Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

Stres merupakan istilah yang dikenal luas dalam masyarakat. Tetapi batasan atau pengertian tentang istilah stres sendiri beraneka ragam. Umumnya yang dimaksudkan dengan stres adalah pola adaptasi umum dan pola reaksi menghadapi stresor, yang dapat berasal dari dalam di individu maupun dari lingkungannya. Bila proses adaptasi berhasil dan stresor yang dihadapi dapat diatasi secara memadai, maka tidak akan timbul stres. Baru bila gagal dan terjadi ketidakmampuan, timbulah stres. Menurut Hans Selye: Stres tidak selalu merupakan hal yang negatif. Hanya bila individu menjadi terganggu dan kewalahan serta menimbulkan distres, barulah stres itu merupakan hal yang merugikan.1 Sebagian orang sepanjang masa hidupnya pernah mengalami peristiwa traumatik, seperti kecelakaan pesawat, kebakaran, banjir, dan bencana alam lainnya. Sebagian besar hanya akan mengalami distres mental yang sifatnya sementara, tetapi sekitar 5-30% akan mengalami stres pasca trauma. Stres pasca trauma merupakan gangguan yang berat sehingga sangat mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan benar dapat berlangsung kronis atau menahun dan berkembang menjadi gangguan kepribadian.2 Faktor yang dapat meningkatkan keparahan stres pasca trauma antara lain: (a) dukungan lingkungan yang kurang, (b) sikap dan perilaku yang keliru dari lingkungan yang secara terusmenerus memperlakukan individu sebagai korban, (c) sikap dari orang-orang terdekat yang sepakat untuk tidak membicarakan peristiwa traumatik agar korban tidak teringat dengan peristiwa itu, akibatnya bagi korban ia merasa sendirian dalam menghadapi traumanya, (d) strategi menyesuaikan diri yang tidak efektif, (e) tidak mendapatkan pertolongan yang efektif.3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gangguan stres pasca trauma adalah suatu gangguan kejiwaan dimana seseorang memiliki pengalaman menyaksikan kejadian yang mengancam hidup seperti, bencana alam, perkosaan, peperangan, penganiayaan penyerangan dan kekerasan pada anak atau pasangan. Dapat disimpulkan bahwa gangguan stres pasca trauma adalah suatu kondisi gangguan kejiwaan setelah terpapar peristiwa menakutkan yang mengancam diri dan fungsi hidup.4 Stres pasca trauma pertama kali diperkenalkan secara resmi sebagai gangguan psikiatri tahun 1980, dalam DSM-III. Sejak itu setiap kali DSM memodifikasi kriteria diagnosis untuk gangguan ini. DSM-III R adalah versi pertama yang memasukkan bagian-bagian serta diperluas dengan definisi stresor traumatik dan perubahan serta pengaturan kembali bagian-bagian pada ketiga simtom kluster. Akhirnya adanya peningkatan jumlah dari simtom-simtom penghindaran dan penumpulan yang dibutuhkan untuk memenuhi kriteria diagnosis dari satu menjadi tiga. Stres pasca trauma merupakan satu-satunya diagnosis dalam DSM-IV-TR yang memerlukan pemunculan dari agen etiologis yaitu kejadian traumatik yang serius.5 Stres pasca trauma diklasifikasikan dalam Diagnostic and statistical manual of mental Disorders edisi keempat (DSM IV) dengan lama gejala minimal untuk gangguan stres selama satu bulan. Supaya seseorang dapat diklasifikasikan sebagai penderita stres pasca-trauma, harus mengalami suatu stres emosional yang akan bersifat traumatik.6 Keadaan stres pasca trauma timbul sebagai respons yang berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stres (baik singkat maupun berkepanjangan) dari yang bersifat katastrofik dan menakutkan, yang cenderung menyebabkan distres pada hampir setiap orang.4 Kriteria diagnosis untuk gejala gangguan stres pasca trauma dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa tahun setelah trauma terjadi. Penggolongan stres pasca trauma dibagi menjadi 3 yaitu stres akut, kronis dan onset lambat. Termasuk dalam stres akut jika gejala kurang dari 3 bulan, stres kronis jika berlangsung selama lebih dari 3 bulan dan pada onset lambat timbul gejala 6 bulan setelah terjadinya onset. Jika lamanya gangguan lebih dari 1 bulan dapat mengakibatkan gangguan yang bermakna terhadap fungsi sosial.7,9

