Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

1.1

latar belakang Gangguan makan merupakan kondisi psikiatrik dengan akibat psikologis dan medis yang serius. Gangguan makan, seperti anorexia nervosa (AN) dan bulimia nervosa (BN), merupakan penyakit kronis yang didefinisikan sebagai gangguan perilaku makan atau perilaku dalam mengkontrol berat badan. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition (DSM-IV) mengklasifikasikan ada tiga jenis gangguan makan yaitu anorexia nervosa (AN), bulimia nervosa (BN), dan binge-eating disorder (BED). AN ditandai dengan keengganan untuk menetapkan berat badan normal, penyimpangan pandangan terhadap tubuh, ketakutan ekstrim menjadi gemuk, dan perilaku makan yang sangat terganggu. BN ditandai dengan perilaku makan dalam jumlah yang besar yang sering dan berulang-ulang, kemudian coba memuntahkan kembali, penggunaan obat pencahar, berpuasa atau berolahraga secara berlebihan (National Institute of Mental Health.1 Diketahui jumlah pasien dengan gangguan makan telah meningkat secara global sejak 50 tahun yang lalu. Di Amerika Serikat, dilaporkan satu hingga dua juta wanita memenuhi kriteria diagnostik untuk BN, dan 500,000 wanita memenuhi kriteria diagnostik untuk AN (Academy for Eating Disorder, 2006). Peningkatan ini berkaitan dengan kesadaran ekstrim tentang berat badan dan tampilan fisik, kebanyakan dikalangan generasi muda.1 Penelitian internasional tentang gangguan makan menunjukkan 1% dari remaja wanita di Amerika Serikat menderita AN, sedangkan 4% menderita BN. Sebanyak 1.2% anak sekolah di Cairo dan 3.2% anak sekolah di Iran menderita BN.2 Di Norway, sebanyak 2.6% mahasiswa perempuan dan 1.3 % mahasiswa Itali menderita AN.3

Jika dibandingkan prevalensi di negara Barat dan di negara non-Barat, prevalensi di negara non-Barat menunjukkan jumlah yang lebih rendah daripada di negara Barat tetapi menunjukkan adanya peningkatan. Prevalensi di negara Barat untuk AN ialah 0.1-5.7% pada subjek wanita, manakala untuk BN ialah 0-2-1% pada laki-laki, dan 0.3-7.3% pada wanita. Prevalensi di negara non-Barat untuk BN ialah 0.46-3.2% pada wanita.3 Sejak 1980-an, terjadi peningkatan prevalensi gangguan makan dalam populasi Asia. Sejak kebelakangan ini, terdapat peningkatan fenomena ini di kalangan wanita muda di Singapura. Di Singapura, prevalensi wanita muda yang beresiko untuk menghidapi gangguan makan ialah sebanyak 7.4%.4 Satu media di Singapura, pada tahun 2007, melaporkan jumlah remaja dengan gangguan makan semakin meningkat sebanyak enam kali lipat sejak tahun 2002. Singapore General Hospital menyatakan sebanyak 140 kasus gangguan makan dilaporkan setiap tahun, tetapi hanya 10 hingga 20% yang datang berobat. 0.05% sampel pasien psikitrik di Malaysia telah terdiagnosis mengalami AN dan angka ini tidak meningkat selama 15 tahun. Di Indonesia, 12-22% wanita berusia 15-29 tahun menderita defisiensi energi kronis (IMT <18,5) di beberapa kawasan. Apakah defisiensi ini disebabkan oleh gangguan makan atau hal lain tidaklah dijelaskan secara rinci. Bagaimanapun, masih kurang penelitian dilakukan tentang gangguan makan di Indonesia sehingga prevalensinya tidak diketahui secara pasti. Akibat dari gangguan makan yang berkepanjangan, bisa terjadi hipotensi kronis, bradikardia, hipotermia, pembengkakan kelenjar liur, anemia, dehidrasi, alkalosis dan hipokloremia dapat dilihat. Ruptur lambung juga dapat terjadi. Lebih dari 90% penderita AN mengalami amenorrea sekunder disebabkan oleh malnutrisi kronis. Pengurangan densitas tulang merupakan masalah yang serius karena sukar diobati, dan keadaan ini meningkatkan resiko fraktur tulang. Gangguan makan juga dapat menyebabkan gangguan pada jantung. Resiko tertinggi pada panderita dengan gangguan makan adalah gagal jantung.

