Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN Pre eklampsia merupakan penyakit pada kehamilan yang ditandai oleh peningkatan tekanan darah dan

proteinuria. Penyakit ini mengenai 3-5% ibu hamil dan merupakan penyebab utama kematian ibu hamil. Pengaruhnya pada ibu hamil bervariasi dari hipertensi ringan, hipertensi berat/krisis hipertensi, eklampsia sampai sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver enzyme, and low platelet count), sedangkan dampak kelainan ini pada janin juga bervariasi dari kelahiran prematur, PJT (Pertumbuhan Janin Terhambat), sampai kematian janin. Penyebab yang pasti dari pre eklampsia sampai saat ini belum jelas, namun ada beberapa teori tentang patogenesis telah dikemukakan yang sebagian dapat menjelaskan terjadinya sindroma klinis pre eklampsia itu. Hipotesis yang telah diterima secara luas oleh para ahli tentang munculnya sindroma klinis pre eklampsia adalah teori iskemik plasenta yang disebabkan oleh kegagalan invasi tropoblas ke dalam arteries spirales, sehingga menyebabkan suplai darah ke plasenta menjadi terganggu. Iskemik plasenta tersebut pada akhirnya menyebabkan terlepasnya beberapa mediator molekuler yang mempengaruhi fungsi endotel.1 Plasenta sebagai trigger pada kelainan yang mengancam kelangsungan hidup ibu hamil dan janin yang dikandungnya, sehingga pengobatan definitif untuk pre eklampsia adalah melahirkan plasentanya, yang berarti melahirkan janinnya. Namun seringkali kita berhadapan dengan pre eklampsia yang terjadi pada kehamilan yang prematur sehingga untuk menghindari risiko morbiditas prematur, kita mengambil sikap konservatif dengan menunda persalinan. Sikap ini bukannya tanpa risiko sebab perburukan kondisi ibu dan janin bisa terjadi setiap saat, yang dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan janin. Karena penyebabnya belum diketahui, maka diperlukan upayaupaya untuk menemukan kasus secara dini, dengan mengawasi orang orang yang berisiko mendapatkan pre eklampsia, sampai saat ini telah ada beberapa faktor resiko yang terbukti berperan dalam patogenesis pre eklampsia. Dengan pendekatan preventive medicine yaitu dengan mengenal faktor risiko, mengenal tanda-tanda dini pre eklampsia, dan mengenal tanda-tanda munculnya komplikasi pre eklampsia diharapkan kejadian pre eklampsia dan kematian akibat pre eklampsia dapat diturunkan.2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Pre Eklampsia Berat Pre eklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang disertai proteinuria dan/atau

edema yang terjadi setelah umur kehamilan 20 minggu. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosa pre eklampsia, tekanan darah sistol lebih atau sama dengan 160 mmHg dan diastol lebih atau sama dengan 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak turun walaupun ibu hamil sudah dirawat dan menjalani tirah baring. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 5 gram dalam air kencing 24 jam, atau dalam pemeriksaan kualitatif menunjukkan +3 atau lebih. Oligouria, jumlah produksi urine kurang dari 500cc dalam 24 jam yang disertai kenaikan kadar kreatinin darah. Adanya keluhan subyektif seperti gangguan visus (mata berkunang-kunang), gangguan serebral (kepala pusing), nyeri epigastrium,pada kuadran kanan atas abdomen dan hiper refleks. Edema yang merupakan akumulasi cairan ekstravaskuler yang bersifat bebas, saat ini tidak lagi dipakai sebagai syarat untuk menegakkan pre eklampsia, karena sebagian besar wanita hamil normal mengalami tanda ini, namun apabila edema ada hal ini perlu diwaspadai akan munculnya pre eklampsia dikemudian hari.3,4 2.2 Epidemiologi Pre Eklampsia Di seluruh dunia WHO melaporkan kejadian pre eklampsia berkisar 3-5% dengan beberapa variasi di beberapa tempat. Sibai (1997), melakukan penelitian multisenter di Inggris dan menemukan kejadian pre eklampsia sebesar 7,6%. Marcola (2002), menemukan kejadian pre eklampsia di Dublin, Irlandia sebesar 2%. Di Amerika Serikat dilaporkan kejadian pre eklampsia sekitar 3-10% dari seluruh kehamilan. Laporan kejadian pre eklampsia di Indonesia juga bervariasi antara 3,4-8,5%. Sudinaya (2000), di RS Tarakan kejadian pre eklampsia sebesar 4,2%, sedangkan di RS Sanglah dari tahun 1997-2000 ditemukan pre eklampsia sebesar 3,86% dari seluruh persalinan dalam kurun waktu tersebut. Sedangkan dari 23 kematian ibu di RS Sanglah selama kurun waktu 3

tahun (2002-2004) ditemukan 6 kematian ibu (26%) kematian ibu yang berhubungan dengan pre eklampsia/eklampsia.2 2.3 Patogenesis Pre Eklampsia Penyebab pasti dari sindroma pre eklampsia sampai saat ini belum pasti, karena itu terminologi diseases of theory masih melekat pada sindroma ini, sampai saat ini masih banyak penelitian-penelitian yang dilakukan untuk mempelajari patogenesis penyakit ini. Walker (2000), menjelaskan bahwa manifestasi klinis dari pre eklampsia ini diawali dengan adanya proses patologis yang terjadi di plasenta (placental trigger) dan endotel sebagai organ yang terlibat baik sebagai objek maupun subjek. Pengobatan empiris yang ada sekarang ditujukan untuk memperbaiki kerusakan plasenta dan endotel.6 Beberapa teori patogenesis berikut telah diterima secara luas yang dapat menerangkan sebagian dari sindroma klinis pre eklampsia (hipertensi, proteinuria, dan edema) , sebagai berikut: 1. Teori kegagalan invasi tropoblas (kegagalan remodeling arteria spirales) Pada kehamilan, pembentukan plasenta hemokorial dan pemeliharaan kehamilan tergantung dari proses proliferasi, migrasi, dan invasi tropoblas ke dalam desidua maternal dan miometrium pada masa kehamilan yang sangat dini. Proses invasi tropoblas ini menyebabkan transformasi atau perubahan dari arteria spirales yang mensuplai darah ke ruang intervili. Perubahan yang dimaksud adalah pelebaran lumen arteria spirales yang disebabkan oleh digantinya lapisan endotel dan lamina elastik internal oleh tropoblas, sehingga pembuluh darah membentuk sinusoid-sinusoid, yang bersifat low-pressure dan high flow system yang memungkinkan suplai darah ke plasenta dan fetus. Sampai sekarang mekanisme invasi tropoblas pada kehamilan yang normal dan tidak normal masih kontroversi, disebabkan karena penelitian tentang arteria spirales, sebagian besar melibatkan analisis imunohistokimia dari biopsi plasenta, dimana in vitro sangat sulit mencari model yang cocok untuk melihat secara langsung interaksi seluler pada proses invasi. Kenny (2004), mengemukakan bahwa pada plasenta, cytotropoblast stem cells berdiferensiasi menjadi 2 populasi sel yang berbeda secara fisik dan fungsi.6 Pada trimester pertama, cytotropoblast stem cells akan membentuk lapisan sinsitiotropoblas dan beragregasi membentuk sederetan tropoblas yang invasif, yang

