Anda di halaman 1dari 27

ASKEP GBS Senin, 26 September 2011 GBS A.

DEFINISI GBS (Guillain Barre Syndrome) GBS merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstermitas tubuh yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit yang sistemis. GBS merupakan suatu syndrome klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimmune dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis ( Bosch, 1998) Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf. Kelumpuhan dimulai pada bagian distal ekstremitas bawah dan dapat naik ke arah kranial (Ascending Paralysis). B. ETIOLOGI Yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan suatu penyakit autoimun oleh karena adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului dengan faktor pencetus. Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena : a. Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya.

b. c.

Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie) Vaksin : rabies, swine flu Infeksi yang lain : Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis, campylobacter jejuni Keganasan : carcinoma,lymphoma Hodgkinsdisease,

d. e.

f.

Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. Pada dasarnya guillain barre adalah self Limited atau bisa sembuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya.

C . INSIDEN GBS tersebar diseluruh dunia terutama di negara negara berkembang dan merupakan penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada dewasa muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering dijumpai pada laki laki daripada perempuan. Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 sampai 1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan infeksi saluran nafas atas. Selain yang disebutkan

diatas penyakit ini dapat pula timbul oleh karena infeksi cytomegalovirus, epster-barr virus, enterovirus, mycoplasmadan dapat pula oleh post imunisasi . Akhir akhir ini disebutkan bahwa campylobacter jejuni dapat menimbulkan GBS dengan manifestasi klinis lebih berat dari yang lain. Guillain Bare syndrome termasuk dalam penyakit poliradikulo neuropati dan untuk membedakannya berdasarkan lama terjadinya penyakit dan progresifitas penyakit yaitu : 1. Guillain barre syndrome (GBS) Fase progresif sampai 4 minggu 2. Subakut idiopathic polyradiculo neuropathy (SIDP) Fase progresif dari 4-8 minggu Gejala klinis : a. Terutama motorik

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah selsel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin. Akson adalah suatu perpanjangan selsel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam. Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus

b. Relative ringan tanpa : gagal pernapasan, gangguan otonomik yang jelas c. d. 3. Neurofisiologi : demyelinisasi Biopsi : demyelinisasi ~ makrofag

Cronic inflammatory demyelinating polyradiculo neuropathy (CIDP) Fase progresif > 12 minggu Dibagi dalam 2 bentuk a. Idiopathic CIDP (CIDP 1)

b. CIDP MGUS (monoclonal gammopathy uncertain significance)

D.

PATOFISIOLOGI

Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat. Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih. Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).

Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer. Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat. Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Sarafsaraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat. MANIFESTASI KLINIS Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu,

kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase

progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala. 2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien

langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan. 3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi. Gangguan sistem saraf perifer yang terjadi di selubung myelin sel schawn. Terjadi proses demielinisasi yang ditandai dengan gejala paralisis atau parese otot mendadak. Kerusakan axon dapat terjadi. Kerusakan axon dan demielinisasi terjadi karena proses inflamasi.

Radikal bebas dan protease yang dihasilkan oleh macrofage saat masuk ke selubung mielin. Autoimmun terjadi karena anti bodi yang bersirkulasi masuk dan mengikat antigen dan menempel di atas selubung meilin dan mengaktifkan makrofag Inflamasi selubung meilin mengakibatkan hantaran impuls terhmbat atau terputus. Umumnya yang terkena pada bagian Anterior nerve root akan tetapi bagian posterior juga dapat terganggu Umumnya selubung meilin yang terserang dimulai dari saraf perifer yang paling rendah dan terus ke level yang diatasnya. Gejala-gejala GBS menghilang setelah serangan autoimmun berhenti. Kerusakan pada sel body akan mengakibatkan gangguan yang bersifat permanen. Gangguan berupa sensorik dan motorik serta gangguan respirasi akibat defisit saraf otonom. Gangguan pada aspek musculoskeletal Menurunnya kekuatan gengguan konduktifitas saraf Kardiopulmonal Menurunnya fungsi otot-otot intercostalis, diafragma sehingga ekspansi thoraks menurun. Menurunnya kapasitas vital paru Ventilasi menurun Saraf Otonom otot dari