BAB II ISI

2.1

Definisi Gangguan Makan Gangguan makan ditandai dengan ekstrem. Gangguan makan hadir ketika seseorang mengalami gangguan parah dalam tingkah laku makan, seperti mengurangi kadar makanan dengan ekstrem atau makan terlalu banyak yang ekstrem, atau perasaan menderita atau keprihatinan tentang berat atau bentuk tubuh yang ekstrem. Seseorang dengan gangguan makan mungkin berawal dari mengkonsumsi makanan yang lebih sedikit atau lebih banyak daripada biasa, tetapi pada tahap tertentu, keinginan untuk makan lebih sedikit atau lebih banyak terus menerus di luar keinginan.6

2.2

Tipe Gangguan Makan Terdapat dua tipe utama bagi gangguan makan adalah anoreksia nervosa dan bulimia nervosa. Kategori ketiga adalah gangguan makan lain yang tidak ditetapkan (EDNOS eating disorders not otherwise specified) yang memasukkan beberapa variasi gangguan makan. Kebanyakannya adalah mirip dengan anoreksia atau bulimia tetapi dengan karakter yang berbeda sedikit. Binge-eating disorder, yang menerima peningkatan dalam jumlah penelitian dan perhatian media dalam beberapa tahun kebelakangan ini adalah salah satu tipe EDNOS.6

2.2.1

Anoreksia Nervosa

2.2.1.1 Definisi Menurut DSM-IV, anoreksia nervosa (AN) dimaksudkan dengan keengganan untuk menetapkan berat badan kira-kira 85% dari yang diprediksi, ketakutan yang berlebihan untuk menaikkan berat badan, dan tidak mengalami menstruasi selama 3 siklus berturut-turut. AN terbagi kepada dua jenis. Dalam jenis restricting-tye anorexia, individu tersebut menurunkan berat badan dengan berdiet sahaja tanpa

makan berlebihan (binge eating) atau muntah kembali (purging). Mereka terlalu menghendaki konsumsi karbohidrat dan makan mengandung lemak. Manakala pada tipe binge-eating/purging, individu tersebut makan secara berlebihan kemudian memuntahkannya kembali secara segaja.6

2.2.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi AN tidaklah diketahui tetapi kemungkinan melibatkan kombinasi psikologis, biologis dan faktor risiko kultural. Faktor risiko seperti penderitaan seksual atau fisik, dan riwayat keluarga yang mengalami gangguan mood, adalah salah satu faktor risiko nonspesifik yang meningkatkan kecenderungan kepada gangguan psikiatris, termasuklah AN. Sebagian orang muda, perilaku makan seperti berdiet yang dilakukan semasa usia remaja dapat menyebabkan masalah makan yang lebih serius.

2.2.1.3 Gambaran Klinis Kebanyakan orang dengan AN melihat diri mereka sebagai orang dengan kelebihan berat badan, walaupun sebenarnya mereka menderita kelaparan atau malnutrisi. Makan, makanan dan kontrol berat badan menjadi suatu obsesi. Seseorang dengan AN akan sentiasa mengukur berat badannya berulang kali, menjaga porsi makanan dengan berhati-hati, dan makan dengan kuantiti yang sangat kecil dan terhadap pada sebagian makanan.1,6 Kebanyakan pasien dengan AN juga akan mempunyai masalah psikiatri dan macam-macam penyakit fisik, termasuk depresi, ansietas, perilaku terasuk (obsessive), penyalahgunaan zat, komplikasi

kardiovaskular dan neurologis, dan perkembangan fisik yang terhambat. Gejala lain yang mungkin terlihat dari waktu ke waktu termasuk penipisan tulang (osteopenia atau osteoporosis), rambut dan kuku yang rapuh, kulit yang kering dan kekuningan, perkembangan rambut halus dikeseluruhan tubuh (misalnya, lanugo), anemia ringan, kelemahan dan kehilangan otot, konstipasi berat, tekanan darah rendah, pernafasan dan pols yang