2.2 Epidemiologi Angka prevalensi stres pasca trauma pada orang dewasa jauh berbeda dari anak dan remaja. Pada orang dewasa prevalensinya adalah 0,4-1,3%. Menurut National Center for PostTraumatic Stres Disorder memperkirakan bahwa 15-43% anak yang telah mengalami setidaknya satu peristiwa traumatik diketahui sekitar 3-15% anak perempuan dan 1-6% dari anak laki-laki memenuhi kriteria penuh untuk mengalami stres pasca trauma.8 Prevalensi stres pasca trauma di Amerika Serikat pada anak pra sekolah usia 4-5 tahun sekitar 1,3%, pada anak usia 9-17 tahun sekitar 0,5-4%, serta pada orang dewasa sekitar 1,3-8%. Wanita juga diprediksikan mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami stres pasca trauma. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kelompok risiko tinggi untuk mengalami stres pasca trauma adalah anak-anak, perempuan dan lanjut usia.9\ 2.3 Teori tentang gangguan anxietas7,10 A. Teori Psikologis
o o o

Teori psikoanalitik Teori perilaku Teori eksistensial

B. Teori Biologis
o o o o

Susunan oaraf otonom Neurotransmiten Penelitian genetika Penelitian pencitraan otak

Teori psikoanalitik Freud menyatakan bahwa kecemasan sebagai sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam diri. misal dengan menggunakan mekanisme represi, bila berhasil maka terjadi pemulihan

keseimbangan psikologis tanpa adanya gejala anxietas. Jika represi tidak berhasil sebagai suatu pertahanan, maka dipakai mekanisme pertahanan yang lain misalnya konvensi, regresi, ini menimbulkan gejala.

Teori perilaku Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dibiasakan terhadap stimuli lingkungan spesifik. Contoh : seorang dapat belajar untuk memiliki respon kecemasan internal dengan meniru respon kecemasan orang tuanya.

Teori eksistensial Konsep dan teori ini adalah, bahwa seseorang menjadi menyadari adanya kehampaan yang menonjol di dalam dirinya. Perasaan ini lebih mengganggu daripada penerimaan tentang kenyataan kehilangan/ kematian seseorang yang tidak dapat dihindari. Kecemasan adalah respon seseorang terhadap kehampaan eksistensi tersebut.

Sistem saraf otonom Stimuli sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu. Sistem kardiovaskular takikardi, muskular nyeri kepala, gastrointestinal diare dan sebagainya.

Neurotransmiter Tiga neurotrasmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan berdasarkan penelitian pada binatang dan respon terhadap terapi obat yaitu: norepinefrin, serotonin dan gamma-aminobutyric acid.

Penelitian genetika Penelitian ini mendapatkan, hampir separuh dan semua pasien dengan gangguan panik memiliki sekurangnya satu sanak saudara yang juga menderita gangguan.

Penelitian pencitraan otak Contoh: pada gangguan anxietas didapati kelainan di korteks frontalis, oksipital, temporalis. Pada gangguan panik didapati kelainan pada girus para hipokampus.

2.4 Etiologi6 Penyebab gangguan bervariasi, tetapi perdefinisi, stresor harus sedemikian berat sehingga cenderung menimbulkan trauma psikologis pada kebanyakan orang normal, walaupun tidak berarti bawa semua orang harus mengalami gangguan akibat trauma ini. Faktor psikologis, fisik, genetik dan sosial ikut berpengaruh pada gangguan ini. Jenis stresor : 1. Bencana alam; banjir,gempa bumi 2. Bencana kecelakaan oleh karena manusia (accidental made-man disasters) >> Kecelakaan industri >> Kecelakaan mobil >> kebakaran 3. Bencana oleh karena manusia yang disengaja (deliberate manmadedisasters) >> Kamp konsentrasi tahanan/tawanan >> Penganiayaan >> Pemboman