Gangguan dapat mencapai n. vagus seingga terjadi gangguan parasimpatis Meninggkatnya tekanan darah Keringat berlebihan Sensorik Gangguan sensasi (baal, kesemutan, nyeri dll) F. KOMPLIKASI Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic Tetraparese oleh karena penyebab lain Hipokalemia Miastenia Gravis adhoc commite of GBS Tick Paralysis Kelumpuhan otot pernafasan Dekubitus G. PEMERIKSAAN

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Anamnesis

Keluhan utama pasien Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya rasa nyeri Paraestasia jari kaki s/d tungkai Progresive weakness > 1 Ekstremitas Hilangnya refleks tendon Pendukung Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu Gangguan sensory Ringan

Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir terkesan bengkak Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil Tidak ada demam Inspeksi Tampak kelelahan pada wajah Otot-otot bibir terkesan bengkak Kemungkinan adanya atropi Kemungkinan adanya tropic change Palpasi Nyeri tekan pada otot Auskultasi Breathsound terdengar cepat Vital Sign Blood Pressure : Labil (selalu berubahubah) Heart Rate

Pada ketiga tes tersebut menunjukkan adanya kelemahan.

dominan

Gangguan sendi dimungkinkan pada kasus yang telah lama Pemeriksaan Khusus Kekuatan Otot

MMT Vital Capacity (Spirometry) Sensorik

Dermatom Test Myotom Test Mobilitas Thorax

Mid line lingkar thorax Tendon refleks Lingkar otot

Mid line lingkar otot ROM

ROM Test (Goniometer) Fungsional

Tachicardy Cardiac arythmia Respiratory Rate Hyperventilasi Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar Aktif

ADL IADL Laboratorium Lumbar punksi Cairan cerebrospinal dijumpai peningkatan protein, berisi 10 atau sedikit mononuclear leukosit/mm3 Electro Diagnostik (EMG)

Kekuatan otot Pasif

Lingkup Gerak Sendi, endfeel Tes Isometrik Melawan Tahanan

Kecepatan hantar saraf melemah Prinsip Penanganan

Pemeliharaan sistem pernapasan Mencegah kontraktur Pemeliharaan ROM Pemeliharaan denervated Re-edukasi otot Dilakukan sedini mungkin otot-otot besar yng J.

2.Gangguan mobilitas fisik : kerusakan neuromuskular. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Dx keperawatan a. Pola nafas dan pertukaran gas tidak efektif b.d kelemahan otot-otot pernafasan b. Tujuan dan kriteria hasil: Setelah dilakukan tindkan 2x 24 jam diharapkan dapat mempertahankan pola pernafasan efektif melalui ventilator dengan criteria hasil: Tidak terdapat sianosis, saturasi oksigen dalam rentang normal. Intervensi: Mandiri Observasi pola nafas Auskultasi dada sesuai periodik, catat adanya bunyi nafas tambahan juga simetrisan gerak dada Periksa selang terhadap obstruksi. Periksa fungsi alaram ventilator. Pertahankan tas retuitasi. Kolaborasi Kaji susunan ventilator secara rutin, dan yakinkan sesuai indikasi. Observasi presentasi konsentrasi O2 Kaji volume tidal (10-15 ml/hg). Berikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan pada fase posiktal.. Siapkan untuk melakukan intubasi, jika ada indikasi K. EVALUASI Masalah dikatakan teratasi apabila tidak terdapat sianosis, saturasi oksigen dalam rentang normal.

Deep breathing Exercise Mobilisasi ROM Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai H. I. Change position untuk mencegah terjadinya decubitus Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untuk mencegah kontraktur Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darah Edukasi terhadap keluarga PROGNOSIS Umumnya sembuh 20 % menyisakan deficit neurologik > 1th 67% sembuh yang komplit 20 % menyisakan disability > 2 th 8% tdk dpt sembuh DIAGNOSA KEPERAWATAN 1.Pola nafas dan pertukaran gas tidak efektif : kelemahan otot-otot pernafasan

c.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri 3) dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat. 7) Etiologi Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)1,2) Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.
2,3)

pada trimester ketiga ; pembedahan dan anestesi epidural. 8,12) Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 4 minggu sebelum timbul GBS .10) Patofisiologi Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. 5) Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. 4) Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin 5)bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon. 6) Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut. 5) Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh. 6) Epidemiologi Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4 2,0 per 100.000 penduduk. 7) GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah sama

Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV.1,5,8) Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta , Salmonella, Legionella dan , Mycobacterium Tuberculosa. 1,5,8,12) ; vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B ; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis ; kehamilan terutama

di seluruh dunia pada pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina , dimana predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung terjadi pada musim panas. GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat. 4,7) Angka kematian berkisar antara 5 10 %. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada + penderita GBS. Antara 5 10 % sembuh dengan cacat yang permanen. 7) Gejala klinis GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat ekstremitas yang bersifat asendens 1,3,8,11). Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.1,2) Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. 2,10) Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif 8), dalam hitungan jam, hari maupun minggu, 7) ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat , muncul pada 50 % kasus, biasanya berupa facial diplegia. 8) Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan 12) dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. 2,8) Anak anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan akhirnya menjadi tetraplegia . 1)

Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar. 8) Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada extremitas distal. 11) Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi. 5) terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam 7,8) mendiagnosis. Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest , facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. 11) Hipertensi terjadi pada 10 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien. 10) Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, 9) dan yang paling sering ( 50% ) adalah bilateral facial palsy.
4)

Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions). 3) Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. 3) Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.9)

Pemeriksaan Penunjang Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis.1,3,5,6.8) Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10 / mm3 4,7,9) pada kultur LCs tidak ditemukan adanya virus ataupun bakteri 1) Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. 10) Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang 4,7,9,10) .Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik.7) Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS. 7) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit. Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy. 1) Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and

Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS) 4) Gejala utama 1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia 2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general Gejala tambahan 1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu 2. Biasanya simetris 3. Adanya gejala sensoris yang ringan 4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral 5. Disfungsi saraf otonom 6. Tidak disertai demam 7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 Pemeriksaan LCS 1. Peningkatan protein 2. Sel MN < 10 /ul Pemeriksaan elektrodiagnostik 1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf Gejala yang menyingkirkan diagnosis 1. Kelemahan yang sifatnya asimetri 2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten 3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul 4. Gejala sensoris yang nyata Diagnosis banding GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya asimetris, dan disertai demam.4, 8, 11, 12 ) GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan thallium, arsen, dan plumbum 4, 11 )

Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi ophtalmoplegia. 4, 8
12 )

Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan peningkatan sedangkan LCS normal 4, 11) Penatalaksanaan Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda tanda vital. 1) Ventilator harus disiapkan di samping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan . 1,4) Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa. 1) Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. 1) Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.4,12) Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya paralisa dan mempercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 50 ml / kg BB) dengan saline dan albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE 1,4,12)

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg. 1,3, 4,7,12) Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan 4,6,12) fleksibilitas otot setelah paralisa. Heparin dosis rendah dapat diberikan untuk mencegah terjadinya trombosis .11) Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi. 3) Prognosis 95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.
3,10)

Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. 2,3) Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. 3) 3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy. 12)

BAB III PENUTUP

Guillain Barre Syndrome merupakan penyakit serius dengan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat

mengalami kematian dan 12 % tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama muncul 20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa. Selama ini para peneliti tetap mencari alternatif yang paling baik dan paling efektif dari PE dan IVIg, dan para dokter harus dapat mengenali gejala GBS sehingga dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin. Penegakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih baik.

GBS- Guillain Barre Syndrome 12 04 2010 GBS (Guillain Barre syndrome) merupakan penyakit autoimun, dimana sistem imun tubuh menyerang bagian dari sistem saraf tepi yaitu mielin (demielinasi) dan akson (degenerasi aksonal). Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel. Mielin adalah selubung yang mengelilingi akson, merupakan suatu kompleks protein-lemak berwarna putih. GBS ditandai dengan polineuropati yang menyeluruh: paralisis ekstremitas, badan atas dan wajah; menghilangnya refleks tendon; berkurangnya fungsi sensoris (nyeri dan suhu) dari badan ke otak; disfungsi otonom dan depresi pernafasan. Gejalanya biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas. 1,2,3 Banyak istilah telah dipakai untuk penyakit itu diantaranya, infectious polyneuritis, acute segmentally demyelinating Polyradiculoneuropathy, acute polyneuritis with facial diplegia, acute polyradiculitis, atau Guillain Barre Strohl Syndrome.4 Penyebab pasti GBS belum diketahui. Kejadian GBS sering didahului oleh hal-hal berikut: (1) infeksi traktus respiratorius atau traktus ganstrointestinal (pada 2/3 kasus), (2)