menyusun vili koriales yang disebut anchoring villous tropoblast. Cytotropoblast di dalam vili tersebut akan menembus sinsitium pada beberapa tempat sehingga membentuk suatu kelompok sel berlapis yang disebut extravillous tropoblast cells. Kelompok sel inilah yang secara fisik menghubungkan plasenta dengan dinding uterus ibu. Perkembangan selanjutnya dari sel tropoblas ekstravilus itu akan mengikuti 2 jalur, jalur pertama yaitu sel sel tersebut menginvasi dinding uterus (interstitial invasion) dan jalur kedua adalah sel sel itu menembus pembuluh darah (endovascular invasion). Invasi endovaskuler ke areteria spirales ini merupakan bagian yang sangat penting pada proses ini, dimana peristiwa ini terjadi paling awal pada umur kehamilan 4-6 minggu, terjadi dalam dua gelombang, gelombang pertama menembus pembuluh darah di desidua dan yang kedua menembus pembuluh darah pada tingkat miometrium. Penelitian akhir-akhir ini membuktikan dari sediaan biopsi plasenta ternyata ditemukan banyak pembuluh darah miometrial yang mengandung tropoblas pada umur kehamilan 10-12 minggu.6 Pada penelitian imunohistokimia dari biopsi plasenta, terbukti bahwa sel-sel tropoblas itu menembus dinding pembuluh darah dan mengalami migrasi sepanjang lumen pembuluh darah, berjalan di sepanjang endotelnya dan menggantikan posisi endotel dan lapisan muskularis dari pembuluh darah itu. Perubahan fisik arteria spirales seperti itu menyebabkan suatu kondisi sirkulasi darah yang high flow dan low resistance sehingga aliran darah ke plasenta menjadi sangat besar. Walaupun peran tropoblas itu sangat besar dalam proses remodeling arteria spirales, namun peranan selsel lain dalam pembuluh darah juga sangat penting, misalnya peran sel endotel, sel molekul perekat (cell adhesion molecule/CAM), dan enzim-enzim yang menghancurkan matriks ekstraseluler. Pada pre eklampsia, terjadi kegagalan proses invasi, sehingga plasenta menjadi iskemik akibat kurangnya aliran darah ke plasenta.6 Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan kegagalan proses invasi tropoblas. Teori pertama adalah teori tekanan oksigen. Teori ini menjelaskan bahwa selama trimester pertama awal diferensiasi tropoblas terjadi pada situasi dimana tekanan oksigen rendah. Pada sekitar umur kehamilan 10-12 minggu kehamilan, pada saat mana sudah terjadi hubungan antara ruang intevilus dengan darah ibu, maka tekanan oksigen meningkat. Peningkatan tekanan oksigen pada saat ini berhubungan dengan saat invasi tropoblas maksimal ke desidua maternal, yang mana situasi ini memungkinkan sel

tropoblas ekstravilus untuk melakukan remodeling arteria spirales. Pada keadaan pre eklampsia terjadi pengeluaran Hypoxia Induced-Factor 1 (HIF-1) yang merupakan faktor yang mengaktivasi Transforming Growth Factor - beta 3 (TGF-beta3), yang merupakan inhibitor proliferasi tropoblas. Dengan adanya peningkatan kedua substansi tersebut akan terjadi kegagalan invasi tropoblas.6 Teori kedua yang mencoba menjelaskan kegagalan invasi tropoblas adalah teori Angiogenesis, teori ini menyatakan bahwa kelangsungan hidup embrio sangat tergantung dari aliran darah. Ini berarti bahwa harus ada pembuluh darah sebagai perantara yang menghantarkan darah dari desidua maternal ke embrio yang sedang berkembang. Dengan demikian diperlukan proses pembentukan pembuluh darah atau sistem vaskuler yang disebut vaskulogenesis dan angiogenesis sebagai jawaban terhadap terhadap kebutuhan embrio terhadap oksigen dan nutrisi. Vaskulogenesis merupakan suatu proses pembentukan pembuluh darah baru, yang merupakan hasil dari interaksi prekursor angioblas dengan berbagai protein, diantaranya adalah Cell Adhesion Molecules, Extracellular Matrix Components, Transcription Factor, Angiogenic Growth Factors, dan reseptor-reseptornya. Sedangkan Angiogenesis adalah pembentukan cabang-cabang baru dari pembuluh darah utama, yang terjadi pada proses implantasi dan plasentasi. Ada tiga fase pada vaskulo-angiogenesis ini, yaitu fase inisiasi, fase proliferasi-invasi, dan fase maturasi-diferensiasi. Fase inisiasi dimulai minggu ke-3 pasca konsepsi, dimana pada saat ini mulai terbentuk vaskularisasi vili plasenta, pohon vili yang terbentuk pada saat ini terdiri dari vili primer (solid tropoblastic villi) dan vili sekunder (jaringan mesenkim yang longgar yang berasal dari extra embryonic coelomic cavity). Sebelum terbentuknya pembuluh darah yang pertama, sel-sel Hofbauer menghasilkan angiogenic growth factors, dimana kehadirannya pada saat yang sangat dini diperlukan untuk inisiasi vaskulogenesis ini. Beberapa dari angiogenic growth factors itu adalah vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF) dan placenta growth factor (PlGF). VEGF merupakan suatu protein penting yang berfungsi sebagai regulator pertumbuhan dan fungsi. Disrupsi dari gen yang mengkode VEGF telah terbukti menyebabkan gangguan pembentukan dan perkembangan kardiovaskuler yang menyebabkan kematian embrio. Ada banyak tipe dari VEGF ini, namun VEGF tipe 165 merupakan VEGF yang paling kuat dalam perannya sebagai stimulator proliferasi sel

