Anda di halaman 1dari 23

Congenital Hypertrophic Pyloric Stenosis

PENDAHULUAN Pilorus Hipertrofi Stenosis Kongenital (Congenital Hypertrophic Pyloric Stenosis) adalah suatu kelainan bedah anak yang menyebabkan muntah pada neonatus. Kelainan yang terjadi yaitu adanya hipertrofi otot sirkuler pilorus yang terbatas (jarang berlanjut ke otot gaster). Hal ini menyebabkan penyempitan kanal pilorus oleh kompresi lipatan-lipatan longitudinal dari mukosa dan pemanjangan pilorus. Obstruksi apertura gastrik menyebabkan muntah yang nonbilious dan menyemprot. (1,2) Muntah merupakan tanda kegagalan proses pengosongan lambung yang mengakibatkan dehidrasi berat, gangguan elektrolit, gangguan

keseimbangan asam basa, penurunan berat badan dan dapat berlanjut syok. Salah satu penyebab CHPS diduga karena gangguan koordinasi antara gerakan peristaltik gaster dan relaksasi pilorus. (1,2) Beberapa peneltian menyatakan angka kejadian CHPS diperkirakan mendekati 2 sampai 4 kasus per seribu angka kelahiran hidup. CHPS untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Hildanus pada tahun 1646, namun deskripsi klinis yang lebih jelas mengenai keadaan ini diungkapkan oleh Hirschsprung di tahun 1888. Sejak saat itu berbagai upaya pemahaman akan diagnosis dan penanganan CHPS mulai berkembang dan mengalami kemajuan yang cukup pesat, terutama dalam bidang kedokteran bedah,

walaupun penyebab dan mekanisme patofisiologi keadaan ini secara pasti masih belum dapat diketahui hingga saat ini.
(2,4)

Berdasarkan beberapa penelitian di dunia didapatkan angka kematian akibat CHPS diperkirakan mencapai sekitar 50-75% sebelum tahun 1912, ketika piloromiotomi belum diperkenalkan. CHPS telah berhasil ditangani selama beberapa dekade dengan teknik bedah Ramstedt pyloromyotomi ekstramukosal, yang merupakan gold-standart penatalaksanaan CHPS didukung dengan perawatan sebelum dan sesudah operasi yang adekuat. Dengan demikian didapatkan angka kematian CHPS menjadi sangat menurun dengan jumlah yang diperkirakan kurang dari 1 % dan saat ini CHPS tidak lagi dianggap sebagai suatu keadaan yang bersifat mengancam kehidupan serta tidak termasuk dalam situasi kegawat-daruratan bedah.(3,5)

INSIDENS Insidens CHPS diperkirakan sebanyak 2 sampai 4 kasus dalam tiap 1000 angka kelahiran hidup dalam 1 tahun pada kebanyakan populasi kulit putih, terutama ras kaukasia di Eropa bagian Utara. Keadaan ini lebih jarang ditemukan diantara populasi orang kulit hitam dan asia dengan frekuensi kejadian berkisar di angka 1 sampai 3 kasus dari 1000 angka kelahiran hidup tiap tahunnya.(4,6) Beberapa penelitian menduga kuat adanya predisposisi genetik pada suatu CHPS. Penderita laki-laki lebih banyak ditemukan daripada perempuan

dengan perbandingan sekitar 4-6:1, dimana anak laki-laki pertama memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami keadaan ini. Riwayat keturunan dalam keluarga dianggap berkaitan dimana didapatkan orang tua (ibu atau ayah) yang pernah mengalami suatu Hipertropi Pilorus stenosis (HPS) memiliki sekitar 5-20 % anak laki-laki dan 3-7% anak perempuan dengan resiko tinggi CHPS. Berdasarkan penelitian sebelumnya anak dari seorang ibu yang menderita HPS memiliki resiko sekitar 3-4 kali lebih sering untuk mengalami CHPS dibandingkan anak dengan ayah yang menderita HPS.
(1,4,6)

