Anda di halaman 1dari 23

TRAUMA GINJAL Pendahuluan Ginjal terletak di rongga retroperitonium dan terlindung oleh otot-otot punggung di sebelah posterior dan

oleh organ-organ intraperitoneal di sebelah anteriornya. Karena itu cedera ginjal tidak jarang diikuti oleh cedera organ-organ yang mengitarinya. trauma ginjal merupakan trauma terbanyak pada sistem urogenital, lebih kurang 10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal. Abdominal trauma merupakan cedera ke bagian perut. Mungkin tumpul atau tajam dan mungkin melibatkan kerusakan pada Abdominal organ. Tanda-tanda dan gejala meliputi nyeri pada perut, kesakitan, kaku, dan lebam dari perut eksternal. Abdominal trauma menyajikan risiko berat kehilangan darah dan infeksi. Diagnosa mungkin melibatkan ultrasonography, Computed Tomography, dan Peritoneal lavage, dan mungkin memerlukan perawatan operasi. Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai macam rudapaksa baik tumpul maupun tajam.

Penyebab Trauma Cedera ginjal dapat terjadi secara (1) langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang atau (2) tidak langsung yaitu merupakan cedera deselerasi akibat pergerakan ginjal secara tiba-tiba di dalam rongga retroperitonium. Goncangan ginjal di dalam rongga retroperitonium menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan memacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan trombosis arteri renalis beserta cabang-cabangnya. Cedera ginjal dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, antara lain hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal. Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal , yaitu 1. Trauma tajam 2. Trauma iatrogenik 3. Trauma tumpul Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman pada abdomen bagian atas atau pinggang merupakan 10 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia. Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography, percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin meningkatnya popularitas dari teknik teknik di

atas, insidens trauma iatrogenik semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL. Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal . Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Dengan lajunya pembangunan, penambahan ruas jalan dan jumlah kendaraan, kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas juga semakin meningkat. Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.

Trauma ginjal deselerasi

Trauma ginjal tumpul Ada beberapa faktor yang turut menyebebkan terjadinya trauma ginjal. Ginjal yang relatif mobile dapat bergerak mengenai costae atau corpus vertebrae, baik karena trauma langsung ataupun tidak langsung akibat deselerasi. Kedua, trauma yang demikian dapat menyebabkan peningkatan tekanan subcortical dan intracaliceal yang cepat sehingga mengakibatkan terjadinya ruptur. Yang ketiga adalah keadaan patologis dari ginjal itu sendiri. Sebagai tambahan, jika base line dari tekanan intrapelvis meningkat maka kenaikan sedikit saja dari tekanan tersebut sudah dapat menyebabkan terjadinya trauma ginjal. Hal ini menjelaskan mengapa pada pasien yang yang memiliki kelainan pada ginjalnya mudah terjadi trauma ginjal.

Klasifikasi Trauma Tujuan pengklasifikasian trauma ginjal adalah untuk memberikan pegangan dalam terapi dan prognosis. Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan menjadi (1) cedera minor, (2) cedera mayor, (3) cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% termasuk cedera mayor (derajat III dan IV), dan 1% termasuk cedera pedikel ginjal. Klasifikasi trauma ginjal menurut Sargeant dan Marquadt yang dimodifikasi oleh Federle :

Derajat

Jenis kerusakan Kontusio ginjal. Minor laserasi korteks dan medulla tanpa gangguan pada sistem pelviocalices. Hematom minor dari subcapsular atau perinefron (kadang kadang). 75 80 % dari keseluruhan trauma ginjal. - Laserasi parenkim yang berhubungan dengan tubulus kolektivus sehingga terjadi extravasasi urine. - Sering terjadi hematom perinefron. Luka yang terjadi biasanya dalam dan meluas sampai ke medulla. 10 15 % dari keseluruhan trauma ginjal. - Laserasi ginjal sampai pada medulla ginjal, mungkin terdapat trombosis arteri segmentalis. - Trauma pada vaskularisasi pedikel ginjal 5 % dari keseluruhan trauma ginjal - Laserasi sampai mengenai kalikes ginjal. - Laserasi dari pelvis renal - Avulsi pedikel ginjal, mungkin terjadi trombosis arteri renalis.

Grade I

Grade II

Grade III

Grade IV

Grade V

- Ginjal terbelah (shattered). Diagnosis Kecurigaan terhadap adanya cedera ginjal jika terdapat: 1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah, dan perut bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah itu. 2. Hematuria. 3. Fraktur costa sebelah bawah (T8-T12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra. 4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang. 5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan lalu lintas. Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya. Perlu ditanyakan mekanisme cedera untuk memperkirakan luas kerusakan yang terjadi. Pada trauma derajat ringan mungkin hanya didapatkan nyeri di daerah pinggang, terlihat jejas berupa ekimosis, dan terdapat hematuria makroskopik ataupun mikroskopik. Pada trauma mayor atau ruptur pedikel seringkali pasien dating dalam keadaan syok berat dan terdapat hematom di daerah pinggang yang makin lama makin membesar. Dalam keadaan ini mungkin pasien tidak sempat menjalani pemeriksaan PIV karena usaha untuk memperbaiki hemodinamik seringkali tidak membuahkan hasil akibat perdarahan yang keluar dari ginjal cukup deras. Untuk itu perlu segera dilakukan eksplorasi laparotomi untuk menghentikan perdarahan.