endotel, diferensiasi, invasi tropoblas, dan juga melepaskan mediator yang bersifat vasorelaksan (Chung, 2004). Segera setelah terbentuknya pembuluh darah pertama, fase proliferasi-invasi terjadi dengan terbentuknya cabang cabang pembuluh darah, branching angiogenesis, yang ditandai dengan peningkatan vaskulatur vili, peristiwa ini berakhir sampai akhir trimester pertama. Kemudian sejak umur kehamilan 26 minggu sampai aterm pertumbuhan pembuluh darah vili memasuki fase maturasi-diferensiasi, pada saat ini percabangan kapiler sudah tidak ada lagi (non branching angiogenesis), vili berkembang menjadi matang, yang memungkinkan vili dapat melakukan pertukaran gas. Saat ini telah diketahui pula adanya suatu protein anti-angiogenik yang beredar didalam darah penderita pre eklampsia, protein tersebut adalah soluble fms-like tyrosine kinase (sflt-1). Protein ini bertindak sebagai antagonis faktor angiogenik, dengan cara mengikat reseptor PLGF dan VEGF, sehingga peran keduanya dalan proliferasi dan invasi tropoblas menjadi kurang. Richard Levien (2004) melaporkan hasil penelitiannya tentang perbedaan kadar sflt-1 pada penderita pre eklampsia dan kehamilan normal, didapatkan kadar sflt-1 pada pre eklampsia lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kehamilan normal, keadaan ini sudah terjadi 5 minggu sebelum onset sindroma pre eklampsia muncul.6

Gambar Proses Remodeling Arteria Spirales

2.

Teori iskemik plasenta, radikal bebas, dan kerusakan endotel

Seperti yang dijelaskan di atas, pada pre eklampsia terjadi kegagalan invasi tropoblas ke dalam arteria spirales, sehingga terjadi hipoperfusi plasenta. Keadaan ini menyebabkan iskemik plasenta, plasenta yang mengalami iskemik ini akan menghasilkan oksidan yang disebut juga radikal bebas. Radikal bebas atau oksidan ini adalah hasil dari metabolisme oksigen yang mempunyai sifat reaktif ,sangat labil karena mempunyai elektron bebas yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya sehingga radikal bebas ini akan mencari pasangannya atau bereaksi dengan molekul lainnya untuk mencari pasangan elektron sehingga bentuknya menjadi lebih stabil. Radikal bebas yang jumlahnya paling banyak adalah molekul oksigen dengan 2 elektron yang tidak berpasangan, di samping bentuk lainnya seperti anion superoksida (O2-) dan radikal hidroksil (OH-). Asam lemak tak jenuh merupakan pasangan yang paling dicari oleh radikal bebas ini, dari reaksi itu akan terbentuk peroksida lipid. Pasangan yang dicari oleh radikal bebas itu akan memberikan elektronnya, akibatnya pasangan itu pun akan menjadi radikal bebas lagi dan seterusnya sehingga terjadi apa yang disebut reaksi berantai radikal bebas. Asam lemak tak jenuh terdapat di membran endotel, sehingga dengan terbentuknya peroksida lipid itu maka terjadi kehancuran sel endotel dan lebih jauh dapat masuk sampai DNA sel yang selanjutnya dapat menyebabkan kerusakan atau mutasi DNA, sehingga sel kehilangan fungsi biologik. Yang amat menakutkan akibat kerusakan sel ialah tidak berfungsinya pompa ion, dengan akibat masuknya Na+ ke dalam sel yang mempercepat edema dan kematian sel (Gulardi, 2002). Hipotesis yang penting pada patogensesis pre eklampsia adalah terdapatnya senyawa yang dihasilkan oleh jaringan plasenta yang disebut radikal bebas (oksidan) yang masuk ke sirkulasi ibu dan menyebabkan kersakan endotel. Perubahan fungsi endotel dianggap sebagai penyebab utama timbulnya gejala pre eklampsia sperti hipertensi, proteinuria, dan aktivasi sistem koagulasi (Wibowo, 2002). Endotel merupakan organ terluas dalam tubuh manusia, yang terdapat sepanjang dinding sebelah dalam pembuluh darah. Endotel ini berperan penting untuk mengontrol aliran darah dan tahanan perifer, melalui mediator mediator kimiawi yang dihasilkan sebagai akibat rangsangan neuronal, kimiawi, dan fisik, yaitu: NO, PGI 2 , dan EDHF yang semuanya bersifat vasodilator. Selain itu endotel juga berperan dalam proses trombosis dan hemostasis, dengan demikian peran endotel bukan saja sebagai barier mekanik antara plasma intravaskuler dengan cairan ekstravaskuler, tetapi

mempunyai fungsi yang kompleks mengontrol diameter pembuluh darah, aliran darah serta mekanisme pembekuan darah. Karena perannya itulah sel endotel harus mampu merespon situasi stress fisik (tekanan oksigen) yang buruk atau situasi patologik yang buruk, seperti iskemik dan hipoksia. Pada pre eklampsia dimana terjadi kerusakan endotel maka fungsi endotel sebagai barier mekanik hilang sehingga terjadi kebocoran endotel yang bearkibat ekstravasasi cairan intra ke ekstravaskuler, disamping itu fungsi endotel untuk memproduksi PGI2 dan NO juga menurun sehingga terjadi vasokonstriksi dengan akibat peningkatan tekanan darah (Wareing & Preek, 2004). 3. Teori maladaptasi imunologik Adanya faktor imunologik yang berperan dalam munculnya sindroma klinis pre eklampsia telah terbukti dengan adanya fakta bahwa primigravida mempunyai risiko lebih besar dibandingkan dengan multigravida, dari kenyataan ini muncul anggapan bahwa pre eklampsia adalah the disease of first pregnancy, namun fakta itu menjadi hilang apabila seorang ibu multipara menikah lagi, maka ia akan mempunyai risiko menderita pre eklampsia yang lebih besar dibandingkan apabila pasangan/suaminya tetap. Fenomena ini kemudian melahirkan teori the disease of first paternity . Hasil konsepsi berasal dari 2 komponen, dari ayah dan ibu. Dengan demikian seharusnya hasil konsepsi ditolak oleh ibu, namun pada kehamilan normal terjadi adapatasi, dimana human leucocyte antigenG berperan dalam modulasi respon imun, dengan adanya HLA ini maka tropoblas tidak dapat dikenali oleh mekanisme imun ibu, sehingga kehamilan dapat berlangsung dengan baik, tidak demikian halnya dengan pre eklampsia dimana telah dibuktikan bahwa HLA jumlahnya menurun atau terdapat HLA dalam bentuk lain, sehingga terjadi penolakan sebagian dari ibu terhadap komponen plasenta. Pendapat lain mengatakan bahwa seorang ibu hamil ada dalam keadaan imunokompeten, dan plasenta merupakan barier sehingga fetus terselamatkan dari reaksi imunologik maternal, namun pendapat ini tidak seluruhnya benar, karena sesungguhnya komponen penting dan pertama kali muncul adalah tropboblas, sehingga fokus penolakan terhadap konseptus sebagai benda asing sebenarnya adalah penolakan terhadap tropoblasnya (Dikman, 2003; Crocker 2004). Teori maladaptasi imun ini juga berlaku apabila ibu berganti suami, dimana kemungkinan menderita pre eklampsia pada ibu tersebut akan meningkat. Fenomena ini

