Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Di Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, ternyata tingkat kematian yang cukup tinggi bagi anak-anak klasifikasi balita dan bagi penyebab utamanya karena penyakit diare. Survei kesehatan Rumah Tangga menunjukkan angka kematian diare anak balita dan bayi per mil pertahun berturut-turut menunjukkan diare angka sebagai berikut : 6,6 anak balita dan 22 bayi (1980), 3,7 anak balita dan 13,3 bayi (1985 / 1986), 2,1 anak balita dan 7,3 bayi (1992), 1 anak balita dan 8 bayi (1995). Sedangkan menurut WHO di seluruh dunia tidak kurang dari 1 milyar episode diare terjadi setiap tahunnya dan di Indonesia bila data survei kesehatan Rumah Tangga diwujudkan angka nyata diperkirakan antara 25 sampai 30 juta anak balita dan bayi diare tiap tahunnya. Mengingat diare adalah penyebab penting kekurangan gizi hal ini disebabkan karena adanya anoreksia pada penderita diare sehingga ia makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan berkurang pula. Oleh karena itu penatalaksanaan bagi penderita diare perlu mendapatkan penanganan yang lebih serius khususnya untuk mengembalikan cairan yang telah banyak keluar akibat diare, agar tingkat kematian karena diare bisa ditekan seminimal mungkin.

B. Insidensi Kebanyakan episode terjadi pada anak / bayi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insiden paling tinggi pada golongan umur 6 11 bulan pada masa diberikan makanan pendamping. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang kemungkinan terpapar bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai dapat merangkak. Begitu pula variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografi. Pada daerah sub-tropik diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas sedangkan diare karena virus puncaknya pada musim dingin. Di daerah tropis diare rotavirus terjadi sepanjang tahun, frekuensi meningkat pada musim kemarau sedangkan puncak diare bakteri adalah pada musim hujan. Dengan uraian di atas jelas bahwa diare khusunya anak-anak sangat membahayakan adapun komplikasi yang sering terjadi adalah dehidrasi, dan proses terjadinya sering sangat cepat (akut) sehingga tidak jarang terjadi keterlambatan pertoongan karena ketidak pahaman orang tua / keluarga untuk mengenal tanda-tanda dehidrasi. Rehidrasi per-oral sering kali sulit dilakukan sehingga alternatif utama untuk mencegah dehidrasi lebih lanjut. Pada dehidrasi berat, selain kekurangan cairan volume darah juga berkurang sehingga dapat terjadi renjatan hipovolemik dengan gejala-gejala sebagai berikut : denyut jantung dan denyut nadi menjadi cepat dan kecil, tekanan darah menurun, keadaan penderita menjadi lemah, kesadaran menurun (apatis, somnolen dan kadang sampai sporokoma). Bila sudah sampai pada tahap asidosis metabolic, penderita tampak pucat dan pernafasan menjadi cepat dan dalam (kusmaul).

C. 1.

Tujuan Tujuan Umum Setelah menyelesaikan kontrak belajar selama 5 hari, saya mampu melakukan pengelolaan anak dengan masalah keseimbangan cairan dan elektrolit pada diare.

2. a.

Tujuan Khusus Menyebutkan pengertian keseimbangan cairan dan elektrolit b. Mengenal tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit pada anak dengan diare c. d. e. Menjelaskan kebutuhan cairan dan elektrolit pada anak dengan diare Menghitung balance cairan pada anak dengan diare Mengetahui jenis-jenis cairan yang diberikan pada anak diare f. Melakukan pengelolaan keseimbangan cairan dan elektrolit pada anak dengan diare