melemah, penurunan suhu tubuh internal; menyebabkan orang tersebut sering merasa dingin, dan kelesuan.1,6 Sebagai akibat dari nutrisi buruk, gangguan endokrin yang melibatkan aksis hipotalamus-pituitari-gonad timbul, bermanifestasi pada wanita yaitu amenorrea dan pada laki-laki yaitu kurangnya minat berseksual dan kesuburan. Pada anak-anak yang prapubertas, pubertasnya lambat dan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya terbantut. Gejala metabolik lainnya, seperti lelah dan intoleransi terhadap kedinginan juga disebabkan oleh gangguan aksis hipotalamus-pituitari-gonad. Selain itu, resiko untuk mengalami fraktur tulang berkaitan juga dengan pasien dengan AN karena saiz tulang yang berkurang dan densitas mineral tulang.1 Kadar serum leptin dalam AN yang tidak dirawat adalah rendah. Pada AN juga dijumpai peningkatan kadar kortisol dan kegagalan deksametason untuk mensupresinya. Kadar thyroid-stimulating hormone (TSH) adalah normal, tetapi kadar tiroksin dan triiodotironin adalah rendah. Growth hormone meningkat, tetapi insulin-like growth factor 1 (IGF-1) yang diproduksi oleh hati, menurun. Pengurangan densitas tulang diobservasi pada pasien dengan AN meningkatkan risiko untuk mengalami fraktur dan berkaitan dengan defisiensi berbagai nutrisi, penurunan sterois gonad dan peningkatan kortisol dan.6 Pada pasien dengan tipe tertentu AN, sering dilihat kadar serotonin total, yang menyokong hipotesis bahwa kadar serotonin otak yang tinggi dapat menyebabkan perbuatan kompulsif, atau mungkin menginhibisi pusat selera (Tecott, 1995).

2.2.1.4 Diagnosis Diagnosa AN adalah berdasarkan karakteristik perilaku, psikologis dan fisiknya. Kriteria diagnostik yang digunakan secara meluas ialah dari American Psychiatry
6

Association,

melalui

DSM-IV.

Kriteria

ini

termasuklah :

Ketakutan berlebihan untuk meningkatkan berat badan atau menjadi gemuk Keengganan untuk menetapkan berat badan pada atau di atas berat normal yang minimal sesuai umur dan ketinggian tubuhnya Distorsi pandangan tubuh (merasakan dirinya terlalu gemuk walaupun dirinya telah underweight) Tidak mengalami menstruasi (amenorrea) selama sekurang-kurangnya 3 siklus berturut-turut.

2.2.1.5 Terapi Terdapat beberapa indikasi pasien dengan AN yang perlu dirawat inap di rumah sakit, antara lain ialah berat badan kurang daripada 75% daripada berat badan ideal, walaupun pemeriksaan darah rutin dalam batas normal. Untuk pasien yang berat badannya sangat kurang, kalori yang cukup (kira-kira 1200-1800 kkal/hari) perlu diberi dalam hidangan seharihari dalam bentuk makanan atau suplemen cairan untuk meningkatkan berat badan dan menstabilkan keseimbangan cairan dan elektrolit.6 Konseling gizi juga membantu untuk menetapkan berat badan sehat dan memperlengkapkan pasien dan keluarga tentang diet sehat dan risiko jangka pendek dan jangka panjang akibat gangguan makan.6 Keterlibatan keluarga dalam penatalaksanaan AN pada remaja telah menjadi komponen standar, walaupun pengobatan utamanya lebih kepada mengembalikan nutrisi di rumah sakit dan psikoterapi individu atau konseling. Walaupun sebagian besar pasien dengan AN perlu dirawat inap, peran keluarga juga memainkan peranan penting dalam pengobatan yang efektif.6 Pengobatan dengan olanzapin ternyata meningkatkan berat badan dan selera makan pada pasien AN, dan mengubah persepsi diri tentang gambaran tubuhnya. Mereka akan memikirkan bahwa mereka lebih normal dan matang.1,6

2.2.1.6 Prognosis Mortalitas merupakan risiko pada pasien dengan AN, disebabkan oleh percobaan bunuh diri atau komplikasi dari gangguan makan yang kronis. Risiko mortalitas telah menurun sepanjang 25 tahun ini dengan pengobatan dan identifikasi dini AN. Kira-kira 25% tetap simptomatik. Proses penyembuhan berlangsung lama, bisa 2 tahun dari onset AN. Terdapat juga pasien dengan AN beralih kepada jenis gangguan makan lain, seperti bulimia nervosa dan binge-eating disorder, menunjukkan terdapat hubungan antara gangguan makan tersebut.1 Gangguan makan dapat berakibat fatal akibat dari defisiensi nutrisi yang berkelanjutan. Pasien dengan gangguan makan kadang kala mencoba untuk membunuh diri atau menghindari kegiatan sosialnya. Perlu ditekankan bahawa gangguan ini tidak hanya mengganggu perilaku makan, tetapi juga mendatangkan akibat pada fisik, psikologis dan aspek sosial pasien.5