pertama kali dijelaskan oleh Robillard (1993), yang dalam penelitiannya menemukan kejadian pre eklampsia sebesar 61,7% pada multigravida dengan suami baru dibandingkan dengan kejadian pre eklampsia sebesar 16,6% pada multigravida dengan partner sama. Oleh karena itu, Robillard mengemukakan bahwa faktor suami berperan dalam pre eklampsia. Diduga bahwa paparan spermatozoa memberikan efek protektif untuk pre eklampsia, dalam arti makin lama seseorang mendapatkan paparan spermatozoa maka kemungkinan terjadinya pre eklampsia akan semakin menurun. Hal ini telah dibuktikan oleh Gus Dekker (2002) bahwa seorang wanita yang mendapatkan paparan spermatozoa selama 0-4 bulan sebelum hamil maka kemungkinan kehamilannya mengalami pre eklampsia sebesar 11,6 kali, sedangkan bila paparan spermatozoa terjadi 5-8 bulan maka kemungkinan menjadi pre eklampsia sebesar 5,9 kali, dan bila paparan spermatozoa itu terjadi lebih dari 9 bulan sebelum hamil maka kemungkinan menjadi pre eklampsianya menjadi 4,2 kali.6 Mekanisme yang pasti belum jelas namun diduga bahwa deposisi cairan semen di traktus genitalia wanita dapat merangsang respon inflamasi, dimana terjadi peningkatan TGFB1, kemudian merangsang pelepasan GM-CSF, dan menghambat respon Th1 dan merangsang aktifitas Th2, sehingga aktifitas sitokin proinflamasi menjadi berkurang. Demikian juga paparan spermatozoa itu dapat merangsang makrofag desidual, yang dapat menghambat aktifitas NK cell melalui pelepasan TGFB, IL-10, dan PGE2. Seperti diketahui bahwa pada pre eklampsia terjadi peningkatan sitokin proinflamasi seperti TNF alfa, Il-6, dan Il-8 (Robertson 2002).6 4. Teori defisiensi mikronutrien Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa pre eklampsia berhubungan dengan adanya defisiensi beberapa mikronutrien, misalnya kekurangan asam folat, vitamin C dan E, kalsium dan asam lemak tak jenuh. Defisiensi asam folat dapat menyebabkan disfungsi endotel dan aterosklerosis melalui kondisi hiperhomosisteinemia. Homosistein merupakan asam amino yang mengandung gugus S yang dibentuk dalam proses metabolisme metionin. Pembentukan homosistein ini melalui 2 jalur, jalur pertama yaitu jalur remetilasi dimana homosistein dibentuk dengan bergabungnya gugus metil yang diberikan oleh 5 metil tetrahidrofolat sebagai donor metil, reaksi ini dikatalisator oleh vitamin B12 dan enzim metionin sintase. Bila asam folat kurang maka terjadi

kekurangan 5 metil tetrahidrofolat, sehingga terjadi penumpukkan homosistein dalam darah. Jalur yang kedua adalah pemecahan homosistein menjadi sistationon dan sistein melalui jalur transulfurasi yang membutuhkan vitamin B6. Metabolisme Homosistein dapat dilihat pada gambar berikut.6

Gambar Metabolisme Homosistein

Cotter (2001), membandingkan kadar homosistein pada pre eklampsia (56 kasus) dengan non pre eklampsia (112 kasus) dan mendapatkan kadar homosistein lebih tinggi secara bermakna pada pre eklampsia (9,8umol/L) dibandingkan dengan kadar homosistein pada hamil normal (8,4 umol/L). Demikian juga penelitian yang dilakukan Jayakusuma di RS Sanglah pada tahun 2004 dengan membandingkan kadar asam folat dan homosistein pada masing masing 30 kasus pre eklampsia dan hamil normal, didapatkan kadar asam folat pada kehamilan dengan pre eklampsia lebih rendah (12,3 ng/ml) secara bermakna (p0.05) dibandingkan dengan kehamilan normal (14,2 ng/ml), didapatkan korelasi negatif yang bermakna antara kadar asam folat dan homosistein, demikian juga kadar asam folat ternyata mempunyai korelasi negatif yang bermakna dengan tekanan darah sistolik, yang berarti bahwa makin rendah kadar asam folat maka 10

tekanan darah sistoliknya makin tinggi. Di samping memeriksa kadar asam folat pada penelitian itu juga diambil sampel darah untuk mengetahui kadar homosistein antara kehamilan pre eklampsia dan kehamilan normal, ternyata didapatkan kadar homosistein pada pre eklampsia 9,7 umol/L lebih tinggi secara bermakna (p0,03) dibandingkan dengan kadar homosistein pada pasien hamil normal yaitu 6,1 umol/L. Hal ini menunjukkan bahwa ada peran asam folat dan homosistein pada pre eklampsia.6 Homosistein yang berlebih akan cepat mengalami oksidasi sehingga membentuk disulfida campuran, homosistin dan homosistin thiolakton. Selama proses ini akan terbentuk ROS (Reactive Oxygen Species) yaitu anion superoksid dan peroksida hidrogen, yang kita ketahui kedua radikal bebas itu bersifat toksis tehadap endotel. Vitamin C dan E merupakan antioksidan endogen seluler yang langsung dapat menangkap radikal bebas yang dihasilkan dari peristiwa stres oksidatif pada pre eklampsia. Pada pre eklampsia diduga terjadi defisiensi vitamin C dan E, sehingga terjadi ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan (Chappel, 2002). Mikhail et al seperti yang dikutip oleh Wibowo (2002), menemukan bahwa kadar asam askorbat, vitamin E, dan beta karoten yang rendah pada pre eklampsia dibandingkan dengan kehamilan normal. Demikian juga Wang et all, pada pre eklampsia berat kadar vitamin E menurun, dengan demikian terbukti ada peran penurunan antioksidan endogen terhadap munculnya gejala pre eklampsia.6 Kalsium telah lama diketahui berperan dalam patogensesis pre eklampsia, pada keaadaan defisiensi kalsium kejadian pre eklampsia meningkat. Keaadaan itu disebabkan karena adanya vasokontriksi, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah dan menyebabkan plasenta menjadi iskemik, selanjutnya terjadi reaksi berantai radikal bebas akibat iskemik plasenta seperti yang dijelaskan di atas.

