Anda di halaman 1dari 57

i

EDITORIAL
PERKEMBANGAN ILMU KEDOKTERAN DARI DIAGNOSIS HINGGA TATA LAKSANA Dalam rangka mengikuti perkembangan ilmu kedokteran yang pesat, kita perlu menambah pengetahuan dengan penelitian-penelitian terbaru. Dengan menambah informasi tentang penelitianpenelitian terbaru, diharapkan kita dapat mengelola pasien dengan tepat dan aman, mulai dari diagnosis hingga tatalaksananya. Untuk memperkaya pengetahuan kita tentang diagnosis, dalam edisi ini kami ketengahkan penelitian tentang perbandingan hasil positif uji BCG dan uji tuberculin, validitas foto thorax proyeksi PA untuk menegakkan diagnosis emfisema pulmonum dan dislipidemia pada penderita stroke dengan demensia. Sedangkan untuk menambah pengetahuan kita tentang tatalaksana pasien, edisi ini memuat penelitian-penelitian tentang perbandingan efek ekstrak etanol dan eter biji tua pisang klutuk, efek ekstrak mahkota dewa, pengaruh kitosan olahan udang putih pada penurunan trigliserida plasma tikus dan aktivitas antimikroba daun cocor bebek.

Volume 1, No.1, Agustus 2009

ISSN 2085-8345

DAFTAR ISI
Editorial Daftar Isi Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan Tuberkulosis Mohammad Wildan Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum Sulistyani Kusumaningrum Dyslipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito Jogjakarta Listyo A. Pujarini i ii 1 - 8

9 - 15

17 - 23

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro Domas Fitria Widyasari Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa Dosis Bertingkat Terhadap Proliferasi Limfosit Lien pada Mencit BALB/C M. Saifulhaq M. Pengaruh Kitosan Olahan Kulit Udang Putih terhadap Penurunan Kadar Trigliserida Plasma Tikus Putih (Rattus norvegicus) Nurina Risanty Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro Ratih Pramuningtyas, Rahadiyan W.B.

25 - 32

33 - 36

37 - 41

43 - 50

ii

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan Tuberkulosis
Mohammad Wildan E mail: wilmaabbas@yahoo.com Abstract
Until now tuberculosis (TB) is still a world health problem, especially in the third world countries like Indonesia. World health Organization (WHO) reported in 1995 there were 3 millions people died caused by TB. Prevalence of lung TB with positive acid fast bacili (AFB) in Indonesia is still high, about 0.3%, it means that there were 3 persons suffering of TB every 1000 people. It's needed to improve the quality of lung TB disease elimination program. But, the problem that some of the cases of tuberculosis with positive AFB finding is low. May be it caused that the technique of AFB examination is dificult, especially in infant and young children. tuberculin test have been used widely for a long periode, but it reaction less sensitive (to be negative) for a moment time in anergy state. Recently, some centre uses BCG for diagnosing TB, but further research is still needed (to prove more high proportion of positive result and superiority of BCG test). This research uses Clinical Disagreement to measure kappa and chi square (Fisher's Exact test) to mesurep. The sample size were 100 respondents, boys and girls beetwen 4 months to 12 years old, who visited to General Pediatric Clinic and Pulmonology Clinic Dr Kariadi Hospital. To diagnosing TB, modified 1994 Starke Criteria is used. Tuberculin and BCG test was tested at the same time and evaluated after 72 hours (for tuberculin and BCG) and at 7th day (for BCG). The proportion of these tests were compared by cross tabulation. The respondents that suffering of tuberculosis were treated with 2HRZ 4HR regiment and reevaluated clinical, laboratoric and radiologic findings. The proportion of positive result of BCG test is higher (97%) than positive result of tuberculin test (24%), but not significant. Proportion of negative result of tuberculin test is higher (78%) than BCG test (3.3%), but not significant. Distribution of positive result of BCG test has the same proportion in groups of age and nutrition state. The proportion of positive result of BCG test is higher than tuberculin test, but not significant. Key Words: BCG, tuberculin, screening

Pendahuluan Hingga saat ini penyakit tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan utama dunia, terutama di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Menurut WHO (World Health Organization) pada tahun 1995 terdapat kurang lebih 3 juta orang meninggal akibat penyakit TB. Prevalensi penyakit TB paru dengan Basil Tahan Asam (BTA) positif di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 0,3%, yang berarti terdapat 3 penderita penyakit TB paru yang menular pada setiap 1.000 penduduk. Prevalensi kasus anak dengan malnutrisi yang dicurigai menderita TB dan telah dibuktikan menderita TB di Asia kurang lebih 74 - 80 % (Kenyon, 1999). Perlu dilakukan peningkatan mutu program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru (P2TBParu). Strategi yang digunakan adalah pemutusan rantai penularan. Namun kendala yang dihadapi antara lain adalah masih rendahnya penemuan kasus TB dengan BTA (+). Hal ini disebabkan antara lain oleh sulitnya melakukan pemeriksaan BTA di lapangan, terutama pada anak. Oleh karena itu,

diperlukan suatu "alat" uji tapis dan diagnostik yang mudah dikerjakan dengan hasil yang cukup efektif, bernilai diagnostik tinggi dan dengan biaya yang murah. Uji tuberkulin (Mantoux) telah digunakan secara luas untuk mengetahui adanya infeksi TB sejak lebih dari enam dekade. Namun demikian, uji tuberkulin memiliki kelemahan, yaitu akan menjadi negatif untuk sementara pada penderita TB (anergi) dengan: (1) Malnutrisi Energi Protein; (2) TB berat; (3) Morbili, Varisela; (4) Pertusis, Difteria, Tifus abdominalis; (5) Pemberian kortikosteroid yang lama; (6) Vaksin virus dan (7) Penyakit keganasan (Wong, Oppenheimer, 1994).BCG diberikan secara langsung di Indonesia tanpa didahului uji tuberkulin. Anak yang mendapat BCG langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntik an, ia harus dicurigai adanya tuberkulosis dan diperiksa lebih lanjut kearah tuberkulosis. Pada anak dengan tuberkulosis, BCG akan menimbulkan reaksi lokal yang lebih cepat dan besar. Karena itu BCG dapat digunakan
Mohammad Wildan 1

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan Tuberkulosis

sebagai alat diagnostik. Uji BCG tidak terdapat anergi, sehingga lebih unggul bila dibandingkan dengan uji tuberkulin. Dikshit dan Surendra Singh (1977) melakukan uji Mantoux dan uji BCG secara bersamaan dengan hasil 93% uji BCG positif pada penderita tuberkulosis paru dan hanya 65% uji Mantoux positif; 82% uji BCG positif pada meningitis tuberkulosis dan hanya 40% uji Mantoux positif. Disimpulkan bahwa uji BCG merupakan bentuk protein natural sehingga reaksinya lebih cepat dan sensitif terutama untuk mendiagnosis tuberkulosis pada anak dengan malnutrisi dan tuberkulosis yang berat. Shrivastava dkk. (1977) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa BCG mempunyai indeks hipersensitivitas tuberkular yang lebih baik dan tidak dipengaruhi oleh faktor umur dan status gizi; jarang sekali menimbulkan efek samping dan reaksi yang berat; merupakan indikator yang kuat pada kontak tuberkulosis; sehingga BCG mempunyai keunggulan karena sederhana, aman, reabilitasnya tinggi dan murah sebagai alat diagnostik yang direkomendasikan untuk penggunaan rutin di lapangan, terutama di negara dengan prevalensi tinggi tuberkulosis seperti Indonesia. Selain itu uji BCG juga dapat langsung berguna sebagai profilaksis. Perbandingan hasil positif uji BCG dan uji tuberkulin sebagai uji tapis menarik untuk diteliti
Besar sampel: n : Keterangan : P Q Z 1-/2 d n

karena : (1) Belum pernah dilakukan penelitian yang serupa di Indonesia, (2) Mungkin terdapat perbedaan hasil dengan hasil penelitian sebelumnya (di luar negeri) mengingat adanya perbedaan ras/ etnik, dan hampir semua responden sudah dilakukan vaksinasi BCG (3) Bagaimana pengaruh malnutrisi pada kedua uji tersebut, (4) Apakah vaksinasi BCG sebelumnya mempengaruhi uji BCG dan apakah hasil penelitian semacam ini (dari luar negeri) bisa langsung diterapkan di Indonesia, khususnya di RSUP Dokter Kariadi Semarang, mengingat prevalensi kasus TB anak cukup besar. Metode dan Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah clinical disagreement. Populasi rujukan ialah bayi dan anak yang dicurigai menderita tuberkulosis yang berobat jalan di Poliklinik 159 dan Poliklinik Paru Anak 151 RSUP dr. Kariadi Semarang. Populasi studi adalah bayi umur 4 bulan - anak usia 12 tahun. Unit analisis adalah bayi dan anak malnutrisi yang dicurigai menderita tuberkulosis dan dilakukan uji Mantoux dan uji BCG.

(Z 1-/2) PQ d 0,8 1 - P = 0,2 1,96 (derajat kepercayaan) 0,1 1.96 (0,8) (0,2) : 62 0,1

: : : : :

Prevalens 80% N :

100 X 62 : 77,5 80

Bila dihitung drop out 10% maka jumlah sampel menjadi 85.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: Pasien rawat jalan yang menderita tuberkulosis (memenuhi Kriteria Starke 1994) di Poliklinik Anak 159 dan Poliklinik Paru 151 RSUP dr. Kariadi Berumur antara 4 bulan sampai dengan 12 tahun dengan tinggi badan maksimal 145cm untuk anak laki-laki dan 137cm untuk anak perempuan
2

Orang tua penridenta memberi ijin dan bersedia dilakukan pemeriksaan yang ditetapkan Tempat tinggal di dalam kota Semarang Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah: Menderita penyakit TB berat, morbili, varisela, pertusis, difteri, tifus abdominalis
Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Menderita penyakit keganasan Mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka lama, mendapatkan vaksin Penderita pindah tanpa diketahui alamat yang baru Meninggal selama penelitian karena penyakit lain Gizi buruk Kecurigaan tuberkulosis berdasarkan Modifikasi Kriteria Starke (1994): 1. Anamnesis didapatkan: ada sumber penularan; panas subfebril terutama malam hari yang berlangsung 2 minggu tanpa sebab yang jelas, sering berkeringat malam; berat badan sulit naik (dalam 4 minggu terakhir); keluhan sesuai dengan organ yang terkena yaitu salah satu dari: benjolan disekitar leher, punggung, aksila, inguinal; nyeri pada lutut dan selangkangan; mata gatal dan merah dengan daerah kuning pada kelopak mata dan bengkak, berair; pembesaran limfonodi nares. 2. Pemeriksaan fisik didapatkan salah satu dari: tidak didapatkan kelainan; malnutrisi (antropometri); konjungtivitis fliktenularis; pembesaran kelenjar limfe (leher, aksila, inguinal, nares); gibbus/spondilitis; didapatkan gerak nafas asimetris, palpasi dada pekak, ronk i, wheezing, atau krepitasi pada pemeriksaan fisik paru. 3. Pe m e r i k s a a n l a b o r a t o r i u m m u n g k i n didapatkan anemi atau lekositosis. Selain itu dijumpai peningkatan laju endap darah; peningkatan sel mononuklear; juga limfopeni. 4. Pemeriksaan X foto toraks didapatkan salah satu dari: hasil X foto toraks sesuai TB; perubahan parenkim dan atau konsolidasi alveolar; densitas interstitial; pleuritis; kelainan fokal; kelainan akibat perubahan mekanik; terdapat diskonkruensi. Uji Mantoux dilakukan di BKIA (Klinik Tumbuh Kembang) RSUP dr. Kariadi, pembacaan setelah 72 jam, sedangkan uji BCG dilakukan di BKIA (Klinik Tumbuh Kembang) RSUP dr. Kariadi bersamasama dengan uji Mantoux, pembacaan setelah 72 jam dan setelah 7 hari Pemeriksaan radiologi dilakukan di SMF Radiologi RSUP dr. Kariadi, pembacaan dilakukan oleh seorang radiolog, untuk 1 pasien dilakukan pembacaan sebanyak 2 kali. Anak yang secara klinis menderita TB dengan hasil uji BCG positif (dengan hasil uji Mantoux positif atau negatif) atau dengan hasil uji Mantoux

positif (dengan hasil uji BCG positif atau negatif) diberikan pengobatan anti TB dan follow up sampai dengan 6 bulan pengobatan. Rejimen pengobatan yang digunakan adalah 2HRZ 4HR. Perbaikan yang dinilai adalah: Klinik: demam sub febril menghilang, nafsu makan membaik, berat badan bertambah (10% setelah pengobatan 2 bulan) Laboratorim membaik: Hb meningkat, LED menurun, lekositosis berkurang, pergeseran ke kiri berkurang Gambaran radiologik membaik dibanding sebelumnya Pengelolaan dan analisis data menggunakan chi kuadrat (X2) dan Fisher's Exact test. Perhitungan nilai Kappa dengan menggunakan clinical disagreement. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian didapatkan hasilnya sebagai berikut: Sebaran Umur dan Jenis Kelamin Apabila dikelompokkan berdasarkan umur, dari 100 sampel dalam penelitian ini: baik pada laki-Iaki dan perempuan sampel kelompok umur < 5 tahun merupakan yang terbanyak, kemudian kelompok umur 6-10 tahun, dan paling sedikit kelompok umur >10 tahun. Bila dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin didapatkan: proporsi sampel berjenis kelamin lakilaki dan perempuan relatif berimbang pada semua kelompok umur. Sebaran Status Gizi Bila dikelompokkan berdasarkan status gizi didapatkan: pada sampel laki-laki Kurang Energi Protein (KEP) ringan lebih banyak dibanding yang bergizi baik, yaitu 2:1. Sedangkan pada sampel perempuan didapatkan Kurang Energi Protein ringan lebih banyak dibanding gizi baik, tetapi dengan perbandingan hampir sama/ separuh jumlah. Secara keseluruhan sampel dengan Kurang Energi Protein ringan lebih banyak dibanding sampel dengan gizi baik, dengan perbandingan 3:2 dan Kurang Energi Protein ringan lebih banyak didapatkan pada sampel lakilaki dibanding sampel perempuan dengan perbandingan yang relatif berimbang. Sebaran Hasil uji tuberkulin (Mantoux) dan uji BCG Hasil uji tuberkulin (Mantoux) positif pada umur < 5 tahun sebagian besar negatif dibanding positif, yaitu 3,5:1, kelompok umur 6-10 tahun hasil uji positif dibanding negatif adalah 1:2, sedangkan
Mohammad Wildan 3

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan Tuberkulosis

pada kelompok umur >10 tahun perbandingannya adalah 1:3 antara hasil positif dibanding negatif. Proporsi hasil positif uji tuberkulin paling besar didapatkan pada kelompok umur 6-10 tahun, menyusul kelompok umur >10 tahun dan paling kecil pada kelompok umur < 5 tahun. Hasil uji BCG positif pada umur < 5 tahun sebagian besar (96%) negatif dibanding positif, kelompok umur 6-10 tahun dan >10 tahun perbandingannya 100% positif. Didapatkan proporsi konjungtivitis fliktenularis, pada sampel laki-laki dan perempuan relatif sama. Sebaran Hasil uji tuberkulin dan BCG, perbaikan radiologik dan laboratorik Sebagian besar sampel mengalami perbaikan laboratorik baik pada responden dengan hasil uji tuberkulin positif dan negatif setelah mendapat pengobatan antituberkulosis rejimen 2HRZ 4HR. Sebagian besar sampel mengaiami perbaikan radiologik baik pada sampel dengan hasil uji tuberkulin positif dan negatif setelah mendapat pengobatan antituberkulosis rejimen 2HRZ 4HR. Proporsi perbaikan radiologik lebih besar pada sampel dengan hasil uji tuberkulin positif dibanding uji tuberkulin negatif, dengan pebandingan 6:5. Sebagian besar (95,6%) sampel mengalami perbaikan laboratorik baik padda responden dengan hasil uji BCG positif setelah mendapat pengobatan antituberkulosis rejimen 2HRZ4HR. Sebagian besar sampel mengalami perbaikan radiologik baik pada sampel dengan hasil uji BCG positif dan negatif setelah mendapat pengobatan antituberkulosis rejimen 2HRZ4HR. Proporsi perbaikan radiologik lebih besar pada sampel dengan hasil uji BCG positif dibanding uji BCG negatif, dengan perbandingan 4:3. Analisis Statistik Nilai Kappa Dengan menggunakan tabulasi silang 2X2 perhitungan nilai kappa data hasil uji tuberkulin (Mantoux) dan uji BCG didapatkan nilai kappa 0,008, dengan nilai p=0,701. Tabulasi silang data hasil uji tuberkulin (Mantoux) dan uji BCG responden umur < 5 tahun didapatkan nilai kappa - 0,013 dengan nilai p= 0,605. Sebaran hasil uji BCG dan status gizi dengan Fisher's Exact test didapatkan nilai p= 0,331 Sebaran Hasil uji tuberkulin (Mantoux) dan Status Gizi Dengan Fisher's Exact test didapatkan
4

nilai p= 0,649 Sebaran status gizi pada kedua hasil uji BCG dan tuberkulin tidak bermakna secara statistik. Sebaran hasil uji BCG dan tuberkulin hubungannya dengan status gizi pada anak umur <5 tahun didapatkan nilai df= 3 dan nilai p = 0,58. Sebaran Hasil uji BCG dan tuberkulin hubungannya dengan status gizi pada anak umur <6-10 tahun mendapatkan nilai df= 0,22 dan nilai p = 0,64. Pembahasan Dari 100 pasien yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini didapatkan bahwa sampel yang berumur <5 tahun persentase sampel perempuan (50,7%) lebih banyak dibanding lakilaki (49,3%) tetapi perbandingannya relatif berimbang, yaitu 1:1. Pada kelompok umur 6-10 tahun juga didapatkan hal yang sama. Demikian juga pada sampel kelompok umur >10 tahun, persentase sampel laki-laki dan perempuan adalah sama besar. Secara persentase menurut jenis kelamin dan kelompok umur sampel yang didapat pada penelitian ini tidak mencerminkan gambaran populasi. Pada anak yang berumur lebih muda morbiditas terhadap penyakit tuberkulosis lebih banyak terjadi pada anak lakilaki dibanding dengan anak perempuan, kemudian persentasenya akan menjadi sama dengan bertambahnya umur (Stead, 1993). Sedangkan persentase morbiditas terhadap penderita tuberkulosis pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan untuk kelompok umur 6 tahun keatas pada penelitian ini relatif sama, yaitu 48% sampel laki-laki dan 52% perempuan, keadaan ini sesuai dengan persentase gambaran populasi, dimana pada anak yang lebh besar persentase morbiditas terhadap penyakit tuberkulosis adalah sama besar (Stead, 1993). Apabila dikelompokkan menurut menurut umur, 100 sampel terbagi atas kelompok umur <5 tahun sebanyak 75 sampel atau 75,0%, kelompok umur 6-10 tahun sebanyak 21 sampel atau 21,0% dan kelompok umur >10 tahun sebanyak 4 sampel atau 4%. Berdasarkan persentase menurut kelompok umur sampel yang didapat pada penelitian ini sudah mencerminkan gambaran populasi, yaitu bahwa morbiditas terhadap penyakit tuberkulosis anak yang berumur < 5 tahun adalah yang tertinggi dibanding dengan anak yang berumur lebih tua (Stead, 1993). Selain karakteristik sampel, jumlah sampel juga berpengaruh terhadap hasil penelitian. Sampel
Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