EMBRIOLOGI Permulaan suatu saluran cerna terbentuk dari lipatan embrio ke arah lateral dan cranio-caudal selama masa kehamilan pada minggu ketiga dan empat. Selama proses ini, permulaan lapisan endodermal membentuk saluran bagian inferior yang dikelilingi oleh splanchnicus mesodermal. Kemudian differensiasi endodermal ke bagian permukaan, epitel grandular sel, differensiasi mesodermal ke dalam otot polos, dan perlekatan dengan peritoneal akan muncul pada minggu enam atau delapan masa kehamilan disertai pertumbuhan dari sel-sel neuroendokrin lambung. (2,7) Secara nyata, lambung dimulai sebagai dilatasi dari usus bagian depan, yang muncul pada sekitar minggu 5 masa gestasi. Lambung dan dudodenum menggantung diantara bagian posterior dan anterior dinding

perut oleh mesenterium bagian dorsal dan ventral. Selama minggu 6-10 masa gestasi lambung berotasi menjadi dua bagian. Rotasi 90 derajat muncul disekitar axis longitudinal yang searah jarum jam. Proses ini kemudian membentuk lengkungan dari lambung ke arah inferior dan sebelah kiri midline. Hubungan antara esofagus dan lambung (Gastroesophageal Junction) terletak di bagian superior ke arah kiri, pilorus berpindah letak secara inferior ke kanan midline, kemudian mesogastrium dorsal menjadi ligamentum gastroplenikum, omentum, dan akhirnya membentuk ligamentum gastrohepatikum. Rotasi yang kedua adalah ke arah vagal trunk

menghasilkan vagus kiri menginervasi dinding lambung anterior dan hepar, sedangkan vagus kanan menginervasi dinding lambung posterior, usus halus, dan retroperitoneum. (7,8,16)

(Kepustakaan 16) Gambar 1. A, B, dan C, Rotasi lambung muncul disekitar axis longitudinal searah jarum jam. D dan E. Rotasi lambung disekitar axis anteroposterior

ANATOMI Lambung terdiri dari beberapa bagian, yaitu : cardia yang mengelilingi gastroesophageal junction, fundus yang membangun chephalad dari gastroesophageal junction , corpus yang merupakan bagian terbesar dari lambung, dan antrum. Lapisan otot luar yang longitudinal, sirkuler pada intermediate, dan oblique di bagian dalam akan menyusun tiga lapisan otot dari dinding lambung. Dinding lambung neonatus sangat tipis pada permulaannya, namun akan tumbuh dan berkembang dengan cepat pada periode postnatal sebagai respon terhadap aktivitas pergerakan lambung berhubungan dengan pemberian makanan melalui mulut. (7,8)

(kepustakaan 4) Gambar 2. Lambung

ETIOLOGI Penyebab pasti dari CHPS belum dapat diketahui secara pasti hingga saat ini. Berdasarkan beberapa penelitian yang mendapatkan meningkatnya angka resiko CHPS berkaitan dengan hubungan keluarga dan jenis kelamin diduga secara kuat bahwa faktor genetik berperan dalam kejadian CHPS. Selain itu, CHPS dilaporkan pula berkaitan dengan pola makan, stress maternal dimana terjadi kecemasan berlebihan pada ibu hamil yang akan melahirkan bayi pertamanya dapat meningkatkan aktivitas nervus vagus untuk menghasilkan hormon gastrin diduga mencetuskan terjadinya CHPS pada bayi yang akan dilahirkannya, berat badan lahir bayi besar. Penelitian terbaru mengidentifikasi beberapa jenis antibiotik juga diduga menjadi pencetus terjadinya CHPS misalnya pemberian eritromisin pada bayi berumur 3-12 hari pertama untuk pengobatan pertusis, adanya hubungan antara penggunaan eritromisin oral dengan kejadian CHPS terutama jika

diberikan dalam dosis tinggi yang akan menyebabkan kontraksi lambung yang tidak tersebar sehingga dapat menyebabkan hipertrofi dari pilorus.
(1,3,9)

PATOLOGI Kelainan yang mendasari terjadinya suatu CHPS masih belum dapat dijelaskan secara pasti hingga saat ini. Dari beberapa pemeriksaan didapatkan adanya hipertrofi pada otot pilorus tanpa disertai hiperplasia,

dimana hal ini mengakibatkan terbentuknya suatu massa fusiform ataupun bulbous. Pilorus diketahui memiliki konsistensi yang kenyal. Dari spesimen yang diambil dari bayi berusia kurang dari 1 minggu sampai 10 hari, didapatkan keadaan mukosa dan submukosa yang normal. Penekanan yang terjadi melalui kemampuan pembukaan yang kecil akan mengakibatkan terjadinya udem pada mukosa serta peningkatan jumlah leukosit pada lapisan ini. Iritasi mekanik juga dapat mengakibatkan penebalan mukosa sehingga terjadi pengurangan ukuran pembukaan pilorus. Kemungkinan besar, hal inilah yang menyebabkan gejala-gejala obstruksi tidak tampak sampai pasien berusia sekitar dua atau tiga minggu postnatal walaupun dianggap bahwa pembesaran otot pilorus telah ada sejak lahir. (1,2,4,9,10)