2.2.2

Bulimia Nervosa

2.2.2.1 Definisi Bulimia nervosa (BN) digambarkan dengan episode berulang makan berlebihan (binge eating) dan kemudian dengan perlakuan kompensatori (muntah, berpuasa, beriadah, atau kombinasinya). Makan berlebihan disertai dengan perasaan subjektif kehilangan kawalan ketika makan. Muntah yang dilakukan secara sengaja atau beriadah secara berlebihan, serta penyalahgunaan pencahar, diuretik, amfetamin dan tiroksin juga boleh terjadi.6 DSM-IV membagikan BN kepada dua bentuk yaitu purging dan nonpurging. Pada tipe purging, individu tersebut memuntahkan kembali makanan secara sengaja atau menyalahgunakan obat pencahar, diuretik atau enema. Pada tipe nonpurging, individu tersebut menggunakan cara lain selain cara yang digunakan pada tipe purging, seperti berpuasa atau beriadah secara berlebihan.6

2.2.2.2 Gambaran Klinis BN digolongkan pada orang yang mengalami episode konsumsi makanan dengan jumlah yang sangat banyak (misalnya, binge-eating) secara rekuren dan sering, dan merasakan kurangnya penguasaan terhadap makan. Perilaku binge-eating diikuti dengan perilaku yang

mengkompensasi binge dengan menyingkirkan makanan yang dimakan (misalnya, muntah, penggunaan obat cuci perut atau diuretik yang berlebihan), berpuasa dan/atau senaman yang berlebihan.6 Tidak seperti AN, orang yang menderita BN dapat jatuh kepada golongan dengan berat badan yang normal sesuai dengan umur mereka. Akan tetapi, seperti AN, mereka juga mempunyai ketakutan untuk pertambahan berat badan, dan sangat nekad untuk mengurangi berat badan, merasa ketidakbahagiaan hebat atas ukuran dan bentuk tubuh. Kebiasaannya, perilaku bulimik adalah rahasia, karena selalu disertai dengan perasaan jijik dan malu. Siklus perilaku binging dan penyingkiran ini selalunya berulang selama beberapa kali dalam seminggu.6 Mirip dengan AN, orang yang menderita BN juga mempunyai penyakit psikologis seperti depresi, ansietas dan/atau permasalahan penyalahgunaan zat. Kebanyakan kondisi fisik adalah akibat dari aspek penyingkiran penyakit, termasuklah ketidakseimbangan elektrolit, masalah gastrointestinal, dan masalah berkaitan dengan rongga mulut dan gigi.6 Gejala lain yang terkait termasuklah inflamasi kronis dan sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar di leher dan di bawah rahang, robekan enamel gigi dan meningkatnya kepekaan dan kerusakan gigi akibat daripada pemaparan terhadap asam perut, penyakit refluks gastroesofagus, intestinal distress dan iritasi akibat penyalahgunaan obat cuci perut, masalah pada ginjal akibat penyalahgunaan obat diuretik, dan dehidrasi berat karena kekurangan cairan dari tubuh.6 Gangguan mood adalah sering pada pasien dengan BN dan simptom cemas dan tegang (tension) sering dialami (Chavez dan Insel, 2007). Kebanyakan pasien dengan BN mengalami depresi ringan dana sesetengah

mengalami gangguan mood dan perilaku yang serius seperti cobaan membunuh diri dan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Biasanya, pasien dengan BN merasa malu dengan perbuatannya sendiri dan cenderung untuk merahsiakannya daripada keluarga dan temanteman.6

2.2.2.3 Etiologi dan Faktor Resiko


Faktor risiko untuk terjadinya BN antara lain ialah faktor familial seperti obesitas pada orang tua, gangguan afek, dan kritikan dari keluarga tentang berat badan atau kebiasaan makan. Terdapat juga kerentanan genetik pada anak kembar untuk mengalami BN tetapi bagaimana hal ini terjadi tidak begitu jelas.1

2.2.2.4 Diagnosis
Diagnosis BN menggunakan kriteria diagnostik yang dikemukakan oleh DSM-IV. Kriteria diagnostik BN ialah;6

Episode makan berlebihan yang berulang yang dikarakteristikkan dengan konsumsi sejumlah besar makanan dalam waktu yang singkat (selalunya kurang daripada 2 jam) dan perasaan untuk makan tidak terkontrol.