2.4

Diagnosis Pre Eklampsia Untuk mendiagnosis pre eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan

adanya hipertensi yang disertai proteinuria pada kehamilan di atas 20 minggu, sudah dapat untuk menegakkan diagnosis pre eklampsia. Namun untuk lebih memudahkan, maka pre eklampsia dibagi menjadi 2 yaitu pre eklampsia ringan dan pre eklampsia berat, dimana hal ini sangat berguna dalam hal melakukan penanganan.5

11

Diagnosis pre eklampsia ringan ditegakkan jika terdapat gejala sebagai berikut. 1. b. 2. Hipertensi a.Tekanan darah 140/90 mmHg dan kurang dari 160/110 Kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg Proteinuria 0,3 g/L dalam 24 jam atau secara kualitatif sampai +2 c.Kenaikan tekanan darah diastolik 15 mmHg Pre eklampsia berat didiagnosis bila didapatkan satu atau lebih gejala di bawah ini. 1. Tekanan darah sistol 160 mmHg dan diastol 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat dan menjalani tirah baring 2. Proteinuria lebih dari 5 g/L dalam 24 jam atau kualitatif +4 3. Oligouria. Jumlah produksi urine kurang dari 500 cc dalam 24 jam yang disertai kenaikan kadar kreatinin darah 4. Adanya keluhan subjektif a.Gangguan visus: mata berkunang-kunang b. d. 6. Sianosis 7. PJT 2.5 Penatalaksanaan Pre Eklampsia Gangguan serebral: kepala pusing Hiperefleks c.Nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen 5. Adanya sindroma HELLP

2.5.1 Penatalaksanaan Pre Eklampsia Ringan 1. Rawat jalan (pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu) a. Banyak istirahat (berbaring/tidur miring) b. Diet biasa c. Dilakukan pemeriksaan fetal assessment (USG dan NST) setiap 2 minggu d. Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, homosistein, urin lengkap, fungsi ginjal, gula darah acak e. Kunjungan ulang setiap 1 minggu f. Jika terdapat peningkatan proteinuria dirawat sebagai pre eklampsia berat

12

2. Rawat tinggal a. Kriteria untuk rawat tinggal Hasil fetal assessment meragukan atau jelek sehingga dalam hal ini harus dilakukan terminasi Kecenderungan menuju pre eklampsia berat Bila dalam dua kali kunjungan tidak ada perbaikan (2 minggu) b. Evaluasi atau pengobatan selama rawat tinggal Tirah baring total Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, homosistein, fungsi

hati/ginjal, urin lengkap Dilakukan fetal assessment Dilakukan pemeriksaan indeks gestosis

3. Evaluasi hasil pengobatan Pada dasarnya evaluasi pengobatan dilakukan berdasarkan hasil dari fetal assessment. Bila didapatkan hasil: a. Jelek, dilakukan terminasi kehamilan b. Ragu-ragu, dilakukan evalasi ulang NST kesejahteraan janin, 1 hari kemudian c. Baik Penderita dirawat sekurang-kurangnya 4 hari Bila preterm penderita dipulangkan Bila aterm dengan PS baik (lebih dari 5), dilakukan terminasi dengan drip oksitosin d. Bila didapatkan keluhan subjektif seperti di bawah ini, dirawat sebagai pre eklampsia berat Nyeri ulu hati Mata berkunang-kunang Iritabel Sakit kepala

e. Bila umur kehamilan aterm (lebih dari 37 mg) langsung dilakukan terminasi kehamilan

13

2.5.2 Penatalaksaaan Pre Eklampsia Berat 1. Perawatan konservatif a. Bila umur kehamilan kurang dari 37 minggu tanpa adanya keluhan subjektif dengan keadaan janin baik. b. Pengobatan dilakukan di kamar bersalin (selama 24 jam) 1). Tirah baring 2). Infus ringer laktat yang mengandung 5% dekstrose, 60-125 cc/jam 3). Pemberian MgSO4 Dosis awal MgSO4 40% 10 gr (im), dilanjutkan dengan MgSO4 Dosis pemeliharaan: MgSO4 40% 5 gr tiap 6 jam sampai 24 jam Ingat, harus selalu tersedia Ca glukonas 10% sebagai antidotum Bila sistolik 180 mmHg atau diastolik 110 mmHg, digunakan 40% 5 gr (im) tiap 6 jam sampai dengan 24 jam

4). Diberikan antihipertensi, yang digunakan adalah: injeksi 1 ampul clonidine yang dilarutkan dengan 10 cc larutan. Mulamula disuntikan 5 cc perlahan-lahan selama 5 menit, 5 menit kemudian tekanan darah diukur, bila belum ada penurunan maka diberikan lagi 5 cc intravena dalam 5 menit sampai tekanan diastolik normal, dilanjutkan dengan nifedipine 3 x 10 mg Bila tekanan darah sistolik < 180 mmHg dan diastolik < 110 mmHg, antihipertensi yang diberikan adalah nifedipine 3 x 10 mg 5). Dilakukan pemeriksaan laboratorium tertentu (fungsi hati dan ginjal), dan jumlah produksi urine 24 jam 6). Konsultasi dengan bagian penyakit dalam, bagian mata, bagian jantung, dan yang lain sesuai dengan indikasi c. Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di ruang bersalin (selama 24 jam diruang bersalin) 1). Tirah baring 2). Medikamentosa

14

3). Pemerikaan laboratorium: darah lengkap dan hapusan darah tepi, homosistein, fungsi ginjal dan hati, urine lengkap, produksi urine 24 jam, penimbangan berat badan setiap hari dan indeks gestosis 4). Diet biasa 5). Dilakukan penilaian kesejahteraan janin (USG/NST/Doppler USG) d. Perawatan konservatif dianggap gagal bila: 1). Adanya tanda-tanda impending eklampsia (keluhan subjektif) 2). Kenaikan progresif dari tekanan darah 3). Adanya sindroma HELLP 4). Adanya kelainan fungsi ginjal 5). Penilaian kesejahteraan janin jelek e. Penderita boleh pulang bila penderita sudah mencapai perbaikan dengan tandatanda pre eklampsia ringan, perawatan dilanjutkan sekurang-kurangnya selama 3 hari lagi f. Bila keadaan penderita tetap, dilakukan pematangan paru dilanjutkan dengan terminasi 2. Perawatan aktif a. Indikasi : 1). Hasil penilaian kesejahteraan janin jelek 2). Adanya keluhan subjektif 3). Adanya sindroma HELLP 4). Kehamilan aterm (sama dengan atau lebih dari 37 mg) 5). Apabila perawatan konservatif gagal 6). Dalam 24 jam setelah pengobatan konservatif di kamar bersalin tekanan darah tetap 160/110 mmHg b. Pengobatan medisinal 1). Segera rawat inap 2). Tirah baring miring ke satu sisi 3). Infus ringer laktat yang mengandung dekstrose 5%, 60-125 cc/jam

