coefisien contingensi adalah sebesar 0.577 atau sebesar 58.0% artinya hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Dusun Getem Desa Mojomulyo adalah sebesar 58.0%. 4.2 Pembahasan Pembahasan dari penelitian ini disesuaikan dengan hasil penelitian, sehingga pembahasan juga dikelompokkan dalam jumlah yang sama dengan hasil penelitian, yaitu dikelompokkan menjadi empat, meliputi karakteristik responden, tingkat pengetahuan responden, hubungan antara tingkat pengetahuan tentang penyakit kusta dengan prevalensi kusta, serta derajat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang penyakit kusta dengan prevalensi kusta.
4.2.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden merupakan salah satu hal yang penting dalam penelitian ini karena menurut De Zalduondo dalam Sedyaningsih (1999) karakteristik individu merupakan salah satu penentu perilaku seseorang, termasuk dalam penelitian ini berupa prevalensi kusta. Berdasarkan teori tersebut maka peneliti berusaha mengkaji karakteristik responden di desa Mojomulyo Kecamatan Puger Jember. Karakteristik responden pasien Kusta yang dikaji dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan usia.

a. Jenis Kelamin Responden Persebaran jenis kelamin responden di tempat penelitian menunjukkan bahwa responden penderita kusta yang perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Begitu pula dengan responden kerabat penderita yang perempuan lebih banyak daripada yang laki-laki.

24

Hasil penelitian Supriyatno (2002) juga menyatakan tidak ada perbedaan tentang kejadian kusta berdasarkan jenis kelamin, dimana dibuktikan dengan hasil biakan kuman Mycobacterium leprae positif yang sama pada laki-laki dan perempuan sebesar 1:1. Kaum perempuan memiliki kesempatan yang sama terinfeksi penyakit kusta. b. Pendidikan Responden Departemen Pendidikan Nasional RI (2003) mendefinisikan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang berjalan berkesinambungan mulai dari usia anak sampai dewasa, karena itu memerlukan berbagai cara dan sumber. Sistem pendidikan dibedakan menjadi pendidikan formal, informal dan non formal. Pendidikan formal yaitu pendidikan yang berstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, pendidikan informal yaitu pendidikan yang diperoleh lewat berbagai jalan atau program yang dikenal dengan istilah penyuluhan, sedangakan pendidikan non formal adalah jalur pendidikan diluar jalur pendidikan formal yang dapat dilaksanakan dengan terstruktur dan berjenjang. Pendidikan responden yang diteliti dalam penelitian ini hanyalah meliputi pendidikan formal responden. Pengkategorian tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini didasarkan pada pengkategorian tingkat pendidikan menurut Departemen Pendidikan Nasional RI. Menurut Departemen Pendidikan Nasional RI (2003) terdapat tiga tingkatan pendidikan formal yaitu tingkat pendidikan rendah apabila tidak sekolah - tamat SD, tingkat pendidikan sedang apabila tamat SMP dan tingkat pendidikan tinggi apabila tamat SMA dan Perguruan Tinggi, baik D1, D2, D3, S1, S2, maupun S3. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berdasarkan tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa 68% dari koresponden mempunyai tingkat pendidikan yang rendah. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Depkes (2007), yang menyatakan bahwa mayoritas penderita kusta adalah kelompok usia produktif, ekonomi lemah, dan berpendidikan rendah. Tingginya angka kesakitan kusta pada kelompok responden berpendidikan rendah yang dihasilkan dalam penelitian ini mungkin disebabkan karena kurangnya

25

pendidikan responden menyebabkan rendahnya pengetahuan responden tentang Kusta, sehingga upaya pencegahan responden agar tidak terserang kusta menjadi rendah pula. Hal ini diperkuat pendapat Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa pendidikan dapat meningkatkan pengetahuan juga untuk meningkatkan kemampuan (perilakunya) untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Menurut Mubarak (2007) makin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Mantra (dalam Fatma, 2000) juga menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi proses belajar, dimana makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk menerima informasi. Semakin banyak informasi yang diperoleh, maka semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Pengetahuan yang tinggi menyebabkan pemahaman tentang penyakit menjadi tinggi sehingga upaya pencegahan penyakit menjadi tinggi pula, sedangkan pengetahuan yang kurang menyebabkan pemahaman tentang penyakit menjadi rendah sehingga upaya pencegahan masyarakat menjadi rendah pula dan pada akhirnya menyebabkan mereka mudah terserang penyakit kusta. c. Usia Responden Hiswani (2004) menyatakan bahwa usia merupakan variabel yang selalu diperhatikan di dalam penelitian epidemiologi. Pola kesakitan atau kematian akan lebih mudah membacanya bila dikelompokkan berdasarkan golongan usia. Beberapa alasan yang dapat menerangkan hubungan suatu keadaan kesehatan seseorang dengan usia antara lain : perkembangan fisiologis dan imunitas tubuh. Notoatmodjo (2003) juga mengatakan bahwa usia memiliki hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya risiko serta sifat resistensi terhadap penyakit. Berdasarkan teori tersebut maka peneliti berusaha mengkaji usia responden di Desa Mojomulyo Kecamatan Puger Jember. Persebaran usia responden di tempat penelitian menunjukkan bahwa mayoritas penderita kusta adalah kelompok usia produktif. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah penderita kusta di usia 25-50 tahun adalah 40%. Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan pendapat Hiswani (2004) yang menyatakan bahwa penyakit