Macam-macam stresor traumatik : Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian yang menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah longsor, terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena granat atau bom, kepala terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau tindakan brutal di luar batas kemanusiaan Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau keselamatan jiwanya, misalnya huru-hara kerusuhan, bencana, tsunami, air bah atau gunung meletus, peperangan, berbagai tindak kekerasan, usaha pembunuhan, penganiayaan fisik dan mentalemosional, penyanderaan, penculikan, perampokan atau pun kecelakaan. Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga Mengalami secara aktual atau terancam mengalami perkosaan, pelecehan seksual yang mengancam integritas fisik dan harga diri seseorang Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan Kematian mendadak atau berpisah dari anggota keluarga atau orang yang dikasihi Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam atau kecelakaan hebat 5

Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman Mendadak berada dalam keadaan terasing, tercabut dari lingkungan fisik, budaya, kerabat, teman sebaya yang dikenal Terputus hubungan dengan dunia luar,dilarang melakukan berbagai adat atau kebiasaan Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privasi (hak pribadi) Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal, kesehatan.

Berbagai faktor yang mempengaruhi berkembangnya suatu gangguan stres pasca trauma adalah: Tingkat keparahan stres/trauma Kerentanan pasien Anak dan usila umumnya lebih rentan dari pada para dewasa muda. Hal ini karena anak belum memiliki mekanisme pertahanan yang memadai, sedangkan para usia lanjut umumnya sudah terlalu kaku dengan mekanisme pertahanan mereka. Kondisi/fisik pasien : Berbagai faktor yang mempengaruhi keparahan stresor berinteraksi dengan faktor pribadi individu untuk menimbulkan gangguan stres pasca trauma pada orang tertentu. Faktor pribadi ini merupakan predisposisi untuk berkembangnya gejala psikiatrik sebagai respons terhadap trauma. Faktor ini mencakup : 1. usia pada saat terjadinya trauma 2. ciri keperibadian yang mendasari,seperti obsesef-kompulsif; astenik 3. gangguan psikiatrik sebelumnya 4. predisposisi genetik 5. dukungan sosial

Faktor lainnya yang ikut berpengaruh dalam terjadinya stres pasca trauma adalah: 1. Faktor organobiologis Pasien dengan gangguan stres pasca trauma pramorbidnya mempunyai

kecenderungan bereaksi otonomik secara berlebihan terhadap stres. 2. Faktor Psikodinamik

Trauma mengaktifkan kembali konflik yang tidak terselesaikan pada masa anak, termasuk trauma emosional pada masa ana yang tidak disadari. Pengenalan reaksi individu terhadap kejadian hebat dan luar biasa ini amat bervariasi antar individu, tampak tidak berpengaruh sama sekali mengalami reaksi ringan menampilkan reaksi dalam waktu singkat menunjukkan reaksi hebat dan menetap dalam waktu yang cukup lama,disebut gangguan stres pasca trauma. 2.5 Patofisiologi11,12 Stres fisik atau emosional mengaktivasi amygdala yang merupakan bagian dari sistem limbik yang berhubungan dengan komponen emosional dari otak. Respon emosional yang timbul ditahan oleh input dari pusat yang lebih tinggi di forebrain. Respon neurologis dari amygdala ditransmisikan dan menstimulasi respon hormonal dari hipotalamus. Hipotalamus akan melepaskan hormon CRF (corticotropin- releasing factor) yang menstimulasi hipofisis untuk melepaskan hormon lain yaitu ACTH (adrenocorticotropic hormone) ke dalam darah. ACTH sebagai gantinya menstimulasi kelenjar adrenal, suatu kelenjar kecil yang berada di atas ginjal.