15

4). Pemberian anti kejang MgSO4, dosis awal MgSO4 20%, 4 gr (iv) dan MgSO4 40% 10 gr (im), dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan MgSO4 40% 5 g (im) setiap 6 jam s/d 24 jam pasca persalinan 5). Pemberian anti hipertensi berupa clonidine (iv) dilanjutkan dengan nifedipine 3 x 10 mg atau metildopa 3 x 250 mg, dapat dipertimbangkan bila: Sistolik 180 mmHg Diastolik 110 mmHg

c. Pengobatan obstetrik 1). Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif setiap penderita dilakukan pemeriksaan kesejahteraan janin 2). Tindakan sektio sesaria dilakukan bila: Hasil kesejahteraan janin jelek Penderita belum inpartu dengan PS jelek (kurang dari 5) Kegagalan drip oksitosin

3). Induksi dengan drip oksitosin dikerjakan dengan NST baik dan PS baik 4). Pada pre eklampsia berat persalinan harus terjadi dalam 24 jam

16

BAB III LAPORAN KASUS 3.1 Identitas Pasien Nama Umur Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat MRS 3.2 Anamnese Keluhan Utama : Pusing Riwayat Penyakit Sekarang Pasien dirawat diruang bersalin memalui poliklinik RS Wangaya. Dengan G3P2002 39-40 minggu PEB + IUFR Pasien datang untuk kontrol ke poli karena mengeluhkan merasa pusing dan nyeri didaerah hulu hati sejak pagi pukul 06.00 wita (23/10). Keluhan lain seperti pandangan kabur dan bengkak pada seluruh tubuh tidak ditemukan. Pasien mengaku mengalami peningkatan tekanan darah saat kehamilan ini, namun pasien baru mengetahui saat usia kehamilan 7 bulan saat kontrol ke bidan. Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami tekanan darah tinggi. Pasien baru menyadari kehamilannya saat usia kehamilan 5 bulan, dan selam itu pasien masih menggunakan KB suntuk 3 bulan, setelah pasien merasa perutnya menjadi sangat besar dan terdapat gerakan di perut pasien lalu memeriksakan kehamilannya. : Suarniti Ni Nyoman : 40 tahun : Hindu : Tamat SMP : Ibu rumah tangga : Jln Indrajaya no. 1 Denpasar Br Tegal Kauh : 23 Oktober 2012 / pk. 10.55 Wita Jenis Kelamin : Perempuan Status Nikah : Menikah Suku/Bangsa : Bali/Indonesia

17

Keluhan yang berkaitan dengan tanda-tanda kelahiran seperi nyeri perut hilang timbul, keluar lendir bercampur darah disangkal, keluar air ketuban disangkal, gerak bayi dikatan baik, hanya saja kehamilan saat ini dirasakan jauh lebih kecil dibandingkan dengan kehamilan-kehamilan sebelumnya. Riwayat Menstruasi o Menarche o Siklus haid o Lama o HPHT o TP Riwayat Persalinan 1. Laki-laki, 3000 gr, spontan belakang kepala, bidan, 13 tahun 2. Perempuan, 3100 gr, spontan belakang kepala, bidan, 10 tahun 3. Ini Riwayat Pernikahan Pasien menikah saat berusia 25 tahun dan menikah sekali dengan suaminya saat ini selama 15 tahun Riwayat Kontrasepsi Pasien menggunakan KB suntuk 3 bulan dan berhenti saat usia kehamilan yang baru disadari pasien saat berusia 5 bulan Riwayat Penyakit Terdahulu Riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya disangkal, riwayat penyakit yang berkaitan dengan kehamilan dan penyakit sistemik lain seperti kencing manis, asma, dan kelainan jantung disangkal oleh pasien. 3.3 Pemeriksaan Fisik Status Present TD N : 170/110 mmHg : 80 x/mnt R : 18 x/mnt 18 : 15 tahun : pasien mengaku siklus haidnya tidak teratur setelah : 3-5 hari : lupa : berdasarkan pemeriksaan USG 25 oktober 2012

menggunakan KB suntuk 3 bulan

tax Status General

: 370 C

TB/BB : Sedang

: 159 cm/64 kg

Keadaan umum Mata Thorax Jantung Paru Abdomen Ekstremitas Status Obstetri Abdomen

: Anemia -/-, ikterus -/: S1 S2 tunggal reguler, murmur : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/: ~ St. obst. : Edema - / - , refleks patella +/+ -/: TFU pertengahan PST-PX (25 cm) letkep His (-) DJJ 146 kali/ menit

VT

: Pembukaan 1cm efficement 10% ketuban + Teraba kepala denominator belum jelas Ttb bagian kecil/tali pusat Bishop score : 4

3.4

Pemeriksaan Penunjang -Darah lengkap, urinanalisis, bleeding time/clotting time, fungsi hati, fungsi ginjal, NST Hasil Pemeriksaan Laboratorium 23 Oktober 2012 Urine Lengkap Protein + 3 Darah Lengkap HGB PLT WBC HCT RBC : 9.2 g/dl : 315 103/mm : 15,01 103/mm3 : 26,8 % : 2,90 106/Ul

Pemeriksaan Kimia Klinik (fungsi hati, fungsi ginjal)

19

NST 3.5 Diagnosis

ALT /SGPT : 13 U/L AST/SGOT : 28 U/L Albumin Creatinin Urea : 2,65 g/dl : 2,30 mg/dL : 36 mg/dL

Glukosa Sewaktu : 128 mg/dL BSL Var Fad : 130-140 bpm : 6-10 bpm : Akselerasi (+) Deselerasi (-) FM : 10-15 x/30 detik : NST ~ Normal

Kesimpulan

G3 P2002 39-40 mg PEB + Impending eklamsia + IUFR + primi tua Sekunder + pelvic scor : 4 PBB: 2170 gr 3.6 Penatalaksanaan Terapi : 1. Perbaikan keadaan umum : Pemasangan jalur intra vena D 5% 20 tetes per menit MgSO4 ~ protap Dosis awal MgSO4 20%, 4 gr (iv) dan MgSO4 40% 10 gr (im) boka-boki. Dosis lanjutan MgSO4 40% 5 gr (im) setiap 6 jam sampai 24 jam Nifedipine 3 x 10 mg Pemasangan Dower kateter Tirah baring miring ke satu sisi