26

kusta umumnya terjadi pada kelompok usia produktif. Faktor utama terjadinya penyakit ini adalah keberadaan kuman di dalam tubuh seseorang. Seseorang yang terkena penyakit kusta ini biasanya sudah terinfeksi lama sebelum ia merasakan keluhan bercak di kulit.
4.2.2 Tingkat Pengetahuan Responden

Tingkat pengetahuan responden penderita kusta dikategorikan menjadi pengetahuan tinggi dan dan rendah. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berdasarkan tingkat pengetahuan responden menunjukkan bahwa 88% dari penderita kusta memiliki tingkat pengetahuan rendah. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain kurangnya informasi yang diperoleh oleh responden tersebut. Notoatmodjo (2006) menyatakan bahwa pengetahuan kesehatan diperoleh melalui pendidikan kesehatan dan dalam hal ini pendidikan kesehatan tidak lepas dari proses belajar atau adanya penyuluhan dan pengalaman.
4.2.3 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Penyakit Kusta dengan

Prevalensi Kusta Pengetahuan penderita kusta mencakup pengertian responden tentang penyakit ksta yang meliputi gejala penyakit kusta dan penyebabnya, penyakit kusta dapat menularkan orang lain, penyakit kusta dapat membahayakan dirinya bila tidak diobati secara teratur, penyakit kusta dapat diobati, dan tanda-tanda kesembuhan penyakit kusta. Pengetahuan ini diperoleh oleh penderita kusta melalui indera yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Notoatmodjo (2005b) yaitu pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Hubungan antara tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan tingginya prevalensi kusta di Desa Mojomulyo diketahui dengan menggunakan analisis data uji Chi-Square. Analisis menggunakan uji Chi-Square untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta

27

dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo menunjukkan bahwa variabel tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta berhubungan secara signifikan atau nyata dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo (p=0.000). Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Neisser dalam Notoatmodjo (2007) yang menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang (overt behavior). Artinya dalam penelitian ini adalah pengetahuan pasien kusta tentang penyakit kusta merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku hidup bersih dan sehat, guna mencegah penyebaran Kusta. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Sari (2008) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh antara pengetahuan tentang penyakit kusta dengan pengobatan kusta. Menurut Sari (2008), pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk menimbulkan tindakan seseorang terutama pada orang dewasa. Terbentuknya kesadaran (over behavior) adanya bahaya penyakit dimulai dari pemberian informasi yang jelas dan benar melalui pemberian pengetahuan, sehingga mempunyai peluang terhadap kepatuhan seseorang dalam pengobatan. Tingkat pengetahuan yang rendah mempunyai peluang untuk lebih besar tidak patuh terhadap pengobatan dibanding pengetahuan yang tinggi, sehingga tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta berhubungan dengan kepatuhan berobat pada pasien Kusta. Adanya hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan tentang penyakit Kusta dengan kepatuhan berobat pada pasien Kusta juga sesuai dengan pendapat Suyatmi (2000). Menurut Suyatmi (2000) secara teori, apabila seseorang mengetahui tentang pentingnya penyakit yang dideritanya, maka seseorang tersebut akan mengerti tentang rencana tindakan dan pengobatan yang akan diberikan padanya. Adanya pengetahuan merupakan tahap awal dalam proses perubahan perilaku, sehingga pengetahuan merupakan faktor internal yang mempengaruhi perubahan perilaku. Menurut Sarlito dalam Fatma (2000), pengetahuan akan membentuk sikap, dan sikap akan mempengaruhi perilaku. Berdasarkan teori-teori tersebut dapat diketahui bahwa tinggi atau rendahnya pengetahuan pasien kusta tentang penyakit kusta mempengaruhi pengertian pasien kusta tentang rencana