Kelenjar adrenal berisi dua daerah yang berbeda, bagian dalam atau medulla yang mensekresi adrenalin (epinefrin) dan noradrenalin (norepinefrin) dan lapisan luar atau korteks yang mensekresi kortikosteroid mineral (aldosteron) dan glukokortikoid (kortisol). Secara simultan, hipotalamus bekerja secara langsung pada sistem otonom untuk merangsang respon yang segera terhadap stress. Sistem otonom sendiri diperlukan dalam menjaga keseimbangan tubuh. Sistem otonom terbagi dua yaitu sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulasi atau stress. Reaksi yang timbul berupa peningkatan denyut jantung, napas yang cepat, penurunan aktivitas gastrointestinal. Sementara sistem parasimpatis membuat tubuh kembali ke keadaan istirahat melalui penurunan denyut jantung, perlambatan pernapasan, meningkatkan aktivitas gastrointestinal. Perangsangan yang berkelanjutan terhadap sistem simpatis menimbulkan respon stress yang berulang-ulang dan menempatkan sistem otonom pada ketidakseimbangan. Keseimbangan antara kedua sistem ini 7

sangat penting bagi kesehatan tubuh. Dengan demikian tubuh dipersiapkan untuk melawan atau reaksi menghindar melalui satu mekanisme rangkap: satu respon saraf, jangka pendek, dan satu respon hormonal yang bersifat lebih lama. AKTIVASI AMYGDALA RESPON NEUROLOGIS HIPOTALAMUS RESPON HORMONAL SISTEM OTONOM M CRF HIPOFISIS STIMULASI SARAF SENSORIK RESPON HORMONAL ACTH

STRESS

STIMULASI KEL. ADRENAL

RESPON STRES Gambar 1. Skema Stres 2.6 Manifestasi klinis7 Gejala-gejala ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: 1. Re-experiencing symptoms: Re-mengalami gejala:

Kilas balik-menghidupkan kembali trauma berulang kali, termasuk gejala fisik seperti jantung berdebar atau berkeringat

Mimpi buruk

Pikiran yang menakutkan. Re-mengalami gejala dapat menyebabkan masalah dalam rutinitas sehari-hari seseorang.

Kata-kata, benda, atau situasi yang pengingat acara juga dapat memicu kembali mengalami.

2. Avoidance symptoms: Penghindaran gejala:


Tinggal jauh dari tempat, peristiwa, atau benda yang pengingat dari pengalaman Merasa mati rasa emosional Merasa bersalah kuat, depresi, atau khawatir Kehilangan minat dalam kegiatan yang menyenangkan di masa lalu Memiliki kesulitan mengingat peristiwa berbahaya. Hal-hal yang mengingatkan orang dari peristiwa traumatik dapat memicu gejala

penghindaran. Gejala-gejala ini dapat menyebabkan seseorang untuk mengubah rutinitas pribadinya. Sebagai contoh, setelah kecelakaan mobil yang buruk, orang yang biasanya mengemudikan mobil mungkin menghindari mengemudi atau mengendarai mobil.

3. Hyperarousal gejala:

Menjadi mudah terkejut Merasa tegang Memiliki kesulitan tidur, dan / atau memiliki luapan kemarahan. Hyperarousal gejala biasanya konstan, bukannya dipicu oleh hal-hal yang

mengingatkan salah satu peristiwa traumatik. Mereka dapat membuat orang itu merasa tertekan dan marah. Gejala-gejala ini dapat membuat sulit untuk melakukan tugas-tugas sehari-hari, seperti tidur, makan, atau berkonsentrasi. Itu wajar untuk memiliki beberapa gejala setelah peristiwa berbahaya. Kadang-kadang orang memiliki gejala yang sangat serius yang hilang setelah beberapa minggu. Hal ini disebut gangguan stres akut, atau ASD. Bila gejala berlangsung lebih dari beberapa minggu dan menjadi masalah yang terusmenerus sehingga menjadi stres pasca trauma. Beberapa orang dengan stres pasca trauma tidak menunjukkan gejala selama beberapa minggu atau bulan.

