Anda di halaman 1dari 4

MASTITIS PADA SAPI PERAH Oleh : Drh. Imbang Dwi Rahayu, Mkes.

Staf Pengajar Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang Pendahuluan Radang ambing (mastitis) pada sapi perah merupakan radang yang bisa bersifat aku t, subakut maupun kronis, yang ditandai oleh kenaikan sel di dalam air susu, per ubahan fisik maupun susunan air susu dan disertai atau tanpa disertai patologis pada kelenjar mammae. Staphylococcus aureus (S. aureus) dan Streptococcus agalactiae (Str. Aga lactiae) merupakan bakteri penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbu lkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat penurunan produkai susu. Berdasark an uji sensitifitas terhadap berbagai antibiotik diketahui bahwa sebagian besar S. aureus telah resisten terhadap oksasilin (87,5%) dan eritromisin (71,97%) dan ada beberapa isolate yang juga resisten terhadap tetrasiklin (37,46%), ampisill in (25%) dan gentamisin (21,87%) (Salasia dkk, 2005). Proses mastitis hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting (sphincter puting). Sphincter puting berfun gsi untuk menahan infeksi kuman. Pada dasarnya, kelenjar mammae sudah dilengkapi perangkat pertahanan, sehingga air susu tetap steril. Perangkat pertahanan yang dimiliki oleh kelenjar mammae, antara lain : perangkat pertahanan mekanis, selu ler dan perangkat pertahanan yang tidak tersifat (non spesifik). Tingkat pertahanan kelenjar mammae mencapai titik terendah saat sesudah pemerahan, karena sphincter masih terbuka beberapa saat, sel darah putih, ant ibodi serta enzim juga habis, ikut terperah. Pencegahan terhadap mastitis ditempuh melalui dipping puting sehabis p emerahan dengan antiseptika, antara lain: alkohol 70 %, Chlorhexidine 0,5%, kapo rit 4% dan Iodophor 0,5 - 1% (Subronto dan Tjahadjati, 2001). Sebagaimana antibiotik, antiseptika juga bisa menyebabkan resistensi bak teri, sehingga perlu dipikirkan alternatif pemecahan guna mengatasi mastitis den gan antibiotik alami yang diekstrak dari tanaman, seperti Aloe barbadensis Mille r, yang aman, tanpa menimbulkan resistensi bakteri dan residu antibiotik dalam s usu, baik sebagai olesan pada puting maupun bentuk infusi intramammae. Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, ba ik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubah an patologis pada kelenjar (Subronto, 2003). Akoso (1996) menyatakan bahwa pada sapi, mastitis sering terjadi pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis kuman. Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain : kehilangan produksi susu, kualitas dan kuantitas susu berkurang, banyak sapi yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai 30% atau 15% p er sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar dalam industri sapi per ah. Faktor Penyebab Mastitis Resistensi atau kepekaan terhadap mastitis pada sapi, kambing atau domba bersifa t menurun. Gen- gen yang menurun akan menentukan ukuran dan struktur puting (Sw artz, et al., 2006) Sori et al (2005) menyatakan bahwa saat periode kering adalah saat awal kuman penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagosi tosis dari neutrofil pada ambing. Dinyatakan lebih lanjut oleh Akoso (1996), bahwa berbagai jenis bakteri telah di ketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain : Streptococcus aga lactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepidemicus, Staphylococcus aureu s, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Ditamba

hkan oleh Swartz (2006) bahwa yeast dan fungi juga sering menginfeksi ambing, n amun biasanya menyebabkan mastitis subklinis. Hasil penelitian di Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa hasil peme riksaan susu dengan metode CMTdari 180 ekor sapi perah lokal Zebu dan persilang an, prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor (16,11%) merupakan mast itis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis subklinis. Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi per ah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi s usu (Salasia dkk., 2005). Disamping faktor -faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya te rjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi radang ambing di lihat dari segi ternak, meliputi : bentuk ambing, misalnya ambing yang sangat m enggantung, atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar (Subronto, 2003). Bentuk puting, ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastiti s. Hasil penelitian Sori et al (2005) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pad a puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan p ada puting normal sebesar 47,74%. Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri, belakang dan ka nan, depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan mencapai 30,06% (Sori et al., 2005) Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur p ula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendor memungkinkan sapi mu dah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infe ksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semaki n lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna (Subronto, 2003). Faktor bangsa sapi bisa mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan oleh Sori et al ( 2005), bahwa kejadian mastitis pada sapi persilangan (Crossbreed) lebih bes ar dari pada sapi lokal. Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi : pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang , ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pada ventilasi jelek, mas titis mencapai 87,5%, ventilasi yang baik mencapai 49,39% (Sori et al., 2005). Staphylococcus aureus Brooks (2005), menyatakan bahwa Staphylococcus adalah bakteri gram posit if, bentuk kokus dengan susunan berpasangan atau bergerombol, seperti anggur. Be rsifat aerobik atau anaerobik fakultatif, katalase positif, oksidase negatif, be rsifat non motil, tidak membentuk spora. Staphylococcus tumbuh dengan cepat pad a beberapa tipe media dan aktif melakukan metabolisme serta melakukan fermentasi karbohidrat. Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam pigmen, dari warna puti h hingga kuning gelap. Staphylococcus aureus mayoritas ditemukan di berbagai tempat pada tubuh ternak, antara lain : kelenjar mammae yang terinfeksi, saluran puting, lesi-lesi pada puting, kulit puting, vagina, cekung hidung dan moncong. Pada kulit puting yang sehat, tidak ditemukan bakteri ini, tetapi bakteri ini mudah masuk ke salu ran puting lewat luka dekat puting. Organisme ini bermultiplikasi pada lesi-lesi , berkolonisasi dalam saluran puting dan memasuki kelenjar mammae (Jones, 1998). Staphylococcus aureus merupakan bakteri penyebab utama mastitis pada sap i dan kejadian mastitis sering diasosiasikan dengan infeksi S. aureus. Bakteri i ni sering menyebabkan mastitis subklinis dan kronis. Diantara 56 ekor sapi perah di peternakan sapi perah Baturaden, 41 ekor (73,2%) menderita mastitis subklini s dan 9,1 % diantaranya disebabkan oleh S. aureus (Salasia dkk., 2005). Ditambah kan oleh Wahyuni dkk (2005), bahwa kejadian mastitis subklinis di Indonesia sang at tinggi, yaitu sebesar 95-98% dan banyak menimbulkan kerugian. Staphylococcus yang patogen sering menghemolisis darah, mengkoagulasi pl asma dan menghasilkan berbagai enzim ekstraseluler dan toksin. Staphylococcus c