yang digunakan pada penelitian ini sudah diperhitungkan dengan beberapa persyaratan yang sesuai dengan rumus yang berlaku sehingga jumlah sampel untuk penelitian ini sudah dianggap cukup. Semakin banyak sampel akan semakin baik pula hasil penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan perhitungan statistik uji clinical disagreement dengan membandingkan dua cara uji tapis tuberkulosis pada anak dengan menggunakan uji tuberkulin (Mantoux) dan uji BCG, sehingga tidak menggunakan baku emas. Perhitungan statistik dilakukan dengan mengukur nilai "kappa" dengan tabulasi silang 2X2 antara hasil uji BCG dan uji tuberkulin (Mantoux). Jumlah sampel dengan hasil uji BCG positif dan hasil uji tuberkulin (Mantoux) positif adalah 23 sampel atau 23,0%, jumlah sampel dengan hasil uji BCG positif dan hasil uji tuberkulin (Mantoux) negatif adalah 74 sampel atau 74,0%, jumlah sampel dengan hasil uji BCG negatif dan hasil uji tuberkulin (Mantoux) positif adalah 1 sampel atau 1,0% dan jumlah sampel dengan hasil uji BCG negatif dan hasil uji tuberkulin (Mantoux) negatif adalah 3 sampel atau 3,0%. Apabila dijumlahkan secara keseluruhan, didapatkan sampel dengan hasil uji BCG positif adalah sebanyak 97 atau 97,0%, sedangkan sampel dengan hasil uji (tuberkulin) Mantoux positif adalah sebanyak 24 atau 24,0%. Dikshit dan Sursndra Singh (1977) melakukan uji tuberkulin dan uji BCG secara bersamaan dengan hasil 93% uji BCG positif pada responden tuberkulosis paru dan hanya 65% uji tuberkulin positif, 82% uji BCG positif pada meningitis tuberkulosis dan hanya 40% uji tuberkulin positif. Disimpulkan bahwa uji BCG merupakan bentuk protein natural sehingga reaksinya lebih cepat dan sensitif untuk mendiagnosis tuberkulosis pada anak dengan malnutrisi dan tuberkulosis yang berat. Berdasarkan rumus maka didapatkan hasil perhitungan (seluruh sampel) nilai kappa sebesar 0,008 dengan nilai p=0,701 (bermakna p=0,05) yang berarti bahwa kedua uji (uji BCG dan uji tuberkulin (Mantoux)) tidak ada kesesuaian dan tidak bermakna. Demikian juga pada sampel yang berumur <5 tahun didapatkan nilai kappa yang kecil (-0,013) dan nilai p= 0,605. Apabila hasil uji tuberkulin (Mantoux) positif berarti bahwa sampel benar menderita penyakit tuberkulosis; tetapi apabila hasil uji tuberkulin (Mantoux) negatif maka belum tentu tidak menderita penyakit tuberkulosis. Hal ini dapat terjadi akibat

kemungkinan adanya under diagnosis. Sedangkan untuk hasil uji BCG positif dapat berarti bahwa memang benar sampel tersebut menderita penyakit tuberkulosis, atau tidak menderita penyakit tuberkulosis. Hal ini dapat terjadi akibat kemungkinan adanya overdiagnosis. Keadaan lain yang dipertimbangkan adalah (1) komposisi reagen BCG jauh lebih besar dibanding reagen tuberkulin (PPD S 5 TU) sehingga kemampuan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lebih besar, (2) semua responden pada penelitian ini pernah mendapatkan vaksinasi BCG, sehingga mungkin lebih mudah tersensitisasi terhadap uji BCG. Pengaruh status gizi responden terhadap hasil uji tuberkulin (Mantoux) dapat dilihat pada tabel 8. Tampak bahwa hasil uji tuberkulin (Mantoux) yang negatif lebih banyak didapatkan pada sampel dengan status gizi Kurang Energi Protein ringan, tetapi dengan menggunakan Fisher's Exact test tidak didapatkan hasil yang berbeda bermakna dengan p=0,331. Sedangkan pengaruh status gizi sampel terhadap hasil uji BCG terlihat bahwa hasil uji BCG negatif lebih sedikit pada sampel dengan kurang energi protein ringan, dengan menggunakan Fisher's Exact test juga tidak didapatkan hasil yang berbeda bermakna dengan p=0,331. Sampel dengan status gizi Kurang Energi Protein ringan dengan hasil uji BCG positif, hasil uji tuberkulin lebih banyak yang negatif dibanding yang positif, dengan perbandingan 3:1. Sedangkan pada sampel dengan gizi baik dan hasil uji BCG positif hasil uji tuberkulin negatif lebih banyak dibandimg yang positif, dengan perbandingan 4:1. Tetapi pada kedua keadaan tersebut secara statistik tidak bermakna (df= 1,12 dan p= 0,77). Demikian juga pada sampel yang berumur <5 tahun (df= 1,93 dan p= 0,58) dan 6-10 tahun (df= 0,22 dan p= 0,64) mempunyai gambaran yang hampir sama Hal ini dapat terjadi karena mungkin jumlah sampel yang terlalu sedikit sehingga uji chi square yang dilakukan kurang valid. Jaiswal dan Badhari (1977) mendapatkan 94% anak dengan berbagai derajat malnutrisi menunjukkan hasil uji tuberkulin positif relatif dalam proporsi yang lebih rendah (18%) dibanding dengan hasil uji BCG positif pada keadaan yang sama. Sedangkan Chandra (1979) mendapatkan hanya 10% dari 23 anak yang diketahui menderita tuberkulosis dengan malnutrisi. Shrivastava (1977) menyatakan bahwa BCG mempunyai indeks hipersensitivitas tuberkular yang lebih baik dibanding tuberkulin,
Mohammad Wildan 5

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan Tuberkulosis

dan tidak dipengaruhi oleh status gizi. Dana S, Krishna K, Suskind RM (1997) mendapatkan bahwa anak dengan kecepatan pertumbuhan subnormal akibat defisiensi diit protein akan menurunkan respons reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap tuberkulin. Respons hipersensitivitas tipe lambat terdiri atas tiga rangkaian proses yang jelas. Jalur aferen melibatkan sensitisasi limfosit T terhadap antigen yang "diproses" makrofag. Jalur eferen ditandai dengan produksi mediator kimia yang terlarut atau limfokin dan berperan pada sensitisasi sel T yang mengenal dan berinteraksi dengan antigen yang disuntikan intradermal. Respons peradangan kemungkinan dipacu oleh pelepasan limfokin pada sisi kulit yang diberi antigen; dan faktor kemotaktik menyebabkan indurasi kulit yang merupakan tanda reaksi positif (Grange JM, 1994). Defisiensi nutrisi menekan salah satu atau lebih komponen respons hipersensitivitas tipe lambat (Grange JM, 1994). Pada Kurang Kalori Protein ringan mungkin belum sampai menekan komponen respons hipersensitivitas tipe lambat tersebut, sehingga tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status gizi dan hasil negatif uji tuberkulin. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa status imunologi pada sampel belum sampai menurun sehingga belum sampai mengurangi sensitivitas reaksi hipersensitivitas, yang pada penelitian ini status imunologi tidak diteliti. Didapatkan 2 sampel dengan konjungtivitis fliktenularis; yang pertama seorang anak perempuan berumur 8 tahun, anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang mendukung kearah tuberkulosis, sudah dikonsulkan ke Bagian Mata dengan kesimpulan konjungtivitis fliktenularis akibat tuberkulosis, tetapi hasil uji tuberkulin (Mantoux) negatif (diameter indurasi 5 mm) dan hasil uji BCG positif (diameter indurasi 12 mm), perkembangan penyakit setelah dilakukan pengobatan antituberkulosis selama 6 bulan dengan rejimen 2HRZ 4HR dinyatakan sembuh (klinik, laboratorik, radiologik perbaikan); kasus yang kedua seorang anak laki-laki berumur 6 tahun dengan keadaan yang sama dengan kasus pertama, hasil uji tuberkulin (Mantoux) negatif (diameter indurasi 7 mm) dan hasil uji BCG positif (diameter indurasi 12-16 mm). Konjungtivitis fliktenularis merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkulin, terjadi akibat respons infeksi primer tuberkulosis. Insidensnya banyak terjadi pada negara dunia ketiga pada kelompok umur 56

15 tahun (Ormerod LP, 1994). Ormerod (1994) mengatakan bahwa konjungtivitis fliktenularis biasanya terjadi pada anak yang mengalami infeksi primer tuberkulosis dalam 12 bulan. Hasil uji tuberkulin (Mantoux) pada kedua penderita ternyata negatif. Hal ini dapat dijelaskan bahwa indeks hipersensitvitas tuberkular terhadap uji tuberkulin (Mantoux) lebih rendah dibanding terhadap uji BCG, sebagaimana yang didapatkan oleh Shrivastava (1977) yang menyimpulkan bahwa BCG mempunyai indeks hipersensitivitas tuberkular yang lebih baik. Sonmez (1994) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa BCG lebih sensitif dan lebih spesifik dibanding PPD untuk membantu menegakkan diagnosis tuberkulosis. Kemungkinan lain adalah bahwa konjungtivitis fliktenularis disebabkan oleh infeksi streptokokus kelompok hemolitik atau stafilokokus, tetapi pada kedua penderita tidak dilakukan pemeriksaan pengecatan ataupun biakan sekret mata. Ukuran diameter hasil positif uji BCG pada sampel yang dinyatakan sembuh didapatkan 62 sampel (77,5 %) berdiameter 5-10 mm dan 18 sampel (22,5 %). Sedangkan ukuran diameter ratarata hasil positif uji BCG pada sampel yang dinyatakan sembuh adalah 9,7 mm. Uji BCG positif didapatkan pada 73 sampel (97,33%) dari seluruh sampel yang berumur < 5 tahun, 20 sampel (95,23% dari seluruh sampel yang berumur 6-10 tahun dan 4 sampel (100%) dari seluruh sampel yang berumur >10 tahun. Dengan demikian, sebaran hasil positif uji BCG relatif sama pada semua kelompok umur, hal ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Shrivastava dkk (1977). Dapat dijelaskan bahwa BCG mempunyai indeks hipersensitivitas tuberkular yang lebih baik dan tidak dipengaruhi oleh faktor umur dan status gizi; jarang sekali menimbulkan efek samping dan reaksi yang berat; merupakan indikator yang kuat (96,7%) pada kontak tuberkulosis; sehingga BCG mempunyai keunggulan karena sederhana, aman, reabilitasnya tinggi dan murah sebagai alat diagnostik yang direkomendasikan untuk penggunaan rutin di lapangan, terutama di negara dengan prevalensi tinggi tuberkulosis. Choudhary dkk (1977) melaporkan bahwa respons terhadap vaksinasi BCG tidak berhubungan dengan umur. Komplikasi akibat uji BCG pada sampel tidak didapatkan pada penelitian ini. Efek samping uji BCG (Choudhary, 1977) didapatkan adenitis regional 3,3% dan ulserasi 8%. Insiden
Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

limfadenopati regional yang diteliti oleh Udani dan Jaiswal (dikutip oleh Shrivastava) sebesar 7,1 %. Sehingga disimpulkan bahwa BCG dapat diberikan pada semua anak tanpa khawatir terhadap komplikasinya. Sebagai bukti tambahan (yang perlu dipertimbangkan) adalah bahwa baik pada sampel dengan hasil uji tuberkulin positif dan negatif, sebagian besar (perbaikan laboratorik 95,8% dan 96,1%; perbaikan radiologik 95,8% dan 77,6%) mengalami perbaikan laboratorik dan radiologik dengan sebaran yang sama. Sedangkan pada responden dengan hasil uji BCG positif dan negatif, sebagian besar (perbaikan laboratorik 95,9% dan 100%; perbaikan radiologik 82,5% dan 66,7%) mengalami perbaikan laboratorik dan radiologik juga dengan sebaran yang hampir sama. Akan lebih baik lagi apabila penelitian ini juga menggunakan sampel kontrol. Adapun keterbatasan-keterbatasan penelitian ini adalah: 1. Tidak menggunakan baku emas dan kontrol 2. Tidak dilakukan uji standar mutu reagen BCG maupun PPDS 5TU secara biokimiawi sebelum disuntikkan 3. Penyuntikan reagen dilakukan oleh perawat yang telah berpengalaman, tetapi kesalahan akibat teknik penyuntikan reagen tidak dipertimbangkan secara teliti 4. Tidak diteliti variabel lain yang berpengaruh pada perbaikan status gizi 5. Tidak diteliti status imunologi yang dapat berpengaruh pada reaksi hipersensitvitas uji BCG maupun tuberkulin 6. Semua responden pada penelitian ini telah mendapatkan vaksinasi BCG sebelumnya Simpulan dan Saran Simpulan 1. Proporsi hasil positif uji BCG lebih besar dibanding dengan proporsi hasil positif uji tuberkulin (Mantoux) pada anak dengan tuberkulosis, tetapi secara statistik tidak bermakna 2. Pada anak dengan tuberkulosis dan Kurang Energi Protein ringan proporsi hasil negatif uji tuberkulin (Mantoux) lebih besar dibanding dengan proporsi hasil negatif uji BCG, tetapi secara statistik tidak bermakna. 3. Sebaran hasil positif uji BCG relatif sama pada semua kelompok umur 4. Uji BCG dapat digunakan sebagai sarana uji tapis atau diagnosis tuberkulosis pada anak

Saran 1. Perlu hati-hati dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis tanpa hasil biak an dan pengecatan kuman BTA 2. Perlu dilakukan penelitian serupa lebih lanjut dengan menggunakan baku emas dan kontrol Daftar Pustaka
Chandra RK, Newberne PM. 1979. Nutrition, Immunity and Infection Mechanism of Interaction. New York: Plenum Press Choudhary AK. 1977. BGC test for diagnosis of childhood tuberculosis. Indian Pediatrics. 13: 689-95. Christy C. 1996. Screening for tuberculosis infection in urban children. Archieves of Pediatrics & Adolescent Medicine 150: 722-26 Committee on Infection Diseases. Screening tuberculosis in infant and children. Pediatrics 93: 131-4 Dana S, Krishna K, Suskind RM. 1977. The Malnourished Child in Overview Dalam: Suskind RM, Leslie LS. 1997. The Malnourished Child. New York: Raven Press Dikshit KP, Surendra Singh. 1977. BCG test for diagnosis of chilhood tuberculosis. Indian Pediatrics Vol XIII No 9: 68795. Grange JM. 1994. Immunophysiology and Immunopathology of Tuberculosis. Dalam: Davis PDO eds. 1994. Clinical Tuberculosis. London: Chapman & Hall Medical Jaiswal S, Badhari NR. 1977. Evaluation of diagnostic valve of BCG test in childhood tuberculosis. Indian Pediatrics 14: 993-8. Kenyon TA, Driver C, Haas E. 1999. Immigration and tuberculosis among children on the united states-mexico border, county of san diego, California. Pediatrics 104: 1-6 Ormerod LP. 1994. Respiratory Tuberculosis. Dalam: Davis PDO eds. Clinical Shrivastava DK, Shingwekar AG, Choudhary AK. 1977. Evaluation of BCG test in childhood tuberculosis. Indian Pediatrics Vol XIV No 12: 993-8. Soekendar AW. 1993. PAP-TB sebagai Penunjang Diagnosis dan Terapi Tuberkulosis. Jakarta: Forum Diagnosticum Somnez. 1998. Diagnosis of tuberculosis: PPD or BCG test. Journal of Tropical Pediatric. 44: 40-2

Perbandingan Hasil Positif Uji BCG dan Uji Tuberkulin sebagai Uji Tapis pada Anak dengan Tuberkulosis

Mohammad Wildan

Stead WW, Dut AK. 1993. Epidemiology and Host Factors. Dalam: Schlossberg D. 1993. Tuberculosis. New York: Springer-Verlaag Tuberculosis. London: Chapman & Hall Medical Wong GWK, Oppenheimer SJ. 1994. Childhood Tuberculosis. Dalam: Davis PDO eds. 1994. Clinical Tuberculosis. London: Chapman & Hall Medical

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum
Sulistyani Kusumaningrum
E mail: lilis_tomy@yahoo.com

Abstract
Emphysema as a condition of lung characterized by abnormal, permanent enlargement of airspaces distal to the terminal bronchiole, accompanied by destruction of their walls. At first chronic inflammatory induced changed the lung structure. The abnormality of lung structure can manifest in Posterio-anterior chest X-ray. Posterio-anterior chest X-ray has good validity to establish change the lung structure. Posterio-anterior chest X-ray was a simple examination and cheap as good as spirometry for a gold standard. This study maintained to get validity of Posterioanterior chest X-ray to establish diagnosis of emphysema.This study is a diagnostic test were that performed in Departement of Radiology RSUD Dr Moewardi Surakarta from July to October 2008. Samples of this study recruited were 192 subjects with range of age between 18-81 years old, 154 men and 38 women. emphysema was diagnosed if Posterio-Anterior chest X-ray showed : 1)Hyperinflation 2) Hyperlucency 3) Decrease and flattened of diaphragma and 4) Tear drop appearance of the heart, to determine either emphysema or non emphysema. emphysema was diagnosed if met with all criteria above. Spirometry showed obstruction with criteria of GOLD 2006, mild obstruction if FEV1/ FVC < 70%, FEV1 > 80% predicted, moderate obstruction if FEV1/FVC < 70%, 50%< FEV1<80% predicted, severe obstruction if FEV1/FVC < 70%, 30%< FEV1<50% predicted and very severe obstruction if FEV1/FVC < 70%, FEV1< 30% or FEV1<50% predicted plus chronic respiratory failure. F r o m 1 9 2 s u b j e c t s performed Posterio-Anterior chest X-ray, 126 subjects (66%) were diagnosed with emphysema and non emphysema were diagnosed in 66 subjects (34%). Posterio-Anterior chest X-ray emphysema with obstruction were establishe in 117 subjects (93%) and non obstruction were diagnosed in 9 subjects (7%). Posterio-Anterior chest Xray non emphysema with obstruction were diagnosed in 12 subjects (18%) and non obstruction were diagnosed in 54 subjects (82%). Smoking habits was higher in emphysema Posterio-anterior chest X-ray group than non emphysema group. The validity of Posterio-Anterior chest X-ray to establish diagnosis of emphysema was 90.6% in sensitifity and 84.3% in spesifisity. Posterio-Anterior chest X-ray has good validity to establish diagnosis emphysema. Posterio-anterior chest X-ray was a simple examination and cheap as good as spirometry for a gold standard. Keywords: emphysema pulmonum, posterio-anterior projection, spirometry, validity

Pendahuluan Dari tahun ke tahun angka kesakitan dan kematian penderita emfisema belum menunjukkan penurunan. Penyakit Paru Obstruksi Khronis (PPOK) yang di dalamnya terdapat emfisema yang menjadi kontributor terbesar, di negara maju merupakan masalah kesehatan utama, karena semakin bertambahnya penderita (Widjaja, 1993). Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT ) DEPKES RI 1992 menunjukkan angka kematian emfisema, bronkhitis khronis dan asma menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Widjaja, 1993). Diagnosis emfisema berdasar pendekatan patologinya (diagnosis emfisema menggunakan p e n d e k a t a n p e m e r i k s a a n h i s t o p at o l o gi merupakan diagnosis pasti, akan tetapi sangat
Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum

sulit dilakukan), sehingga penegakan diagnostik masih cenderung mempelajari emfisema dengan jalan mengukur derajat abnormalitas faal paru dengan pemeriksaan spirometri sebagai standar baku emas (Senior, 1998). Abnormalitas pemeriksaan faal paru pada emfisema menunjukkan tanda obstruktif. Pemeriksaan spirometri cukup sulit dan cukup lama serta sangat memerlukan kerjasama pasien dalam hal melakukan manouver berkali-kali. Apabila pasien tidak mampu melakukan manuver secara benar maka tidak akan didapatkan hasil spirometri yang akurat. Emfisema mempunyai kelainan berupa pelebaran abnormal dan permanen ruang udara sebelah distal dari bronkhiolus terminalis. Kelainan yang mendasari adalah destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata, bersifat kronis progresif dan memberikan kecacatan yang menetap (Thurlbeck, 1994:Finlay, 1996; Barnes,
Sulistyani Kusumaningrum 9