Perilaku

kompensasi

makan

berlebihan

yang

berulang,

seperti

memuntahkan kembali, penggunaan pencahar, berdiet keras atau berpuasa secara berlebihan sebagai melawan perbuatan makan berlebihan.

Perbuatan 1 dan 2 telah berlangsung sebanyak sekurang-kurangnya 2 kali/minggu selama sekurang-kurangnya 3 bulan. Perhatian yang berlebihan terhadap bentuk dan berat badan.

2.2.2.5 Terapi
Untuk mengurangi dan mengeliminasi perilaku makan/muntah, individu tersebut perlu menjalani kaunseling gizi dan psikoterapi, terutama terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy (CBT)) atau diberi pengobatan seperti antidepresan seperti fluoksetin, yang merupakan satu-satunya obat yang dibenarkan oleh Food and Drug Administration untuk mengobati BN.1
9

CBT merupakan pengobatan psikologis jangka pendek (4-6 bulan) yang berfokus pada perhatian berlebihan pada bentuk dan berat badan, diet yang persisten dan perilaku makan/muntah yang menggambarkan gangguan ini.1

2.2.2.6 Prognosis
Prognosis BN lebih baik daripada prognosis AN. Mortalitas yang rendah, dan penyembuhan sempurna bisa terjadi pada 50% dalam masa 10 tahun. Kira-kira 25% pasien mengalami simptom BN yang persisten dan ada yang beralih dari BN menjadi AN.1

2.2.3

Binge-eating Disorder

2.2.3.1 Definisi Menurut DSM-IV, kriteria binge-eating disorder (BED) memerlukan episode makan berlebihan, sama seperti BN, tetapi yang membedakan BED dengan BN ialah BED tidak melibatkan perbuatan untuk melawan perilaku makan berlebihan, seperti memuntahkan kembali makanan, penggunaan pencahar dan beriadah berlebihan.6

2.2.3.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Obesitas semasa kecil dan orang tua yang mengalami obesitas merupakan faktor risiko spesifik untuk terjadinya BED, dan BED berkaitan dengan kelainan genetik yang sangat jarang, yaitu mutasi pada gen untuk reseptor melanokortin 4.6

2.2.3.3 Gambaran Klinis BED digolongkan pada orang dengan episode binge-eating yang rekuren sewaktu seseorang merasakan hilangnya penguasaan terhadap perilaku makannya. Tidak seperti BN, episode binge-eating ini tidak diikuti dengan proses penyingkiran, olahraga yang berlebihan, atau puasa. Hasilnya, orang dengan BED adalah kebiasaanya kelebihan berat badan atau gemuk. Mereka juga merasa bersalah, malu dan/atau distress dengan

10

binge-eating yang dapat membawa kepada lebih banyak episode bingeeating. Mereka juga sering mempunyai penyakit psikologis termasuklah ansietas, depresi, dan kekacauan kepribadian.6

2.2.3.4 Diagnosis
Diagnosis BED menggunakan kriteria diagnostik yang dikemukakan oleh DSM-IV. Kriteria BED termasuk:6 Episode makan berlebihan yang berulang, seperti BN. Episode makan berlebihan yang lebih cepat daripada biasa, makan hingga perut terasa terlalu penuh, makan sejumlah besar makanan walaupun tidak merasa lapar, makan sendirian karena merasa malu dengan jumlah makanan yang dikonsumsinya, dan/atau merasa jelek terhadap diri sendiri, depresi, dan rasa bersalah selepas makan. Rasa tertekan terhadap perbuatan makan yang berlebihan. Perilaku makan tersebut berlaku sekurang-kurangnya 2 hari/minggu selama 6 bulan. Perilaku makan tersebut tidak diikuti dengan perbuatan kompensatori untuk melawan balik perilaku makan itu.