vaksinasi. Mekanisme yang mendasari munculnya GBS adalah respon abnormal dari sel-T akibat infeksi.5 Mekanisme imun selular dan humoral tampak berperan, lesi inflamasi awal akan menyebabkan infiltrasi limfosit dan makrofag pada komponen mielin. Pada gambaran dengan mikroskop elektron tampak bahwa makrofag merusak selubung mielin. Faktor imun humoral seperti antibodi, antimielin, dan komplemen ikut berperan dalam proses oponisasi makrofag pada sel Schwann. Proses ini dapat diamati baik pada radiks saraf, saraf tepi, dan saraf kranialis. Sitokin ikut pula berperan , hal ini ditunjukkan dengan korelasi klinik Tumor Necrotic Factor (TNF) dengan beratnya kelainan elektrofisiologik.5 Sejak berkurangnya penyakit poliomyelitis di seluruh dunia, GBS menjadi penyakit paralisis akut yang tersering, khususnya di negara-negara Barat dengan angka kejadian 1,3 1,8 kasus per 100.000 orang 3,4. Di Amerika Serikat, angka kejadian GBS berkisar antara 0,4 2,0 per 100.000 orang, tapi dari penelitian pada beberapa rumah sakit memperkirakan frekuensinya sebanyak 15%. Tidak ditemukan adanya hubungan musim dengan kejadian GBS di Amerika Serikat 2.

Respon imun pada GBS dipercaya langsung menyerang komponen glikolipid dari aksolema dan selubung mielin. Antibodi pada saraf perifer akan mengaktivasi sistem komplemen dan makrofag, sehingga akan muncul sitotoksisitas seluler yang tergantung pada antibodi, terhadap komponen mielin dan aksolemma.5 Kerusakan selubung mielin akan menyebabkan demielinasi segmental, yang menyebabkan menurunnya kecepatan hantar saraf dan conduction block. GBS tipe aksonal disebut juga sebagai AMAN, terutama ditandai oleh kerusakan aksonal yang nyata.5 Di era kedokteran modern pertama, ada penyakit yang mirip dengan GBS yang ditemukan oleh Landry pada tahun 1859. Kemudian, Osler pada tahun 1892 mengembangkan secara lebih detail jumlah penyakit yang disebutnya sebagai acute febrile polyneuritis. Pada tahun 1916, Guillan, Barre, and Strohl lebih banyak menggambarkan gejala klinisnya dan pertama kali dikemukakan mengenai gambaran tentang keadaan cairan serebrospinal, disosiasi sitologi albumin (dalam cairan serebrospinal yang normal terdapat elevasi protein). 6 Saat ini, epidemi penyakit yang menyerupai GBS ditemukan setiap tahun di beberapa daerah di Cina Utara, terutama terjadi pada musim panas. Epidemi ini berhubungan dengan infeksi Campylobacter jejuni, dan banyak ditemukan antibodi antiglikolipid pada pasien. Karena penyakit ini banyak menyebabkan degenerasi akson motorik perifer tanpa banyaknya inflamasi, sindrom ini disebut Acute Motor Axonal

Neuropathy (AMAN) 2. AMAN terdapat pada <10% dari pasien dengan GBS di negara Barat dan >40% di negara Cina dan Jepang. 7 Saat ini riset sedang mengkonsentrasikan pada antibodi antigangliosid yang terdapat pada strain Campylobacter jejuni. Antibodi ini menyerang gangliosid normal yang berada pada jaringan saraf perifer.
Daftar Pustaka 1. Ikatan Fisioterapi Indonesia Cabang Surabaya. Available from : URL : http://www.fisiosby.com/index.php? option=com_content&task=view&id=11&Itemid=7. [diakses tanggal 20 Februari 2010]. Last update ; 2008. 2. Guyton AC, Hall JE. Membran fisiologi, saraf, dan otot. Dalam: Setiawan I, editor bahasa Indonesia. Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 9. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC, 1997. h. 846 3. Hartwig MS, Wilson LM. Anatomi dan fisiologi sistem saraf. Dalam: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor bahasa Indonesia. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit.. Volume 2 edisi 6. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC, 2002. h.1007-16 4. Tarjana A, Gunawan D, Taib S. Polineuritis Akut Idiopatik. Cermin Dunia Kedokteran 1979;16:15-24. 5. Pinzon R. Sindrom Guillain-Barre: kajian pustaka. Dexa media 2007: 1(20); 44-5 6. Emedicine. Specialties. Guillain-Barre Syndrome in Childhood. Available at http://emedicine.com 7. Hughes RA et al. Campylobacter jejuni in Guillain Barre Syndrome Available at http://Neurology . Thelancat.com

SINDROMA GUILLAIN-BARRE (GBS) Patofisiologi dan Diagnosis GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa. Penyebab Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh infeksi saluran pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponenkomponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.