(Kepustakaan 4) Gambar 3. Antrum pilorum pada CHPS. Tampak penebalan otot pada lumen pilorus (tanda panah)

Berbagai

penelitian

terus

dilakukan

hingga

saat

ini

guna

mengidentifikasi proses patologi sebenarnya pada CHPS. Beberapa diantaranya berhasil mengemukakan hipotesa mengenai keadaan ini, diantaranya adalah Belding dan Kernohan menyatakan adanya penurunan dalam jumlah ganglion dan serabut saraf pada pilorus yang dikemukakan sebagai suatu proses degeneratif. Kemudian Friesen et. all., mengamati dan menyatakan bahwa jumlah sel ganglion tidak mengalami penurunan (berkurang) dalam jumlah yang besar, akan tetapi sel ini belum cukup matang dan gagal dalam berkembang. Sedangkan hasil penelitian Zuelzer menyatakan hal yang berbeda dimana tidak ditemukan adanya suatu perubahan-perubahan signifikan yang terjadi pada sel-sel ganglion pilorus lambung. (4,8)

(kepustakaan 2) Gambar 4. Spesimen Histopatologi pasien dengan CHPS (H and E x 25) Tampak adanya hyperplasia mukosa yang ditandai dengan adaya elongasi dan percabangan (panah hitam), serta tampak terjadinya edema pada lamina propia (panah putih)

(Kepustakaan 2) Gambar 5. Spesimen Histopatologi pasien dengan CHPS (H and E x 6,25) Tampak mukosa yang hiperplastik dengan pinggiran kripte dan pembesaran sel epitel dengan sitoplasma supranuclear (panah).

MANIFESTASI KLINIS A. Anamnesa Onset manifestasi klinis dari CHPS sangat jarang muncul segera setelah kelahiran (awal kelahiran) biasanya gejala akan tampak paling cepat pada hari ke empat atau ke lima postnatal dan paling lama dalam jangka waktu 5 bulan postnatal. Dari beberapa penelitian didapatkan hanya sekitar 4 % kasus IMPS dengan onset manifestasi klinis pada usia dibawah 3 bulan. Muntah merupakan gejala klinis yang khas terjadi pada CHPS. Pada permulaan timbulnya muntah sedikit lebih sering daripada regurgitasi setelah makan dan bersifat tidak menyemprot (proyektil), kemudian dalam waktu yang cukup singkat frekuensi muntah yang awalnya tidak terlalu sering akan

timbul hampir setiap saat setelah bayi diberi makan dimana muntahnya bersifat menyemprot (proyektil) mulai umur 2-3 minggu, muntah tidak pernah berwarna hijau (nonbilious vomiting). Bayi senantiasa menangis sesudah muntah dan akan muntah kembali setelah makan. Cairan muntah jarang disertai darah, namun hal ini dapat ditemukan jika terjadi rupturnya pembuluh kapiler kecil pada mukosa lambung akibat muntah yang berulang. Bayi biasanya tampak sangat kelaparan karena setiap makanan yang masuk akan selalu dimuntahkan kembali. Dengan demikian akan terjadi penurunan dalam kualitas pemberian intake oral yang mengakibatkan bayi mengalami dehidrasi ringan sampai berat sehingga terjadi penurunan berat badan yang cepat, susah buang air besar (konstipasi) dan kurangnya produksi kencing. Kebanyakan bayi dengan CHPS dibawa ke rumah sakit sudah dalam keadaan dehidrasi yang cukup berat sehingga membutuhkan penanganan segera resusitasi cairan yang adekuat. (1,5,7,8) B. Pemeriksaan Fisis Pada pemeriksaan fisis inspeksi abdomen diamati adanya gerakan peristaltik lambung terlihat di perut bagian atas dan teraba tumor di daerah epigastrium atau hipokondrium kanan, biasanya selama dan setelah pemberian intake oral. Gerakan peristaltik lambung akan terlihat berjalan dari perut bagian kuadran atas sebelah kiri ke kanan. Selain itu perut bayi sering tampak distended terutama setelah pemberian makan. Pada pemeriksaan palpasi abdomen di kuadran atas sebelah kanan dengan menggunakan satu

jari dapat dirasakan adanya pembesaran pada pilorus yang teraba seperti "Olive" (bentuk buah zaitun) yang khas ditemukan pada kasus CHPS.(1,5,8,11)