Pencitraan Jenis pencitraan yang diperiksa tergantung pada keadaan klinis dan fasilitas yang dimiliki oleh klinik yang bersangkutan.Pemeriksaan dimulai dari IVP guna menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal kontralateral. IVP dilakukan jika diduga ada (1) luka tusuk atau luka tembak yang mengenai ginjal, (2) cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria makroskopik, dan (3) cedera tumpul ginjal yang memberikan tanda-tanda hematuria mikroskopik dengan disertai syok. Pemeriksaan USG juga dapat dilakukan untuk menemukan adanya kontusio parenkim ginjal atau hematoma subkapsuler dan dapat pula diperlihatkan adanya robekan kapsul ginjal. CT scan dapat menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal, ekstravasasi kontras yang luas, dan adanya nekrosis jaringan ginjal serta mendeteksi adanya trauma pada organ lain.

Komplikasi Jika tidak mendapatkan perawatan yang cepat dan tepat, trauma mayor dan trauma pedikel sering menimbulkan perdarahan yang hebat dan berakhir dengan kematian. Selain itu kebocoran system kaliks dapat menimbulkan ekstravasasi urine hingga menimbulkan urinoma, abses perirenal, urosepsis, dan kadang menimbulkan fistula renokutan. Dikemudian hari pasca cedera ginjal dapat menimbulkan penyulit berupa hipertensi, hidronefrosis, urolitiasis, atau pielonefritis kronis.

Penatalaksanaan Pada setiap trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus dipikirkan untuk melakukan tindakan eksplorasi, tetapi pada trauma tumpul, sebagian besar tidak memerlukan operasi. Terapi pada trauma ginjal adalah: 1. Konservatif Tindakan konservatif ditujukan pada trauma minor. Dilakukan observasi tandatanda vital, kemungkinan adanya penambahan massa di pinggang, adanya pembesaran lingkaran perut, penurunan kadar haemoglobin darah, dan perubahan warna urine. Jika selama tindakan konservatif terdapat tanda-tanda perdarahan atau kebocoran urine yang menimbulkan infeksi, harus segera dilakukan tindakan operasi. 2. Operasi Operasi ditujukan pada trauma ginjal mayor dengan tujuan untuk segera menghentikan perdarahan. Indikasi eksplorasi ginjal, yaitu syok yang tidak teratasi dan syok berulang. Selanjutnya perlu dilakukan debridement, reparasi ginjal atau tidak jarang harus dilakukan nefrektomi parsial bahkan nefrektomi total karena kerusakan ginjal yang sangat berat.

Minggu, 01 April 2012 ASKEP TRAUMA TUMPUL ABDOMEN ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA TUMPUL ABDOMEN

PENGERTIAN Trauma tumpul abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen. (Temuh Ilmiah Perawat Bedah Indonesia, 13 Juli 200)

ETIOLOGI / FAKTOR PENYEBAB Kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian.

ANATOMI DAN FISIOLOGI Abdomen ialah rongga terbesar dalam tubuh. Bentuk lonjong dan meluas dari atas diafragma sampai pelvis dibawah. Rongga abdomen dilukiskan menjadi dua bagian abdomen yang sebenarnya, yaitu rongga sebelah atas dan yang lebih besar, dan pelvis yaitu rongga sebelah bawah dab kecil. Batasan batasan abdomen. Di atas, diafragma, Di bawah, pintu masuk panggul dari panggul besar. Di depan dan kedua sisi, otot otot abdominal, tulang tulang illiaka dan iga iga sebelah bawah. Di belakang, tulang punggung, dan otot psoas dan quadratrus lumborum. Isi Abdomen. Sebagaian besar dari saluran pencernaan, yaitu lambung, usus halus, dan usus besar. Hati menempati bagian atas, terletak di bawah diafragma, dan menutupi lambung dan bagian pertama usus halus. Kandung empedu terletak dibawah hati. Pankreas terletak dibelakang lambung, dan limpa terletak dibagian ujung pancreas. Ginjal dan kelenjar suprarenal berada diatas dinding posterior abdomen. Ureter berjalan melalui abdomen dari ginjal. Aorta abdominalis, vena kava inferior, reseptakulum khili dan sebagaian dari saluran torasika terletak didalam abdomen. Pembuluh limfe dan kelenjar limfe, urat saraf, peritoneum dan lemak juga dijumpai dalam rongga ini.