Patagonesis dan Patofisiologi

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang

dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam. Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat. Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10 Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.

Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter). Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer. Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis. Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.

Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Sarafsaraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat. Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala) Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Gejala Klinis antara lain: Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal . Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif.

Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. Saraf Kranialis Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus. Gangguan fungsi otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.

Kegagalan pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita . Papiledema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.

Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang. Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali. Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase

progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala. 2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.

Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan. 3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Terdapat enam subtipe sindroma GuillainBarre, yaitu: 1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann. 2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi AntiGQ1b dalam 90% kasus. 3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN. 4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson

yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna. 5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia. 6. Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik. Diagnosis

Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan adanya gangguan fungsi saraf perifer, yakni motorik, sensorik, dan otonom. Manifestasi klinis yang utama adalah kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia sampai paralisis motorik total yang melibatkan otot-otot pernafasan sehingga menimbulkan kematian. Awalnya pasien menyadari adanya kelemahan pada tungkainya, seperti halnya kaki karet, yakni kaki yang cenderung tertekuk (buckle), dengan atau tanpa disestesia (kesemutan atau kebas). Umumnya keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis asendens Landry),1 meskipun dapat pula dimulai dari lengan. Seiring perkembangan penyakit, dalam periode jam sampai hari, terjadi kelemahan otot-otot leher, batang

tubuh (trunk), interkostal, dan saraf kranialis. Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan otot bulbar menyebabkan disfagia orofaringeal, yakni kesulitan menelan dengan disertai oleh drooling dan/atau terbukanya jalan nafas, serta kesulitan bernafas. Kelemahan otot wajah juga sering terjadi pada GBS, baik unilateral ataupun bilateral; sedangkan abnormalitas gerak mata jarang, kecuali pada varian Miller Fisher. Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi pada GBS. Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekangetar) lebih berat daripada sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu).1 Sensasi nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa nyeri tusuk dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus segera diatasi dengan analgesik standar. dan arefleksia. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu umumnya ringan; bahkan Disfungsi kandung kencing dapat terjadi pada kasus berat, namun sifatnya transien; bila gejalanya berat, harus dicurigai adanya penyakit medulla spinalis. Tidak dijumpai demam pada GBS; jika ada, perlu dicurigai penyebab lainnya. Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom, dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah, hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.

Pemeriksaan penunjang
1. Cairan serebrospinal (CSS) Yang

paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL)

tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm 2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG) Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. 3. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta

4.

5.

6.

7.

8.

berkurangnya KHS dan denervasi EMG. Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV. Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending). Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan

demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya. Diagnosis GBS umumnya ditentukan oleh adanya kriteria klinis dan beberapa temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan serebrospinal (CSS), Kriteria Diagnostik Guillain-Barre untuk Sindroma

Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis


Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih Arefleksia

Temuan klinis yang mendukung diagnosis :


Gejala atau tanda sensorik ringan Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial lainnya Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti Disfungsi otonom Tidak adanya demam saat onset Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu Adanya tanda yang relatif simetris

Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:

Peningkatan

protein

dalam

CSS

dengan jumlah sel <10 sel/l

Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau terbloknya hantaran saraf

Diagnosis Banding GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut: 1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia. 2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski 3. Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia. 4. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang terinfeksi.13 Gejala dimulai dengan diplopia13 disertai dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien GBS. 5. Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.

6. Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam aminolevulinik delta. 7. Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada GBS. 8. Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks tendon akan menghilang. 9. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik. 10. Mielopati servikalis. Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.

Daftar Pustaka

1. Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams


and Victors Principles of neurology. 7th edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87. 2. Arnason Barry GW. Inflammatory polyradiculoneuropathies. In: Dyck PJ, Thomas PK, Lambert EH. Peripheral neuropathies. Vol. II. USA: W. B. Saunders Company; 1975. p.1111-48. Guillain-Barre Syndrome. [Update: 2009]. Available from: http://www.caringmedical.com/conditions/G uillain-Barre_Syndrome.htm. 3. Guillain-Barr Syndrome. [update 2009]. Available from:

http://bodyandhealth.canada.com/condition_ info_popup.asp channel_id=0&disease_id=325&section_na me=condition_info. 4. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann; 1996. p.1911-16. 5. Gilroy John. Basic neurology. 2nd edition. Singapore: McGraw-Hill Inc.; 1992. p.377378.