Gambaran klinis6 a. Terjadinya suatu stresor menyebabkan gejala distres yang bermakna pada hampir setiap orang b. Adanya gejala khas berupa episode dimana bayangan kejadian traumatik tersebut terulang kembali atau dalam mimpi, terjadi dengan latar belakang yang menetap berupa kondisi perasaan yang beku (numbness) dan penumpulan emosi, menjahi orang lain, tidak responsif terhadap lingkungannya, anhedonia dan menghindari aktifitas dan situasi yang berkaitan dengan traumannya, gangguan ingatan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, kesiagaan berlebihan), survivor guilt (rasa bersalah karena lolos dari bencana), gejala depresi c. Lazimnya ada ketakutan dan menghindari hal-hal yang mengingatkannya kembali pada trauma yang dialami d. Kadang-kadang bisa terjadi reaksi yang dramatik, mendadak ketakutan, panik atau agresif, yang dicetuskan oleh stimulus yang mendadak mengingatkannya kembali pada trauma yang dialaminya serta reaksi asli terhadap trauma itu. e. Onset terjadi setelah trauma dengan masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan (jarang sampai melampaui 6 bulan), Perjalanan keadaan ini berfluktuasi dan pada kebanyakan kasus dapat diharapkan kesembuhan. Pada sejumlah kecil pasien, perjalanan penyakit dapat menjadi kronis sampai beberapa tahun dan terjadi transisi menuju suatu keadaan yang lebih berat.

2.7 Diagnosis Pedoman Diagnostik Stres Pascatrauma Pedoman diagnostik menurut PPDGJ III:13 1. Diagnosis baru ditegakkan bila gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jangan sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak terdapat alternatif kategori gangguan lainnya. 2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus dibedakan bayang- b a ya n g a t a u mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang

kembali (flashbacks) 10

3 . G a n g g u a n o t o n o m i k , g a n g g u a n a f e k d a n k e l a i n a n t i n g k a h l a k u semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. 4 . Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa) Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Stress Pasca traumatik (Tabel dari DSM IV, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, ed 4):9,13 A. Orang yang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik di mana kedua dari berikut ini terdapat: 1 . Orang mengalami,menyaksikan,atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadiankejadian yang berupa ancaman kematianatau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius atauancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain. 2 . Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat,rasa tidak berdaya atau horror. B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (ataulebih) cara berikut: 1. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian, termasuk bayangan, pikiran,a tau persepsi. 2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. 3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali. 4 . Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. 5 . Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. C.Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini: 1 .Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan,atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. 2 . Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma. 3. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma 4 . Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna. 11

5 . Perasaan terlepas atau asing dari orang lain. 6 . Rentang aspek yang terbatas. 7 . Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek. D.Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut: 1 . Kesulitan untuk tertidur atau tetap tertidur. 2 . Iritabilitas atau ledakan kemarahan. 3 . Sulit berkonsentrasi. 4 . Kewaspadaan berlebihan. 5 . Respon kejut yang berlebihan. E.Lama gangguan (gejala dalam kriteria B,C,D ) lebih dari satu bulan. F . Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,pekerjaan,atau fungsi penting lain.6

2.8 Diagnosis Banding 1. Gangguan cemas 2. Skizofrenia 3. Gangguan obsesif kompulsif

2.9 Penatalaksanaan Berdasarkan kondisi stres pasca trauma, penyedian pelayanan dilakukan secara berjenjang, yaitu untuk penanganan tingkat awal sampai rujukan tertinggi.6 Tingkat pelayanan tersebut sebagai berikut : 1. Pelayanan tingkat masyarakat Dilakukan oleh relawan yang tergabung dalam lembaga/organisasi masyarakat luas atau keagamaan maupun kader atau petugas pemerintah di tingkat desa atau kecamatan,berupa : a. Penyuluhan (KIE) b. Bimbingan c. Membentuk kelompok tolong diri d. Rujukan 2. Pelayanan tingkat Puskesmas/RSU Kelas C dan D 12

Konseling, dilakukan terhadap penderita yang berpotensi untuk mengalami gangguan stres pasca trauma. Dilakukan secara individu oleh seorang konselor yang sudah terlatih terhadap penderita Rujukan, pada kasus yang tak dapat ditangani dengan konseling awal dan membutuhkan konseling lebih lanjut/psikoterapi atau penanganan lebih lanjut