1997; Senior, 1998). Kelainan struktur parenkim diawali terjadinya inflamasi khronis yang akan mengakibatkan destruksi jaringan elastin dinding jalan napas. Bentuk kelainan struktur yang dijumpai adalah destruksi serat elastin septum interalveoli dan ditemukannya peningkatan serat kolagen sebagai bentuk remodelling jaringan ikat paru akibat destruksi serat elastin tersebut. Keadaan inilah yang berkaitan dengan terjadinya penurunan fungsi paru. Elastin dan kolagen merupakan komponen utama dari anyaman (network) jaringan ikat paru yang secara bersama menentukan daya elastisitas paru (Finlay, 1997; Senior, 1998). Destruksi serat elastin, deposisi dan bentuk remodelling kolagen, merupakan kelainan yang mendasari terjadinya pembesaran ruang udara pada emfisema. Kelainan struktur jaringan dapat memberi manifestasi pada gambaran radiologi foto thorax proyeksi posterio-anterior (foto thorax PA), sehingga pendekatan pemeriksaan foto thorax PA diharapkan mampu memberi kontribusi penegakan diagnosis yang cepat dan akurat pada emfisema pulmonum dan merupakan pemeriksaan yang lebih nyaman bagi pasien dibandingkan spirometri. Material dan Desain Penelitian Jenis dan rancang penelitian yang dilakukan ialah uji diagnostik. Tujuan uji diagnostik ini adalah untuk mengetahui seberapa tinggi validitas foto thorax PA untuk mendiagnosis emfisema pulmonum. Untuk keperluan ini, uji diagnostik harus sensitif (kemungkinan false negative kecil), sehingga apabila didapatkan hasil yang normal dapat dipergunakan untuk menyingkirkan adanya penyakit. Uji diagnostik ini juga harus spesifik (kemungkinan hasil false positive kecil), sehingga apabila hasilnya abnormal dapat digunakan untuk menentukan adanya penyakit (Sastroasmoro, 1995). Penelitian dilakukan di RSU. Daerah Dr. Moewardi Surakarta selama bulan Juli hingga Oktober 2008. Cara pengambilan sampel dengan consecutive sampling. Cara kerja pada tahap pertama, saat pendaftaran penderita diseleksi berdasar kriteria inklusi dan eksklusi, pasien yang masuk kriteria inklusi dilakukan foto thorax PA untuk menegakkan diagnosis emfisema dan non emfisema paru. Dilanjutkan pemeriksaan faal paru (spirometri) FE V1 dan FVC untuk menegakkan adanya emfisema (obstruksi) dan non emfisema paru (non obstruksi). Analisis data
10

dalam penelitian ini adalah sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, r a s i o k e ce n d e r u n g a n p o s i t i f d a n r a s i o kecenderungan negatif dari foto thorax PA. Penghitungan dari variabel dilakukan dengan memakai tabel 2 x 2 Teknik Pemeriksaan Setiap subyek atau sampel penelitian menjalani prosedur pemeriksaan sebagai berik ut: Pemeriksaan radiologi thorax PA untuk menegakkan diagnosis emfisema dan non emfisema paru. Dilakukan pemeriksaan faal paru (spirometri) FEV1 dan FVC untuk menegakkan adanya emfisema (obstruksi) dan non emfisema paru (non obstruksi). Interpretasi pembacaan hasil foto thorax PA dilakukan dokter spesialis radiologi sedangkan pemeriksaan faal paru dilakukan oleh dokter spesialis paru. Sebelum penelitian ini dimulai, dilakukan uji keandalan intra-observer seorang dokter spesialis radiologi untuk menilai foto thorax PA, penilaian foto thorax PA dilakukan dua kali. Penghitungan derajat kesesuaian (kappa) intra-observer dilakukan dengan perangkat lunak computer dan didapatkan kappa intra-observer 1,0. Nilai kappa tersebut termasuk dalam kategori sangat baik Definisi operasional 1. Pada foto thorax PA dinyatakan emfisema pulmonum bila pada radiologi thorax ditemukan gambaran : diafragma turun dan mendatar hingga dapat mencapai di bawah costa XI aspek posterior atau di bawah costa VII aspek anterior (hiperinflasi, diafragma turun dan mendatar), penambahan lusensi paru yang dapat dibandingkan dengan gambaran udara sekitar di luar tubuh yang ikut terekspose film (hiperlusensi), gambaran jantung yang langsing disertai penurunan cardiothoracic ratio < 0,5 (tear drop appearance jantung) 2. Hasil Spirometri/gangguan faal paru dikatakan obstruksi (emfisema pulmonum) ringan bila nilai FEV1 / FVC < 70 % , FEV1 > 80 % prediksi , obstruksi sedang bila nilai FEV1 / FVC < 70 % , 50 % < FEV1 < 80 % prediksi dan obstruksi berat bila nilai FEV1 / FVC < 70 % , 30 % < FEV1 < 50 % prediksi, obstruksi sangat berat bila nilai FEV 1 / FVC < 70 %, FEV 1 < 30 % prediksi atau FEV 1 < 50% disertai gagal pernafasan khronis

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Analisis Data Pengujian Hipotesis dengan Uji Diagnostik. Dibuat tabel 2 x 2 hasil foto thorax PA dibandingkan spirometri Selama periode Januari sampai dengan Desember 2004 didapatkan data dari catatan

Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum

Sulistyani Kusumaningrum

11

Hasil Penelitian Pada periode bulan Juli hingga Oktober 2008 didapatkan 192 subyek penelitian, dibuat tabel 2x2 berdasar hasil foto thorax PA emfisema dan non emfisema dan hasil spirometri obstruksi dan non obstruksi. 1. Karakteristik data dasar
Tabel 1. Karakteristik data dasar
No 1 Data Dasar Subyek Penelitian Hasil Foto Thorax PA emfisema Hasil Foto Thorax PA Non emfisema Jenis Kelamin Laki-Laki: emfisema Non emfisema Perempuan: emfisema Non emfisema Umur : Maksimal Minimal Tingkat Pendidikan SD emfisema Non emfisema SMP emfisema Non emfisema SMA emfisema Non emfisema PT emfisema Non emfisema 5 Kebiasaan Merokok emfisema : Non emfisema : Jumlah 192 126 66 Prosentase 66 % 34 %

154 115 39 38 9 29 81 th 18 th

80 % 75 % 25 % 20 % 24 % 76 %

78 59 19 71 46 25 38 17 21 5 2 3

41 % 76 % 24 % 37 % 65 % 35 % 20 % 45 % 55 % 2% 40 % 60 %

Ya Tidak Ya Tidak

109 17 63 3

87 % 13 % 95 % 5%

Berdasar tabel di atas dapat diketahui penelitian ini terdiri dari 192 subyek. Jenis kelamin laki-laki (80%) lebih banyak daripada perempuan (20%). Jumlah laki-laki dengan emfisema adalah 75 % sedangkan perempuan dengan emfisema 24 %. Umur subyek penelitian antara18 sampai 81 tahun. Tingkat pendidikan subyek terbanyak adalah SD (41%) kemudian SMP (37%), SMA (20%)

dan PT (2%). Semakin tinggi tingkat pendidikan angka kejadian emfisema lebih rendah daripada non emfisema Hal tersebut mulai tampak pada tingkat pendidikan SMA, dimungkinkan karena semakin tinggi tingkat pendidikan, seseorang akan semakin tahu tentang kesehatan.

12

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

2. Uji diagnostik Tabel 2 . Tabel 2 x 2 hasil foto thorax PA dibandingkan spirometri


Obstruksi (+) 116 12 128 Hasil Spirometri Obstruksi (-) 10 54 64 Total 126 66 192

Foto Thorax PA

emfisema (+) emfisema (-) Total

Tabel 2x2 menunjukkan hasil pemeriksaan foto thorax PA dibandingkan pemeriksaan spirometri sebagai gold standard. Jumlah subyek penelitian dengan hasil true positive yaitu pasien dengan emfisema pada foto thorax PA yang menunjukkan tanda-tanda obstruksi pada pemeriksaan spirometri sebanyak 116 orang. Jumlah pasien dengan emfisema pada foto thorax PA namun tidak menunjukkan tanda-tanda obstruksi pada pemeriksaan spirometri sebanyak 10 orang (false positive). Jumlah pasien non emfisema pada foto thorax PA namun menunjukkan tanda-tanda obstruksi pada pemeriksaan spirometri sebanyak 12 orang (false negative) dan jumlah pasien non emfisema pada foto thorax PA yang juga tidak menunjukkan tanda-tanda obstruksi pada pemeriksaan spirometri sebanyak 54 orang (true negative). Pembahasan Subyek penelitian sejumlah 192, berdasarkan pemeriksaan foto thorax PA diketahui emfisema adalah 126 orang (66%) sedangkan non emfisema 66 orang (34%). Kelompok emfisema pada pemeriksaan spirometri diketahui 117 (93%) dengan obstruksi dan 9 (7%) non obstruksi. Kelompok non emfisema pada pemeriksaan spirometri terdapat 12 (18%) dengan obstruksi dan 54 (82%) non obstruksi. Kelompok emfisema sendiri diketahui mempunyai angka kebiasaan merokok cukup tinggi yaitu 87 %, hanya 13 % saja tanpa kebiasaan merokok. Hal ini sesuai dengan teori tentang faktor penyebab terjadinya emfisema. Pendapat yang populer di Inggris (British hypothesis) menyatakan, faktor eksogen misalnya rokok, polusi udara, lingkungan kerja berdebu, dapat menjadi penyebab utama. Diantara semua faktor resiko tersebut, rokok merupakan faktor paling dominan dibandingkan dengan yang lain. Bahkan dinyatakan, emfisema hampir selalu disebabkan oleh asap rokok (Senior, 1998). Bahan toksik yang terdapat dalam asap rokok dapat mencapai setiap bagian trakhea dan bronkhus sampai alveolus. Apabila bahan toksik

mencapai alveolus, di alveoli dapat timbul proses inflamasi, terjadi mobilisasi makrofag dan netrofil sehingga jumlah dan aktivitas sel fagosit tersebut meningkat (Samet, 1991). Aktivasi makrofag akan mengganggu keseimbangan protease anti protease. Disamping itu juga akan melepaskan Neutrophyl Chemotactic Factor (NCF) yang memobilisasi netrofil sehingga sekreasi elastase meningkat, dan dapat melepaskan oksidan yang akan menginaktifasi AAT sehingga terjadi proses perusakan elastin paru sebagai dasar kelainan emfisema (Fain, 2003;Hautamaki, 1997). Kelompok emfisema tanpa kebiasaan merokok sejumlah 13 % karena perokok pasif mempunyai kemungkinan risiko yang sama dengan perokok aktif. Bahan toksik yang terdapat dalam asap rokok juga dapat mencapai setiap bagian trakhea, bronkhus sampai alveolus perokok pasif, sehingga timbul proses inflamasi, terjadi mobilisasi makrofag dan netrofil sehingga jumlah dan aktivitas sel fagosit tersebut meningkat. Aktifasi makrofag juga dapat disebabkan bahan polutan lain, seperti debu dan polusi udara (Barnes,1997) Kelompok non emfisema namun dengan kebiasaan merokok terdapat 95% dan tanpa merokok 5%, perlu penelitian lebih lanjut berkaitan dengan pertanyaan berapa batang rokok yang dikonsumsi setiap harinya dan sudah berapa lama merokok. Menurut Sharma (2006), emfisema terjadi pada seseorang dengan kebiasaan merokok lebih dari 20 batang perhari dan kebiasaan merokok tersebut sudah terjadi selama 20 tahun. Kebiasaan merokok pada penelitian penulis ini belum bisa dimasukkan dalam faktor resiko, perlu dikembangkan pada penelitian lebih lanjut. Sensitivitas foto thorax PA untuk mendiagnosis emfisema pulmonum yaitu hasil true positive dibagi jumlah true positive dan false negative ,dikalikan 100%, adalah sebesar 90,6 % ; spesifisitas yaitu hasil true negative dibagi jumlah false positive dan true negative , dikalikan 100% adalah sebesar 84,3 % ; nilai prediksi positif yaitu hasil true positive dibagi jumlah true positive dan false positive, dikalikan 100 % adalah sebesar 92,0 % ; nilai

Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum

Sulistyani Kusumaningrum

13

prediksi negatif yaitu hasil true negative dibagi jumlah false negative dan true negative , dikalikan 100 % adalah sebesar 81,8 % ; rasio kecenderungan positif yaitu sensitifitas dibagi hasil false positive per jumlah false positive dan true negative adalah sebesar 5,8 ; rasio kecenderungan negatif yaitu hasil false negative per jumlah true positive dan false negative dibagi spesifisitas adalah sebesar 0,1. Menurut Sharma (2006), sensitivitas foto thorax adalah 80 %. Pada penelitian ini didapatkan nilai sensitivitas lebih tinggi daripada hipotesis, hal itu disebabkan karena sejumlah 116 pasien dengan gambaran foto thorax PA menunjukkan emfisema, setelah dilakukan pemeriksaan spirometri juga menunjukkan tanda-tanda obstruksi sesuai dengan kelainan emfisema (hasil true positive tinggi). Pada penelitian ini didapatkan nilai spesifisitas 84,3 % , angka tersebut lebih tinggi daripada hipotesis yang menyebutk an 80 %, ini dikarenakan sejumlah 54 pasien dengan gambaran foto thorax PA non emfisema setelah dilakukan pemeriksaan spirometri juga tidak menunjukkan tanda-tanda obstruksi (hasil true negative tinggi). Sejumlah 10 pasien (false positive) pada foto thorax PA menunjukkan gambaran emfisema, namun setelah dilakukan pemeriksaan spirometri tidak didapatkan tanda-tanda obstruksi. Hal itu dimungkinkan karena menurut Enright (1987), gambaran hiperinflasi yang seolah-olah menyebabkan penurunan dan pendataran diafragma maupun tear drop appearance jantung disertai gambaran hiperlusensi juga dapat terlihat pada pasien normal dengan inspirasi dalam maupun atlet dewasa muda tanpa penyakit paru . Sejumlah 12 pasien (false negative) pada foto thorax PA menunjukkan gambaran non emfisema, namun setelah dilakukan pemeriksaan spirometri didapatkan tanda-tanda obstruksi, hal itu dikarenakan terdapat penyakit - penyakit di luar emfisema yang juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan obstruksi jalan nafas (bronkhitis khronis, asma). Menurut Enright (1987), jalan nafas dapat diibaratkan seperti saluran karet. Aliran yang melalui saluran dapat menurun pada berbagai sebab. Penyempitan saluran dari dalam atau kompresi dari luar, akan menurunkan aliran udara di dalam saluran tersebut. Pada penelitian uji diagnostik ini, foto thorax PA untuk mengetahui kelainan struktur paru pada
14

emfisema pulmonum memberikan manfaat yang lebih dibanding dengan uji yang sudah ada yaitu spirometri sebagai gold standard untuk mengetahui fungsi faal paru. Definisi emfisema pulmonum menyebutkan kelainan paru secara anatomis, foto thorax PA mendeteksi kelainan emfisema tersebut sebagai suatu kelainan anatomis paru , sedangkan spirometri mendeteksi kelainan tersebut sebagai suatu kelainan dari fungsi faal paru. Nilai diagnostik foto thorax PA oleh karena itu lebih tinggi dibanding dengan spirometri, didapatkan sensitivitas 90,6 % dan spesifisitas 83,4%. Foto thorax PA pada pelaksanaan pemeriksaan juga lebih memberikan kenyamanan pada pasien, dikarenakan pasien hanya melakukan inspirasi maksimal kemudian menahan inspirasi tersebut saat foto diekspose tanpa harus melakukan manouver spirometri berkali-kali yang sulit dilakukan oleh pasien dengan sesak nafas. Foto thorax PA juga merupakan pemeriksaan yang lebih mudah dan lebih sederhana dengan biaya yang sama dengan pemeriksaan spirometri. Standar baku emas emfisema pulmonum secara anatomi saat ini adalah High Resolution Computed Tomography, namun tidak semua rumah sakit di Indonesia memiliki alat tersebut. Biaya dari pemeriksaan HRCT juga sangat mahal. Tidak semua masyarakat bisa menjangkau pemeriksaan tersebut, sehingga perlu dipertimbangkan pemeriksaan lain yang lebih terjangkau untuk masyarakat kurang mampu tetapi memilik i nilai diagnostik tinggi. Pemeriksaan foto thorax PA diharapkan mampu memberi kontribusi penegakan diagnosis yang cepat dan akurat pada emfisema pulmonum dan merupakan pemeriksaan yang lebih mudah, lebih nyaman dan terjangkau bagi pasien dibandingkan spirometri. Simpulan dan Saran Simpulan Pemeriksaan foto thorax PA untuk mendiagnosis emfisema pulmonum, mempunyai sensitivitas 90,6 % dan spesifisitas 84,3 %. Saran Perlu dipertimbangkan untuk mengalihkan pemeriksaan spirometri ke pemeriksaan foto thorax PA pada pasien emfisema pulmonum dengan sesak nafas yang tidak dapat melakukan manouver spirometri berkali-kali.

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Daftar Pustaka
Barnes P., Godfrey S., 1997. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Martin Dunitz Ltd. London : 1-28. Enright P., 1997, Office Spirometry, Lea & Febiger, Philadelphia Finlay G., O'Donnell, O'Connor , Hayes J., FitzGerald, 1996. Elastin and Collagen Remodeling in emfisema A Scanning Electron Microscopy Study. Am.J.Pathol,149: 1405-1415. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2006. Global Strategy for The Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, MCR Vision, Inc : 3 Hautamaki R., Kobayashi K., Senior R., Shapiro S., 1997. Requirement for Macrophage Elastase for Cigarette smoke Induced emfisema in Mice, 227 : 2002-4. Samet J., 1991. The Relationship of Smoking to COPD . Cherniack NS, WB Saunders Company, Philadelphia : 249-54. Sastroasmoro S., Ismael S., 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , Jakarta : 267-268.

Senior R., Anthonisen N., 1998. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Am. J. Respir. Crit. Care. Med. 157 : 139-47. Sharma S., 2000. Pulmonology Obstructive Airways Diseases, hhtp://ajplung.physiology.org/cgi/content/abstract Simon G., 1981. Diagnostik Roentgen, cetakan ke-2, Jakarta: Erlangga. Hal :328-332 Sutton D., 2003. Obstructive Airways Diseases, Texbook Radiology and Imaging : 168-172 Widjaja A., 1993. Penelitian Epidemiologi : Pengaruh lingkungan pada PPOM, Majalah Penyakit Dalam. FK. UNAIR Surabaya : 3-19. Woolston C., 1997. Smoking Mice Lead to emfisema Breakthrough, Washington University School of Medicine.

Validitas Foto Thorax Proyeksi Posterio-Anterior untuk Menegakkan Diagnosis Emfisema Pulmonum

Sulistyani Kusumaningrum

15

16

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Dislipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito Jogjakarta


Listyo A. Pujarini
E mail: listyoasistpujarini@yahoo.com

Abstract
There is rising in prevelence of dementia as changing of disease pattern from infection disease to degerenative disease. Dyslipidemia is one of the risk factors that take part in vascular dementia's process. The aim of this study is to get lipid profile of stroke patients with dementia in Dr. Sardjito General Hospital Jogjakarta. This study is descriptive study from patients medical record that were diagnosed by stroke with dementia in Dr Sardjito General Hospital. There were 41 subject. Most of them are male (28/68%), age = 55-64 (19/47%), education = junior high school (15/37%), marital status = married (40/98%) and occupation = retired (12/29%) . Dyslipidemia history was positive in 21/ 52,5% subjects. Hypercholesterolemia found on 27/65,9% subjects, high LDL on 23/ 56,1% subjects, high trygliceride on 34/82,9% subjects, low HDL on 15/36,6% subjects. Highest, lowest, and average mean of lipid profile were : total cholesterole 327/130/208,97mg/dl; HDL78/22/46,76mg/dl; LDL 242/66/121,73mg/dl; trigliserid 244/120/183,27mg/dl respectively. HCTS examination reveal that most of lesion are ischemic lesion/infarct iskemik/imfark (23/56,1%), and mostly found in frontoparietal lobe (9/22,0%). Most patient with stroke with dementia had abnormal lipid profile. Keywords: dyslipidemia, stroke, dementia

Pendahuluan Peningkatan usia harapan hidup akan menambah jumlah lansia yang berdampak pada pergeseran pola penyakit dari infeksi ke degenerasi atau neoplasma. Peningkatan jumlah lansia akan menambah populasi Penderita demensia (Kaye,1998). Penelitian di Lundby Swedia memperlihatkan angka risiko terkena demensia vaskular sepanjang hidup 34,5% pada pria dan 19,94% pada wanita dengan semua tingkatan gangguan kognisi dimasukkan dalam perhitungan (PERDOSSI,2004). Sudah lama diketahui bahwa defisit kognisi dapat terjadi setelah serangan stroke. Penelitian terakhir memperlihatkan, demensia terjadi ratarata seperempat sampai sepertiga dari kasus stroke (Taternichi et al., 1992). Insidensi demensia pasca stroke bervariasi antara 23,5% sampai dengan 61% (Schmid et al, 1993) Abnormalitas lipid berperan dalam proses aterosklerosis kranioserebral. Moroney et al., 1999, dalam penelitian prospective longitudinal community- based tentang LDL kolesterol dan risiko demensia dengan stroke, menyimpulkan bahwa peningkatan LDL kolesterol berhubungan dengan risiko demensia dengan stroke pada Penderita tua (RR:3,1; 95% CI: 1,5-6,1). Beberapa penelitian yang lain memberikan hasil yang kontroversial, yaitu menyimpulkan hubungan yang lemah antara level High Density Lipoprotein Cholesterol (HDL-C) dan Low Density Lipoprotein
Dyslipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito Jogjakarta

Cholesterol (LDL-C) dengan demensia vaskular (Reitz et al.,2004). Hasil lain didapatkan pada penelitian cohort, bahwa LDL dan trigliserid plasma tidak berkaitan dengan gangguan fungsi kognitif, sedangkan HDL yang rendah dan kolesterol total yang tinggi berkaitan dengan fungsi kognitif terutama fungsi bahasa (Reitz et al.,2004). Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, kami ingin mengetahui bagaimana hasil pemeriksaan laboratorium profil lipid pada Penderita stroke dengan demensia di RS DR Sardjito Yogyakarta. Penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran profil lipid pada Penderita stroke dengan demensia di RS DR. Sardjito Yogyakarta. Material dan Desain Penelitian Merupakan kajian deskriptif dari catatan medis pasien yang terdiagnosa stroke dengan demensia yang dirawat di Unit Stroke RS DR. Sardjito Yogyakarta bulan Oktober sampai Desember 2007. Diagnosis stroke ditegakkan berdasarkan anamnesis riwayat medis, fisik, psikiatri, pemeriksaan fisik dan Computed Tomografi (CT). Gangguan kognitif ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan MMSE ( kurang 24). Demensia berdasarkan kriteria DSM-IV

Listyo A. Pujarini

17

Hasil Penelitian Dari penelitian kajian deskriptif ini didapatkan sebanyak 41 Penderita stroke dengan demensia. Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada gambar dan tabel di bawah ini :

Gambar 1. Karakteristik subyek menurut jenis kelamin

Gambar 2. Karakteristik subyek menurut umur

Dari gambar 1 dan 2 dapat dilihat bahwa sebagian besar subyek dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki sebanyak 28 (68%) dan berumur antara 55-64 tahun sebanyak 19 (47%).

Gambar 3. Karakteristik subyek menurut tingkat pendidikan

Gambar 4. Karakteristik subyek menurut status perkawinan

Gambar 5. Karakteristik subyek menurut pekerjaan

18

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Sedangkan dari gambar 3, 4, 5, dapat kita ketahui sebanyak 15 (37%) Subyek dengan tingkat pendidikan SLTP, 40 (98%) Subyek sudah menikah dan 12 (29%) Subyek dengan pekerjaan sudah pensiunan.
Tabel 2. Karakteristik faktor resiko vaskular
Faktor resiko Riwayat dislipidemia Riwayat hipertensi Riwayat DM Status merokok ya tidak ya tidak ya tidak Perokok Mantan perokok Bukan perokok ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak ya tidak Jumlah 21 19 23 18 8 33 6 7 28 12 25 27 14 15 26 23 18 34 7 Persen(%) 52,5 47,5 56,1 43,9 19,5 80,5 14,6 17,1 67,3 29,3 70,1 65,9 34,1 36,6 63,4 56,1 43,9 82,9 17,1

Gula darah tinggi Kolesterol total tinggi HDL rendah LDL tinggi Trigliserid tinggi

Dari tabel tersebut diatas, dapat dilihat bahwa sebagian besar profil lipid memang abnormal. Riwayat dislipidemia terdapat pada 21 (52,5%). Kolesterol total tinggi sebanyak 27 (65,9%) Subyek; LDL tinggi sebanyak 23 (56,1%) Subyek; dan trigliserid tinggi sebanyak 34 (82,9%) Subyek.
Tabel 3. Hasil HCTS sesuai patologi lesi Patologi lesi Atrofi Iskemik / Infark Perdarahan Jumlah 6 23 12 Persen(%) 14,6 56,1 29,3

Tabel diatas menyatakan bahwa sebagian besar HCTS dengan patologi lesi berupa iskemik/infark sebesar 23 (56,1%%).

Dyslipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito Jogjakarta

Listyo A. Pujarini

19

Tabel diatas menyatakan bahwa sebagian besar HCTS dengan patologi lesi berupa iskemik/infark sebesar 23 (56,1%%).
Tabel 4. Hasil HCTS sesuai lokasi lesi Lokasi lesi Frontotemporalis Paraventrikuler Frontoparietal Parietotemporalis Parietooccipitalis Temporooccipitalis Capsula interna Ganglia basalis Occipitalis Parietalis Lain-lain Jumlah 3 3 9 4 3 2 5 4 1 2 5 Persen(%) 7,3 7,3 22,0 9,8 7,3 4,9 12,2 9,8 2,4 4,9 12,2

Dari hasil HCTS, ternyata sebanyak 9 (22,0%) Subyek, lokasi lesi di regio frontoparietal.

Gambar 6. Profil lipid pada subjek sesuai nilai minimal-maksimal

Dari gambar 6, ternyata nilai maksimal kolesterol total, LDL dan trigleserid diatas 200 mg/dl dan nilai rata-rata termasuk borderline high-high.

Gambar 7. Profil lipid subyek sesuai frekuensi yang abnormal

Gambar 7 menyatakan sebagian besar Subyek mempunyai nilai profil lipid yang tinggi yaitu: kolesterol total 27 Subyek, LDL 23 Subyek, trigliserid 34 Subyek.

20

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Pembahasan Sesuai PPDGJ III- (ICD-X) demensia adalah suatu sindrom akibat penyakit otak, biasanya bersifat kronik atau progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (fungsi kortikal yang multipel) termasuk daya ingat, daya pikir, daya orientasi, daya pemahaman, berbahasa, dan daya kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut, biasanya disertai hendaya fungsi kognitif dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan dalam pengendalian emosi, perilaku sosial atau motivasi. Menurut PPDGJIII / ICD X: (1) F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer, (2) F 01 Demensia vascular, (3) F 02 Demensia pada penyakit lain yang tidak diketahui, (4) F 03 Demensia yang tidak tergolongkan. PPDGJ III membagi demensia vaskular sebagai berikut : (1) F01.0 Demensia vaskular onset akut, (2) F01.1 Demensiamulti-infark, (3) F01.2 Demensia vaskular subkortikal, (4) F01.3 Demensia vaskular campuran kortikal dan subkortikal, (5) F01.4 Demensia vaskular lainnya. Demensia vaskular merupak an suatu kelompok kondisi heterogen yang meliputi semua sindrom demensia akibat iskemik, anoksia atau hipoksia otak, dengan penurunan fungsi kognisi mulai dari yang ringan sampai yang paling berat dan meliputi semua domain, tidak harus dengan gangguan memori yang menonjol (PERDOSSI, 2004). Insiden dan prevalensi demensia vaskular dilaporkan berbeda-beda di berbagai negara. Di Asia prevalensi demensia vaskular lebih tinggi daripada demensia Alzheimer, yaitu berkisar 2540%. Pada Penderita lanjut usia pasca stroke, prevalensi demensia vaskular sekitar 25% (Konsensus Pengenalan Dini & Penatalaksanaan Demensia Vaskular, 2004). Mekanisme terjadinya demensia belum jelas s e p e n u h ny a . B e b e r a p a h i p o t e s i s y a n g dikemukakan para ahli adalah : hipotesis genetik, hipotesis infeksi dan toksik, hipotesis vaskular dan metabolik, hipotesis neurotransmiter (Diaz, 1991). M ini Mental State Examination (MMSE) merupakan tes yang mudah dan berguna di dalam klinik untuk mengetahui adanya gangguan fungsi kognitif. Nilai maksimal 30, untuk penderita berpendidikan tinggi nilai di bawah 27 mengindikasikan gangguan kognitif, sedangkan pada Penderita berpendidikan rendah nilai di bawah 24 baru mengindikasikan gangguan kognitif (Bouchard et al., 1996).
Dyslipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito Jogjakarta

Untuk menentukan demensia vaskular, kriteria yang paling sering digunakan adalah kriteria NINDS-AIRENS (National Institut of Neurological Disorder and Stroke and Association Internationale pour la Recherche e t l'Enseigment en Neuroscience) (1991), sebagai berikut : 1) Adanya demensia yang ditetapkan dengan penurunan daya ingat yang disertai dengan dua atau lebih gangguan kognitif: orientasi, perhatian, bahasa, praksia, visuospasial, fungsi eksekutif dan kontrol motorik; 2) Munculnya tanda fokal neurologik; 3) Hubungan di antara kedua penyakit ini bermanifestasi atau berpengaruh dengan munculnya satu atau lebih keadaan berikut: onset demensia dalam tiga bulan mengikuti stroke, penurunan mendadak fungsi kognitif, fungsi kognitif berfluktuasi seperti anak tangga. Kriteria diagnosis demensia vaskular menurut DSM-IV: (a) Adanya gangguan kognitif multipleks yang dicirikan oleh 2 keadaan berikut: 1) Gangguan memori, 2) Satu atau lebih gangguan kognitif (afasia, apraksia, agnosia, gangguan funfsi eksekutif; (b) Gangguan kognitif pada a1 & a2 menyebabkan gangguan fungsi sosial & okupasional yang jelas dan penurunan tingkat kemampuan sebelumnya yang jelas; (c) Tanda & gejala neurologis fokal atau pemeriksaan radiologis menunjukkan infark multipel di daerah kortek & subkortek. Dalam 4 tahun terakhir beberapa ilmuwan membagi faktor risiko demensia vaskular dalam 4 kategori : 1) Faktor demografi; 2) Faktor aterogenik ( hipertensi, merokok, penyakit jantung, diabetes, dislipidemia, menopause tanpa terapi penggantian estrogen; 3) Faktor non aterogenik; 4) Faktor yang berhubungan dengan stroke, diantaranya volume kehilangan jaringan otak, jumlah dan lokasi infark (Herbert et al.,2000).

Listyo A. Pujarini

21

Tabel 1. Klasifikasi LDL-C, HDL-C, Kolesterol total dan Trigliserid menurut NCEP ATP III (National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel), 2001 (mg/dl) LDL-C < 100 100-29 130-159 = 190 Kolesterol Total < 200 200-239 = 240 HDL C < 40 = 60 Trigliserid < 150 150-199 200-499 = 500

Optimal Hampir atau di atas normal Borderline high Very High

Normal Borderline High High Low High

Optimal Borderline high High Very High

Simpulan dan Saran Simpulan Penelitian ini merupakan kajian deskristif, dan ternyata sebagian besar Subyek dalam penelitian mempunyai nilai profil lipid yang abnormal ( kadar kolesterol total tinggi, kadar LDL tinggi, kadar trigliserid tinggi; dan kadar HDL rendah juga dijumpai pada hampir setengah Subyek) . Karena penelitian ini hanya merupakan penelitian deskriptif dengan melihat catatan medis dan terbatas dalam rentang waktu tertentu, maka didapatkan keterbatasan-keterbatasan, antara lain kelengkapan dalam penulisan rekam medis. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apak ah didapatk an adanya hubungan antara profil lipid yang abnormal dari semuanya komponennya (kolesterol total, HDL, LDL & Trigleserid) dengan kejadian demensia pada Penderita stroke.

Daftar Pustaka
Bouchad, R.W., & Rossor,M.N., 1996. Typical Clinical Features. In: Gauthier S.(ed). Clinical Diagnosis and Managemen of Alzheimer's Disease. London: Martin-Diaz, M.G., 1991, The Essential Brain.pp: 188-193, Merck, Madrid Dunitz .Ltd 35-50. Guyton, A.C., 1986. Text Book of Medical Physiology. 7th ed. W.B. Sounders co Japan. Hachinski, V.C., Ilif, L.D., & Zihlka, E., 1975. Cerebral blood flow in Dementia. Arch Neurol. 32(9): 632-7. Herbert R et al, 2000. Incidence and Risk Factors in the Canadian Study of Health an Aging. American Heart Association, 3: 1487-93. Kaye,J. A., 1998. Oldest-Old Healthy Brain Functio. Arch Neurol, 34: 1217-21. Moroney, J. T., Tang M. X., Small S., Merchant C., Bell K., Stern Y., & Maeyeux R., 1999, Low Density Lipoprptein Cholesterol and the Risk of Dementia With Sroke, New York, JAMA, http://www. google.com. NINDS-AIRENS International Workshop, 1991. Vascular Dementia: Diagnostic Criteria for Research Studies. Neurology, 43 (2): 250-60.

22

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

PERDOSSI, 2004. Konsensus Pengenalan Dini dan Penatalaksanaan Demensia Vaskular. PERKENNI, 1995. Konsensus Pengelolaan Dislipidemia pada Diabetes Mellitus di Indonesia Reitz, C., Toeng, M.X., Luchsinger, J., & Mayen, X., 2004. Relation of Plasma Lipid & Alzheimer Disease and

Vascular Dementia, Arch Neurol, 61: 705-14. Schmid, R., Mechler, L., Kinkel, P. R., Fazekas, F., & Freidl, W., 1993. Cognitif Impairment After Acut Supratentorial Stroke: a 6-month follow up Clinical and Computed Tomography Study. Eur Arch-Psychiatry-Clin-Neurosci, 241(1)5-11

Dyslipidemia pada Penderita Stroke dengan Demensia di RS Dr. Sardjito Jogjakarta

Listyo A. Pujarini

23

24

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro
Domas Fitria Widyasari
E mail: do_must@yahoo.com

Abstract
Kluthuk banana (musa balbisiana colla), a seeded banana, has been studied for its ability to reduce gastric acid secretion. Is the active compound hydrophylic or hydrophobic has not been known yet.The aim of his study is to determine the effect of the seed of ripe kluthuk banana (musa balbisiana colla) etheric and ethanolic extract, and to compare the effect of both extract on rat gastric acid secretion in vitro. This study was conducted using isolated Wistar rat stomach, according to the methods modified from Barocelli. Fifty four rats (3-4 month) of 150-250 g were used in this study. They were divided into 9 groups (6 rats each). The rats were fasted and drinking water was given ad libitum for 24 hours before testing. The rats were weighted, anesthetized with ether inhalation, and then sacrified. The stomach was taken and suspended in an organ bath containing 37C buffered serosal solution and bubbled with carbogen. The gastric lumen was perfused continuously with unbuffered mucosal solution 1 ml min-1 and bubbled with 100% O2. The isolated preparation was stabilized for 1 hour and perfusate spilled out. The perfusate was allowed to flow continuously, and collected for 10 minutes duration. The H+ consentration was measured by titration with NaOH 0,002 N using phenolftalein as indicator, known as basal H+ consentration . Pretreatment was added to the unbuffered mucosal solution for 30 minutes, after which the treatment (histamine 10-6 M) was added to the unbuffered solution in each group. Perfusate from gastric lumen were collected every 10 minutes untill 80 minutes and H+ consentration were measured by mean of titration. The H+ consentration elevation was expressed as mean SEM, the AUC0-80 was calculated and analyzed by ANOVA.The result showed that the total area under curve (AUC0-80) of H+ consentration was 14550 692,70 in control group (saline), 141,67 2838,62 in etheric extract of the seed of ripe kluthuk banana doses-1 group (EESRKB I group) equivalent to 1,92 mg/kgBW, 8516,67 3659,64 in EESRKB II group (equivalent to 3,84 mg/kgBW), 5650 3191,94 in EESRKB III group (equivalent to 7,69 mg/kgBW), 4500 2819,22 in ethanolic extract of the seed of ripe kluthuk banana doses-1 group (AESRKB I group) equivalent to 8,7 mg/kgBW, -5883,33 760,45 in AESRKB II group (equivalent to 17,4 mg/kgBW), -1116,67 3444,36 in AESRKB III group (equivalent to 34,8 mg/kgBW), -1333,33 80,28 in cimetidin group, and 12683,33 968,65 in DMSO group. The statistical analysis showed that the AUC0-80 of EESRKB and AESRKB were significantly (p<0,05) lower than those of control solution (except EESRKB II), the AUC0-80 of EESRKB I were not significantly different (p>0,05) than those of AESRKB I, the AUC0-80 of EESRKB II were significantly higher (p<0,05) than those of AESRKB II, and the AUC0-80 of EESRKB III were not significantly different (p>0,05) than those of AESRKB III. It was concluded that the etheric and ethanolic extract of the seed of ripe kluthuk banana (Musa balbisiana Colla) showed an inhibitory effect on rat gastric acid secretion induced by histamine, and the ethanolic extract showed an inhibitory effect more than those of etheric extract. Keywords : musa balbisiana molla, gastric acid secretion, histamine, etheric extract, ethanolic extract