6.

7. Guillain-Barr Syndrome. Available from:


8. http://www.medicinenet.com/guillainbarre_syndrome/article.htm Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation. In: Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH. Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.49-55.

SINDROMA GUILLAIN-BARRE Dr ISKANDAR JAPARDI Fakultas KedokteranBagian BedahUniversitas Sumatera Utara Pendahuluan Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderitadan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaandapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yangbaik.Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathicpolyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, GuillainBarre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain BarreSyndrome. Definisi Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksiakut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanyaparalisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimundimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Sejarah

Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal(CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG. Epidemiologi Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxundidapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan. Dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan

musim gugur.Insidensi sindroma GuillainBarre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita lakilaki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau. Etiologi Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antaralain: Infeksi, Vaksinasi, Pembedahan, Penyakit sistematik, keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis, penyakit Addison, Kehamilan atau dalam masa nifas. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1s ampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasanatas atau infeksi gastrointestinal Infeksi akut yang berhubungan dengan SGBInfeksi Definite Probable Possible Virus

CMVEBVHIVVaricellazoster,Vaccinia/small pox,Influenza,Measles,Mumps,Rubella,Hepat itis,Coxsackie,EchoBakteri,CampylobacterJej eni,MycoplasmaPneumonia,Typhoid,Borrelia B,Paratyphoid,Brucellosis,Chlamydia,Legion ella,Listeria. Patogenesa Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yangmempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadipada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediatedimmunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi. 2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi 3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Peran imunitas seluler Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting di samping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bonemarrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan ke dalam jaringan limfoid dan peredaran.Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan(fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh

penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limfosit T (CD4). Setelah itu limfosit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen. Patologi Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam,sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson. Klasifikasi Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy, 2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy, 3. Acute motor

axonal neuropathy, 4. Acute motor sensory axonal neuropathy, 5. Fishers syndrome, 6. Acute pandysautonomia Gejala klinis dan kriteria diagnosa Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS). Terapi Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapikhusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Kortikosteroid Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Plasmaparesis Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan factor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

Pengobatan imunosupresan:1. Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkandibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosismaintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosismaintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. 2. Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah: 6 merkaptopurin (6-MP), azathioprine, cyclophosphamid. Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakitkepala. Prognosa Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain: pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal, mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset, progresifitas penyakit lambat dan pendek, pada penderita berusia 30-60 tahun DAFTAR PUSTAKA
Arnason B.G.W. 1985 . Inflammatory polyradiulopathy in Dick P.J. et al Peripheralneuropathy. Philadelphia : WB. Sounders. Asbury A.K. 1990. Gullain-Barre Syndrome : Historical aspects. Annals of Neurology (27): S2-S6

Asbury A.K. and David R. Crnblath. 1990 . Electrophysiology in Guillain-BarreSyndrome. Annals of Neurology (27): S17 Bosch E.P.. 1998 . Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediatedpolyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226 Chandra B. 1983. Pengobatan dengan cara baru dari sindroma gullainbarre.Medika (11); 918-922 Guillain-Barre Syndrome , an overview for the Layperson, 9 th ed. Guillain-BarreSyndrome Foundation International 2000. Hurwitz E.S. Guillain-Barre Syndrome and the 1978-1979 influenza vaccine. TheNew England Med. (304); 1557-1561 Morariu M.A. 1979 . major Neurological syndrome. Illinois : Charles C. ThomasPublisher. Parry G.J. 1993. Guillain-Barre Syndrome . New York : Theime Medical Publisher Van der Meche et all. 1992 . A randomized trial comparing intravenous globulinand plasma exchange injury Guillain-Barre Syndrome. The New EnglandJournal of Med. 326(April 23); 1123-1129 Van Doom P.A. and Van der Meche. 1990 . Guillain-Barre Syndrome, optimummanagement. Clin. Immunother. 2(2): 89-99 Visser L.H. et all. 1995 . Guillain-Barre Syndrome without sensory loss (acutemotor neuropathy). A subgroup with specific clinical, electrodiagnostic andlaboratory features. Brain (118); 841-847