3. Pelayanan tingkat spesialistik Penderita yang tak dapat ditangani di tingkat Puskesmas akan dirujuk ke RSJ atau Bagian Psikiater RSU Kelas A dan B. Di tingkat ini penderita akan dilayani secara lebih spesialistik oleh seorang tenaga terampil (psikiater atau psikolog) sesuai dengan kebutuhan penderita. Penderita mungkin membutuhkan medikasi sementara untuk membantu mengatasi masalahnya yang mendesak sehingga dapat dilakukan konseling/psikiterapi yang lebih mendalam. Penatalaksanaan pasien dengan gangguan kecemasan adalah kombinasi farmakoterapi (psikofarmaka) dengan psikoterapi. Pertimbangannya adalah bahwa psikoterapi mempunyai keunggulan tidak adiktif tetapi kerugiannya lambat dalam efek terapetiknya. Sebaliknya anxiolitik mempunyai keunggulan efek terapetik cepat dalam menurunkan tanda dan gejala kecemasan tetapi mempunyai kerugian resiko adiksi. Dalam terapi kombinasi diberikan obat anxiolitik terlebih dahulu sampai 2 minggu, kemudian dilakukan psikoterapi yang dimulai pada awal minggu kedua di samping obat anxiolitik masih tetap diberikan tetapi secara bertahap diturunkan dosisnya (tapering off sampai minggu ke empat pengobatan). Ada juga yang membedakan kasus baru dan lama. Kasus baru diberikan sampai 2 bulan bebas gejala kemudian dilakukan tapering off untuk penghentian pengobatan; kasus lama diberikan sampai 6 bulan bebas gejala kemudian dilakukan tapering off untuk penghentian pengobatan. Psikoterapi yang sering digunakan untuk gangguan kecemasan adalah psikoterapi berorientasi insight, terapi perilaku, terapi kognitif atau psikoterapi provokasi kecemasan jangka pendek. Obat-obatan yang sering digunakan untuk anxiolitik (mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan kecemasan) adalah: 1. Golongan benzodiazepin (Chlordiazepoxide, Diazepam, Lorazepam, Bromazepam, Clobazam, Alprazolam ), 2. Golongan non-benzodiazepin 13

(Buspirone, Sulpiride, Hydroxyzine), 3. Golongan antidepresan: trisiklik (Amitriptyline, Imipramine) 4. Golongan monoamin inhibitor [MAOI] (Moclobemide) 5. Golongan specific serotonin reuptake inhibitor [SSRI] (Sertraline, Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine)14 Pencegahan6 - Stres pasca trauma dapat dideteksi sampai batas tertentu sehingga dapat dicegah agar tidak menjadi gangguan yang kronik (menahun). - Intervensi sedini mungkin akan menghasilkan terapi yang lebih memuaskan dan akan mencegah berkembangnya stres pasca trauma menjadi gangguan stres pasca trauma

2.10 Prognosis Prognosis pada kasus PTSD adalah sulit untuk menentukan, karena itu bervariasi secara signifikan dari pasien ke pasien. Beberapa individu yang tidak menerima perawatan secara bertahap pulih dalam periode tahun. Banyak orang yang menerima perawatan medis dan psikiatris tepat sembuh sepenuhnya (atau hampir sepenuhnya). Jarang, bahkan dengan intervensi intensif, individu mengalami gejala memburuk dan bunuh diri. Pada pasien dengan stres pasca trauma yang menerima pengobatan, durasi rata-rata gejala adalah 36 bulan, dibandingkan dengan 64 bulan untuk pasien yang tidak menerima pengobatan. Namun, lebih dari sepertiga pasien yang memiliki stres pasca trauma tidak pernah sepenuhnya pulih. Faktor yang terkait dengan prognosis yang baik meliputi keterlibatan cepat pengobatan, dukungan sosial awal dan berkelanjutan, menghindari retraumatisasi, fungsi premorbid positif, dan tidak adanya gangguan kejiwaan lain atau penyalahgunaan zat.14

14

BAB III KESIMPULAN

Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kejiwaan dimana seseorang memiliki pengalaman menyaksikan kejadian yang mengancam hidup seperti, bencana alam, perkosaan, peperangan, penganiayaan penyerangan dan kekerasan pada anak atau pasangan. Dapat disimpulkan bahwa gangguan stres pasca trauma adalah suatu kondisi gangguan kejiwaan setelah terekspose peristiwa menakutkan yang mengancam diri dan fungsi hidup.