2. Terapi definitive : terminasi kehamilan: Secara setio cesarean (SC) 20

(Indikasi SC : pelvic score :4) Persiapan SC : puasa, antibiotik Monitoring : Keluhan, tanda vital, Djj, intoksikasi MgSO4 KIE : Pasien dan keluarga tentang rencana tindakan : SC dan persetujuan Tubektomi 3.7 Perjalanan Penyakit Pukul 17.20 Dilakukan SC Pukul 17.40 Lahir bayi laki-laki ,2100gr, AS 7-8 Ass Pdx Tx : P3003 Post SC + Bilateral Tubektomi hr 0 : : Mx KIE IVFD = Dextrose 5% + 10 IU oksitosin 20 tetes/menit sampai dengan 12 jam post Partum MgSO4 sesuai protap Nifedipine 3x 10 mg bila MAP 125 Amoxicillin 3x 500 mg Asam Mefenamat 3x500 mg

: Observasi post operasi : Pasien dan keluarga

Observasi 2 jam Post SC WAKTU Pk. 18.00 Pk. 18.15 Pk 18.30 Pk. 18.45 Pk. 19.00 Pk. 19.15 Pk. 19.30 TENSI (mmHg) 170/110 170/110 170/110 170/110 170/110 170/110 170/110 NADI (kali/mnt) 88 84 84 80 80 80 80 KONTRAKSI UTERUS (+) baik (+) baik (+) baik (+) baik (+) baik (+) baik (+) baik PERDARAHAN (-) (-) (-) (-) (-) (-) (-)

21

3.8

Follow up ruangan 24 Oktober 2012 S O : ASI (-), sakit kepala (+), nyeri ulu hati (+), mual (+), Muntah (+), makan dan minum terganggu, BAB (+), BAK (dengan kateter) : St. Present TD: 170/110 mmHg St. General Mata: Anemia -/Thoraks: Co/po dbn St. Obstetri Abd : TFU 2 jari di bawah pusat Kontraksi (+) baik, distensi (-), tanda cairan bebas (-) Luka operasi terawat baik Vag A P : perdarahan aktif (-) Lochia (+) : P3003 Post SC + Bilateral Tubektomi hr I : Pdx : Tx : Mx IVFD Dekstrose 5% : RL 3:1 - 20 tetes/menit MgSO4 sesuai protab Nifedipine 3x 10 mg jika MAP 125 mmHg Amoksisilin 3x 500 mg Asam mefenamat 3 x 500 mg SF 1x 200 mg N: 84 x/mnt R: 20 x/mnt tax: 36,40 C

: Keluhan, tanda vital, UL

KIE : ASI eksklusif, mobilisasi dini 25 Oktober 2012 22

S O

: ASI (+) baik, mual(-), muntah (-), BAB (+), BAK (dengan kateter) Keluhan subjektif (-) : St. Present TD: 170/110 mmHg St. General Mata: Anemia -/Thoraks: Co/po dbn St. Obstetri Abd : TFU 2 jari dibawah pusat Kontraksi (+) baik, distensi (-), tanda cairan bebas (-) Luka operasi terawat baik Vag : perdarahan aktif (-) Lochia (+) N: 80 x/mnt R: 20 x/mnt tax: 36,40 C

A P

: P3003 Post SC + Bilateral Tubektomi hr II : Pdx : Tx : IVFD Dekstrose 5% : RL 3:1 - 20 tetes/menit

Nifedipine 3x 10 mg Amoksisilin 3x 500 mg Asam mefenamat 3 x 500 mg SF 1x 200 mg Mx : KIE : Mobilisasi dini, ASI eksklusif

26 Oktober 2012 S O : ASI (+) baik, mual(-), muntah (-), BAB (+), BAK (dengan kateter) Keluhan subjektif (-) : St. Present TD: 130/80 mmHg St. General N: 76 x/mnt R: 20 x/mnt tax: 36,40 C

23

Mata: Anemia -/Thoraks: Co/po dbn St. Obstetri Abd : TFU 2 jari bawah pusat Kontraksi (+) baik, distensi (-), tanda cairan bebas (-) Luka operasi terawat baik Vag A P : perdarahan aktif (-) Lochia (+) : P3003 Post SC + Bilateral Tubektomi hr III : Pdx : Tx : Mx : ASI eksklusif Mobilisasi IVFD RL 20 tetes permenit Nifedipine 3x 10 mg bila MAP 125 Amoxicillin 3x 500 mg Asam Mefenamat 3x500 mg -

KIE : BPL kontrol poliklinik 1 minggu post SC

24

BAB IV PEMBAHASAN Pada kasus ini, pasien baru mengetahui bahwa dirinya mengalami tekanan darah tinggi sejak kehamilan 8 bulan saat memeriksaan diri ke bidan, dan bidan telah memberikan nasehat kepada pasien untuk rutin mengontrol kehamilan dan segera memeriksakan diri jika tedapat gejala-gejala subjektif, Pasien sempat melakukan pemerisaaan USG di dokter spesialis atas anjuran bidan namun pasien tidak rutin mengontrol kehamilan. Pada awalnya pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan subjektif namun pagi saat MRS pasien mengeluhkan sakit kepala disertai dengan nyeri pada lu hati Diagnosis preeklamsia berat pada kasus ini ditegakkan berdasakan riwayat, pemerisaan fisik dan dipastikan dengan pemeriksaan urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria ditambah dengan pemeriksaan labolatorium lainnya. Dari anamnesis ditemukan bahawa pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi yang muncul pada kehamilan saat ini, sebelumnya dan pada kehamilan sebelumya pasien tidak pernah mengalami tekanan darah tinggi maupun gejala subjekif yang berkaitan dengan peningkatan tekanan darah. Pasien mengeluhkan mengalami sakit pada kepala dan nyeri ulu hati yang dirasakan sejak pagi pukul 06.00 Wita tanggal 23 oktober 2012. Hal ini sesuai dengan salah satu gejala yang dtemukan pada penderita preeklamsia yaitu Gangguan visus: mata berkunang-kunang, gangguan serebral: pusing nyeri epigastrium pada kuadran kanan atas abdomen, hiperefleks. Pada pasien tidak ditemukan adanya keluhan pandangan kabur dan hiperlefleks. Berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 170/110 mmHg, pada pasien ini tidak ditemukan adanya edema anasarkan, namun peningkatan darah tersebut sudah memenuhi salah satu kriteria preeklamsia yaitu tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg. Berdasarkan dari pemeriksaan labolatorium, dari urinalis yang dilakukan pada tanggal 23 oktober 2012 ditemukan proteinuria +4, dari pemeriksaaan fungsi hati