2.2.3.5 Terapi
Tujuan terapi pada pasien dengan BED ialah untuk megurangi perilaku makan berlebihan tersebut, memperbaiki simptom gangguan mood dan rasa cemas yang berkaitan dengan ED, dan mengurangi berat badan pada individu yang juga mengalami obesitas. Terapi psikologis seperti cognitive behavioral therapy dan farmakologis bukan saja efektif mengobati BN tetapi berguna untuk mengurangi frekuensi makan padan pasien dengan BED dan memperbaiki gangguan mood.7

2.2.3.6 Prognosis
BED mempunyai kadar remisi yang tinggi, walaupun tanpa pengobatan. Juga tidak ada kecenderungan untuk BED beralih ke tipe gangguan makan yang lain.1

11

2.3

Etiologi Gangguan Makan Walaupun etiologi gangguan makan adalah kompleks, beberapa penelitian nasional telah menjelaskan bahwa riwayat penderaan fisik dan seksual sebagai faktor risiko predisposisi bagi perkembangan gangguan makan. Terdapat bukti yang kukuh bahawa predisposisi genetik, kelahiran premature, trauma ketika lahir (Cnattingius et al, 1999) dan biokimia individual memainkan peranan yang signifikan yang akhirnya berkembang menjadi suatu gangguan makan.6 Kedua-dua AN dan BN secara statistiknya lebih umum dijumpai pada ahli keluarga penderita dibandingkan populasi umum dan terdapat transmisi menyilang bagi kedua-dua kondisi. Misalnya, seseorang dari ahli keluarga menderita AN mempunyai risiko untuk menjadi BN dari seseorang yang tidak mempunyai riwayat keluarga bagi gangguan makan. Penelitian yang sama juga menjumpai gangguan makan atipikal (seperti binge-eating) juga mempunyai riwayat keluarga.1 Akibat kesukaran untuk memisahkan antara genetik dari lingkungan dalam penelitian berhubungan dengan keluarga, penelitian tentang gangguan makan yang melibatkan kembar telah menyediakan data yang penting mengenai riwayat keluarga. Banyak penelitian yang dilakukan menunjukkan risiko untuk berkembang menjadi AN atau BN adalah lebih besar pada kembar identik berbanding kembar tidak identik dan efek genetik ini muncul hanya selepas pubertas. Sebanyak 50 hingga 83% BN diteliti, keturunan telah ditentukan sebagai salah satu faktor. 6 Komorbiditas, assosiasi kedua atau lebih patologi, juga berlaku pada mereka yang mempunyai gangguan makan dan ahli keluarga mereka. Ahli keluarga yang mempunyai gangguan makan akan mempunyai risiko 2.0 hingga 3.5 kali lebih besar untuk memiliki depresi bipolar atau unipolar. Pada contoh komorbiditas yang lain, terdapat peningkatan signifikan 3 hingga 4 kali lebih besar risiko untuk penyalahgunaan zat yang melibatkan penderita BN, keluarga penderita, atau penderita dengan binging anorexic

12

apabila dibandingkan dengan ahli keluarga anoreksia atau kontrol yang tidak mempunyai gangguan makan atau riwayat keluarga gangguan makan.6 Disregulasi hormon serotonin telah menunjukkan faktor yang penting dalam gangguan makan. Penelitian klinis telah mencadangkan bahawa perubahan pada sistem serotonin akan mempengaruhi perilaku makan. Khususnya serotonin, yang meningkatkan respon kepuasan (satiety), lemah dalam pasien BN. Resistensi insulin, yang mungkin terdapat pada pasien AN dan BN, melemahkan kemampuan tubuh menghasilkan serotonin dari Ltryptophan. Olahraga yang mendorong (bersifat kompulsif) mungkin berhubungan dengan perubahan metabolisme serotonin yang diinduksi oleh restriksi makanan. Sebagai contoh, penelitian telah menunjukkan