BAB II
TINJAUAN TEORI A. TINJAUAN TEORI 1. PENGERTIAN a. Pengertian Gangguan Keseimbangan Cairan Gangguan keseimbangan cairan pada anak dengan diare adalah kurang volume cairan (hipovolemia), yaitu suatu keadaan kehilangan cairan akibat hilangnya / pengeluaran cairan yang lebih cepat dibanding pemasukan cairan yang disebabkan oleh diare (Smeltzer, Bare, 2002). b. Pengertian Gangguan Keseimbangan Elektrolit 1). Hiponatremia Adalah kadar penurunan kadar natrium serum kurang dari normal (<135 meq / liter) akibat keluar bersama cairan feses semasa diare. (Smeltzer, Bare, 2002). Menurut Horne dan Swearingen, 2001, hiponatremia adalah natrium serum kurang dari 137 meq / liter yang dapat terjadi akibat penurunan cairan yang kaya natrium dalam CES ke dalam gasrointestinal karena diare / muntah. 2). Hipokalemia Adalah kadar kalium serum dibawah normal (<3,5 meq / liter) akibat pengeluaran kalium melalui gastrointestinal karena diare. (Horne dan Swearingen, 2001). 3). Penurunan Chlorida Serum Adalah kadar chlorida yang kurang dari 98 meq / liter akibat kehilangan cairan karena diare / muntah. (Smeltzer, Bare, 2002)

2. PATOFISIOLOGI Faktor infeksi Endotoksin merusak mukosa usus bakteri berlebih Hipersekresi cairan dan elektrolit Isi lumen usus Rangsangan pengeluaran Hiperperistaltik Diare Gangguan keseimbangan cairan Kurang volume cairan (dehidrasia) Pusing, lemah, letih, sinkope, anoreksia, mual, muntah, haus, oliguri, turgor kulit kurang, mukosa mulut kering, mata dan tremor ubun-ubun cekung, peningkatan suhu jantung tubuh, penurunan berat badan cepat dan lemah] kejang, peka rangsang, denyut Hipotensi postural, kulit dingin, Gangguan keseimbangan elektrolit Hipon tremia Hipokalemia Penurunan klorida serum Faktor malabsorbsi Tekanan osmotik Pergeseran cairan dan elektrolit ke lumen usus Gangguan peristaltik Hiperperistaltik Makanan tidak sempat diserap Endotoksin Hipoperistaltik Pertumbuhan

(Horne & Swearingen, 2001; Smeltzer & Bare, 2002)

3. TANDA DAN GEJALA a. Gangguan keseimbangan cairan (defisit volume cairan) 1). Penurunan turgor kulit 2). Oliguri, urine khusus 3). Hipotensi postural 4). Frekuensi jantung melemah, cepat 5). Vena leher datar / rata 6). Kenaikan suhu tubuh 7). Kulit dingin dan basah 8). Haus, anoreksia, mual, lesu 9). Kelemahan otot kram b. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiponatremia, hipokalemia, penurunan klorida serum). 1). Mual, kram perut 2). Anoreksi, kram otot 3). Perasaan kelelahan 4). Tanda peningkatan tekanan intrakranial akibat edema serebral: letargi, konfusi, kedutan otot, kelemahan fokal, hemiparese, papiledema, kejang. 5). Muntah, kelemahan otot, penurunan motilitas usus, disritmia, peka rangsang. 2002) (Horne & Swearingen, 2001; Smeltzer & Bare,

4. CARA MENGHITUNG DEFISIT CAIRAN DAN ELEKTROLIT a. Penghitungan kekurangan cairan (dehidrasi) Tabel 1: Kehilangan cairan menurut derajat dehidrasi pada anak dibawah 2 th Derajat dehidrasi Ringan Sedang PWL 50 75 NWL 100 100 CWL 25 25 Jumlah 175 200 350

Berat 125 100 25 Previous water losses: karena muntah (ml / kgBB) Concomitant water losses: karena diare dan muntah

Normal water losses: karena urine, penguapan kulit dan pernafasan.