GBS Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadang-kadang mengenai saraf otak yang

didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf. Kelumpuhan dimulai pada bagian distal ekstremitas bawah dan dapat naik ke arah kranial (Ascending Paralysis). Etiologi Kondisi yang khas adalah adanya kelumpuhan yang simetris secara cepat yang terjadi pada ekstremitas yang pada banyak

kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Tetapi dalam beberapa kasus juga terdapat data bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan autoimun. Penyebab yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Tetapi pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi viral. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah Cytomegalovirus (CMV), HIV, Measles dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering oleh Campylobacter jejuni. Lebih dari 60% kasus mempunyai faktor predisposisi antara satu sampai beberapa minggu sebelum onset, antara lain : - Peradangan saluran napas bagian atas - Vaksinasi - Diare - Kelelahan - Peradangan masa nifas - Tindakan bedah - Demam yang tidak terlalu tinggi Patofisiologi Sistem imunitas tubuh normalnya menyerang benda dan organisme asing, tetapi pada penyakit Guillain Barre Syndrome (GBS), sistem imunitas malah menyerang sel saraf yang membawa impuls ke otak, sehingga pelindung serabut saraf (serabut myelin) menjadi rusak dan mempengaruhi proses penjalaran impuls sehingga menyebabkan kelemahan, keadaan mati rasa, ataupun kelumpuhan (paralisis). Serabut myelin merupakan membran yang berlapis yang mengelilingi dan membungkus serabut saraf. Serabut myelin ini terdiri dari lipid, termasuk sfingomielin dan gangliosid. Pada GBS, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut myelin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari

antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi olehCampylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf. Gejala Klinik Gejala dari penyakit GBS ini terjadi sangat cepat dan juga cepat memburuk. Adanya penurunan dari proses myelinisasi dari serabut saraf mengakibatkan terjadinya kelumpuhan otot dan hilangnya sensasi. Pada awalnya, gejala akan dirasakan terutama di daerah tungkai. Selanjutnya kelemahan dan adanya rasa nyeri akan menyebar ke seluruh tubuh terutama di bagian ekstremitas dan punggung bawah. Semakin besar serabut myelin yang hilang karena kerusakan yang terjadi, semakin buruk gejala yang timbul. Pada akhirnya kedua lengan dan kedua tungkai akan mengalami kelumpuhan hanya dalam beberapa hari. Gejala klinik timbul secara mendadak atau perlahan-lahan dalam waktu beberapa jam sampai 2-4 minggu, biasanya setelah adanya infeksi gastrointestinal atau gangguan pernapasan. Masa prosresifitas tidak lebih dari 4 minggu. Leneman (1966) dan Ravn (1967) membagi penderita GBS ke dalam 2 golongan, yaitu :

1. Kasus Primer Gejala Neurologis Maksimal Gejala klinis yang timbul tanpa didahului 1. Gangguan Fungsi Motorik atau disertai keadaan atau penyakit. Kelumpuhan otot dengan derajat 2. Kasus Sekunder kelumpuhan yang luas, mulai dari ataksia Gejala klinis timbul setelah didahului ataU sampai kelumpuhan total. disertai suatu keadaan atau penyakit. Gangguan Saraf Kranialis Keadaan atau penyakit yang menyertai : - Hampir seluruh saraf kranialis terkena kecuali 1. Infeksi virus N.I dan VIII. 2. Infeksi bakterial - Sering terkena adalah N.VII (bilateral) 3. Tindakan operasi - N. IX dan X menyebabkan gangguan menelan 4. Pengobatan dengan demam dan berbicara 5. Proses keganasan - N.III, IV, dan VI menyebabkan oftalmoplegia 6. Kehamilan dan masa nifas Gejala Gangguan Sensibilitas 7. Vaksinasi Lebih sering didapatkan pada anggota 8. Penyakit lain : badan bagian bawah dibandingkan - Alkoholisme dan penyakit hati dengan anggota badan bagian atas dan - Hipertiroid dan disfungsi adrenal distribusinya seperti sarung tangan dan - Myasthenia gravis kaus kaki (Glove-Stocking Phenomena). - Sengatan serangga Gangguan Fungsi Otonom Keluhan dan gejala awal tersering yang - Sekresi air liur, kelenjar keringat, bronkus didapatkan adalah : - Gangguan fungsi spingter - Paresthesi - Gangguan fungsi vasomotor - Hipesthesi - Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit - Kelumpuhan dan nyeri

Anda mungkin juga menyukai