25

dan ginjal ditemukan terjadi peningkatan serum creatini dan urea, sedangkan fungsi hati masih didalam batas normal (SGPT : 13 U/L, SGOT: 28 U/L,Albumin : 2,65 g/dl). Karena tekanan darah penderita melebihi 160/110 maka penderita memenuhi criteria preeklamsia berat disertai dengan proteinuria + 3 maka penderita didiagnosi mengalami preelamsia berat. Keluhan yang dialami pasien yaitu kehamilan yang dialami saat ini dirasakan lebih kecil dibandingkan dengan kehamilan sebelumnya, seperti risiko yang dapat terjadi pada kehamilan dengan preklamsia yaitu dapat terjadi hambatan pada pertumbuhan janin. Pada pasien keluhan kehamilan yang dirasakan lebih kecil dibandingkan dengan kehamilan sebelumnya dan dari pemeriksaan TFU ditemukan besarnya kehamilan lebih kecil dari usia seharusnya (25 cm pada usia kehamilan 39-40 minggu) dengan perkiraan BB bayi yaitu 2170 sehingga didiagnosis dengan intra uterine fetal restriction (IUFR) Berdasarkan semua keluhan dan gejala yang ditemukan pada pasien maka pasien didiagnosis G3P2002 39-40 mg T/H + PE Bera + IUFR. Diagnosis pre eklampsia berat ditegakkan karena os mengalami hipertensi yang disertai proteinuria pada kehamilan di atas 20 minggu. Dengan tekanan darah sistol 170 mmHg dan diastol 110 mmHg disertai proteinuria, maka digolongkan pada pre eklampsia berat. Keluhan subjektif dari sindroma HELLP tidak ditemukan pada kasus ini. Kombinasi proteinuria dan hipertensi selama kehamilan secara nyata meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas perinatal. Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklampsia adalah (1) mencegah kejang (2) mencegah gangguan fungsi organ vital (3) terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinnya, (4) lahirnya bayi sehat yang kemudian dapat berkembang, serta (5) pemulihan sempurna kesehatan ibu. Pada kasus ini penatalaksanaan dilakukan dengan melakukan perawatan aktif dengan indikasi, kehamilan aterm dan terdapat gejala subjektif pada pasien dan direncanakan untuk dilakukan persalinan perabdominal dengan melakukan SC karena pelvic score kurang dari 5. Sebelum dilakukan SC pasien diberikan terapi medikamentosa dengan injeksi MgSO4 IV sesuai dengan protab untuk mencegah terjadinya kejang, dengan membuat jalur intravena dan diberikan D5% terlebih dahulu.

26

Terapi medikamentosa yang diberikan setelah persalinan yaitu pemberian MgSO4 dilanjutkan sesuai dengan protab hingga 48 jam post partum karena tekanan darah pasien masih tinggi yaitu 170/110 disamping karena insiden eklamsia sering terjadi 24-48 jam post partum. Pasien juga diberikan antobiotik, Sulfat ferrosus, analgetik namun tidak diberikan metil ergometrin, sehingga untuk menjaga kontraktilitas uterus post partum maka diberikan drip oksitosin 2 ampul di dalam D5% sampai 12 jam setelah persalinan. Pada hari ke tiga selama perawatan tekanan darah pasien 130/90 mmHg,sehingga pasien diijinkan pulang dengan KIE untuk kontrol kepoloklinik RSUD Wangaya 1 minggu setelah persalinan, atau jika terdapat keluhan.

27

BAB V RINGKASAN

Pre eklampsia adalah hipertensi yang disertai proteinuria dan/atau edema yang terjadi setelah umur kehamilan 20 minggu. Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosa pre eklampsia berat, tekanan darah sistol lebih atau sama dengan 160 mmHg dan diastol lebih atau sama dengan 110mmHg. Tekanan darah ini tidak turun walaupun ibu hamil sudah dirawat dan menjalani tirah baring. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 5 gram dalam air kencing 24 jam, atau dalam pemeriksaan kualitatif menunjukkan +4 atau lebih. Oligouria, jumlah produksi urine kurang dari 500cc dalam 24 jam yang disertai kenaikan kadar kreatinin darah. Adanya keluhan subyektif seperti gangguan visus (mata berkunang-kunang), gangguan serebral (kepala pusing), nyeri epigastrium,pada kuadran kanan atas abdomen dan hiper refleks. Untuk mendiagnosis pre eklampsia umumnya tidak mengalami kesukaran. Dengan adanya hipertensi yang disertai proteinuria pada kehamilan di atas 20 minggu, sudah dapat untuk menegakkan diagnosis pre eklampsia. Pre eklampsia dibagi menjadi 2 yaitu pre eklampsia ringan dan pre eklampsia berat, dimana hal ini sangat berguna dalam hal melakukan penanganan. Pada perawatan preeclampsia berat dibagi menjadi dua unsur, yaitu : Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medis analis. Dan sikap terhadap kehamilan Sikap terhadap kehamilannya dapat :Konservatif : ekspektatif : sambil memberi pengobatan kehamilan ditunggu sampai se-aterm dan Aktif : agresif manajemen kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat.

28

Prognosis dari preeklamsia adalah baik jika dilakukan pencegahan

terjadinya

komplikasi dengan melakuikan kontrol yang rutin selama masa kehamilan untuk mencegah terjadinya komplikasi bagi ibu, dan memonitor terjadinya keluhan subjektif.

DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. 2004. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Denpasar: Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS. Sanglah 2. Cunningham, F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J., et al. 2004. Obstetri Williams Vol 1. Edisi 21. Jakarta: EGC 3. Mansjoer, A., Triyanti, K., dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 4. Wiknjosastro. 1991. Ilmu Kandungan. Edisi II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 5. Jayakusuma, AAN. 2004. Manajemen Resiko pada Pre Eklampsia (Upaya Menurunkan Kejadian Pre Eklampsia dengan Pendekatan Berbasis Resiko). Denpasar: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS. Sanglah 6. Lam, Chun, et al. (2005), Circulating Angiogenic Factors in the Pathogenesis and Prediction of Precelampsia, Hypertension-Journal of the American Heart Association, Available : http://www.hyper.ahajournals.org (Accessed : 2012, Oktober

29

Anda mungkin juga menyukai