Tabel 2 : Kehilangan cairan pada dehidrasi berat menurut BB dan umur BB 0-3 kg 3-10 kg 10-15 kg 15-25 kg b. Penghitungan kekurangan elektrolit 1). Defisit natrium (meq / liter): (125 kadar Na serum aktual) x 0,6 x kgBB 2). Defisit kalium (meq / liter): (3,5 kadar K aktual) x 0,25 x kgBB 3). Defisit klorida (meq / liter): (110 kadar Cl serum aktual) x 0,45 x kgBB 5. CARA PEMBERIAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT a. Cairan per oral Umur 0-1 bulan 1 bulan-2 tahun 2-5 tahun 5-10 tahun PWL 150 125 100 60 NWL 125 100 80 25 CWL 25 25 25 25 Jumlah 300 250 205 130

Pada dehidrasi ringan dan sedang diberikan cairan per oral berupa cairan yang berisikan NaCl, NaHCO3, KCl dan glukosa. Cairan ini berupa formula lengkap (oralit) atau formula tidak lengkap, LGG atau air tajin yang diberi gula dan garam. b. Cairan parenteral BB 3-10 kg, umur 1 bulan 2 tahun: diberikan jumlah cairan 200 ml / kgBB / 24 jam. Kecepatan tetesan 4 jam pertama 60 ml/kgBB/jam atau 15 ml/kgBB/jam atau 4 tetes/kgBB/menit (1 ml=15 tetes). 20 jam berikutnya: 190 ml/kgBB/20jam atau 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tetes/kgBB/menit (1 ml=15 tetes). (Ngastiyah, 1997).

BAB III

RESUME KASUS

A. Studi Kasus Pada tanggal 20 Januari 2012, anak AP umur 16 bulan, berada diruang anak (XI) RS. Mahardika Cirebon dalam keadaan lemas, panas, berak sehari lebih dari 4 kali, ubun-ubun cekung, mukosa bibir kering, turgor kulit kembali lama, akral dingin, BB 6900 gr, terdapat kemerahan pada anus, anak kurang aktif dan rewel. Tanda-tanda vital : suhu : 37,50C, nadi 130 kali permenit, respirasi 28 kali permenit. Anak tidak mau minum ASI dan hanya minum susu yang diberikan oleh rumah sakit. Hasil laboratorium Hb : 11,9 gr/dl, Ht 36,1 %, Lekosit 15.500 md/dl, Trombosit 321.000, Feses : bakteri ++, amuba ++. Natrium : 139 mm0l/l, Kalium 4,8 mmol/l, Clorida 108 mmol/l Anak mengalami diare sejak 3 hari yang lalu, sudah dibawa berobat ke bidan, mendapat penurun panas dan diare namun belum juga ada perubahan akhirnya oleh keluarga anak dibawa ke RSUD Mahardika. Riwayat kelahiran dan kesehatan lalu: anak lahir premature dengan berat badan 1900 gram di bidan, riwayat imunisasi tidak lengkap (kurang BCG dan Campak). Umur 5 bulan menderita flek (tbc) berobat ke dokter dan mendapatkan pengobatan selama 2 bulan. Usia 9 bulan dirawat di RS Kariadi Semarang dan dinyatakan menderita penyakit jantung bawaan. Pengkajian nutrisi : berat badan anak 6900 gram, panjang badan 75 cm., anak nampak kurus, kualitas nutrisi buruk dan dinyatakan Marasmus.