Pendahuluan Tukak lambung atau ulkus peptik merupakan keadaan kontinuitas mukosa lambung terputus (Laurence, 1964). Ulkus peptik yang masih sering ditemui di masyarakat terjadi karena ketidakseimbangan faktor agresif berupa meningkatan volume asam lambung, pepsin dan infeksi Helicobacter pylori dengan faktor defensif berupa integritas mukosa lambung, sekresi bikarbonat, mukus, dan prostaglandin (Price, 1994). Sekresi asam lambung dikontrol oleh 3 agonis utama yaitu histamin, asetilkolin, dan gastrin. Obat

yang mengurangi sekresi asam lambung sebagai terapi ulkus peptik dapat dikelompokkan ke dalam golongan antasida (Al(OH)3 dan Mg(OH)2), pelapis dan pelindung permukaan mukosa (sukralfat), penyekat reseptor Histamin H2 (simetidin, ranitidin, dan famotidin), dan penghambat pompa proton (Atman, 1998). Namun, obat-obat antiulkus di atas mempunyai efek samping yang tidak diinginkan seperti timbulnya tumor karsinoid, nefritis interstisial, pankreatitis akut, agranulositopenia dan trombosito-penia, selain harganya yang tidak murah (Dollery, 1991). Oleh karena itu, masyarakat
Domas Fitria Widyasari 25

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro

mulai mencari alternatif pengobatan ulkus peptik dari obat-obat tradisional yang lebih murah dengan efek samping yang minimal. Secara tradisional, pisang (Musa) telah dikenal masyarakat sebagai buah yang enak dimakan dan sebagai obat tradisional (Depkes RI, 1982). Pisang dapat digunakan sebagai obat sakit perut (sariawan perut dan maag), mengobati luka, diare, dan untuk pengobatan radang amandel (Sudarsono, 2002). Penelitian Sanyal et al. (1963) dan Elliot & Heward (1976) menunjukkan bahwa pisang dapat menurunkan produksi asam lambung dan menyembuhkan ulkus lambung. Penelitian Tjandrasari (1991) menunjukkan bahwa ekstrak air dan alkohol pisang kluthuk (Musa balbisiana Colla) dapat menyembuhkan ulkus lambung tikus yang ditimbulkan oleh aspirin. Penelitian yang dilakukan Sholikhah (2000) dan Sholikhah & Ngatidjan (2001) menyatakan bahwa ekstrak alkohol pisang kluthuk muda mempunyai efek mengurangi sekresi asam lambung tikus putih in vitro. Penelitian dengan menggunakan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk belum pernah dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek ekstrak eter dan etanol biji tua pisang kluthuk, serta membandingkan keduanya, terhadap sekresi asam lambung tikus putih in vitro. Material dan Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan tikus putih atau rat (Rattus norvegicus) galur Wistar jenis kelamin betina dan jantan yang sama jumlahnya dengan umur 3-4 bulan, dan berat 150-250 g sebanyak 54 ekor. Tikus tersebut kemudian dipuasakan 24 jam sebelum percobaan dengan tetap diberi air minum secukupnya. Semua tikus dipilih acak dan dibagi 9 kelompok, masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus (3 ekor jantan, 3 ekor betina). Pengelompokan ini berdasarkan jenis praperlakuan yang diberikan. Kelompok I (kelompok kontrol negatif garam fisiologis) diberi praperlakuan dengan larutan unbuffered mucosal, kelompok II dengan larutan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 1,92 mg/kgBB dalam larutan unbuffered mucosal (kelompok EEBPK I), kelompok III dengan larutan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 3,84 mg/kgBB dalam unbuffered mucosal (kelompok EEBPK II), kelompok IV dengan larutan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 7,69 mg/kg BB dalam unbuffered mucosal (kelompok EEBPK III), kelompok V dengan

larutan ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk 8,7 mg/kgBB dalam larutan unbuffered mucosal (kelompok EABPK I), kelompok VI dengan larutan ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk 17,4 mg/kgBB dalam larutan unbuffered mucosal (kelompok EABPK II), kelompok VII dengan larutan ekstrak etanol biji tua pisang 34,8 mg/kg dalam larutan unbuffered mucosal (kelompok EABPK III), kelompok VIII (kelompok kontrol positif ) diberi praperlakuan dengan simetidin dalam unbuffered mucosal, Kelompok IX (kelompok DMSO) diberi praperlakuan dengan dimetil sulfoksida konsentrasi akhir 0,2 % v/v dalam unbuffered mucosal. Kemudian semua kelompok diberikan perlakuan dengan histamin 736,4 g/kgBB dalam larutan unbuffered mucosal. Uji ini menggunakan metode menurut Barocelli et al. (1997) yang dimodifikasi sejak tikus dianestesi. Modifikasi berupa penggantian system pengaliran larutan garam fisiologis (unbuffered mucosal) ke dalam lumen lambung tikus yang semula menggunakan pompa peristaltik, pada penelitian ini diganti dengan tetesan. Tikus ditimbang, dianestesi, kemudian lambung tikus diangkat dan dipasang pada organ bath yang berisi larutan buffered serosal pada suhu 37 dan C dialiri gas karbogen (O2 95% dan CO2 5%). Lumen lambung selalu diperfusi dengan larutan unbuffered mucosal dengan kecepatan 1 ml/menit dan diberi gelembung O 2 100%. Preparat dibiarkan mencapai ekuilibrium selama 1 jam dan cairan perfusat dibuang. Perfusat dikumpulkan selama 10 menit dan diukur dengan menggunakan NaOH 0,002 N dengan indikator fenolftalein. Hasil yang didapat merupakan konsentrasi H+ basal. Lalu masukkan bahan uji ke dalam larutan unbuffered mucosal untuk perfusi selama 30 menit, kemudian diberi perlakuan dengan histamin 736,4 g/kgBB dalam unbuffered mucosal selama 80 menit untuk menstimulasi sekresi H+ asam lambung. Selama diberi perlakuan, cairan perfusat dari lambung dikumpulkan tiap 10 menit dan diukur konsentrasi H+ nya dengan titrasi. Peningkatan konsentrasi H+ cairan lambung dinyatakan dalam mean SEM. Total luas area di bawah kurva menit ke-0 sampai menit ke-80(AUC 0-80 ) dihitung dan dianalisis menggunakan analisis varian.

26

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Hasil Penelitian Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel dan gambar di bawah ini.
Tabel 1. Rerata peningkatan konsentrasi H+ (Eq) pada perfusat cairan lambung tikus putih (mean + SEM) sesudah perlakuan dengan histamin 736,4 g/kgBB tiap 10 menit pada seluruh kelompok praperlakuan Kelompok Garam Fisiologs EEBPK I EEBPK II 1 50,00 6,83 -16,67 33,23 60,00 42,27 40,00 32,25 3,33 15,85 -123,33 72,19 0,00 53,42 -10,00 4,47 40,00 7,30 2 86,67 9,89 -13,33 43,10 46,67 38,53 53,33 37,48 6,67 21,08 -133,33 55,30 -23,33 48,56 -13,33 4,22 66,67 9,89 3 110,00 6,83 -16,67 44,86 73,33 49,71 60,00 42,58 26,67 12,29 -133,33 47,23 -16,67 42,40 -20,00 0,00 96,67 6,15 10 menit ke4 186,67 9,89 -3,33 19,61 88,33 49,15 73,33 44,62 20,00 11,55 -123,33 49,37 -13,33 +45,22 -20,00 0,00 156,67 15,85 5 250,00 6,83 0,00 41,95 51,67 54,55 93,33 50,77 76,67 50,44 -110,00 29,55 -20,00 9,26 -20,00 0,00 213,33 15,20 6 300,00 10,33 23,33 48,28 170,00 69,62 93,33 50,77 113,33 72,97 -23,33 69,75 -23,33 41,77 -20,00 0,00 263,33 20,28 7 313,33 14,30 23,33 52,36 226,67 82,25 100,00 54,65 166,67 99,29 53,33 137,76 -13,33 45,51 -20,00 0,00 293,33 19,09 8 316,67 14,98 35,00 35,57 270,00 117,16 103,33 54,02 73,33 42,16 10,00 88,36 -3,33 44,25 -20,00 0,00 276,67 21,55

EEBPK III EABK I EABPK II EABPK III

Simeti din DMSO

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro

Domas Fitria Widyasari

27

Gambar 1. Rerata peningkatan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih yang ditimbulkan histamin 736,4 g/kgBB

Keterangan: Kontrol= larutan garam fisiologis unbuffered mucosal, EEBPK I= ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 1,92 mg/kgBB, EEBPK II= ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 3,84 mg/kgBB, EEBPK III= ekstrak eter biji tua pisang kluthuk 7,69 mg/kgBB, EABPK I= ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk 8,7 mg/kgBB, EABPK II= ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk 17,4 mg/kgBB, EABPK III= ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk 34,8mg/kgBB, Simetidin= simetidin 27 mg/kgBB, DMSO= dimetil sulfoksida konsentrasi akhir 0,2% v/v dalam larutan unbuffered mucosal.

Tabel 1 menyajikan rerata peningkatan konsentrasi H+ cairan lambung tikus putih (mean + SEM) tiap 10 menit sesudah perlakuan dengan histamin 736,4 g/kgBB pada semua kelompok praperlakuan. Sedangk an grafik rerata peningkatan konsentrasi H+ cairan lambung dari menit ke-10 sampai pada menit ke-80 pada semua kelompok praperlakuan dan kelompok kontrol disajikan pada Gambar 1. Tampak rerata peningkatan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih pada kelompok kontrol negatif garam fisiologis meningkat (p<0,05) mulai dari 10 menit pertama setelah perlakuan dengan histamin. Pada 10 menit ke-6 menunjukkan kenaikan yang konstan (p>0,05) sampai pada 10 menit ke-8. Hasil ini dapat menunjukkan bahwa histamin dapat meningkatkan sekresi H+ asam lambung. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari peneliti

sebelumnya yaitu Barocelli (1997) dan Sholikhah & Ngatidjan (2001). Peningkatan konsentrasi H+ per 10 menit pada kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I), 3,84 mg/kgBB (EEBPK II), 7,69 mg/kgBB (EEBPK III), dan kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I), 17,4 mg/kgBB (EABPK II), 34,8 mg/kgBB (EABPK III) tidak menunjukkan kenaikan yang bermakna (p>0,05) dari 10 menit pertama berturut-turut sampai 10 menit ke-8.

28

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Tabel 2.

Luas area di bawah kurva (AUC0-80) pada perfusat cairan lambung tiap tikus putih pada seluruh kelompok sesudah perlakuan dengan histamin 736,4 g/kgBB in vitro Kelompok

Tikus 1. 2. 3. 4. 5. 6. Mean SEM

KON TROL 15700 15500 13200 15700 15500 11700 14550 692,70

EEBPK I 2100 700 1350 -12100 -600 9400 141,67 2838,62

EEBPK II 11900 -1400 21600 -1400 7300 13100 8516,67 3659,64

EEBPK III 200 500 3000 15300 15900 -1000 5650 3191,94

EABPK I 13700 12900 1400 1200 -1200 -1000 4500 2819,22

EABPK II -5600 -6900 -6900 -7800 -5600 -2500 -5883,33 760,45

EABPK III 14600 -1600 -6700 -700 -2500 -9800 -1116,67 3444,36

SIMETIDI N -1100 -1100 -1300 -1500 -1500 -1500 -1333,33 80,28

DMSO 13400 16600 12200 13300 10700 9900 12683,33 968,65

Tabel 2 menunjukkan luas area di bawah kurva / Area Under Curve (AUC0-80) peningkatan konsentrasi H+ perfusat cairan lambung tiap tikus pada seluruh kelompok yang ditimbulkan oleh histamin in vitro. Nilai AUC menggambarkan jumlah konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih dari 10 menit pertama sampai 10 menit ke-8 (AUC0-80). Semakin tinggi nilai AUC0-80, maka semakin besar konsentrasi H+ di dalam cairan perfusat preparat lambung tikus putih tersebut.

Gambar 2. Mean SEM luas area di bawah kurva (AUC0-80) peningkatan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih sesudah perlakuan dengan histamin 736,4 g/kgBB in vitro pada seluruh kelompok praperlakuan

Gambar 2 menyajikan mean SEM luas area di bawah kurva (AUC0-80) peningkatan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih sesudah perlakuan dengan histamin 736,4 g/kgBB invitro pada seluruh kelompok praperlakuan. Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I) dan 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) lebih rendah (p<0,05) daripada kelompok kontrol

garam fisiologis, dan nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter biji tua pisang kluthuk dosis 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) tidak berbeda bermakna (p>0,05) daripada kelompok kontrol garam fisiologis. Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I), 17,4 mg/kgBB (EABPK II), dan 34,8 mg/kgBB (EABPK III) lebih rendah (p<0,05) daripada kelompok kontrol garam fisiologis. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB, dan 7,69 mg/kgBB, serta ekstrak etanol
Domas Fitria Widyasari 29

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro

dosis 8,7 mg/kgBB, 17,4 mg/kgBB, dan 34,8 mg/kgBB mempunyai kemampuan untuk menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih yang distimulasi oleh histamin in vitro, sedangkan ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB dapat menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih, tetapi tidak signifikan. Hal ini mendukung hasil penelitian Sholikhah dan Ngatidjan (2001) yang menunjukkan bahwa ekstrak alkohol biji pisang kluthuk dapat mengurangi sekresi asam lambung tikus putih yang ditimbulkan oleh aspirin. Pembahasan Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I) lebih rendah (p<0,05) daripada kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB (EEBPK II), sedangkan bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) menunjukkan hasil yang tidak berbeda (p>0,05). Nilai AUC 0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB (EEBPK II) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 7,69 mg/kgBB (EEBPK III). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB mempunyai kemampuan untuk menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih yang lebih kuat daripada ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB, dan mempunyai kemampuan yang sama dengan ekstrak eter dosis 7,69 mg/kgBB. Ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB dan 7,69 mg/kgBB mempunyai kemampuan yang sama besar dalam menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih yang distimulasi oleh histamin in vitro. Nilai AUC0-80 pada kelompok EEBPK I menunjukkan nilai yang ekstrim bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan lain. Hal ini dimungkinkan oleh adanya kesalahan teknis di dalam penelitian Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I) lebih tinggi (p<0,05) daripada kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II) dan tidak menunjukkan hasil yang berbeda bermakna (p>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 34,8 mg/kgBB (EABPK III). Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol
30

dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 34,8 mg/kgBB (EABPK III). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I) mempunyai kemampuan untuk menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih yang distimulasi oleh histamin in vitro yang lebih lemah daripada ekstrak etanol dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II). Sedangkan ekstrak etanol dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II) dan 34,8 mg/kgBB (EABPK III) mempunyai kemampuan yang sama besar dalam menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih yang distimulasi oleh histamin in vitro. Nilai AUC0-80 kelompok simetidin lebih rendah (p<0,05) daripada kelompok kontrol garam fisiologis. Hasil ini menunjukkan bahwa simetidin mempunyai kemampuan untuk menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih yang distimulasi oleh histamin in vitro. Hal ini sesuai dengan Altman (1998) yang menyatakan bahwa simetidin mengurangi sekresi asam lambung karena simetidin merupakan antagonis reseptor histamin yang bekerja berkompetisi secara reversibel dengan histamin pada reseptor H2. Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I), ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I), ekstrak etanol dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II) , dan ekstrak etanol dosis 34,8 mg/kgBB (EABPK III) tidak menunjukkan hasil yang berbeda bermakna (p>0,05) dibandingkan dengan kelompok simetidin, sedangkan nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB (EEBPK II) dan ekstrak eter dosis 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) lebih tinggi (p<0,05) daripada kelompok simetidin. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I), ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I), ekstrak etanol dosis 17,4 mg/kgBB (EABPK II), dan ekstrak etanol dosis 34,8 mg/kgBB (EABPK III) mempunyai kemampuan untuk menghambat kenaikan konsentrasi H+ pada perfusat cairan lambung tikus putih sama kuatnya dengan simetidin 27 mg/kgBB. Ekstrak eter dosis 3,84 mg/kgBB (EEBPK II) dan 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) mempunyai kemampuan untuk menghambat kenaikan konsentrasi H+ lebih lemah daripada simetidin 27 mg/kgBB. Hal ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang
Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

menunjukkan bahwa ekstrak alkohol biji pisang kluthuk mempunyai efek mengurangi sekresi asam lambung tikus putih yang ditimbulkan oleh histamin in vitro seperti halnya simetidin. Perbandingan efek ekstrak eter dan etanol biji tua pisang kluthuk dihitung berdasarkan nilai AUC0-80 pada kedua jenis ekstrak dengan dosis yang bersesuaian. Nilai AUC 0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter dosis 1,92 mg/kgBB (EEBPK I) tidak menunjukkan hasil yang berbeda bermakna (p>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol dosis 8,7 mg/kgBB (EABPK I). Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis yang setara dengan pisang, ekstrak eter memberikan efek penghambatan kenaikan konsentrasi H+ yang sama besar dengan ekstrak etanol. Nilai AUC0-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter 3,84 mg/kgBB (EEBPK II) lebih tinggi (p<0,05) daripada kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol 17,4 mg/kgBB (EABPK II). Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis yang setara dengan 1 pisang, ekstrak eter memberikan efek penghambatan kenaikan konsentrasi H+ yang lebih lemah daripada ekstrak etanol. Nilai AUC00-80 kelompok praperlakuan dengan ekstrak eter 7,69 mg/kgBB (EEBPK III) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05) bila dibandingkan dengan kelompok praperlakuan dengan ekstrak etanol 34,8 mg/kgBB (EABPK III). Hal ini menunjukkan bahwa pada dosis yang setara dengan 2 pisang, ekstrak eter memberikan efek penghambatan kenaikan konsentrasi H+ yang sama besar dengan ekstrak etanol. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Tjandrasari (1991) dan Sholikhah (2000) yang menunjukkan bahwa pisang kluthuk mempunyai efek mencegah dan menyembuhkan ulkus lambung tikus yang disebabkan aspirin. Buah pisang kluthuk muda dapat mencegah timbulnya ulkus lambung tikus akibat pemberian salisilat, menyembuhkan ulkus serupa yang sudah ada, dan dapat mengurangi volume sekresi asam lambung seperti halnya simetidin. Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanol memberikan efek penghambatan sekresi asam lambung yang lebih kuat daripada ekstrak eter. Kemungkinan besar zat aktif yang berefek penghambatan sekresi asam lambung bersifat hidrofilik, dengan mengingat bahwa ekstraksi dengan etanol menyarikan zat aktif yang larut

dalam air dan lemak, sedangkan ekstraksi dengan eter menyarikan zat aktif yang larut dalam lemak. Simpulan dan Saran Simpulan Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ekstrak eter dan etanol biji tua pisang kluthuk (Musa balbisiana Colla) mempunyai efek menghambat sekresi asam lambung tikus putih yang ditimbulkan oleh histamin 736,4 g/kgBB in vitro. 2. Ekstrak etanol biji tua pisang kluthuk menunjukkan efek yang lebih besar daripada ekstrak eter. Saran Perlu penelitian lebih lanjut mengenai potensi ekstrak-ekstrak lain biji pisang kluthuk terhadap s e k re s i a s a m l a m b u n g ( H + ) d a n p e r l u penambahan jumlah sampel (hewan coba) penelitian. Daftar Pustaka
Altman D. 1998. Drugs used in gastrointestinal disease, dalam Katzung, B.G., (Editor): Basic and Clinical Pharmacology. 7th ed. East Notwalk: The Appleton & Lange: 1017-29 Barocelli E, Chiavarini M, Ballabeni V, Barlocco D, Vianello P, Dal Piaz V dan Impicciatore M. 1997. Study of antisecretory and antiulcer mechanism of new indenopiridazinone in rats. Pharmacol. Res. 35(5): 487-92 Depkes RI. 1982. Pemanfaatan Tanaman Obat. Edisi II. Jakarta: Depkes RI Dollery SC. 1991. Therapeutic Drugs. New York: Churchill Livingstone Elliot RC and Heward GJF. 1976. The influence of banana supplemented died on gastric ulcers in mice. Pharmacological Research Communication 8(2): 167-71 Laurence DR and Bocharah AL. 1964. Evaluation of Drug Activities Pharmacometrics. Volume 1. London: Academic Press Price SA. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC Sanyal AK, Banerji CR, Das PK. 1963. Banana and restrain ulcer in albino rats (letters to the editor). J. Pharm. Pharmacol 15: 775-6 Sanyal AK, Gupta KK, Chowdhury NK. 1963. Banana and experimental peptic ulcer. J. Pharm. Pharmacol 15: 283-4