pengurangan gejala dalam orang-orang yang melakukan senaman yang kompulsif setelah diberikan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) fluoxetine.6 Serotonin dengan kadar yang rendah telah dilaporkan pada pasien AN dengan berat badan rendah. Kurangnya kadar serotonin sebagai substrat telah diusulkan sebagai alasan mengapa pasien AN tidak respon pada terapi kelas antidepresant-SSRI. Bukan semua penelitian pada kadar triptofan pada cairan serebrospinal pada pasien AN menunjukkan kadar serotonin rendah yang berarti, dan masih dalam penelitian dalam menentukan samada pasien AN tanpa perilaku purging mempunyai disfungsi serotonin yang berbeda dengan pasien AN dengan kecenderungan untuk menjadi BN. 6 Pada sebagian besar penelitian, BN juga terdapat perubahan pada metabolisme serotonin. Pasien BN mempunyai respon yang kurang pada pemberian serotonin apabila serotonin agonist diberikan dan kadar metabolit serotonin mayor 5-hydroxyindolacetic acid (5-HIAA), merupakan indikasi pengurangan aktivitas serotonin (McBride et al, 1991). Disregulasi serotonin juga telah mejadi implikasi bagi beberapa penyakit psikiatri yang terjadi pada pasien BN dan ahli keluarga pasien BN seperti penyalahgunaan zat, alkoholism, penyakit depresif mayor, ansietas, perasaan ingin membunuh diri, dan impulsive. 6

13

Perilaku binging dan muntah juga telah menunjukkan pengurangan sintesis serotonin, dan frekuensi binge telah secara kebalikan berhubungan dengan konsentrasi serotonin dalam cairan serebrospinal (Jimerson et al, 1992). Walaupun sembuh setelah satu atau beberapa tahun, wanita dengan BN dijumpai masih lagi memiliki peningkatan gejala inti gangguan makan apabila dibandingkan dengan kontrol (Kaye et al, 1998). Mereka mempunyai kadar dopamin dan norepinefrin yang normal tetapi peningkatan dalam kadar 5-HIAA, yang digunakan dalam menilai kadar serotonin. Peningkatan kadar 5-HIAA setelah sembuh juga dijumpai pada pasien AN. Fenomena ini belum dipahami dan telah digambarkan sebagai kemungkinan efek pantulan (rebound effect) dalam proses penyembuhan.6 Literatur medis mendukung bahwa pasien yang didiagnosa BN respon terhadap pemberian antidepressant. Walaupun begitu ia masih lagi tidak memberikan hasil sebaik terapi perilaku-kognitif dan hanya sedikit bukti yang menunjukkan keberhasilan terapi antidepressant (Atria, 1998). Masih lagi tidak diketahui sama ada mekanisme pengobatan antidepresan pada BN adalah sama pada pasien depresi. SSRI telah menunjukkan dampak hanya apabila diberikan pada dosis yang tinggi (60 mg fluoxetine) pada pasien BN lebih tinggi dari pada yang selalu diberikan pada terapi antidepresan. Pasien BN yang juga di diagnosis mempunyai depresi juga tidak dapat memprediksi sama ada antidepresan itu memberikan dampak dalam penatalaksanaan pasien dengan BN.6

2.4

Faktor Risiko Gangguan Makan Gejala gangguan makan sama ada sepenuhnya atau sebagiannya telah mempengaruhi 10% remaja perempuan dan telah menyebabkan ancaman pada kesehatan dan kegembiraan mereka. Adalah sangat membantu apabila dapat terdeteksi risiko yang paling banyak dalam terjadinya gangguan makan, untuk mencegah penyakit berkembang atau agar dapat dimulainya penatalaksanaan secara dini. Pengalaman klinis dan bukti penelitian telah menandai bahwa gangguan makan ini umumnya berawal dengan perilaku

14

mirip diet yang normal, wanita muda yang berdiet merupakan kelompok penting dengan risiko yang tinggi, walaupun hanya minoritas yang berkembang menjadi gangguan makan. 5 Suatu penelitian menjumpai faktor risiko lain yang juga dikatakan terlibat adalah wanita, ras yang kebanyakannya dari kelompok Hispanik, keinginan untuk mendapatkan tubuh yang kurus dan tekanan sosial serta pengaruh psikologis umum yang berlaku pada waktu yang sama. Selain itu, perubahan perilaku akibat peristiwa hidup yang negatif pada seseorang merupakan faktor risiko independen karena tidak berkaitan langsung dengan variabel lain seperti jenis kelamin, ras dan sebagainya.3 Pada suatu penelitian lain yang dijalankan, wanita Australia dan wanita Hong Kong mempunyai sikap yang sama terhadap pola makan, tetapi berbeda dalam persepsi bayangan tubuh dan peneliti beranggapan bahwa persepsi tubuh bukanlah faktor yang kuat bagi wanita Hong Kong. Hal ini konsisten dengan referensi DSM-IV di mana gangguan bayangan tubuh pada pasien gangguan makan non-barat adalah tidak jelas. Hal ini menyatakan bahwa ada. 2 Faktor risiko lain yang terkait dengan gangguan makan adalah ejekan yang berhubungan dengan berat badan yang sangat lazim di kalangan anak remaja. Remaja yang kelebihan berat badan melaporkan derajat frekuensi ejekan yang lebih tinggi berbanding kawan sebaya dengan berat badan sedang. Sembilan belas persen remaja perempuan dengan berat badan sedang dan 13% remaja lelaki dengan berat badan yang sedang dilaporkan telah diejek mengenai berat badan mereka sekurang-kurangnya beberapa kali dalam masa setahun, manakala >45% daripada remaja perempuan dan lelaki dengan kelebihan berat badan melaporkan frekuensi ejekan mengenai berat badan mereka. 1,6 Permasalahannya yang muncul sekarang adalah akibat kemungkinan besar penganiayaan yang berhubungan dengan berat badan ini dapat ketidakhadiran faktor ini pada individual non-barat tidak