B. Hasil Diskusi Dengan Expert

Expert 1 (Residen Anak) Diskusi : tentang patofisiologi terjadi kehilangan cairan oleh karena diare dan penatalaksanaan mengatasi gangguan keseimbangan cairan Kesimpulan diskusi : Telah didiskusikan dengan Residen anak tentang patofis. diare yang mengakibatkan gangguan keseimbangan cairan dan pemenuhan kebutuhan cairannya 1) Mekanisme Diare Diare disebabkan oleh gangguan mekanisme transport air dan elektrolit di usus halus. Dalam keadaan normal ekskresi dan sekresi air dan elektrolit tinja terjadi di sepanjang hari 9 liter cairan yang masuk ke dalam usus. Biasanya > 90 % cairan masuk ke usus halus diserap dan 1 liter sampai ke usus besar. Bila volume cairan ini melebihi kapasitas absorbsi usus besar terjadilah diare. Ada 2 prinsip mekanisme terjadinya diare : 1. Diare sekretorik Diare sekretorik disebabkan karena sekresi air dan alektrolit ke dalam usus halus hal ini dapat mengakibatkan kehilangan air & elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan osmotic. 2. Diare osmotik Bila suatu bahan yang secara osmotic dan sulit diserap akan terjadi diare.Dehidrasi dengan diare cair dapat kehilangan ion Natrium Klorida, Kalium dan bikarbonat dengan kehilangan hal tersebut ditambah muntah dan panas mengakibatkan dehidrasi asidosis. Dehidrasi adalah keadaan yang berbahaya karena dapat mengakibatkan penurunan volume darah (hipovolemia) kolap cardiovaskuler dan akhirnya terjadi kematian. Ada 3 macam dehidrasi berdasarkan tonusitas plasma :

a.

Dehidrasi Isotonik Kehilangan air dan Natrium dengan proporsi yang sama dan pertama ditandai dengan rasa haus kemudian turgor kulit menurun, Natrium Serum N ( 130 150 mmol / L )

b. Dehidrasi hipertonik Kekurangan cairan dan natrium tetapi proporsi airnya lebih banyak, Natrium Serum > 150 mmol / L c. Dehidrasi hipotonik Kekurangan Natrium dan kelebihan air, konsentrasi Natrium serum < 130 mmol / L 2. Penatalaksanaan gangguan keseimbangan cairan Tujuan dalam mengelola gangguan keseimbangan cairan yang disebabkan diare adalah untuk mengoreksi kekurangan cairan dan elektrolit secara cepat dan kemudian mengganti cairan yang hilang sampai diarenya berhenti. Therapi penggantian cairan ada 2 : a. Upaya Rehidrasi Oral ( URO ) Prinsip yang mendasari URO adalah untuk mengembangkan campuran glukosa dan elektrolit yang seimbang. Campuran garam & glukosa dinamakan Oral Rehidration Salt (ORS) dalam bahasa Indonesia disebut oralit Cara pemberian minuman dengan kurang lebih 50 cc oralit setiap kali sehabis BAB (1 taste oralit dilarutkan dalam 200 cc air atau 1 gelas ). b. Cairan Rumah Tangga ( CRT ) Cairan rumah tangga ini harus segera diberikan kepada anak pada saat mulai diare dengan tujuan memberikan lebih banyak cairan dari biasanya. Pemberian makanan juga harus diteruskan, dengan demikian secara dini dapat mencegah dehidrasi.

ASI tetap diberikan karena ASI dianggap cukup handal untuk menurunkan angka kesakitan diare, karena ASI mengandung antibody yang melindungi bayi terhadap berbagai kuman penyebab penyakit diare. 3. Pengobatan Intravena Cairan intravena dibutuhkan hanya untuk penderita dengan dehidrasi berat dan hanya untuk pengembalian dengan cepat volume darah. Cairan yang digunakan adalah : a. Ringer Laktat Larutan ini mengandung konsentrasi natrium dan cukup laktat yang akan di metabolisme menjadi bikarbonat untuk memperbaiki asidosis metabolic. b. Cairan NaCl 0,9 % ( isotonic ) Cairan ini banyak mengandung basa dan mengganti kalium yang hilang. c. Cairan Ringer dan Glukosa 25 % Untuk memperbaiki kekurangan Natrium dengan efisien pada penderita dehidrasi berat. d. Cairan KA-EN 3 B Cairan ini mengandung Sodium Chlorida, Potasium Cloride dan Sodium Laktat untuk mengganti natrium yang hilang. Dalam pemberian cairan tersebut mohon diingat lihat derajat dehidrasi, macam dehidrasi, umur dan berat badan anak atau bayi.