Perbandingan Efek Ekstrak Eter dengan Ekstrak Etanol Biji Tua Pisang Kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada Sekresi Asam Lambung Tikus Putih in vitro

Domas Fitria Widyasari

31

Sanyal RK, Das PK, Sinha S, Sinha YK. 1961. Banana and gastic secretion (letters to the editor). J. Pharm. Pharmacol 13: 318-9 Sholikhah EN dan Ngatidjan. 2001. Efek ekstrak alkohol daging buah dan biji pisang kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada sekresi asam lambung tikus putih in vitro. Berkala Ilmu Kedokteran 33(2): 77-82 Sholikhah EN, Ngatidjan, Pramono S. 2000. Efek ekstrak alkohol pisang kluthuk (Musa balbisiana Colla) pada sekresi asam lambung tikus putih yang ditimbulkan histamin in vitro. Mediagama 2(3): 14-9 Sholikhah EN. 2000. Cara kerja ekstrak alkohol pisang kluthuk (Musa balbisiana Colla) dalam mengurangi sekresi asam lambung tikus putih in vitro. Tesis Program Pasca Sarjana. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Sudarsono, Gunawan D, Wahyuono S, Donatus IA,dan Purnomo. 2002. Tumbuhan Obat II (hasil penelitian, sifatsifat dan penggunaan). Yogyakarta: Pusat Studi Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada Tjandrasari S. 1991. Pengaruh ekstrak pisang kluthuk (Musa brachycarpa Beck) terhadap ulkus lambung tikus karena salisilat. Skripsi Fakultas Farmasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

32

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa Dosis Bertingkat Terhadap Proliferasi Limfosit Lien pada Mencit BALB/C
M. Saifulhaq M.
E mail: kedokteran@ums.ac.id

Abstract
Mahkota dewa (Phaleria papuana) fruits consists of chemicals that are able to increase lymphocytes proliferation. The objective of this study was to show the influence of Mahkota dewa's fruits extract in spleen lymphocytes proliferation of BALB/C mice. An experimental study with the post-test only control group design was carried out on experiment animal BALB/C mice, consisted of 25 male mice which devided into 5 groups. K was control group without treatment with mahkota dewa extract, whereas P1 was group treated with mahkota dewa extract 0,2 ml/day ( 35 g extract). P2 was group given mahkota dewa extract 0,4 ml/day ( 70 g extract), P3 was group given mahkota dewa extract 0,8 ml/day ( 140 g extract), and P4 was group given mahkota dewa extract 1,5 ml/day ( 280 g extract). Lymphocytes from the spleen of all mice were isolated after 2 weeks treating. Lymphoblasts were counted in every 200 cells. There were significant differences in lymphoblasts count between K and P1 (p=0,009), K and P2 (p=0,028), P1 and P2 (p=0,009), P1 and P3 (p=0,009), P1 and P4 (p=0,009), P2 and P3 (p=0,012), P2 and P4 (p=0,028). And there were no significant differences in lymphoblasts count between K and P3 (p=0,917), K and P4 (p=0,675), P3 and P4 (p=0,917). On the giving of mahkota dewa's fruits extract there were significant increase of lymphocyte proliferations on BALB/C mice on P1 and P2 groups. But there were not on P3 and P4 ones. Keywords: lymphocyte proliferation, mahkota dewa

Pendahuluan Mahkota dewa atau Phaleria papuana merupakan tanaman obat tradisional yang banyak dipergunakan masyarakat untuk berbagai penyakit dan penambah stamina pada orang sehat. Mahkota dewa yang digunakan biasanya dicampur dengan berbagai bahan lain dalam satu ramuan dimana untuk setiap penyakit tidak sama. Akhir-akhir ini semakin banyak masyarakat memanfaatkan pengobatan alternatif karena harganya yang relatif murah dan manfaatnya memuaskan (Hartati, 2005). Buah mahkota dewa mengandung zat kimia antara lain alkaloid, terpenoid, saponin, dan senyawa resin, sedangkan pada kulit buahnya terkandung zat flavanoid, tannin. Penelitian membuktikan bahwa secara laboratoris senyawa flavonoid dapat meningkatkan produksi IL-2 dan meningkatkan proliferasi limfosit (Lisdawati, 2002) Proliferasi limfosit T yang dirangsang oleh antigen, terutama diatur oleh pengaruh IL-2 terhadap reseptor IL-2 yang dimiliki pada permukaan selnya. Selain itu, IL-2 juga merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B dan NK (Natural Killer). Penelitian terbaru menunjukkan proliferasi limfosit T juga dapat terjadi tanpa melalui IL-2, misalnya melalui

IL-4 (Middleton, 2000) Lien merupakan salah satu organ limfoid sekunder yang di dalamnya terdapat limfosit T maupun limfosit B, terutama di daerah pulpa putih.7 Folikel limfoid lien kaya dengan sel B yang berperan dalam respon imun humoral. Aktivasi dan proliferasi sel T di lien terjadi di selubung limfoid periarterioler lalu terjadi migrasi ke zona marginalis. Sebagian kecil sel T yang teraktivasi masuk ke dalam folikel limfoid, dan sebagian lainnya akan bersirkulasi ke darah perifer. Penelitian ini diharapkan dapat memperjelas pengaruh buah mahkota dewa dalam memodulasi sistem imun sehingga dapat menjadi tambahan informasi dalam pertimbangan konsumsi tanaman obat, dan dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya (Sepgana, 2003) Metode dan Desain Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan the post test only control group design. Menggunakan 5 kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol dan 4 kelompok perlakuan, dengan randomisasi sederhana. Penilaian dilakukan hanya pada saat post test, dengan membandingkan hasil observasi pada

Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa Dosis Bertingkat Terhadap Proliferasi Limfosit Lien pada Mencit BALB/C

M. Saifulhaq M.

33

kelompok perlakuan dan kontrol, serta antar kelompok perlakuan. Sampel penelitian diambil secara acak (random) dari populasi terjangkau dengan kriteria inklusi sebagai berikut: mencit strain BALB/C jantan, umur 8 minggu, dan sehat. Berdasarkan ketentuan WHO jumlah sampel 5 ekor per kelompok. Sehingga jumlah total sampel sebanyak 25 ekor. Mencit BALB/C sebanyak 25 ekor dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor. Tiap kelompok mencit mendapatkan pakan standar dan minum yang sama secara ad libitum. Lima kelompok mencit tersebut adalah : Kontrol (K) : diberi aquades namun tidak diberi ekstrak mahkota dewa. Perlakuan 1 (P1): diberi ekstrak mahkota dewa 0,2 ml/sonde/hari Perlakuan 2 (P2): diberi ekstrak mahkota dewa 0,4 ml/sonde/hari
Tabel.1 Persentase jumlah limfoblas semua kelompok mencit No 1 2 3 4 5 Rerata + SD K 23,5 14 16,5 15,5 12,5 16,4 + 4,23 P1 39,5 31,5 41 33 37,5 36,5 + 4,11 24,8 + 3,33

diberi ekstrak mahkota dewa 0,8 ml/sonde/hari Perlakuan 4 (P4): diberi ekstrak mahkota dewa 1,5 ml/sonde/hari Mencit dibunuh untuk dilakukan pengambilan/isolasi splenosit (lien), setelah diberikan perlakuan selama 2 minggu. Setelah itu, dilakuk an pemeriksaan limfosit dengan menghitung jumlah limfoblas dalam 200 sel dari tiap preparat, lalu dibuat persentasenya. Analisa statistik yang digunakan adalah statistik non parametrik, yaitu uji Kruskal Wallis dan uji Mann Whitney U. Nilai signifikasi pada penelitian ini adalah apabila variabel yang dianalisis memiliki nilai p < 0,05. Hasil Penelitian Hasil persentase jumlah limfoblas dalam 200 sel (limfosit dan limfoblas) semua kelompok ditampilkan pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Perlakuan 3 (P3):

P2 26,5 27 22 20,5 28 15,8 + 4,22

P3 20,5 10 13,5 19 16 16,6 + 6,34

P4 20 12,5 26 14 10,5

Gambar. 1 Grafik rerata jumlah limfoblas

34

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Dari Tabel 1 dan Gambar 1 dapat dilihat bahwa rata-rata persentase jumlah limfoblas pada kelompok P1 lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sedangkan kelompok P2 lebih besar dibandingkan dengan kelompok K, P3, maupun P4. Sedangkan kelompok K tidak jauh berbeda dibandingkan dengan kelompok P3 dan P4. Uji Kruskal Wallis didapatkan hasil p=0,002 (p<0,05) yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna.
Tabel. 2 Nilai p dari uji statistik Mann Whitney U jumlah limfoblas K 0,009* 0,028* 0,917 0,675 P1 0,009* 0,009* 0,009* P2 P3

P1 P2 P3 P4 * Bermakna

0,012* 0,028*

0,917

Selanjutnya pada uji Mann Whitney U (Tabel 2) dapat dilihat bahwa jumlah limfoblas pada kelompok K dibanding dengan kelompok P3 (p=0,917) maupun dengan kelompok P4 (p=0,675) tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Begitu juga antara kelompok P3 dengan kelompok P4 (p=0,917). Sedangkan pada kelompok lainnya didapatkan perbedaan yang bermakna, yaitu antara kelompok K dengan P1 (p=0,009) dan P2 (p=0,028), juga antara kelompok P1 dengan kelompok P2, P3, dan P4 ( masing-masing p=0,009). Selain itu, perbedaan bermakna juga didapat antara kelompok P2 dengan P3 (p=0,012) dan P4 (0,028).

Pembahasan Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok mencit yang diberi ekstrak mahkota dewa 0,2 ml/hari selama 2 minggu dibanding dengan kelompok kontrol yang tidak diberi ekstrak didapatkan perbedaan jumlah limfoblas yang bermakna (p=0,009). Demikian juga antara kelompok yang diberi ekstrak mahkota dewa 0,4 ml/hari selama 2 minggu dengan kelompok kontrol (p=0,028). Namun, antara kelompok yang diberikan ekstrak mahkota dewa 0,8 ml/hari selama 2 minggu dengan kelompok kontrol tidak didapatkan perbedaan jumlah limfoblas yang bermakna (p=0,917). Demikian juga antara kelompok yang mendapat ekstrak mahkota dewa 1,5 ml/hari selama 2 minggu dengan kelompok kontrol (p=0,675). Menurut penelitian Jiao et al, disebutkan bahwa senyawa flavonoid meningkatkan aktivitas IL-2 dan meningkatkan proliferasi limfosit.5 Hal inilah yang mungkin menyebabkan peningkatan jumlah limfoblas secara bermakna antara kelompok perlakuan yang diberi ekstrak mahkota dewa 0,2 ml/hari dan 0,4 ml/hari selama 2 minggu dengan kelompok kontrol. Hartati dkk (2002) membuktikan bahwa dalam mahkota dewa terdapat senyawa Phalerin yang mempunyai efek sitotoksik.9 Middleton et al, menyebutkan bahwa senyawa flavonoid selain mempunyai efek

imunostimulan juga memiliki efek imunosupresan.10 Adanya efek sitotoksik dan imunosupresan memungkinkan terjadinya hambatan terhadap proliferasi limfosit pada batas dosis tertentu. Hal inilah yang mungkin menyebabkan tidak adanya perbedaan jumlah limfoblas yang bermakna antara kelompok perlakuan yang diberi ekstrak mahkota dewa 0,8 ml/hari dan 1,5 ml/hari selama 2 minggu dengan kelompok kontrol. Simpulan dan Saran Simpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada pemberian ekstrak buah mahkota dewa didapatkan peningkatan proliferasi limfosit lien yang bermakna pada mencit BALB/C kelompok P1 dan P2. Dan tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada kelompok P3 dan P4. Saran Perlu dilakuk an penelitian yang menghubungkan tingkat toksisitas buah mahkota dewa dengan dosis ekstrak yang diberikan, khususnya terhadap berbagai organ vital serta penelitian lebih lanjut untuk penggunaannya pada manusia sehat.

Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Mahkota Dewa Dosis Bertingkat Terhadap Proliferasi Limfosit Lien pada Mencit BALB/C

M. Saifulhaq M.

35

Daftar Pustaka
Abbas A, Lichtman AH, Pober JS. 1997. Antigen presentation and cell antigen recognition. In: Cellular and molecular immunology. 3rd ed. WB Saunders. Philadelphia. P. 116-35. Baratawidjaja K. 2000. Imunologi dasar. Ed 4. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Hartati MS, Mubarika S, Gandjar IG, Hamann MT, Rao KV, Wahyuono S. 2005. Phalerin, a new benzophenoic glucoside isolated from the methanol ectract of mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff ). Boerl.] leaves. Majalah farmasi Indonesia.15 Jiao Y, Wen J, Yux. Influence of flavanoid of Astragalus membranaceus's stam and leaves on the function of cell mediated immunity in mice. Available at: URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.Accessed Juny 20, 2003 Lisdawati V. Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff ) Boerl.) toksisitas, efek antioksidan dan efek

antikanker berdasarkan uji penapisan farmakologi. From : http://www.mahkotadewa.com/VPC/vivi.htm. Diakses 20 Oktober 2002 Middleton E, Kandaswami C, Theoharides TC. 2000. The effects of plant flavonoids on mammalian cells:implications for inflammation, heart disease, and cancer. Pharmacological Reviews.52 (4): 673-751 Sepgana S, Iwang S, Ganthina. 1988. Skrining fitokimia dan asam fenolat daun dewa/Gynura procumbens (Lour.) merr. Simposium penelitian Tumbuhan obat III, Universitas Indonesia, Jakarta. Sumastuti R, M Sonlimar. Efek sitotoksik ekstrak buah dan daun mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Sceff) Boerl.] terhadap sel hela. Available at: URL:http://www.tempointeraktif.com/medika/online/i ndex-isi.asp?file=art-3. Diakses 20 Juni 2003 Weir DM. 1990. Segi praktis imunologi. Alih Bahasa: Suryawidjaja, JE. Cetakan 1. Binarupa Aksara. Jakarta Winarto W.P. 2003. Mahkota dewa budi daya dan pemanfaatan untuk obat. Penebar Swadaya. Jakarta

36

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Pengaruh Kitosan Olahan Kulit Udang Putih terhadap Penurunan Kadar Trigliserida Plasma Tikus Putih (Rattus norvegicus)
M. Shoim Dasuki, Nurina Risanty
E mail: m_shoim@ums.ac.id

Abstract
Chitosan is a natural compound (aminopolysaccharide) earned through a process deacetylation base on chitin derived from processed shrimp white skin, are non-toxic, biodegradable, and have power fastening fat is higher than other fibers, so capable of preventing absorption body fat. This study aims to determine the effect chitosan to the triglyceride plasma level of white mouse. This study is laboratory experimental. The sample consists of a negative control group, positive control group (Simvastatin), chitosan dose of 3500 mg, 4500 mg, and 5500 mg group. The results showed that positive control group with all the variations dose chitosan is not different (>0.05), whereas the negative control treatment with all groups is different (<0.05). The conclusion, chitosan is able to decrease the triglyceride plasma level of white mouse (Rattus norvegicus) in second week. The effective dose is the 3500 mg. Keywords: chitosan, triglyceride, plasma of white mouse (Rattus norvegicus)

Pendahuluan Salah satu penyebab obesitas yang saat ini dianggap sebagai penyakit kronis dunia modern adalah hasil dari pilihan gaya hidup yang banyak mengonsumsi lemak berlebihan dan sedikit olahraga, (Nammi dkk, 2004). Pada obesitas terjadi akumulasi energi tubuh yang berlebihan dalam bentuk trigliserida (Gibney, 2002). Cara yang efektif untuk mengurangi kandungan kalori dari suatu diet menurunkan asupan lemak (Wardlaw dan Smith, 2006). Kitosan olahan kulit udang putih adalah senyawa alami (aminopolisakarida) yang diperoleh melalui proses deasetilasi basa pada kitin, bersifat non toksik, dan biodegradabel (Shepherd dkk, 1997). Seperti serat tanaman, kitosan tidak dapat dicerna sehingga tidak memiliki nilai kalori. Sifat kitosan yang lain adalah mempunyai daya pengikatan lemak yang lebih tinggi dibandingkan serat lain sehingga mampu menghambat absorpsi lemak tubuh (Silvani, 2006). Dengan demikian, kitosan potensial untuk dijadikan sebagai obat penurun lemak (Rismana, 2001). Saat ini, pembuatan k itosan banyak diusahakan masyarakat dengan menggunakan cangkang Crustaceae sp yang merupakan sumber utama zat kitin (Schiller dkk, 2001). Budidaya udang di Indonesia telah berkembang pesat. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk beku yang telah dibuang kepala,

ekor, dan kulitnya. Hal ini berarti bahwa kepala, ekor, dan kulit udang menjadi limbah. Limbah udang tesebut dapat menjadi masalah pencemaran lingkungan, menimbulkan bau, dan mengurangi estetika lingkungan (Manjang, 1993). Dengan penggunaan kitosan yang merupakan hasil olahan dari udang tersebut, maka diharapkan dapat turut membantu menanggulangi pencemaran lingkungan akibat limbah udang. Dalam penelitian ini, penulis ingin meneliti apakah kitosan olahan kulit udang putih mempunyai efek menurunkan kadar trigliserida plasma setelah pemberian lemak pada hewan coba tikus putih. Dan bagaimana efektivitas variasi dosis kitosan terhadap penurunan kadar trigliserida plasma setelah pemberian lemak pada hewan coba tikus putih. Material dan Desain Penelitian Penelitian yang dilakuk an adalah eksperimental murni (Murti, 2004). Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasi, Laboratorium Biomedik III, Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Subjek Penelitian 1. Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan, strain Wistar, berumur kira-kira 2 bulan dengan berat badan antara 100 200 gram. 2. Banyaknya sampel 25 ekor tikus putih yang dibagi menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus putih:
M. Shoim Dasuki, Nurina Risanty 37

Pengaruh Kitosan Olahan Kulit Udang Putih terhadap Penurunan Kadar Trigliserida Plasma Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Kelompok I Kelompok II

Kelompok III

Kelompok IV

Kelompok V

kelompok kontrol negatif, tidak diberi kitosan : kelompok kontrol positif, diberi obat antilipidemia Simvastatin : kelompok perlakuan dengan dosis kitosan 3500 mg/hari : kelompok perlakuan dengan dosis kitosan 4500 mg/hari : kelompok perlakuan dengan dosis kitosan 5500 mg/hari

Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : Kitosan 2. Variabel terikat : Kadar trigliserida plasma tikus putih. 3. Variabel luar : a. Dapat dikendalikan : makanan. b Tidak dapat dikendalikan :gangguan fungsi empedu dan lipase, genetik. Data yang didapat dianalisis secara statistik menggunakan uji Kruskal Wallis dengan derajat kemaknaan p = 0,05. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biomedik III, Fakultas Kedokteran UMS pada bulan Maret Mei 2009. Hasil Penelitian Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) jantan sebanyak 25 ekor dari strain yang sama yaitu wistar, berumur kira-kira 3 bulan. Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi lima kelompok. Kelompok 1 merupakan kelompok kontrol negatif, kelompok 2 merupakan kelompok kontrol positif, kelompok 3 merupakan tikus dengan perlakuan dosis kitosan 3500 mg, kelompok 4 merupakan tikus dengan perlakuan dosis kitosan 4500 mg, kelompok 5 merupakan tikus dengan perlakuan dosis kitosan 5500 mg. Masing-masing kelompok berisi lima ekor tikus. Setiap kelompok ditempatkan pada kandang yang berbeda dan mempunyai faktor lingkungan

(suhu dan kelembapan) yang sama agar faktorfaktor luar yang dapat mengganggu hasil penelitian dapat ditekan seminimal mungkin. Semua tikus putih ditimbang terlebih dahulu sebelum dilakukan penelitian untuk menentukan dosis lemak kambing dan kitosan yang diberikan. Hasil penimbangan berat badan tikus dianalisa secara statistik dan didapatkan rata-rata berat badan tikus. Rata-rata berat badan tikus dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data di atas kemudian dilakukan uji Kruskal Wallis antara kelompok 1 hingga kelompok 5. Dari uji tersebut didapatkan hasil p=0,068 berarti tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) terhadap berat badan tikus antara kelompok 1 hingga kelompok 5. Selanjutnya perlakuan terhadap tikus diberikan pada kelompok 1 hingga 5 mulai dari minggu pertama perlakuan hingga minggu ke empat, kemudian kadar trigliserida plasma diukur dan didapatkan hasil yang dapat dilihat pada gambar 1. Kadar trigliserida pada kelompok 1 hingga 5 saat minggu ke 1 hingga minggu ke-4 terus meningkat, kecuali pada kelompok 1 (kontrol -). Pada minggu ke 4 trigliserid turun. Untuk mengetahui perubahan kadar trigliserid dilakukan perhitungan selisih dari waktu ke waktu. Dari perhitungan tersebut, didapatkan data yang dapat dilihat pada tabel 2. Dari uji Kruskal Wallis dilanjutkan dengan uji M a n n W h i t n e y U, u n t u k m e l i h a t d a n membandingkan penurunan kadar trigliserid antara dua kelompok perlakuan, mulai minggu ke1 hingga minggu ke-2. Tingkat probalitas dari dua kelompok tikus dapat dilihat pada tabel 2.