28

tindakan dan pengobatan yang akan diberikan padanya sehingga menyebabkan pasien tersebut membentuk sikap menerima atau menolak terhadap pengobatannya. Sikap yang telah dibentuk oleh pasien kusta tersebut akan mempengaruhi perilaku pengobatannya atau mempengaruhi keteraturan perilakunya dalam berobat. 4.2.4 Derajat Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Kusta dengan Kepatuhan Berobat Pada Pasien Kusta Hasil penelitian menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi Kusta di Desa Mojomulyo. Sebesar 49,6%. Untuk Dusun Kalimalang kuat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang Kusta dengan tingginya prevalensi kusta sebesar 23%, Dusun Krajan sebesar 53%, dan Dusun Getem sebesar 58%. Berdasarkan data dari 3 Dusun tersebut, derajat hubungan paling tinggi pengaruhnya di Dusun Getem, sedangkan hubungan terendah pengaruhnya di Dusun Kalimalang. Hasil penelitian Kustin (2007), yang menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang kusta cukup berhubungan dengan kepatuhan berobat pada pasien Kusta, namun kepatuhan berobat pada pasien kusta juga berhubungan dengan faktor lain selain faktor tingkat pengetahuan tentang Kusta. Faktor lain yang mungkin berhubungan dengan prevalensi kusta diantaranya menurut Hamzah (2009) yaitu adanya perasaan atau merasa sudah sembuh, kemiskinan, dan kurang motivasi. Aditama (2006) mengemukakan bahwa tingkat kepatuhan dalam pengobatan TB juga dipengaruhi oleh adanya dukungan keluarga seperti pendampingan pada saat melakukan pengobatan. Dengan adanya dukungan dan pendampingan dari keluarga secara tidak langsung akan memberikan dukungan moral bagi penderita untuk patuh dalam melakukan pengobatan karena mengingat penilaian masyarakat terhadap mereka yang menderita penyakit ini dianggap sebagai kutukan dan harus dijauhi. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Kusnanto (2004) bahwa faktor sosial seperti dukungan keluarga berperan terhadap patuh atau tidaknya seseorang melakukan pengobatan Kusta. Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Niven (2002) bahwa dukungan sosial dalam bentuk

29

dukungan emosional dari anggota keluarga yang lain seperti teman, waktu dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan terhadap program-program medis. Faktor lain yang juga mungkin berhubungan dengan kepatuhan berobat pada pasien Kusta adalah keseriusan pandangan pasien Kusta terhadap penyakitnya. Lewin dalam Notoadmodjo (2006) menyatakan bahwa tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit didorong oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat. Anderson dalam modul sistem kesehatan juga mengemukakan mengenai karakteristik kebutuhan. Dalam karakteristik kebutuhan ini Anderson dalam Notoatmodjo (2006) tentang faktor predisposisi dan faktor yang memungkinkan seseorang untuk mencari pengobatan dapat terwujud dari dalam tindakan apabila dirasakan sebagai kebutuhan. Dari kedua teori tersebut dapat diketahui bahwa kepatuhan berobat tergantung dari bagaimana seseorang mendukung keseriusan penyakit yang dirasakan dan seberapa besar kebutuhan yang dirasakan terhadap suatu pengobatan. Apabila penderita merasakan keseriusan terhadap penyakitnya dan membutuhkan pengobatan maka penderita tersebut akan patuh dan taat dalam berobat begitu juga sebaliknya. Menurut Soewandi dan Surasa dalam Kusnanto (2004) menyatakan bahwa aspek keyakinan terhadap norma subjektif penderita tentang Kusta (penyakit Kusta adalah penyakit yang memalukan dan kutukan) juga berpengaruh terhadap kepatuhan berobat. Priyanti dan Ratnawati dalam Kusnanto (2004) menyatakan bahwa kepatuhan berobat penderita Kusta justru tergantung dari motivasi yang kuat, rumit tidaknya pengobatan, serta kelupaan dan efek samping obat.

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: a. Ada hubungan nyata antara tingkat pengetahuan terhadap penyakit kusta dengan precalensi kusta di Desa Mojomulyo Kecamatan Puger.
b. Derajad hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap penyakit kusta

dengan precalensi kusta di Desa Mojomulyo Kecamatan Puger adalah sebesar 49,6%. 5.2 Saran Saran dari hasil penelitian ini adalah: a. Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai factor-faktor lain yang mempengaruhi prevalensi kusta b. Perlu dilakukan upaya tindak lanjut untuk menurunkan prevalensi kusta.

32

DAFTAR PUSTAKA Alimul. 2003. Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika. Arif Mansjoer (dkk), 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. Djuanda Adhi (dkk) 2001. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI Danim. 1997. Study Ilmu Pengetahuan.Jakarta: CV Sugeng Santoso Pamungkas Depkes RI. 1996. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Marwali Harahap. 2000. Ilmu Penyaki Kulit. Jakarta:Hipokrates Notoadmodjo. 1993. Pengetahuan Manusia. Jakarta: Inter Aksara Poerwodarminto.1981. Apa Itu Pengetahuan. Jakarta: Penerbit PT Intan Pariwara Sapto Harnowo & Fitri H. Susanto, 2001. Keperawatan Medikal Bedah Untuk Akademi Keperawatan. Jakarta: Widya Medika. Anonymous (2004), http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid= 2&id=106064&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=190, Februari 2011 Anonymous.2004.http://www.suarapembaruan.com/News/2003/01/17/Kesra/kes01 .htm diakses Februari 2011 Anonymous(2004)http://www.lin.go.id/detail.asp? idartcl=210103KEST0001&by=topic, diakses Februari 2011 Anonymous(2004), http://www.mailarchive.com/dokter@itb.ac.id/msg03334.html diakses Februari 2011 Anonymous (2004), http://www.dinkes-dki.go.id/penyakit.html, diakses Februari 2011 diakses

33

LAMPIRAN Daftar lampiran: 1.Format kuesioner 2.Absensi penyuluhan 3.Materi Penyuluhan 4.Jadwal Kegiatan 5.Dokumentasi Kegiatan

Anda mungkin juga menyukai