Hasil diskusi dengan Expert 2 (Perawat Anak)

Diskusi

: tentang pemenuhan kebutuhan cairan pada anak yang mengalami

gangguan keseimbangan cairan akibat menderita diare Kesimpulan diskusi : Dari diskusi dengan perawat anak dalam penatalaksanaan diare prinsipnya adalah pengembalian cairan, dietik, dan pengobatan. Adapun 3 derajat dehidrasi berdasarkan banyaknya cairan yang hilang : 1). Dehidrasi Ringan Berat badan turun sekitar : 3 5 % dengan cairan yang hilang < 50 ml / kg BB. 2). Dehidrasi sedang Berat badab turun sekitar : 6 9 % dengan cairan yang hilang 50 90 ml / kg BB. 3). Dehidrasi berat Berat badan turun lebih 10 % dengan cairan yang hilang 100 ml / kg BB. Penatalaksanaan gangguan keseimbangan cairan (Rehidrasi) karena diare di Ruang Anak adalah : 1. Pemberian cairan dapat dengan per oral dan dapat juga dengan parenteral disesuaikan dengan derajat dehidrasinya. Therapi parenteral ditentukan oleh medisnya, perawat yang memberikan atau memantau respon klien. 2. Tetap memberikan ASI pada anak yang masih minum ASI dan tetap memberikan makanan dan PASI. Untuk anak dengan minum PASI biasanya PASI diencerkan terlebih dahulu atau LLM. 3. Menganjurkan kepada Ibu / keluarga untuk memberikan anak minum lebih dari biasanya, sejauh anak mau dan tidak muntah ini semua bertujuan untuk mencegah anak jatuh pada keadaan dehidrasi / dehidrasi yang lebih berat.

4. Menganjurkan kepada keluarga untuk tetap menjaga kebersihan anak, lingkungan dan botol susu yang akan digunakan anak tersebut karena dengan kebersihan akan mengurangi kuman yang masuk dan akhirnya dapat mempercepat penyembuhan.

BAB IV PEMBAHASAN

Berdasarkan literatur yang ada tingkatan dehidrasi adalah Dehidrasi ringan bila penurunan berat badan < dari 5 % (rata-rata 4 %), Dehidrasi sedang bila penurunan berat badan 5-10% (rata-rata 8 %), Dehidrasi berat bila penurunan berat badan lebih dari 10 % (rata-rata 11%). Dari kasus kelolaan saya, AP termasuk dehidrasi ringan sedang sebab mengalami penurunan berat badan sekitar 7,5% karena berat badan sebelum sakit tidak diketahui maka diperkirakan penurunan berat badan sekitar 7,5%. Keadaan umum anak sadar, lemah, turgor kembali lambat, ubun-ubun cekung, mata cekung, mukosa bibir kering, diare dalam sehari 4 x, setiap diare sekitar 20 cc. disamping itu anak juga mengalami peningkatan frekuensi berkemih sekitar 15 x dalam 24 jam. Dari pemeriksaan laboratorium Lekosit 15.500 /u, dari pemeriksaan feses didapat bakteri ++ dan amuba ++, sehingga kemungkinan penyebab diare pada kasus kelolaan saya adalah infeksi. Setelah kami mengadakan pendekatan dan wawancara dengan orang tua tentang hygiene perorangan dalam merawat anak, ibu mengatakan anaknya tidak mau minum ASI dan hanya minum susu formula (SGM) selama dirumah. Dalam proses pemberian susu, ibu mengatakan botol hanya satu, dan sering kali tidk ditutup botolnya walaupun susunya masih tersisa. Dan botol dicuci saja tidak direbus / direndam air panas, sehingga ada kemungkinan anak diare akibat kebersihan kurang, karena alat terkontaminasi dengan kuman. Untuk itu kedua orang tua langsung diajak berdiskusi dan penjelasan tentang pentingnya kebersihan alat apalagi yang berkaitan dengan perawatan anak usia 16 bulan masih sangat rentan terhadap penyakit, mengingat maturitas organ tubuh anak masih dalam proses pematangan. Selain itu menurut literature juga mengatakan

bahwa berdasarkan penelitian di Bangladesh dan Guatemala menunjukkan bahwa hygiene perorangan termasuk mencuci tangan dan sebelum makan dan memasak, serta setelah buang air besar atau kecil dapat menurunkan angka kesakitan diare sebesar 14 48 %. Selain hal tersebut diatas yang sangat penting dalam penanganan gangguan keseimbangan caiaran akibat diare adalah pengembalian cairan, baik secara oral maupun parenteral, menurut hasil diskusi kami dengan expert ( Residen anak dan perawat anak ) mengatakan pengembalian cairan adalah tindakan utama dalam penanganan klien diare baik yang tidak dehidrasi ataupun yang mengalami dehidrasi, oleh karena klien kelolaan kami mengalami dehidrasi ringan sedang dengan penurunan BB : 7,5%, therapy cairan yang diberikan adalah KAEN 3 B 480 / 20 / 5 tts / mt mikro, yang berisi sodium clorida, potassium cloride dan sodium laktat untuk mengganti elektrolit yang hilang, dengan demikian dalam pemberian cairan harus dimonitor dengan cermat karena bila kekurangan akan mengakibatkan dehidrasi yang semakin buruk dan bila berlebihan akan terjadi edema pulmonal dengan ditandai anak sesak nafas, Ronchi dan semua itu bila tidak segera diatasi akan mengakibatkan kematian. Adapun diet yang diberikan pada anak kelolaan kami dengan umur 16 bl adalah 12 x 50 F 100, dan juga pemberian resomal 70 cc setiap kali habis bab dengan harapan dapat menggantikan cairan yang keluar, ini semua sudah sesuai dengan hasil diskusi dengan expert baik pada medis maupun perawat ruangan, demikian pula menurut Suriadi ( 2001 ) yang mengatakan bahwa ASI tetap diberikan karena ASI mengandung antibody yang melindungi bayi terhadap berbagai kuman penyebab penyakit diare tetapi klien kelolaan kami tidak mendapat ASI karena anak sudah tidak mau menetek lagi dan ASI hanya keluar sedikit-sedikit. Dari hasil pengamatan dan pantauan selama 3 hari, proses penyembuhan anak cukup baik, hal ini karena rehidrasi yang merupakan langkah pertama baik intravena maupun oral dapat dilaksanakan dengan tepat. Langkah rehidrasi dan pemantauan

keseimbangan cairan ini sudah dilakukan dengan ketat sejak pertama kali anak datang dan dirawat di bangsal anak. Sedangkan penghitungan balance cairan pada An. AP adalah sebagai berikut : 1. Input : Infuse KAEN 3B 12 x 50 cc F 100 Diit lunak 3 x piring : 480 cc : 600 cc : 150 cc : 1230 cc : 80 cc : 196 cc : 480 cc : 756 cc Tanggal 8 Agustus 2004

Total Out put : Diare 4 x 20 cc IWL Urin : (30-1,6) x kgbb

Total

Kebutuhan cairan normal anak dengan BB 6900 gram adalah 690 cc (Pharmacia Paediatric Parenteral nutrition. Pharmcia. 1999. page 11) Penambahan suhu tubuh 1o C kebutuhan ekstra meningkat 12 % Sehingga kebutuhan cairan dari anak Ap adalah 690+41+ 80 = 811 cc Kecukupan cairannya 1230/811 = 151 %

2. Input :

Tanggal 9 Agustus 2004 Infuse KAEN 3B 12 x 50 cc F 100 Diit lunak 3 x piring : 480 cc : 600 cc : 150 cc : 1230 cc : 60 cc : 196 cc : 450 cc : 706 cc

Total Out put : Diare 3 x 20 cc IWL Urin : (30-1,6) x kgbb

Total

Kebutuhan cairan normal anak dengan BB 6900 gram adalah 690 cc (Pharmacia Paediatric Parenteral nutrition. Pharmacia. 1999. page 11) Sehingga kebutuhan cairan dari anak Ap adalah 690+ 70 = 760 cc Kecukupan cairannya 1230/760 = 161 % 3. Input : 10 x 75 cc F 100 Diit lunak 3 x piring : 750 cc : 150 cc : 900 cc : (30-1,6) x kgbb : 196 cc : 400 cc : 596 cc Tanggal 10 Agustus 2004

Total Out put : IWL Urin

Total

Kebutuhan cairan normal anak dengan BB 6900 gram adalah 690 cc (Pharmacia Paediatric Parenteral nutrition. Pharmcia. 1999. page 11) Kecukupan cairannya 900/596 = 151 %

Pada hari pertama masih terjadi peningkatan suhu tubuh, namun pada hari kedua suhu sudah mulai normal. Dan pada hari ketiga infuse sudah di lepas, dan diganti dengan masukan cairan per oral yang ditingkatkan volumenya. Dari hasil pengukuran balance cairan dapat dilihat bahwa kebutuhan ciran pada An. AP dapat terpenuhi dari hati pertama sampai dengan hari ke 3. sebagai indicator yang dapat menguatkan hal tersebut diatas adalah adanya penambahan Berat badan dari 6900 gram pada saat masuk dirawat, menjadi 7100 gram pada saat ini. Dari pengertian, patofisiologi, tanda dan gejala, serta cara pemberian rehidrasi pada gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tidak ada perbedaan yang berarti antara hasil studi referensi dengan pendapat ekspert maupun keluarga. Namun terdapat perbedaan pada cara perawatan anak dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara hasil studi referensi dengan studi kasus, namun demikian masih ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dan perlu untuk dibicarakan lebih lanjut, yaitu: 1. Tidak ada pemantauan ulang nilai elektrolit serum Pada penatalaksanaan pasien diare dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (studi kasus pada An. AP) secara umum telah sesuai dengan hasil studi referensi dan hasil diskusi dengan expert. Program rehidrasi yang dilakukan menggunakan cairan parenteral berupa cairan Kaen 3B dengan kecepatan pemberian 5 tetes / menit. Cairan Kaen 3B menjadi pilihan karena mengandung potassium Cloride, kalium, dan natrium yang sangat dibutuhkan untuk mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pemeriksaan kadar elektrolit serum tanggal 5 November 2004, diperoleh data bahwa kadar natrium serum 139 meq / liter, kadar kalium serum 4,8 meq / liter dan kadar klorida serum 108 meq / liter, yang menunjukkan bahwa kadar elektrolit pasien sudah dalam rentang normal jika dirujuk ke dalam nilai standar normal. Pada akhir pemberian cairan parenteral pada pasien, pemeriksaan kadar

elektrolit serum tidak dilakukan, padahal menurut Smeltzer & Bare, 2002, pemantauan kadar elektrolit serum perlu dilakukan sebelum, selama maupun sesudah rehidrasi untuk memantau keberhasilan koreksi gangguan elektrolit yang terjadi serta untuk mencegah kelebihan pemberian elektrolit yang berakibat buruk bagi kondisi pasien. Setelah dikonfirmasi dengan perawat ruang anak diperoleh keterangan bahwa hal itu dilakukan karena dari penilaian klinis terhadap kondisi pasien sudah cukup menunjukkan bahwa status hidrasi dan keseimbangan elektrolit pasien telah adekuat. 2. Pemantauan tanda vital hanya terbatas pada suhu badan.