38

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Tabel 1. Rata-rata berat badan tikus putih sebelum perlakuan KELOMPOK I NO (KITOSAN 3500 MG) 1 120 2 168 3 158 4 156 5 168 RATA2 154 KELOMPOK II (KITOSAN 4500 MG) 135 153 156 165 143 150,4 KELOMPOK III (KITOSAN 5500 MG) 130 147 123 129 133 132,4 KELOMPOK IV KONTROL (-) 146 119 123 148 145 136,2 KELOMPOK V KONTROL (+) 142 152 150 156 145 149

Gambar 1. Perubahan trigliserida dari minggu ke-1 hingga minggu ke-4


Tabel 2. Hasil uji Mann Whitney U.

Kelompok
Kelompok + KontrolKitosan dosis 3500 mg Kitosan dosis 4500 mg Kitosan dosis 5500 mg KelompokKitosan dosis 3500 mg Kitosan dosis 4500 mg Kitosan dosis 5500 mg Kitosan dosis 3500 mg Kitosan dosis 4500 mg Kitosan dosis 4500 mg Kitosan dosis 5500 mg Kitosan dosis 5500 mg

N
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

Median
0.009 0.108 0.201 0.833 0.009 0.009 0.009 0.231 0.140 0.156

p
0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05 0.05

Pengaruh Kitosan Olahan Kulit Udang Putih terhadap Penurunan Kadar Trigliserida Plasma Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Nurina Risanty

39

Pembahasan Dari hasil statistik menggunakan uji Kruskal Wallis terhadap berat badan tikus sebelum perlakuan didapatkan hasil p= 0.068, berarti tidak ada perbedaan bermakna (p> 0,05) antara masingmasing kelompok. Hal ini dilakukan agar faktor gizi tidak mempengaruhi hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimental laboratorium murni sehingga setelah tikus putih diberi perlakuan, dilakukan pemeriksaan terhadap kadar trigliserida plasma plasma pada minggu ke-1 hingga ke-4. Dari data yang didapat, dilakukan perhitungan selisih kadar trigliserida masing-masing kelompok dari minggu ke minggu dengan melakukan uji Mann Whitney U. Dari hasil uji tersebut, Perubahan kadar kadar trigliserid dosis kitosan 3500 dengan kontrol positif tidak terdapat perbedaan, dosis kitosan 4500 dengan kontrol positif tidak terdapat perbedaan, dosis kitosan 5500 dengan kontrol positif tidak terdapat perbedaan, kontrol negatif dengan kontrol positif terdapat perbedaan, dosis kitosan 3500 dengan kontrol negatif terdapat perbedaan, dosis kitosan 4500 dengan kontrol negatif terdapat perbedaan, dosis kitosan 5500 dengan kontrol negatif terdapat perbedaan, dosis kitosan 3500 dengan dosis kitosan 4500 tidak terdapat perbedaan, dosis kitosan 4500 dengan dosis kitosan 5500 tidak terdapat perbedaan, dosis kitosan 3500 dengan dosis kitosan 5500 tidak terdapat perbedaan. Berdasararkan data penelitian, perbadaan kadar trigliserid plasma pada kelompok 1 sebagai kontrol negatif dengan semua kelompok terdapat perbedaan yang signifikan. Antara kelompok dengan berbagai dosis kitosan yang diberikan dan perlakuan dengan simvastatin sama-sama terdapat penurunan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini kitosan d e n g a n b e r b a g a i d o s i s m e m i k l i k i e fe k menghambat absorbsi lemak pada tikus putih (Rattus norvegicus). Simpulan dan Saran Simpulan 1. Kitosan mampu menurunkan kadar trigliserid plasma tikus putih (Rattus norvegicus) mulai minggu kedua setelah perlakuan. 2. Kitosan dengan dosis 3500 mg, 4500 mg, 5500 mg dapat menurunkan kadar trigliserid plasma tikus putih (Rattus norvegicus). 3. Dosis kitosan yang disarankan untuk aplikasi klinis adalah dosis terkecil, yakni dosis 3500 mg
40

yang sudah mampu menurunkan mampu menurunkan kadar trigliserid plasma tikus putih (Rattus norvegicus). Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel yang lebih besar agar lebih mewakili populasi. 2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai efek kitosan terhadap kadar trigliserid plasma pada hewan coba yang lain. 3. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jenis lemak yang berbeda sehingga dapat diketahui ada tidaknya perbedaan efek kitosan terhadap jenis lemak yang berbeda. Daftar Pustaka
Bray, G.A., Macdiarmid. 2000. The Epidemic of Obesity. Oxford: Blackwell Science. Eastwood. 2003. Principles of Human Nutrition. Oxford: Blackwell Science. Ganong, William F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Guyton, A.C., Hall, J.E. 1997. Kedokteran. Jakarta: EGC. Buku Ajar Fisiologi

Gybney, M.J., Vorster, H.H., Kok, F.J. 2002. Introduction to Human Nutrition. Oxford: Blackwell Science Hardjito, L. 2006. Prosiding Kitin and Kitosan. Bogor: IPB. Hirano, K. 1996. Kitosan. Jepang: Sukito. Horton, R., Moran, L.A. 2002. Principles of Biochemistry. Oxford: Blackwell Science. Koolman, J., Rohm, K.H. 2000. Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Jakarta: Hipokrates. Linder, M.C. 1998. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. Jakarta: UI-Press. Manjang, S. 1993. Limbah Udang. Jogjakarta: PT. Dian Rakyat. Marieb, E. 1998. Human Anatomy and Physiology. 4th ed. California: Benjamin Science Publishing. Marks, D.B. Dan Marks, A.D. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC. Mayes, P. 2003. Biokimia Harper. Jakarta: EGC. Murti, D. 2004. Metodologi Penelitian. Jogjakarta: UGM press.
Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Muzarelli, R.A.A. 2000. Chitin and Chitinase. Oxford: Pergamon press. Nammi, U., Kristianto, Hamid. 2004. Hidup Sehat di Era Millenium. Surakarta: Media Press. Olefsky, J.M. 1999. Harrison Principles of Internal Medicine. Boston: McGraw Hill. Pittler, M.H. 1998. Dietary Suplement for Body-Weight Reduction. Oxford: Blackwell Science. Rismana, U. 2001. Potensi Kitosan Di Berbagai Bidang. Surakarta. Karya Tulis Mahasiswa UMS. Schiller, P., John E., Petter A. 2001. The Potention of Shrimp Shell. Boston: Science Press.

Sediaoetama, A.D. 2000. Ilmu Gizi I. Jakarta: Dian Rakyat. Sheperd, R., Reader, S. 1997. Chitosan Funtional Properties. Oxford: Blackwell Science. Silvani, M.D., Imam Prayitno, dan Ambar Sulistyawan. 2006. Potensi Kitosan sebagai Produk Olahan Limbah Industri Udang di Bidang Kesehatan. Surakarta. Karya Tulis Mahasiswa UMS. Sodeman. 1995. Potofisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Wardlaw, G., Smith, A.M. 2006. Contemporary Nutrition. Boston: McGraw Hill.

Pengaruh Kitosan Olahan Kulit Udang Putih terhadap Penurunan Kadar Trigliserida Plasma Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Nurina Risanty

41

42

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek (Kalancho e pinnata) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro
Ratih Pramuningtyas, Rahadiyan W.B.
E mail: pramuningtyas_dr@yahoo.com

Abstract
Cocor Bebek leaves (Kalanchoe pinnata) contains cinamic acid, flavonoid, alphatocopherol dan bufadienolide acid which are presumably able to impede a bacterial growth so that the ethanol extract of cocor bebek leaves are indicated having an antimicrobe effect. This research purposes to find out the existence and nonexistence of the impeding power of the ethanol extract of cocor bebek leaves (Kalanchoe pinnata) on the Staphylococcus aureus and Escherichia coli bacterias growth. The research is laboratory experimental with the ethanol extract of cocor bebek leaves (Kalanchoe pinnata) as the research subject. Bacterias which are used are Staphylococcus aureus ATCC 6538 and Escherichia coli ATCC 11229. The research method is Kirby Bauer by using an oxoid disk. The first step is standardizing each of 24 hours-aged Staphylococcus aureus dan Escherichia coli on BAP and Mc. Conkey medias in the standard of 0.5 Mc.Farland, then smearing using a sterile cotton-rid on Muller Hinton media. The researcher uses an empty oxoid disk as a negative control, an amoxicillin antibiotic disk on Staphylococcus aureus and a chloramphenicol on Escherichia coli as a positive control, while the researcher also places the oxoid disk containing the ethanol extract of cocor bebek leaves (Kalanchoe pinnata) with 20%, 40%, 60%, 80% and 100% concentrations on the top of the plates. Then the researcher measures the impeding zone which is formed after the incubation on 370C for 1x24 hours. After that, the researcher analyzes the data using Mann-Whitney Non Parametry Test. The result is that on the degrees of 80% and 100%, Staphylococcus aureus bacteria has a significant difference (p<0,05) from the positive and negative controls. In conclusion, this research proves the existence of the antibacteria effect of the ethanol extract of cocor bebek leaves (Kalanchoe pinnata) on the Staphylococcus aureus growth in the concentrations of 80% and 100% and the nonexistence of the antibacteria effect on the Escherichia coli growth. Keywords: ethanol extract, cocor bebek leaves (kalanchoe pinnata), antibacteria, staphylococcus aureus, escherichia coli

Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang dapat diolah menjadi berbagai macam obat. Sejak ribuan tahun yang lalu, obat-obatan tradisional telah banyak digunakan dan menjadi budaya di Indonesia dalam bentuk ramuan jamu. Obat-obatan tradisional tersebut tidak hanya digunakan dalam fase pengobatan saja, melainkan juga digunakan dalam fase preventif, promotif dan rehabilitasi. Menurut penelitian obat-obatan tersebut banyak digunakan karena keberadaannya yang mudah didapat, ekonomis, dan menurut penelitian memiliki efek samping relatif rendah serta adanya kandungan yang berbeda yang memiliki efek saling mendukung secara sinergis. Namun selain keuntungan yang dimilikinya, bahan alam juga memiliki beberapa kelemahan seperti: efek farmakologisnya yang lemah, bahan baku belum

terstandar, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme serta adanya potensi toksisitas oleh toksik endogen yang terkandung didalamnya (Katno, 2004). Obat bahan alam Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu jamu yang merupakan ramuan tradisional yang belum teruji secara klinis, obat herbal yaitu obat bahan alam yang sudah melewati tahap uji praklinis, sedangkan fitofarmaka adalah obat bahan alam yang sudah melewati uji praklinis dan klinis (SK Kepala BPOM No. HK.00.05.4.2411 tanggal 17 Mei 2004). Salah satu dari keanekaragaman hayati yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obat tradisional adalah cocor bebek (Kalanchoe pinnata) Tanaman ini termasuk tanaman sukulen (mengandung air) yang berasal dari Madagaskar. Tanaman ini terkenal dik arenak an cara
Ratih P., Rahadiyan W.B. 43

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro

reproduksinya melalui tunas daun (tunas adventif ). Kalanchoe kaya akan kandungan alkaloid, triterpenes, glikosida, flavonoid, steroid dan lipid. Sedangkan pada daunnya terkandung senyawa kimia yang disebut bufadienolides. Bufadienolides pada Kalanchoe pinnata memiliki potensi untuk digunakan sebagai antibakteri, antitumor, pencegah kanker, dan insektisida (Lana, 2005). Sehubungan dengan adanya indikasi ekstrak daun Kalanchoe pinnata mempunyai daya anti bakteri, maka untuk membuktikan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui aktivitas antimikroba dari ekstrak tanaman tersebut. Pada uji aktivitas bakteri ini digunakan bakteri Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri kokus gram positif (+) dan Escherichia coli yang merupakan bakteri batang gram negatif (-) (Jawetz et al, 2001). Material dan Desain Penelitian Penelitian ini merupak an penelitian eksperimental laboratorium dengan metode post test design only karena peneliti memberi pelakuan terhadap subjek dan mengevaluasi hasil akhirnya. Instrumentasi 1. Instrumen Instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Alat ekstraksi : Blender, seperangkat alat maserasi, tabung reaksi, alat timbang, penangas air b. Alat uji aktivitas bakteri : Ose kolong, tabung reaksi , plat diameter 15 cm, autoklaf , inkubator. 2. Bahan Bahan yang akan digunakan adalah sebagai berikut : a. Bahan utama berupa daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata). b. Bahan penyari : Etanol 70%, aquades steril. c. Bahan uji aktivitas antibakteri : Media Muller Hinton, BHI, BAP, Nutrient Agar Plate, aquades, alkohol 70%, Standar 0,5 Mc. Farland, NaCl fisiologis, disk antibiotik amoksisilin 20 g, disk antibiotik kloramfenikol 30 g, disk oksoid kosong. d. Biakan bakteri : Staphylococcus aureus ATCC 6538, Escherichia coli ATCC 11229 . Cara Kerja 1. Determinasi tanaman Untuk memastikan bahan yang akan dijadikan bahan ekstrak adalah tanaman Kalanchoe
44

2.

3.

4.

5.

6.

pinnata maka dilakukan determiansi tanaman di laboratorium Biologi FKIP UMS dengan menggunakan bahan acuan Flora of Java (Backer ,1968). Persiapan ekstrak etanol Kalanchoe pinnata Dilakukan proses pembuatan ekstrak etanol Kalanchoe pinnata melalui metode maserasi sehingga didapatkan ekstrak etanol Kalanchoe pinnata dengan konsentransi 100%, 80%, 60%, 40% dan 20% di laboratorium Farmakologi FK UMS. Selanjutnya rendam cakram kosong pada masing-masing konsentrasi ekstrak etanol Kalanchoe pinnata selama 15 menit. Persiapan kontrol positif dan kontrol negatif Untuk kontrol positif terhadap kuman gram positif Staphylococcus aureus digunakan cakram amoksisilin 20 g sedangkan kontrol positif terhadap kuman gram negatif Escherichia coli digunakan cakram kloramfenikol 30 g. Untuk kontrol negatif digunakan cakram kosong yang telah direndam dalam larutan akuades. Persiapan alat uji aktivitas antibakteri Alat-alat yang akan digunakan pada proses uji aktivitas antibakteri terlebih dahulu dicuci bersih kemudian dikeringkan dan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121C selama 15 menit. Persiapan suspensi bakteri Ambil 1 ose bakteri dari biakan dan tanam pada media Mc.Conkey (Escherichia coli) dan media agar darah (Staphylococcus aureus). Eramkan selama 24 jam pada suhu 37C hingga didapatkan koloni kuman. Ambil 1 ose bakteri dari koloni kuman untuk masing-masing spesies kuman untuk kemudian masing-masing ditanam pada 0,5 ml media BHI cair dan dieramkan selama 5-8 jam pada suhu 37C. Siapkan 2 ml NaCl fisiologis steril dalam tabung reaksi. Kemudian ambil beberapa ose bakteri Staphylococcus aureus dari biakan dan masukkan kedalam tabung reaksi yang berisi NaCl fisiologis, dikocok sampai homogen untuk kemudian bandingkan dengan suspensi 0,5 Mc.Farland (108CFU/ml). Bakteri diambil dengan kapas lidi steril, dioleskan pada agar Muller Hilton dan diratakan. Lakukan hal serupa pada biakan Escherichia coli. Pelaksanaan uji antibakteri Siapkan 2 plat media Muller Hilton yang kemudian pada plate pertama diolesi secara
Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

merata dengan bakteri Staphylococcus aureus yang telah dibandingkan dengan standar 0,5 Mc.Farland. Untuk plate yang kedua diolesi secara merata dengan bakteri Escherichia coli yang telah dibandingkan dengan standart 0,5 Mc. Farland. Kemudian pada masing-masing plate diletakkan disk yang telah mengandung ekstrak etanol daun Kalanchoe pinnata 100%, 80%, 60%, 40%, 20%, kontrol positif dan kontrol negatif. Atur jarak antar cakram sedemikian rupa agar tidak terlalu berdekatan. Selanjutnya inkubasi plate pada suhu 37C selama 18-24 jam. Zona hambatan yang terbentuk diukur dengan jangka sorong dalam satuan milimeter (mm). 7. Replikasi Uji antibakteri ekstrak etanol daun Kalanchoe pinnata terhadap bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Escherichia coli ATCC 11229 dilakukan sebanyak 5 kali ulangan sesuai dengan perhitungan dengan menggunakan rumus estimasi besar sampel. Hasil Penelitian A. Hasil Determinasi Telah dilakukan determinasi tanaman yang dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMS dengan menggunakan sampel tanaman yang akan digunakan sebagai bahan pembuatan ekstrak. Hasil tes terhadap biakan Staphylococcus aureus

Hasil determinasi tersebut memiliki kunci determinasi : 1b, 2b, 3b, 4b, 6b, 7b, 10b, 11b, 12b, 13b, 14b, 16b, 286a, 287b => Familia : Crassulaceae. 1 ==> Genus : Kalanchoe 1 ==> Spesies : Kalanchoe pinnata L (Van Steenis, 2003; Tjitrosoepomo, 1988) B. Hasil Penelitian Penelitian mengenai efek antibakteri ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 1: daya hambat antimikroba ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe Staphylococcus aureus (mm) Replikasi Staphylococcus aureus 1 2 3 4 5 rata-rata 0% 20% 4 4 4 4 4 4 40% 4 4 4 4 4 4 60% 4 4 4,5 4 4 4,1 80% 5,5 4 4,8 4,5 4 4,5 6 100% 5,2 5,5 5,3 5,3 4 5,1

pinnata) terhadap

Amoksisilin 8 7,1 3 10,7 10,5 9 9,06 39,6 5,6 33,8 37,5 34,2 36,14

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro

Ratih P., Rahadiyan W.B.

45

Grafik 1

daya hambat antimikroba ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap Staphylococcus aureus (mm)

Tabel 2:

Tes Mann-Whitney No. 1 2 3 4 5 Pembagian kelompok N 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 P (Asymp. Sig) 0,317 0,054 0,018 0,005 0,009

Kontrol (-) 40% Kontrol (-) 60% Kontrol (-) 80% Kontrol (-) 100% Kontrol (+) 100%

Dari grafik dan data diatas maka dapat diketahui bahwa pada biakan I terdapat daya hambat yang dimulai dari konsentrasi ekstrak sebesar 40% dan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kadar konsentrasi ekstrak. Rerata diameter daya hambat tersebut secara berurutan dari konsentrasi ekstrak 40% hingga 100% adalah sebesar 41 mm; 45,6 mm; 51 mm dan 90,6 mm. Data tersebut kemudian dianalisis pada = 0,05, dan diperoleh hasil sebagai berikut : Tes homogenitas varians Hasil analisis menunjukkan Levene Test hitung = 9,120 ternyata memiliki p (sig) = 0,000 Oleh karena p < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa varian yang ada adalah tidak homogen. Uji Anova Dikarenakan varian data yang ada tidak homogen maka uji Anova tidak dapat dilakukan, karena salah satu syarat untuk dapat
46

dilakukannya uji Anova adalah varian harus bersifat homogen. Uji Non Parametri Kruskall-Wallis Untuk menilai data secara statistik maka kemudian data diolah dengan uji Non Parametri Krusk all-Wallis. Pada uji ini didapatkan p (Asymp. Sig) = 0,000. Oleh karena p < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antar varian data. Uji Non Parametri Mann-Whitney Untuk mencari data mana yang berbeda secara bermakna maka dilakukan uji Non Parametri Mann-Whitney. Pada uji yang dilakukan dengan pembanding kontrol negatif (-) digunakan untuk menilai daya hambat antibakteri secara statistik. Didapatkan pada konsentrasi 80% nilai p (Asymp. Sig) = 0,018 dan pada konsentrasi 100% nilai p = 0,005. Kedua nilai p tersebut < 0,05 maka dapat disimpulkan
Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

bahwa pada kedua konsentrasi tersebut memiliki daya hambat yang bermakna secara statistik. Pada uji yang dilakukan dengan pembanding kontrol positif (+) digunakan untuk menilai besarnya potensi daya hambat antibakteri. Didapatkan pada konsentrasi dengan daya hambat tertinggi memiliki p (Asymp. Sig) = 0,009. Oleh karena p <0,05 maka dapat disimpulkan bahwa potensi daya hambat antibakteri ekstrak berbeda secara signifikan apabila dibandingkan dengan kontrol (+) yang berupa amoksisilin. Perhitungan di atas menunjukkan bahwa

ekstrak etanol daun cocor bebek dengan kadar 80% dan 100% memiliki daya hambat yang bermakna secara statistik. Namun demikian apabila dibandingkan dengan amoksisilin sebagai kontrol (+) potensi daya hambat ekstrak etanol daun cocor bebek sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus masih jauh kurang efektif. Dalam hal ini berarti amoksisilin masih jauh lebih poten dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus bila dibandingkan daya hambat yang dihasilkan ekstrak etanol daun cocor bebek.

Hasil tes terhadap biakan Escherichia coli Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut : Tabel 3: daya hambat antimikroba ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap Escherichia coli (mm) Replikasi Escherichia coli 1 2 3 4 5 rata-rata Grafik 2 :

0% 4 4 4 4 4 4

20% 4 4 4 4 4 4

40% 4 4 4 4 4 4

60% 4 4 4 4 4 4

80% 4 4 4 4 4 4

100% 4 4 4 4 4 4

Kloramfenicol 19,6 15,7 11,8 17,0 16,3 16,08

daya hambat antimikroba ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap Escherichia coli (mm)

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro

Ratih P., Rahadiyan W.B.

47

Pada data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan terhadap Escherichia coli dapat diketahui bahwa ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) dari konsentrasi 20% hingga konsentrasi 100% tidak memiliki daya hambat sama sekali terhadap biakan kuman Escherichia coli. Dikarenakan semua data yang diperoleh memiliki rerata yang tidak berbeda dari rerata variabel pembanding (kontrol negatif) maka data tersebut tidak dilanjutkan dengan penilaian data secara statistik. Hal tersebut dikarenakan kesemua kadar ekstrak tidak memiliki daya hambat maupun potensi terhadap biakan kuman Escherichia coli. Pembahasan Telah dilakukan penelitian mengenai efek antibakteri ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Escherichia coli ATCC 11229 secara invitro. Pada grafik 1 dan 2 dapat dilihat gambaran dari diameter zona hambat pertumbuhan dalam berbagai konsentrasi dan reratanya. Untuk bakteri Staphylococcus aureus diperoleh zona hambat dengan diameter 4 mm (20%), 4 mm (40%), 4,1 mm (60%), 4,56 mm (80%) dan 9,06 mm (100%). Namun daya hambat tersebut tidaklah bermakna signifikan apabila dibandingkan diameter daya hambat yang dihasilkan amoksisilin sebagai kontrol positif. Untuk bakteri Escherichia coli dari penelitian ini diketahui bahwa ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) dengan berbagai konsentrasi tidak memiliki daya hambat sama sekali. Sebagai pembanding telah dilakuk an percobaan dengan menggunakan metode sumuran dan Pour Plate dengan menggunakan ektrak yang sama dengan konsentrasi yang sama pula yaitu 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%. Percobaan tersebut juga dilakukan baik terhadap biakan kuman Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Escherichia coli ATCC 11229 dan hasil yang diperoleh adalah terbentuk zona hambat dengan diameter 5,6 mm (60%), 7,2 mm (80%) dan 8,8 mm (100%) pada biakan Staphylococcus aureus, namun pada biakan Escherichia coli tetap tidak ditemukan zona hambat sama sekali. Adanya potensi kadar hambat ekstrak yang tidak bermakna bagi Staphylococcus aureus dan bahkan tidak adanya hambatan sama sekali bagi Escherichia coli dimungkinkan karena berbagai kandungan kimia daun cocor bebek sebagian
48

besar ikut terambil termasuk bahan kimia yang bersifat antagonis sehingga kandungan kimia bahan yang diharapkan mampu bersifat bakteriostatik ternetralkan. Hal ini didukung oleh adanya pernyataan yang menyatakan bahwa cara ekstraksi dengan menggunakan etanol akan lebih banyak mengabsorbsi bahan kimia aktif dari bahan (Ansel, 1988). Sedangkan zat aktif yang diduga memiliki daya antibakteri adalah cinamic acid yang menghambat sintesis protein mikroba, flavonoid dan alfatokoferol yang bekerja dengan menghambat metabolisme sel mikroba, serta bufadienolide yang bekerja dengan merusak asam nukleat mikroba. Kemungkinan yang lainnya adalah sifat ekstrak itu sendiri yang tidak homogen, yaitu sebagian besar zat aktif ekstrak memiliki berat molekul (BM) tinggi sedangkan sebagian zat aktif ekstrak lainnya memiliki BM yang rendah. Hal tersebut tampak pada sifat ekstrak yang cepat mengendap apabila didiamkan. Hal ini menyebabkan tidak semua zat aktif terserap kedalam disk, karena hanya zat aktif yang berada di dasar tabung yang terserap kedalam disk saat proses perendaman berlangsung. Adanya perbedaan dalam hal zona hambat yang dihasilkan antara bakteri Staphylococcus aureus gram (+) dengan bakteri Escherichia coli gram (-) dikarenakan adanya perbedaan komponen pada dinding sel kedua bakteri tersebut, dimana Staphylococcus aureus sebagai gram (+) memiliki 3 lapisan yaitu selaput sitoplasma, lapisan peptidoglikan yang tebal dan simpai, sedangkan Escherichia coli sebagai gram (-) memiliki lapisan yang lebih kompleks dan berlapis-lapis yaitu selaput sitoplasma, lapisan tunggal peptidoglikan, dan selaput luar yang terdiri dari lipoprotein dan lipopolisakarida. Selaput luar Escherichia coli sebagai gram (-) memiliki karakteristik yang unik dimana pada selaput itu bersifat menolak molekul hidrofobik sekaligus hidrofilik dengan baik namun di lain pihak selaput ini memiliki saluran khusus yang mengandung molekul protein yang disebut porin. Saluran tersebut memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan BM rendah seperti gula dan asam amino, sedangkan molekul yang besar seperti molekul antibiotika dan termasuk juga molekul zat aktif ekstrak daun cocor bebek akan mengalami kesulitan bahkan gagal untuk menembusnya. Adanya perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan Escherichia coli sebagai gram (-) lebih bersifat resisten ( Jawetz. et al, 2001).
Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

Penelitian ini seirama dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Siti Nur Hidayati dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMS tentang infusa daun cocor bebek yang memiliki daya hambat yang signifik an terhadap Staphylococcus aureus dari kadar infusa 20% 100% namun tetap tidak signifikan bagi Shigella dysentriae. Hanya saja dibandingkan daya hambat yang dihasilkan oleh infusa daun cocor bebek, daya hambat yang dihasilkan ekstrak etanol daun cocor bebek bersifat lebih rendah. Selain itu, dari penelitian yang telah dilakukan oleh B. Muthuvelan dan R. Balaji Raja yang dimuat dalam Jurnal Mikrobiologi dan Biotehnologi SpringerLink didapatkan bahwa ekstrak diethyl ether dari daun cocor bebek tidak memiliki daya hambat yang signifikan sedangkan pada ekstrak kloroform dan heksan dari daun cocor bebek sama sekali tidak memiliki daya hambat pada biakan koloni bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya antibakteri daun cocor bebek yang paling maksimal dapat diperoleh dari infusanya. Simpulan dan Saran Simpulan Dari hasil penelitian tentang uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun cocor bebek (Kalanchoe pinnata) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Escherichia coli ATCC 11229 secara invitro, maka dapat diambil simpulan bahwa ekstrak etanol daun cocor bebek dimulai dari kadar 40% - 100% terbukti memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus namun potensi antibakterinya tidak signifikan apabila dibandingkan dengan amoksisilin sebagai kontrol positifnya, sedangk an terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli ekstrak daun cocor bebek mulai dari kadar 20% - 100% sama sekali tidak memiliki daya hambat. Saran 1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai efek daun cocor bebek terhadap biakan kuman lainnya dengan menggunakan cara ekstraksi yang berbeda. 2. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai efek ekstrak etanol daun cocor bebek terhadap biakan kuman lainnya. 3. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jenis ekstrak tumbuhan yang berbeda sehingga dapat diketahui ada tidaknya efek antibakteri pada kuman

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli tersebut. Daftar Pustaka


Almeida, A.P., Muzitano, M.F. et al. 2006. 1-octen-3-O-a-Larabinopyranosyl-b-glucopyranoside, a minor substance from the leaves of Kalanchoe pinnata (Crassulaceae). Rev. Bras. Farmacogn. 16 (4). http://www.scielo.br Ansel, H.C. 1988. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI press: 607-15 Atata, Alhassan Sani et al. 2003. Effect of Stem Bark Extracts of Enantia chloranta on Some Clinical Isolates. Department of Biological Sciences, University of Ilorin, Nigeria. http://www.bioline.org.br Bagian Mikrobiologi. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara: 10463 Bagian Mikrobiologi. 1997. Mikrobiologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta: Penerbit FK UGM Bonang, G., Koeswardono, E.S. 1996. Mikrobiologi Kedokteran Untuk Laboratorium dan Klinik. Jakarta: Gramedia: 107-109 Dalimarta, Setiawan. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid I. Jakarta: PT. Niaga Swadaya: 139-42 Da-Silva, S.A.G., Pinheiro, R.O. et al. 2008. Chemical isolation of an apolar antileishmanial and lymphocytesuppressive substance present in the plant Kalanchoe pinnata. Instituto de Biofsica and Ncleo de Pesquisas d e P r o d u t o s N a t u r a i s U F R J . http://www.memorias.ioc.fiocruz.br Hariana, Arief. 2000. Tumbuhan Obat & Khasiatnya. Seri 3. Jakarta: PT. Niaga Swadaya: 94-5 Hidayati, Siti Nur. 2006. Uji Antibakteri Ekstrak Daun Cocor Bebek (Kalanchoe pinnata Pers) terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae. Skripsi. Pendidikan Biologi. FKIP UMS. Jawetz , Melnick, Adelberg, J.L. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 22. Penerjemah Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Salemba Medika: 15-23, 211-7, 234-48. Katno, Pramono S. 2008. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat Tradisional. Jogjakarta: Fakultas Farmasi UGM. Lana, Ana. 2005. Toksisitas Fraksi Etil Asetat Daun Cocor Bebek Kalanchoe daigremontiana Hamet & Perrier. http://hpt.unpad
Ratih P., Rahadiyan W.B. 49

Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Etanol Daun Cocor Bebek terhadap Bakteri Staphylococcus aureus Atcc 6538 dan Escherichia coli Atcc 11229 Secara Invitro

Lans, Cheryl A. 2006. Ethnomedicines used in Trinidad and Tobago for urinary problems and diabetes mellitus. Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine. http://www.ethnobiomed.com Levinson, Warren. 2004. Medical Microbiology and Immunology Examinationand Board Review. 8th Edition. Philadelphia: A Lange Medical Books: 91-102, 115-32 Muthuvelan, B., Raja, R. 2008. Studies on the efficiency of different extraction procedures on the anti microbial activity of selected medicinal plants. World J Microbiol Biotechnol 24: 283742. http://www.springerlink.com Ouellette, Robert J. 1998. Organic Chemistry: A Brief Introduction. 2nd edition. New Jersey : Prentice Hall: 239, 314-5, 380-3 PDPERSI. 2003. Obat Tradisional : Cocor bebek (Kalanchoe pinnata). http://www.PDPERSI.CO.ID Priyatno, Duwi. 2008. Mandiri Belajar SPSS. Jakarta: MediaKom Quelab. 2005. Mc Farland Standar t. http://www.quelab.com

Schunack, W., Mayer, K. et al. 1990. Senyawa Obat Buku Pelajaran Kimia Farmasi. Edisi 2 diperbarui. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press Setiabudy, R., Vincent, H.S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4 (dengan perbaikan). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 571-83 Sugiyono, 2005. Statistik untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta Taylor, Leslie. 2005. Database File for Kalanchoe. http://rain-tree.com Tjitrosoepomo, Gembong. 1993. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Jogjakarta: Gadjah Mada University Press: 192-3 United States Department of Agriculture., 1999. Plants Profile : Kalanchoe pinnata. http://www.USDA.com ( 4 Agustus 2008) Wijayakusuma, Hembing. 2001. Atasi Asam Urat & Rematik ala Hembing. Jakarta: PT. Niaga Swadaya: 45 Willcox , Merlin L., Bodeker, G. Traditional Herbal Medicines for Malaria. http://www.BMJ.com

50

Biomedika, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2009

PEDOMAN BAGI PENULIS BIOMEDIKA Inf ormasi Umum Jurnal Biomedika menerima makalah ilmiah dari para staf edukatif FK UMS, para alumnus FK UMS, dokter di seluruh Indonesia dan dari luar negeri, baik dokter umum maupun spesialis. Makalah dapat berupa karangan asli (penelitian, laporan kasus, kajian pustaka, resensi buku dan tulisan lain dalam bidang kedokteran dan kesehatan). Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, atau dalam bahasa Inggris. Format Naskah Tulisan diketik pada kertas kuarto, batas atas, bawah, dan samping masing-masing 2,5 cm, spasi dobel, font Times New Roman, ukuran 12 tidak bolak-balik dan mencantumkan alamat email penulis. Naskah penelitian (karangan asli) harus meliputi: 1. Judul tulisan, dibuat singkat bersifat informatif, dan mampu menerangkan isi tulisan, nama para penulis lengkap berikut gelar beserta alamat kantor/instansi/tempat kerja lain, diletakkan di bawah judul 2. Pendahuluan, berisi latar belakang, masalah, maksud & tujuan, serta manfaat penelitian 3. Bahan/ subyek/ pasien dan cara kerja 4. Hasil penelitian 5. Pembahasan, kesimpulan dan saran 6. Pernyataan terima kasih (kalau ada) 7. Daftar pustaka 8. Lampiran-lampiran Naskah laporan kasus memuat latar belakang/alasan pelaporan kasus, maksud & tujuan, manfaat, data klinis, ilustrasi serta diskusi. Format naskah kajian pustaka, menyesuaikan, khususnya dalam pendahuluan hendaknya memuat penjelasan problematik yang dikaji, maksud, tujuan, dan manfaatnya serta pembahasan dari apa yang dikaji dan diakhiri dengan kesimpulan hasil kajian. Tabel/bagan/grafik/gambar/foto dibuat dengan jelas dan rapi, disertai keterangan yang jelas dan informatif. Diberi nomor menurut urutan dalam naskah, tidak lebih dari tiga lembar, keterangan ditempatkan di bawah gambar/bagan. Keterangan tabel ditempatkan di atas tabel. Tabel/bagan/grafik/gambar/foto semuanya dilampirkan terpisah dari naskah. Rujukan dalam teks dibuat berdasarkan model Harvard. Abstrak Abstrak dibuat dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, terdiri sekurang-kurangnya 100 kata, sebanyak-banyaknya 350 kata. Diketik pada lembaran kertas terpisah dengan spasi ganda. Abstrak penelitian berisi latar belakang, material dan metode penelitian, hasil penelitian, kesimpulan, dan kata kunci. Abstrak ditulis dalam 1 paragraf. Pengiriman Berkas tulisan hendaknya dikirim rangkap dua disertai file dalam disket/CD dengan mempergunakan program Microsoft Word, dialamatkan kepada Redaksi Biomedika, sekretariat Biomedika lantai 2, FK UMS Jl. Kebangkitan Nasional no 101 Penumping Surakarta. Proses Review Naskah setelah dilakukan seleksi redaksional akan dikirim kepada reviewer (mitra bestari) untuk dinilai dan hasil penilaian bisa berupa: 1) Diterima tanpa perubahan, 2) Diterima dengan perubahan ringan, 3) Diterima dengan perubahanbesar, 4) Ditolak. Dalam hal perubahan ringan bisa dilakukan oleh dewan redaksi, namun perubahan besar atau melengkapi kekurangan-kekurangan perlu dilakukan sendiri oleh penulis. Diharapkan koreksi sudah bisa dikembalikan paling lama dalam 2 minggu. Ketentuan Lain Redaksi berhak memperbaiki susunan naskah atau bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang telah dimuat di majalah lain tidak diperkenankan diterbitkan dalam majalah ini.

Anda mungkin juga menyukai