menyingkirkan bahwa terdapatnya gangguan makan sekiranya gejala lain

15

mempengaruhi perilaku remaja terhadap berat badan. Penyakit gangguan makan adalah lebih umum mengenai kelompok usia remaja. Dari Sistem Pengawasan Risiko Perilaku Remaja 2003, suatu penelitian tingkat nasional telah dijalankan yang menyertakan 15240 orang pelajar dari kelas 9 hingga kelas 12, yang menjumpai hampir 60% pelajar perempuan dan 29% pelajar lelaki sedang berusaha untuk menurunkan berat badan. Lebih dari 13% pelajar dilaporkan berpuasa dalam masa 24 jam atau lebih dalam beberapa bulan untuk mengurangi berat badan, dan >11% perempuan dan 7% lelaki dilaporkan mengambil pil diet, bubuk, atau cairan dalam beberapa bulan. Delapan persen perempuan dan hampir 4% lelaki dilaporkan memuntahkan atau mengambil obat pencuci perut (laxative) dalam beberapa bulan untuk menurunkan berat badan. 6 Penelitian prospektif telah meneliti efek ejekan pada perkembangan penyakit gangguan makan yaitu menunjukkan hasil yang bercampur. Wetheim, Koerner, dan Paxton menunjukkan bahwa ejekan dapat memprediksi peningkatan pada perilaku bulimia di kalangan remaja perempuan. Gardner et al pula meninjau anak-anak yang berumur 6 14 tahun selama 3 tahun, dan melihat bahwa ejekan dapat memprediksi gangguan makan skor di kalangan lelaki bukan perempuan. Dua hasil penelitian prospektif lainnya menjumpai ejekan yang berhubungan dengan berat badan tidak berkait langsung dengan perilaku purging yang berlaku maupun perilaku membatasi atau bulimia di kalangan remaja perempuan, setelah perubahan pada faktor lain yang dianggap relevan. 6

16

DAFTAR PUSTAKA

1. National Institute of Mental Health, 2007. Eating Disorders. NIH Publication. Diunduh dari: http://www.nimh.nih.gov/health/publications/ eatingdisorders/nimheatingdisorders.pdf (diakses pada tanggal 29 maret 2012) 2. Makino, M., Tsuboi, K., Dennerstein, L., 2004. Prevalence of Eating Disorder : A Comparison of Western and Non-Western Countries. Medscape General Medicine 3. Edquist, K., 2009. Globalizing Pathologies? Eating Disorders and the Global Deterritorialization of Authority, Oregon. Diunduh dari:

http://www.allacademic.com/meta/p_mla_apa_research_citation/0/8/7/7/2/ p87726_index.html [diakses pada tanggal 29 maret 2012] 4. Ho, T. F., Tai B. C., Lee, E.L., Cheng, S., Liow P. H., 2006. Prevalence and Profile of Females At Risk of Eating Disorder in Singapore. Singapore Med J 5. Tsuboi, K., 2005. Eating Disorders in Adolescence and Their Implications. Japan of Japan Medical Association. 6. American Psychiatric Association (APA), 2005. Lets Talk Facts About Eating Disorders. Diunduh dari : http://www.healthyminds.org

/letstalkfacts.cfm (diakses pada tanggal 29 maret 2012) 7. Kay, J., Tasman, A., 2006, Essentials of Psychiatry. USA: John Wiley & Sons.

17

Anda mungkin juga menyukai