epat menjadi resisten terhadap beberapa antimikroba dan hal ini merupakan masala h besar pada terapi (Brooks, 2005). Gejala Klinis Subronto (2003) menyatakan bahwa secara klinis radang ambing dapat berla ngsung secara akut, subakut dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apab ila gejala-gejala klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada pr oses radang yang bersifat akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : ke bengkakan ambing, panas saat diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan tergangguny a fungsi. Air susu berubah sifat, seperti : pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Proses yang berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas, namun derajatnya lebih ringa n, ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses berlan gsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu per iode laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atrop i kelenjar mammae. Gambar 1. menampilkan gejala klinis pada sapi perah laktasi . Gambar 1. Mastitis perakut disebabkan Staphylococcus aureus pada sapi perah laktasi umur lima tahun. Cara penularan Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari kuarter terin feksi ke kuarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemer ah dan lalat (Jones, 1998). Diagnosis Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu, perub ahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunak an California Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus (Akoso, 1996 ). Subronto (2003) menambahkan diagnosis mastitis bisa dilakukan dengan Whitesid e Test. Kontrol Jones (1998) mengemukakan bahwa guna mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara lain : Meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetra si bakteri ke saluran puting. Air susu pancaran pertama saat pemerahan ditampung di strip cup dan diamati terh adap ada tidaknya mastitis. Pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU ( 3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda untuk setiap ekor sapi, da n pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan (Sutarn o, 2000). Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terh adap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan ?-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan k ejadian mastitis. Pengobatan Lay dan Hastowo (2000) menyatakan bahwa sebelum menjalankan pengobatan s ebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap p enicillin disebabkan oleh adanya ?- laktamase yang akan menguraikan cincin ?- la ktam yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis sebaiknya meng gunakan : Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol. Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria bis a mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamet hasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan pertumbuhan bak teri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan (Swartz, 2006) Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin (Sori et al. , 2005)

Dinyatakan oleh Wall (2006), bahwa strategi efektif untuk mencegah dan m engatasi mastitis yang disebabkan oleh Staphilococcus aureus masih sukar dipaham i. Dilaporkan oleh Soeripto (2002), bahwa bakteri Staphylococcus sp dan Streptoc occus sp yang diisolasi dari kasus mastitis sapi telah banyak yang multi resiste n terhadap beberapa antibakterial. Penggunaan antibiotik untuk mengatasi mastiti s juga telah banyak merugikan masyarakat konsumen, karena susu mengandung residu antibiotik bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Dilaporkan oleh Wahyuni dkk (2005), bahwa akibat penggunaan antibiotik p ada setiap kasus mastitis, yang mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu adanya residu antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta mempen garuhi pengolahan susu. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri gram pos itif juga makin sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah bany ak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya pencegahan dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri. Middleton dan Foxt (2001) melaporkan bahwa penggunaan infus intramammari a dengan 120 ml, 5% Povidone-Iodine (0,5% Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita mastitis akibat Staphylococcus aureus menunjukkan hasil ya ng sangat memuaskan, karena 100% (7 ekor) penderita bisa memproduksi susu kembal i pada laktasi berikutnya. Sedangkan terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5 ekor). Mean milk Weight (kg) pada terapi Iodine lebih besar daripada terapi dengan Chlorhexidine. Sekresi susu dari kuartir yang dibe ri Iodine tidak mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangka n pada infusi dengan Chlorhexidine ternyata mengandung residu antibiotik.

Anda mungkin juga menyukai