Faktor yang dapat meningkatkan keparahan stress pasca trauma antara lain: (a) dukungan lingkungan yang kurang, (b) sikap dan perilaku yang keliru dari lingkungan yang secara terusmenerus memperlakukan individu sebagai korban, (c) sikap dari orang-orang terdekat yang sepakat untuk tidak membicarakan peristiwa traumatik agar korban tidak teringat dengan peristiwa itu, akibatnya bagi korban ia merasa sendirian dalam menghadapi traumanya, (d) strategi menyesuaikan diri yang tidak efektif, (e) tidak mendapatkan pertolongan yang efektif.

Pedoman Diagnostik Stres Pascatrauma A. Telah terpapar dengan peristiwa traumatik, didapati:
o

mengalami, menyaksikan, dihadapkan dengan peristiwa yang berupa ancaman kematian, atau kematian yang sesungguhanya atau cedera yang serius,atau ancaman integritas fisik diri sendiri atau orang lain

respon berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya

B. Keadan traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu atau lebih cara berikut:
o o o o

rekoleksi yang menderitakan, rekuren dan mengganggu tentang kejadian Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik

reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai aspek kejadian traumatik

15

C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma D. Gejala menetap, adanya peningkatan kesadaran , seperti dua atau lebih berikut: kesulitan tidur, irritabilitas, sulit konsentrasi, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan. E. Lama gangguan gejala B,C,D adalah lebih dari satu bulan. F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain Penatalaksaan gangguan stres pasca trauma dapat dilakukan dengan kombinasi farmakoterapi dan psikoterapi dengan dilakukannya terapi individu maupun terapi kelompok.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Karnadi,J. Stress Dalam Kehidupan Sehari-hari. Kelompok Psikiatri Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 123, 1999. Diunduh dari URL: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09StresdalamKehidupanSeharihari123.pdf/09Stresdalam KehidupanSehari-hari123.pdf 2. Warmasif. 2007. Gangguan Stres Pasca Trauma. Diunduh dari

URL:www.warmasif.co.id/kesehatanonline/ mod.php. 3. Dharmono S, Agiananda F, Redayani P, dan Diatri H. 2008. Gangguan Stres Pasca Trauma (panduan praktis bagi tenaga kesehatan), Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan. Departemen Psikiatri FKUI-RSCM. Jakarta 4. American Psychiatric Association (APA). 1994. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. (4th ed). Washington DC. 5. Cohen JA, 2005. Posttraumatic Stress Disorder in Children and Adolescent, Philadelphia, Lipicont William and Witkins 6. Depkes RI.1993. http://www.depkes.go.id/downloads/Psikososial.PDF 7. Kaplan, Harold I, Sadock, Benjamin J, & Grebb, Jack. A. 1997. Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara; Tanggerang 8. Sheldon J. Kaplan . 2002. Post-Traumatic Stress Disorder In Children And Adolescents. Jacksonville Medicine. August-September 2002. Diunduh dari URL:http://www. dcmsonline.org/jax-medicine/2002journals/augsept2002/PTSD.htm 9. Gore Allen Gore. Posttraumatic Stress Disorder Medication.Diunduh dari URL: http:// www.emedicinehealth.com 10. Asnawi Hutagalung Evalina. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Tatalaksana Diagnosis Dan Terapi Gangguan Anxietas. 27 Oktober 2007. Diunduh dari URL:http// www.idijakbar.com

/prosiding/pengantar.htm 11. Michal M. Stress. Editiones Roche 1991 12. Lubis DB. Pengantar Psikiatri Klinik. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 1989.

17

13. Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI. Editor Rusdi Maslim. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari PPDGJ III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya: PT Nuh Jaya; Jakarta 14. Alam Romadhon Yusuf. 2002. Gambaran Klinik dan Psikofarmaka pada Penderita Gangguan Kecemasan. Cermin Dunia Kedokteran No. 135, 200. Diunduh dari URL:http//www.kalbe.co.id/files/.../09_GambaranKlinikdanPsikofarmaka.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai