Anda di halaman 1dari 12

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Pengkajian terhadap lansia untuk menegakan diagnose dan menajeman hambatan mobilitas fisik harus dilakukan dengan mengumpulkan data tentang kemampuan fisiologis dan psikologis individu, lingkungan fisik dan social individu, serta interaksi individu dengan lingkungan ( Kane, 1993; Rockwood, Silvius, & Fox, 1998 ). Hal ini perlu dilakukan, karena mobilitas ( juga kesehatan fungsi ) dipengaruhi oleh gabungan factor, dan gabungan spesifik berbeda bagi masing-masing lansia. Data dasar yang komprehensif dan perinci, yang dikembangkan pada dimensi ini, memudahkan perawat mengidentifikasi factor spesifik yang berhubungan dengan hambatan mobilitas klien dan menganalisis luas, tingkat kendali, dan durasi gangguan tersebut. Dengan penilaian ini,perawat dapat mengambil tindakan khusus untuk mengatasi hambatan mobilitas. Pengkajian yang cermat dan komprehensif oleh praktisi yang terampil dan berpengalaman, terutama penting dalam lingkungan layanan kesehatan saat ini, tidak hanya untuk memastikan bahwa intervensi yang sesuai ditetapkan, tetapi juga untuk menentukan kualifikasi layanan kesehatan yang dibutuhkan. Tanpa pengkajian yang cermat, lansia mungkin tidak menerima layanan yang dibutuhkan untuk mempertahankan atau meningkatkan fungsi sehingga mengalami pemburukan lebih lanjut, yang memerlukan biaya yang lebih banyak lagi, dan memerlukan bantuan melakukan ADL. Agar intervensi yang diberikan efektif, penting begi perawat membedakan etiologi tertentu dan menggambarkan keparahannya, kemungkinan durasi, dan potensi untuk membalik masalah. Jika tersedia, perawat berkonsultasi dengan dokter dan atau terapis fisik untuk mengklarifikasi etiologi dan menentukan hasil, yang akan dipantau guna mengkaji kemajuan pasien setelah diberi intervensi. Beberapa penelitian memvalidasi diagnosis hambatan mobilitas fisik dan etiologinya ( Creason, Pogue, Nelson, & Hoyt, 1985;Johnson, Stone, Larson, &Hromek, 1992; Keenan, 1989; Kraft, 1991; Kraft, Maas, & Hard, 1994; Mehmert & Delaney, 1991; Ouellet & Rush, 1992) Berbagai instrument pengkajian mobilitas pada lansia sudah tersedia( Katz, Ford, Moskowitz, Jackson, & Jaffe, 1963; Shanas et al, 1968; wolanin, 1976), tetapi tidak satupun yang benar-benar memuaskan (Hogue, 1985). Pengkajian mobilitas sering kali menjadi bagaimana pengkajian fungsi pengukuran yang ditinjau oleh kane dank are (1981) mencakup pengkajian perpindahan, mobilitas berjalan, aktifitas ditempat tidur, lokomosi, kemampuan menggerakkan kursi roda, dan kondisi fisik ekstermitas bawah. Beberapa instrumen memiliki lingkup luas, tetapi kurang perinci untuk mengkaji aspek khusus mobilitas. Beberapa

membutuhkan instrumentasi, sedangkan yang lain tidak. Sebagaian besar bergantung pada kesimpulan subjektif dokter dari hasil pemantauan terhadap penampilan pasien. Banyak instrumen berfokus hamper sepenuhnya pada dimensi fisik pergerakan saja dan mengabaikan factor psikososial, factor lingkungan, dan tuntutan tugas yang berhubungan dengan hambatan mobilitas ( Czaja et al, 1993). 1. Pemeriksaan fungsi motorik a. Pemeriksaan kekuatan otot Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan dengan menggunakan pengujian otot secara manual (manual muscle testing MMT). Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan mengontraksikan kelompok otot secara volunter. b. Prosedur pelaksanaan MMT: 1) Lansia diposisikan sedemikan rupa sehingga otot mudah berkontraksi sesuai dengan kekuatannya. 2) Bagian tubuh yang dites harus terbebas dari pakaian. 3) Berikan penjelasan dan contoh gerakan yang harus dilakukan. 4) Lansia mengkontraksikan ototnya dan stabilisasi diberikan pada segmen proksimal. 5) Selama terjadi kontraksi, gerakan yang terjadi diobservasi, baik palpasi pada tendon atau perut otot. 6) Memberikan tahanan pada otot yang bergerak dengan luas gerak sendi penuh. 7) Melakukan pencatatan hasil MMT. Kriteria hasil pemeriksaan MMT: 1) Normal (5): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh, melawan gravitasi dan melawan tahan maksimal. 2) Good (4): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh melawan gravitasi dan melawan tahanan sedang (moderat). 3) Fair (3): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh dan melawan gravitasi tanpa tahanan. 4) Poor (2): mampu bergerak dengan luas gerak sendi penuh tanpa melawan gravitasi. 5) Trace (1): tidak ada gerakan sendi, tetapi kontraksi otot dapat dipalpasi. 6) Zero (0): kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi. 2. Pemeriksaan tonus otot

Tonus otot adalah ketegangan minimal suatu otot dalam keadaan istirahat. Dapat diperiksa dengan beberapa cara yaitu dengan palpasi, gerakan pasien dan vibrasi. 3. Pemeriksaan luas gerak sendi Luas gerak sendi (LGS) merupakan luas gerak sendi yang dapat dilakukan oleh suatu sendi. Tujuan pemeriksaan LGS adalah untuk mengetahui besarnya LGS suatu sendi dan membandingkannya dengan LGS sendi yang normal, membantu diagnosis dan menentukan fungsi sendi. Pengukuran LGS menggunakan Goniometer: 1) Posisi awal posisi anatomi, yaitu tubuh tegak, lengan lurus di samping tubuh, lengan bawah dan tangan menghadap bawah. 2) Sendi yang di ukur harus terbuka. 3) Berikan penjelasan dan contoh gerakan. 4) Berikan gerakan pasif 2 atau 3 kali. 5) Berikan stabilisasi pada segmen bagian proksimal. 6) Tentukan aksis gerakan baik secara aktif/pasif. 7) Letakkan tangkai goniometer yang statik paralel dengan aksis longitudinal. 8) Pastikan aksis goniometer tepat pada aksis gerakan sendi. 9) Baca dan catat hasil pemeriksaan LGS. 4. Pemeriksaan postur Pemeriksaan postur di lakukan dengan cara inspeksi pada posisi berdiri. Pada posisi tersebut postur yang baik/normal dapat terlihat dengan jelas. Dari samping, tampak telinga, akromium, trunk, trokanter mayor, patela bagian posterior dan maleolus lateralis ada dalam satu garis lurus. 5. Pemeriksaan kemampuan fungsional Ada beberapa sistem penilaian yang dikembangkan dalam pemeriksaan kemampuan fungsional : 1) Indeks ADL Barthel NO 1 FUNGSI Mengendalikan rangsang pembuangan tinja SKOR KETERANGAN 0 Tak terkendali/tak teratur (perlu 1 pencahar). 2 Kadang-kadang tak terkendali (1x seminggu). Terkendali teratur. 0 Tak terkendali atau pakai kateter 1 Kadang-kadang tak terkendali 2 (hanya 1x/24 jam) Mandiri

Mengendalikan rangsang berkemih

3 4

Membersihkan diri (seka muka, sisir rambut, sikat gigi) Penggunaan jamban, masuk dan keluar (melepaskan, memakai celana, membersihkan, menyiram) Makan

0 1 0 1 2

Berubah sikap dari berbaring ke duduk

0 1 2 0 1 2 3 0 1 2 3 0 1 2 0 1 2 0 1

Berpindah/ berjalan

Memakai baju

Naik turun tangga

10

Mandi

Butuh pertolongan orang lain Mandiri Tergantung pertolongan orang lain Perlu pertolonganpada beberapa kegiatan tetapi dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan yang lain. Mandiri Tidak mampu Perlu ditolong memotong makanan Mandiri Tidak mampu Perlu banyak bantuan untuk bias duduk Bantuan minimal 1 orang. Mandiri Tidak mampu Bisa (pindah) dengan kursi roda. Berjalan dengan bantuan 1 orang. Mandiri Tergantung orang lain Sebagian dibantu (mis: memakai baju) Mandiri. Tidak mampu Butuh pertolongan Mandiri Tergantung orang lain Mandiri

TOTAL SKOR Skor BAI : 20 : Mandiri

12-19 : Ketergantungan ringan 9-11 : Ketergantungan sedang 5-8 0-4 : Ketergantungan berat : Ketergantungan total

2) Indeks Katz Mengukur kemampuan mobilisasi dengan menggunakan 6 kegiatan: makan, kontinensia, menggunakan pakaian, pergi ke toilet, berpindah dan mandi. Termasuk kategori yang mana: (1) Mandiri dalam makan, kontinensia (BAB, BAK), menggunakan pakaian, pergi ke toilet, berpindah, dan mandi.

(2) Mandiri semuanya kecuali salah satu dari fungsi diatas. (3) Mandiri, kecuali mandi, dan satu lagi fungsi yang lain. (4) Mandiri, kecuali mandi, berpakaian dan satu lagi fungsi yang lain. (5) Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, dan satu lagi fungsi yang lain.

(6) Mandiri, kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, berpindah dan satu fungsi yang lain. (7) Ketergantungan untuk semua fungsi diatas. Keterangan: Mandiri: berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan aktif dari orang lain. Seseorang yang menolak melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan fungsi, meskipun dianggap mampu. 3) Indeks kenny-self care Skala ini mengukur kemampuan perawatan diri yang meliputi 6 kategori: (1) Tidur dan istirahat (2) Berpindah (3) Bergerak (4) Berpakaian (5) Personal hygiene (6) Makan Dalam memenuhi kebutuhan fungsional ini diperlukan hal-hal yang mencakup kemampuan fisik, motivasi, bimbingan dan kemauan untuk belajar. Skala ini dilakukan untuk mengukur kemampuan fungsional lansia yang dilakukan dalam lingkungan yang tertutup, terlindungi atau dalam pengawasan perawat home care atau rumah sakit. Penilaian ini tidak termasuk aktifitas diluar rumah seperti berjalan ke kendaraan, menggunakan alat transportasi umum, dan bekerja seperti mengangkat beban. 4) Indeks ADL

3.1.1 Review of Sistem 1. B1 (Breath): Sekret susah keluar, Sesak nafas. Indikasi kemunduran respirasi dibuktikan dari tanda dan gejala atelektasis dan pneumonia. Tanda-tanda awal meliputi peningkatan temperatur dan denyut jantung.

Perubahan-perubahan dalam pergerakan dada, perkusi, bunyi napas, dan gas arteri mengindikasikan adanya perluasan dan beratnya kondisi yang terjadi. 2. B2 (Blood): Pusing atau pingsan bila mencoba untuk berdiri (tegak), dan mudah lelah. Tanda dan gejala B1 (kardiovaskuler tidak memberikan bukti langsung atau meyakinkan tentang perkembangan komplikasi imobilitas. Hanya sedikit petunjuk diagnostik yang dapat diandalkan pada pembentukan trombosis. Tanda-tanda tromboflebitis meliputi eritema, edema, nyeri tekan dan tanda homans positif. Intoleransi ortostatik dapat menunjukkan suatu gerakan untuk berdiri tegak seperti gejala peningkatan denyut jantung, penurunan tekanan darah, pucat, tremor tangan, berkeringat, kesulitan dalam mengikuti perintah dan sinkop 3. 4. B3 (Brain): Daya hantar saraf menurun, koordinasi terganggu, aktivitas terganggu. B4 (Bladder): Adanya sisa urine karena posisi baring pasien ini tidak dapat mengosongkan kandung kemih secara sempurna. Adanya Infeksi Saluran Kemih (ISK) karena keadaan stagnasi urine maupun karena batu saluran kencing. Serta terjadi batu saluran kencing karena faktor osteoporosis dan diet yang tinggi kalsium maka mengakibatkan hiperkalsiuria. Bukti dari perubahan-perubahan fungsi urinaria termasuk tanda-tanda fisik berupa berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah, dan batas kandung kemih yang dapat diraba. Gejala-gejala kesulitan miksi termasuk pernyataan ketidakmampuan untuk berkemih dan tekanan atau nyeri pada abdomen bagian bawah 5. B5 (Bowel): Konstipasi karena tirah baring yang lama.

Sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah, rasa penuh, dan tekanan. Pengosongan rectum yang tidak sempurna, anoreksia, mual gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan, dan sakit kepala. 6. B6 (Bone): Nyeri pada tulang dan sendi, kaku/susah digerakkan, nyeri leher, arthritis pasca trauma, osteoporosis.

3.2 Diagnosa Keperawatan Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pergerakan fisik tubuh atau salah satu atau semua ekstremitas yang mandiri dan terarah (NANDA,1999,hal84) atau penurunan kemampuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu posisi ke posisi lain (Kelly, 1985). Hambatan mobilitas fisik kerap didefinisikan sebagai keterbatasan pergerakan fisik mandiri baik actual maupun potensial dalam lingkungan (Ouellet & Rush, 1992, hlm.76). Tinetti dan Ginter (1988) menyebut mobilitas ambulasi untuk membedakan

mobilitas fisik dari konsep mobilitas yang luas. Berjalan merupakan fungsi rumit yang membutuhkan banyak maneuver, tetapi komponen kuncinya adalah keseimbangan dan gaya berjalan (tinetti,1986). Diagnosis hambatan mobilitas fisik dibedakan dari imobilitas fisik, yang merupakan ketidakmampuan total untuk menggerakkan tubuh atau semua bagian tubuh dari satu tempat ke tempat yang lain, bergerak dari satu posisi tubuh keposisi lain, atau memanipulas semua elemen lingkungan. Jika terjadi imobilitas fisik, asuhan keperawatan tidak berfokus pada pengentasan masalah, tetapi pada manajemen masalah yang kemungkinan menjadi sukarela masalah saai ini (misalnya kerusakan intergritas kulit atau konstipasi). Pada hambatan mobilitas fisik, tingkat keterbatasan pergerakan, lingkup bagian tubuh yang terkena, durasi keterbatasan pergerakan, dan kuantitas kendali yang dimiliki lansia terhadap hambatan mobilitas tersebut sangat beragam. Intervensi keperawatan untuk hambatan mobilitas fisik bertujuan mengoreksi, mengompensasi, atau mengurangi hambatan mobilitas. Dengan demikian, penting bagi perawat mengkonseptualisasi hambatan mobilitas sebagai fenomena yang tidak hanya memiliki dampak fisik dan dapat mempengaruhi kesehatan holistic lansia (ouellet & Rush, 1992). Dalam kerangka kerja diangnosis keperawatan mobilitas fisik sangat penting untuk melaksanakan ADL, mempertahankan fungsi tubuh, dan mencapai kebugaran fisik (Houldin, Salstein, & Ganley, 1987) Berikut adalah diagnose keperawatan yang dapat diambil dari masalah gangguan mobilitas pada lansia : 1. Gangguan mobilisasi b.d penurunan kekuatan dan ketahanan otot Kriteria hasil: Individu menunjukkan peningkatan kekuatan dan fungsi sendi serta tungkai yang sakit. Memperlihatkan penggunaam alat-alat yang adaptif untuk meningkatkan mobilitas.

No. Intervensi Rasional 1. Ajarkan untuk melakukan latihan 1. Latihan rentang gerak sangat rentang gerak aktif pada anggota membantu lansia untuk mandiri gerak yang sehat sedikitnya dan meminimalkan risiko empat kali sehari. cidera. 1) Lakukan latihan rentang gerak pasif pada anggota gerak yang sakit. Lakukan dengan perlahan, sangga ekstremitas di bagian atas dan bawah sendi. 2) Secara bertahap lakukan

2.

latihan rentang gerak aktif untuk aktivitas fungsional. Amati dan ajarkan penggunaan alat bantu mobilisasi misal: kruk, walker, kursi roda, dsb. Dorong partisipasi sehari-hari. aktivitas

3.

2. Penggunaan alat bantu yang tepat dapat memaksimalkan mobilisasi untuk aktivitas fungsional. 3. Meningkatkan harga diri, meningkatkan rasa kontrol dan kemandirian.

2. Intoleran aktivitas b.d nyeri sendi Kriteria hasil: Berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari sesuai tingkat kemampuan. TTV dalam batas normal. No. Intervensi 1. Observasi laporan kelemahan, perhatikan ketidakmampuan untuk berpartisipai dalam aktivitas sehari-hari. 2. Berikan lingkungan tenang dan periode istirahat tanpa gangguan. Dorong istirahat sebelum makan. Implementasikan teknik penghematan energi, contoh: 3. lebih baik duduk daripada berdiri, penggunaan kursi untuk mandi. Bantu aktivitas lain sesuai indikasi. Rasional 1. Nyeri yang dirasakan dapat membatasi aktivitas sehari-hari.

2. Menghemat energi untuk aktivitas dan regenerasi selular.

3. Memaksimalkan sediaan energi untuk tugas perawatan diri.

3. Resiko cedera fisik b.d penurunan fungsi tubuh Kriteria hasil: Individu dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terhadap cidera. Mengungkapkan suatu keinginan untuk melakukan tindakan pengamanan sehingga mencegah cidera. No. Intervensi 1. Orientasikan klien dengan ruangan yang baru disekelilingnya. 2. Gunakan lampu dimalam hari, anjurkan individu untuk meminta bantuan dimalam hari. 3. 4. Pertahankan tempat tidur pada. posisi terendah dimalam hari. Ajarkan penggunaan kruk, tongkat, walker prostese dengan tepat. Rasional 1. Menghindari disorientasi tempat. terjadinya

2. Penerangan yang efektif membantu lansia mengenali benda disekitarnya sehingga mengurangi risiko cidera. 3. Menghindari risiko jatuh dari tempat tidur. 4. Mengurangi cidera iatrogenic.

4. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas usus sekunder terhadap tirah baring yang lama Kriteria hasil: 1) Individu akan menunjukkan eliminasi yang membaik 2) Dapat menjelaskan rasional dari intervensi No. Intervensi 1. Ajarkan seimbang. 2. Rasional pentingnya diet 1. Diet yang tinggi serat dapat mempermudah pengeluaran feses. Dorong masukan harian sedikitnya 2. Memperlancar BAB. 2 liter cairan (8-10 gelas) kec.dikontraindikasikan. Anjurkan minum air hangat 30 3. Cairan ini dapat bertindak menit sebelum sarapan pagi. sebagai stimulus untuk evakuasi usus. Bantu individu untuk posisi semi 4. Posisi ini memungkinkan jongkok. penggunaan optimal otot abdomen dan efek gravitasi kuat. Berikan health education untuk 5. Memberikan informasi yang mencegah tekanan rektal yang adekuat, mencegah komplikasi menyebabkan hemoroid. lebih lanjut.

3.

4.

5.

5. Sindrom defisit perawatan diri berhubungan dengan imobilisasi sekunder terhadap IMA. Kriteria hasil: 1) Individu dapat mengidentifikasi kesukaan akan aktivitas perawatan diri. (mis: waktu, lokasi, produk) 2) Berpartisipasi secara fisik dan/atau verbal dalam aktivitas pemberian makanan, mengenakan pakaian, ke kamar mandi, mandi. No. Intervensi 1. Kaji faktor penyebab sindrom defisit perawatan diri. Rasional 1. Dengan mengetahui penyebab dari sindrom maka masalah lebih mudah di atasi. 2. Mengjarkan klien untuk mandiri. 3. Agar klien memiliki rasa percaya diri untuk bersosialisasi dengan lingkungannya.

2.

Tingkatkan partisipasi optimal.

3.

Tingkatkan harga kemampuan diri.

diri

dan

4.

Beri dorongan untuk mengekspresikan perasaan tentang kurang perawatan diri. Evaluasi kemampuan berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri. untuk setiap

4. Agar klien termotivasi.

dapat

5.

5. Untuk mengetahui perkembangan kemampuan klien.

6. Resiko infeksi saluran kemih berhubungan dengan stagnasi urine dan batu saluran empedu. Kriteria Hasil: 1. Memperlihatkan pengetahuan tentang faktor resiko yang berkaitan dengan infeksi. 2. Melakukan tindakan pencegahan yang tepat untuk mencegah infeksi. No. Intervensi Rasional 1. Evaluasi semua hasil 1. Mengetahui tingkat infeksi pemeriksaan laboratorium yang klien. abnormal, khususnya kultur/sensitifitas, JDL. 2. Kaji tanda/gejala abnormal pada klien sesuai prosedur urologis. Pantau suhu klien paling sedikit setiap 24 untuk mengetahui peningkatan dan laporkan pada dokter jika lebih dari 37,8 C. Berikan cairan bila diperlukan. 4. Mengganti cairan yg kluar melalui kringat dan urine. 5. Kaji kembali kebutuhan kateter urine indwelling setiap hari. 5. Menyesuaikan dengan kondisi klien, apabila terjadi infeksi maka sebaiknya penggunaan kateter di ganti setiap hari. 6. Mengurangi inflamasi. 2. Sebagai tanda peringatan dini terjadinya infeksi. 3. Mengetahui perubahan suhu klien, apabila suhu klien tinggi maka infeksinya sudah parah.

3.

4.

6.

Berikan antibiotik.

7. Nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan absorbsi vitamin dan mineral sekunder akibat imobilitas

Kriteria hasil: Individu akan 1) Meningkatkan masukan oral seperti yang ditunjukkan oleh perawat. 2) Menjelaskan faktor-faktor penyebab apabila diketahui. 3) Menjelaskan rasional dan prosedur pengobatan

No. Intervensi Rasional 1. Buat pilihan menu yang ada dan 1. Klien yang meningkat rasa ijinkan klien untuk mengontrol percaya dirinya dan merasa pilihan sebanyak mungkin. mengontrol lingkungan lebih suka mnyediakan makanan untuk makan. 2. Berikan makan sedikit dan makanan kecil tambahan yang tepat. Berikan makanan yang mudah dicerna misal: bubur, jus buahbuahan, sereal. 2. Dilatasi gaster dapat terjadi bila pemberian makanan terlalu cepat setelah periode puasa. 3. Makanan yang lembut memudahkan lansia untuk menelan dan menurunkan kerja usus. 4. Klien akan mencoba menghindari mengambil makanan bila tampak mengandung banyak kalori dan mau makan lama untuk menghindari makan.

3.

4.

Sadari pilihan-pilihan makanan rendah kalori/minuman, menimbun makanan, membuang makanan dalam berbagai tempat seperti saku atau kantung pembuangan.

8. Keletihan b.d defisit nutrisional dan penurunan metabolisme nutrient sekunder akibat mual muntah Kriteria hasil: individu akan 1) Mendiskusikan sebab-sebab kelelahan. 2) Mengungkapkan perasaan mengenai efek dari keletihan. 3) Menetapkan prioritas untuk aktifitas sehari-hari. 4) Ikut serta dalam aktifitas disekitarnya.

No. Intervensi Rasional 1. Evaluasi laporan kelelahan, 1. Menentukan derajat kesulitan menyelesaikan tugas, (berlanjut/perbaikan) dari efek perhatikan kemampuan ketidak mampuan.

tidur/istirahat dengan tepat. 2. Kaji kemampuan untuk berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan/dibutuhkan. Rencanakan periode yang lebih adekuat. istirahat 2. Mengkaji kebutuhan individual dan menentukan intervensi.

3.

3. Mencegah kelelahan berlebihan dan menyimpan energi untuk penyembuhan, regenerasi jaringan. 4. Mungkin memiliki efek akumulatif (sepanjang faktor psikologis) yang dapat diatasi bila masalah diketahui. 5. Meningkatkan rasa aman, meningkatkan percaya diri dan membatasi frustasi akibat ketidakmampuan.

4.

Identifikasi stress/psikologis memperberat.

faktor yang dapat

5.

Berikan bantuan dalam aktifitas sehari-hari dan tingkatkan tingkat partisipasi klien sesuai kemampuannya.

9. Resiko aspirasi b.d refluk isi lambung sekunder akibat pengosongan lambung yang tidak sempurna. Kriteria hasil: Individu tidak mengalami aspirasi, mengungkapkan tindakan untuk mencegah aspirasi. No. Intervensi Rasional 1. Minimalkan posisi tidur 1. Posisi terlentang sangat rentan terlentang, ubah posisi terjadi tersedak. miring kanan/kiri atau tengkurap dalam jangka waktu tertentu. 2. Hindari makan/minum dengan posisi tidur terlentang, berikan posisi semi fowler. Batasi makan/minum sebelum tidur, minimal 2 jam sebelum tidur. 2. Posisi terlentang sangat rentan terjadi tersedak.

3.

3. Makan banyak sebelum tidur memungkinkan terjadinya refluks makanan dari lambung.

Anda mungkin juga menyukai