(Kepustakaan 1)
Gambar 6. Sesuai gambaran hypertrofi pilori stenosis

PEMERIKSAAN PENUNJANG Diagnosis CHPS ditegakkan berdasarkan anamnesa yang jelas dan lengkap. Anamnesa dapat dilakukan secara allo-anamnesa melalui orang tua/keluarga pasien yang mengetahui persis tentang keadaan pasien yang sebenarnya. Kemudian dilanjut dengan ditemukannya tanda-tanda khas pada pemeriksaan fisis yang sesuai dengan gambaran suatu CHPS seperti yang telah dijelaskan diatas. Setelah anamnesa dan pemeriksaan fisis, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan. Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penunjang pilihan guna menentukan diagnosis suatu CHPS. Terdapat berbagai macam jenis pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan

saat ini, namun yang menjadi pemeriksaan pilihan untuk kasus CHPS diantaranya adalah sebagai berikut: (1,2,4,10,11) 1. Foto Abdomen Foto abdomen merupakan jenis pemeriksaan radiologi yang paling sederhana untuk membantu diagnosis suatu CHPS dan telah digunakan sejak lama sebelum ditemukannya metode sonografi hingga saat ini. Pada pemeriksaan foto abdomen tanpa kontras akan tampak lambung yang besar, dilatasi dan berisi gas disertai gas yang relatif sedikit pada intestinum dibawah pilorus. Jika keadaan lambung sulit dinilai dengan foto polos maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan foto abdomen dengan menggunakan kontras barium yang ditambahkan pada makanan formula. Dengan adanya kontras dapat terlihat lambung yang jelas membesar dengan ujung yang agak membulat karena antrum yang menggembung dan membengkok. Yang sering terjadi pada banyak kasus adalah material kontras tampak berjalan melalui lebih dari satu mukosa pembungkus sehingga tampak tanda double track yang dianggap sebagai suatu

pylorospasme CHPS.(4,5)

yang merupakan

salah satu

diagnosis banding

(Kepustakaan 2) Gambar 7. Hipertrofi Pilori Stenosis, foto abdomen dengan kontras, tampak double track sign (panah hitam), A = Antrum

2. Ultrasonography (USG) USG merupakan pemeriksaan radiologi pilihan dalam

mengevaluasi suatu CHPS. Di tangan seorang sonographer yang berpengalaman, pemeriksaan ini memiliki sensitivitas (91-99%) dan spesifitas 100 %. Pilorus diamati secara longitudinal dan transversal. Tanda untuk CHPS pada pemeriksaan USG dapat diamati melalui panjang pilorus,diameter pilorus, dan penebalan otot pilorus. Kriteria diagnosis CHPS adalah jika diameter pilorus lebih dari 14 mm

penebalan ototnya lebih dari 4 mm, sedangkan panjang pilorus 16 mm. Dengan pemeriksaan USG juga dapat di observasi aktivitas

peristaltik yang membedakan antara CHPS yang sebenarnya dengan suatu pylorospasme. (1,2,4,11)

Gambar 8. Longitudinal Sonogram, bayi laki-laki dengan CHPS. Tampak dua lapisan, yaitu mukosa yang menebal (panah putih) yang dikelilingi komponen otot (panah hitam putih). Mukosa tampak masuk ke dalam dan dibentuk batasnya oleh cairan pada antrum. (Kepustakaan 2)

Gambar 9. Transversal Sonogram, bayi laki-laki dengan CHPS. Tampak mukosa pembungkus pilorus yang berlebihan (panah putih) diantara komponen otot pilorus (panah hitam putih) (Kepustakaan 2)

3. Endoskopi Saluran Cema Atas Berdasarkan beberapa penelitian terbaru dikatakan bahwa endoskopi dapat digunakan untuk evaluasi lebih jauh keadaan lumen

pilorus pada CHPS, Kriteria diagnosa CHPS pada endoskopi adalah berupa penyempitan (cauliflower like) pada jalan masuk didaerah pilorus. Endoskopi merupakan pemeriksaan tambahan yang dapat digunakan dalam suatu keadaan dimana pemeriksaan radiologi yang sebelumnya tidak dapat dipastikan dan bayi datang dengan

manifestasi klinis yang atipikal untuk suatu CHPS. (2,4)

(Kepustakaan 4) (a)
Gambar 10 (a). Gambaran endoskopi pilorus yang membuka secara normal