Pemantauan tanda vital hanya dilakukan sebatas pengukuran suhu saja. Padahal menurut Smeltzer & Bare, 2002, pemantauan tanda vital pada pasien dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sebaiknya dilakukan 2 jam sekali meliputi, penilaian nadi, penghitungan pernafasan dan pengukuran suhu. Hasil pemeriksaan vital signs sangat berguna bagi monitoring status hidrasi pasien dan tanda-tanda dehidrasi, misalnya perubahan nadi (cepat dan lemah), suhu badan meningkat, dan respirasi yang meningkat. Dengan pemantauan tanda vital secara lengkap dan akurat, tanda-tanda awal dehidrasi dan hambatan terhadap program rehidrasi dapat segera dideteksi. 3. Pemantauan kecepatan pemberian cairan parenteral (tetesan infus),

monitoring balance cairan dan ststua hidrasi pasien jarang dilakukan dan belum ada dokumentasinya. Monitoring kecepatan pemberian cairan parenteral melalui pemantauan tetesan cairan infus yang diberikan pada pasien mutlak dilakukan oleh perawat. Tetapi dari kasus diare yang ada, pemantauan ini jarang dilakukan. Jika dilakukan, sebatas jika keluarga pasien melaporkan adanya kemacetan tetesan infus. Sering kali tidak dilakukan kontrol ulang untuk mengecek apakah tetesan infus yang diberikan masih sesuai dengan kecepatan yang

diprogramkan. Monitoring juga diperlukan pada kepatenan kateter intravena yang terpasang serta penting pula diperhatikan secara teratur lokasi penusukan, adakah tanda-tanda inflamasi, phlebitis atau extravasasi karena pasien anak cenderung banyak gerak dan belum bisa diarahkan. Hal ini sangat esensial dilakukan pada pasien anak, mengingat tindakan infus merupakan pengalaman yang menyakitkan dan traumatis bagi anak, sehingga sedapat mungkin dihindarkan penusukan berkali-kali akibat kurangnya perhatian perawat dalam memantau kepatenan jalur infus. Untuk keberhasilan program rehidrasi dan menghindari terjadinya trauma pada anak, pemantauan kepatenan jalur infus seharusnya dilakukan minimal 4 jam sekali.

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN Dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak diare dengan masalah keperawatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tindakan keperawatan yang diberikan tidak hanya berfokus pada pemberian rehidrasi cairan dan elektrolit saja, melainkan perlu pula diperhatikan monitoring terhadap kepatenan jalur infus, kecepatan pemberian cairan tiap 4 jam, vital signs tiap 1-2 jam, juga perlu dilakukan pengukuran ulang kadar elektrolit serum sesudah pemberian cairan parenteral. Dengan demikian adanya tanda-tanda dehidrasi maupun kelebihan cairan dan elektrolit dapat segera diketahui dan ditangani lebih awal. B. SARAN 1. Perlu diaktifkan kembali pengukuran vital signs sesuai protap yang telah ada, yaitu meliputi suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah. 2. Perlu adanya kesepakatan di natara perawat jaga tentang pemantauan tetesan dan kepatenan jalur infus tiap 4 jam dan melibatkan keluarga dalam upaya pemantauan ini. 3. Perlu adanya kesepakatan antara perawat dan dokter tentang pemantauan kadar elektrolit serum pada pasien yang mendapatkan terapi cairan parenteral, khususnya pasien diare.

DAFTAR PUSTAKA 1. Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 2. Jakarta, EGC. 2. Horne, Swearingen. (2002). Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam-Basa, Edisi 2. Jakarta, EGC. 3. Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta, EGC. 4. Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan Anak, Edisi 2. Jakarta, CV Sagung Seto. 5. Staf Pengajar IKA FKUI. (1985). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Vol. 2. Jakarta, FKUI.

Anda mungkin juga menyukai