(b)
Gambar 10 (b). Endoskopi pasien dengan CHPS tampak mukosa pilorus (M) masuk ke dalam antrum pilorus (A)

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Dalam keadaan dimana pemeriksaan sonography sulit dinilai akibat berbagai macam hal, seperti penumpukan gas yang berlebihan

dilambung, maka pemeriksaan MRI dapat dilakukan guna membantu menunjang diagnosis, walaupun hingga saat ini MRI masih sangat jarang digunakan untuk mendiagnosis CHPS mengingat biaya pemeriksaan yang relatif mahal dan pemeriksaan gastrointestinal pada bayi dapat dibilang cukup susah dilakukan dengan MRI.
(11,12)

(a)

(b)

(Kepustakaan 12) (c)

Gambar 11. Hasil MRI pada pasien dengan CHPS. Tampak dilatasi dari lambung dan hipertrofi pilorus (a). Potongan Axial, HASTE (HALF-fourier single shot Turbo spin Echo) (b). Potongan sagital (c). Potongan Coronal, TSE

PENATALAKSANAAN Bayi dengan diagnosis CHPS biasanya datang ke rumah sakit dalam keadaan dehidrasi sedang-berat akibat muntah hebat yang berulang dan terus-menerus. Bayi dengan ketidakseimbangan elektrolit ataupun dehidrasi yang berat membutuhkan penanganan berupa koreksi elektrolit dan cairan

secepatnya. Berdasarkan beratnya dehidrasi, bayi biasanya diresusitasi dengan solusi normal saline hampir dua kali lipat dari volume maintenance sampai bayi buang air. Kemudian ditambahkan potassium ke cairan intravenous yang telah diubah menjadi setengah volume normal saline pada 1,5 kali maintenance. Tindakan resusitasi cairan dan elektrolit kemungkinan besar membutuhkan waktu hingga 48 jam atau lebih. Solusi Ringers Lactated (RL) tidak digunakan dalam keadaan ini. Pemasangan NGT juga dihindari karena dapat mengakibatkan kehilangan elektrolit yang lebih banyak lagi. Ketika dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit telah teratasi dengan-baik oleh tindakan resusitasi yang adekuat, maka pasien siap untuk menjalani terapi pembedahan. Sedangkan bayi dengan dehidrasi yang kurang dari 5% dan tidak mengalami gangguan elektrolit merupakan kandidat untuk menjalankan terapi bedah tanpa penundaaan.(5,8,13,14) Sampai saat ini penatalaksanaan bedah berupa pyloromyotomi merupakan terapi pilihan utama dalam menangani keadaan CHPS dan diawali dengan tindakan resusitasi cairan yang adekuat. Pyloromyotomi diperkenalkan oleh Ramstedt (1912) . Teknik Ramstedt dimulai dengan insisi transversal pada kuadran atas sebelah kanan regio abdomen. Kemudian dilakukan identifikasi lambung sampai ditemukan pilorus. Pilorus yang hipertrofi di insisi dari sambungan gastro-duodenal dan melewati luas bagian tumor secara hati-hati, jangan sampai menganggu mukosa gaster atau duodenum. Otot yang telah diinsisi dipotong lebih luas dengan pisau turnpul.

Mukosa yang intak menonjol diantara batas otot yang sudah terpisah. Pilorus yang telas terpisah dipegang pada tiap sisi pyloromyotomi dan pelan-pelan dimanipulasi untuk konfirmasi pemisahan otot yang komplit. Pilorus kemudian dikembalikan ke dalam abdomen setelah dipastikan tidak ada perdarahan dan kebocoran.(13,14)

(kepustakaan 1)
Gambar 12. Teknik Ramstedt, Pyloromyotomi. Insisi diatas Serosa pilorus yang hipertrofi dan seluruh otot yang hipertrofi dipisahkan

Seiring dengan kemajuan dalam dunia kedokteran terutama dalam ilmu bedah, maka teknik operasi yang lebih cepat dan sederhana semakin dikembangkan diantaranya adalah teknik pyloromyotomi dengan laparoskopi. Tekhnik ini menggunakan suatu umbilikal teleskop. Dengan laparoskopi tindakan operasi menjadi lebih mudah, praktis, sederhana, cepat, dengan biaya yang terjangkau. (13,15)

surgical

(kepustakaan 15) Gambar 13. Laparoskopi Pyloromyotomi PROGNOSIS Dengan penanganan yang tepat maka CHPS dapat diatasi dengan baik. Secara keseluruhan angka kematian hanya sekitar 0,3%. Komplikasi yang sering terjadi adalah pasca tindakan operasi, seperti perforasi

lambung/duodenum ataupun pemisahan serat otot yang tidak bagus. Namun dengan diagnosis awal dan manajemen penatalaksanaan yang tepat didukung penanganan pre-operatif dan post-operatif yang adekuat maka komplikasi ke keadaan yang lebih buruk dapat dihindari. CHPS merupakan salah satu keadaan yang sangat jarang bersifat berulang (rekurens),(1,6,11,13,14)

DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumadewi A, Wirawan A, Nurmantu F. Congenital Hyperthrophyc Pyloric Stenosis. Case Report; 86-90 [Online]. 2009 April June. [citied 2010 May]. Available from: http://www.google.com 2. Schulman HM, Lowe HL, et al. In Vivo Visualization of Pyloric Mucosal Hypertrophy in Infants with Hypertrophic Pyloric Stenosis. AJR 2001; 177:843-848. [Online]. 2001 April 19. [Cited 2010 May]. Available from: http://www.ajronline.org 3. Prasad R. Laparoscopic Pyloromyotomy. In : Lobe ET, editor. Pediatric Laparoscopy, USA: Landes Bioscience; 2003.p.51-4. 4. Schulman HM. Infantile Hypertrophic Pyloric Stenosis. Radiology 2003;227:319-331. [On Line]. 2003 March 13. [Cited 2010 May]. Available from : http://radiology.rsnajnls.org 5. Gross ER. Congenital Hypertrophic Pyloric Stenosis. In : The Surgery Of Infancy And Childhood Its Principles And Techniques, London: W.B.Saunders Company.2000.p. 130-143. 6. Fox R, Bambini AD. Hypertrophic Pyloric Stenosis. In : Arensman MR, et al. editors. Pediatric Surgery, USA: Landes Bioscience; 2000.p.85-9. 7. Magnuson KD, Schwartz ZM. Stomach And Duodenum. In : Oldham KT, et 1. editors. Principles And Practice Of Pediatric Surgery Volume 2, 4th Edition, USA: Lippmcott Williams & Wilkins; 2005. p. 1150-80. 8. Benson DC, Adelman S. Stomach And Duodenum, Prepyloric And Pyloric Obstruction. In : Ravitch MM, Welch JK, et al. editors. Pediatric Surgery Volume 2, 3rd Edition. London: Medical Publisher Inc.; 2000.p.884-911. 9. Persson S, Ekbom A, Granath F, Nordenskjold A. Parallel Incidences of Sudden Infant Death Syndrome and Infantile Hypertrophic Pyloric

Stenosis: A Common Cause?. Pediatrics 2001;108;e70. [On Line] 2008 May 19. [Cited 2008 May] Available from:

http://www.pediatrics.org 10. Gilchrist B, Lessin SM. Lessions Of The Stomach. In: Ashcraft WK, Holcomb WG, Murphy PJ, editors. Pediatric Surgery, 4th Edition. Missouri: Elsevier Saunders;2003.p.405-15. 11. Irish MS. Hypertrophic Pyloric Stenosis. [On Line] 2009 June. [Citied 2010 May]. Available from : http://www.emedicine.com 12. Arslan H, Bay A, et al. Hypertropic Pyloric Stenosis MR Findings. Eur J Gen Med 2006; 3(4): 186-189. [On Line] 2006. [Cited 2010 May]. Available from : http://pediatrics.aappublications.org 13. Anonymous. Guidelines For Surgical Treatment Of Infantile

Hypertrophic Pyloric Stenosis. [On Line] 2002 November. [Cited 2010 May]. Available from : http://www.ipeg.org/guidelines/pyloric.html 14. Fujimoto T. Hypertrophic Pyloric Stenosis. In : Puri P, Hollwart M, editors. Pediatric Surgery. Germany: Springer; 2006. p. 171-80. 15. Kazemi DR. Infatile Hypertrophic Pyloric Stenosis. [On Line] 2008. [Cited 2010 May]. Available from: http://www.greenjournal.org 16. Sadler TW. Digestive System. In : Langmans Medical Embyology 8th Edition, Montana: p.288-295

BAGIAN BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFERAT MEI 2010

CONGENITAL HYPERTROPHIC PYLORIC STENOSIS

Disusun Oleh: Sulaiman 110201122 Pembimbing: dr. Lindayanti Tanzil Supervisor Pembimbing: Dr. Ahmad Wirawan, Sp.B, Sp.BA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010

Anda mungkin juga menyukai