PATHOFISIOLOGI Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalulintas, penganiayaan, kecelakaan olah raga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor faktor fisik dari kekuatan tersebut dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya perbedaan pergerakan dari

jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting. Trauma juga tergantung pada elastitisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut.. Beratnya trauma yang terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme : Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga. Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau struktur tulang dinding thoraks. Terjadi gaya akselerasi deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek pada organ dan pedikel vaskuler.

DAMPAK MASALAH TERHADAP KLIEN Setiap musibah yang dihadapi seseorang akan selalu menimbulkan dampak masalah baik bio psiko- social-spiritual yang dapat mempengaruhi kesehatan dan perubahan pola kehidupan. Dampak dari pre operasi : Dampak pada fisik : Pola Pernapasan : Keadaan ventilasi pernapasan terganggu jika terdapat gangguan / instabilitasi cardiovaskuler, respirasi dan kelainan kelainan neurologis akibat multiple trauma. Penyebab yang lain adalah perdarahan didalam rongga abdominal yang menyebabkan distended sehingga menekan diafragma yang akan mempengaruhi ekspansi rongga thoraks. Pada sirkulasi Perdarahan dalam rongga abdomen karena cidera dari oragan organ abdominal yang padat maupun berongga atau terputusnya pembuluh darah, sehingga tubuh kehilangan darah dalam waktu singkat yang mengakibatkan shock hipovolemik dimana sisa darah tidak cukup mengisi rongga pembuluh darah. Perubahan perfusi jaringan Penurunan perfusi jaringan disebabkan karena suplai darah yang dipompakan jantung ke seluruh tubuh berkurang / tidak mencukupi kesesuaian kebutuhan akibat dari shock hipovolemic.

Penurunan Volume cairan tubuh. Perdarahan akut akan mempengaruhi keseimbangan cairan di dalam tubuh, dimana cairan intra celluler (ICF), Extracelluler (ECF) diantaranya adalah cairan yang berada di dalam pembuluh darah (IV) dan cairan yang berada di dalam jaringan di antara sel - sel (ISF) akan mengalami defisit atau hipovolemia. Kerusakan Integritas kulit. Trauma benda tumpul dan tajam akan menimbulkan kerusakan dan terputusnya jaringan kulit atau yang dibagian dalamnya diantaranya pembuluh darah, persyarafan dan otot didaerah trauma. Dampak Psikologis : Perasaan cemas dan takut akan menyelimuti diri pasien, hal ini disebabkan karena musibah yang dialaminya dan kurangnya informasi tentang tindakan pengobatan dengan jalan pembedahan / operasi. Dampak Sosial : Mengingat dana yang dibutuhkan untuk tindakan pembedahan tidak sedikit dan harga obat obatan yang cukup tinggi, hal ini akan mempengaruhi kondisi ekonomi dan membutuhkan waktu yang amat segera (sempit)

ASUHAN KEPERAWATAN Pengkajian Dalam pengkajian pada trauma abdomen harus berdasarkan prinsip prinsip Penanggulangan Penderita Gawat Darurat yang mempunyai skala prioritas A (Airway), B (Breathing), C (Circulation). Hal ini dikarenakan trauma abdomen harus dianggap sebagai dari multi trauma dan dalam pengkajiannya tidak terpaku pada abdomennya saja. Anamnesa Biodata Keluhan Utama Keluhan yang dirasakan sakit. Hal spesifik dengan penyebab dari traumanya. Riwayat penyakit sekarang (Trauma) Penyebab dari traumanya dikarenakan benda tumpul atau peluru. Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa dan bagaimana posisinya saat jatuh.

Kapan kejadianya dan jam berapa kejadiannya. Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri, bagaimana sifatnya pada quadran mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit sekali. Riwayat Penyakit yang lalu Kemungkinan pasien sebelumnya pernah menderita gangguan jiwa. Apakah pasien menderita penyakit asthma atau diabetesmellitus dan gangguan faal hemostasis. Riwayat psikososial spiritual Persepsi pasien terhadap musibah yang dialami. Apakah musibah tersebut mengganggu emosi dan mental. Adakah kemungkinan percobaan bunuh diri (tentamen-suicide). Pemeriksaan Fisik Sistim Pernapasan Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada dada serta jalan napasnya. Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan tertinggal. Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak. Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi. 1.2.2 Sistim cardivaskuler (B2 = blead) Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari daerah abdominal dan adakah anemis. Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan bagaimana suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah denyut jantung paradoks. Sistim Neurologis (B3 = Brain) Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di kepala. Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) Sistim Gatrointestinal (B4 = bowel) Pada inspeksi : Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.

Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam cavum abdomen. Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak. Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa, kemungkinan adanya abdomen iritasi. Pada palpasi : Adakah spasme / defance mascular dan abdomen. Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa. Kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya. Pada perkusi : Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana. Kemungkinan kemungkinan adanya cairan / udara bebas dalam cavum abdomen. Pada Auskultasi : Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus atau menghilang. Pada rectal toucher : Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan. Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum. Sistim Urologi ( B5 = bladder) Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah distensi pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine dan warnanya. Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya distensi. Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria. Sistim Tulang dan Otot ( B6 = Bone ) Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama daerah pelvis. Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis. Pemeriksaan Penunjang : Radiologi : Foto BOF (Buick Oversic Foto) Bila perlu thoraks foto.

USG (Ultrasonografi) Laboratorium : Darah lengkap dan sample darah (untuk transfusi) Disini terpenting Hb serial jam sekali sebanyak 3 kali. Urine lengkap (terutama ery dalam urine) Elektro Kardiogram Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien usia lebih 40 tahun. Diagnosa Keperawatan Adapun masalah perawatan yang actual maupun potensial pada penderita pre operatis trauma tumpul abdomen adalah sebagai berikut : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan terputusnya pembuluh darah arteri / vena suatu jaringan (organ abdomen) yang ditandai dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen. Perubahan perfusi jaringan sehubngan dengan hypovolemia, penurunan suplai darah ke seluruh tubuh yang ditandai dengan suhu kulit bagian akral dingin, capillary refill lebih dari 3 detik dan produksi urine kurang dari 30 ml/jam. Nyeri sehubungan dengan rusaknya jaringan lunak / organ abdomen yang ditandai dengan pasien menyatakan sakit bila perutnya ditekan, nampak menyeringai kesakitan. Cemas sehubungan dengan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan yang ditandai dengan pasien menyatakan kekhawatirannya terhadap pembedahan, ekspresi wajah tegang dan gelisah. Kurangnya pengetahuan tentang pembedahan yang akan dilakukan sehubungan dengan kurangnya informasi / informasi inadquat yang itandai dengan pasien bertanya tentang dampak dari musibah yang dialami dan akibat dari pembedahan.

Perencanaan Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan terputusnya pembuluh darah arteri / vena suatu jaringan (organ abdomen) yang ditandai dengan adanya perdarahan, jejas atau luka dan distensi abdomen. Tujuan : Keseimbangan cairan tubuh teratasi. Sirkulasi dinamik (perdarahan) dapat diatasi.

Kriteria Hasil : Cairan yang keluar seimbang , tidak didapat gejala gejala dehidrasi. Perdarahan yang keluar dapat berhenti, tidak didapat anemis, Hb diatas 80 gr % Tanda vital dalam batas normal. Perkusi : Tidak didapatkan distensi abdomen. Rencana Tindakan : Kaji tentang cairan perdarahan yang keluar adakah gambaran klinik hipovolemic Jelaskan tentang sebab akibat dari kekurangan cairan / perdarahan serta tindakan yang akan kita lakukan. Observasi gejala gejala vital, suhu, nadi, tensi, respirasi dan kesadaran pasien setiap 15 menit atau 30 menit. Batasi pergerakan yang tidak berguna dan menambah perdarahan yang keluar. Kolaborasi dengan tim medis dalam pelaksanaan : Pemberian cairan infus (RL) sesuai dengan kondisi. Menghentikan perdarahan bila didapat trauma tajam dengan jalan didrug (ditekan) atau diklem / ligasi. Pemasangan magslang dan katheter + uro bag. Pemberian transfusi bila Hb kurang dari 8 gr %. Pemasangan lingkar abdomen. Pemeriksaan EKG. Kolaborasi dengan tim radiology dalam pemeriksaan (BOF) dan foto thoraks. Kolaborasi dengan tim analis dalam pemeriksaan (DL : darah lengkap) (Hb serial) dan urine lengkap. Monitoring setiap tindakan perawatan / medis yang dilakukan serta catat dilembar observasi. Monitoring cairan yang masuk dan keluar serta perdarahan yang keluar dan catat dilembar observasi. Motivasi kepada klien dan keluarga tentang tindakan perawatan / medis selanjutnya. Perubahan perfusi jaringan sehubungan dengan hypovolemia, penurunan suplai darah ke seluruh tubuh yang ditandai dengan suhu kulit bagian akral dingin, capillary refill lebih dari 3 detik dan produksi urine kurang dari 30 ml/jam.

Tujuan : Tidak terjadi / mempertahankan perfusi jaringan dalam kondisi normal. Kriteria hasil : Status haemodinamik dalam kondisi normal dan stabil. Suhu dan warna kulit bagian akral hangat dan kemerahan. Capillary reffil kurang dari 3 detik. Produksi urine lebih dari 30 ml/jam. Rencana Tindakan Kaji dan monitoring kondisi pasien termasuk Airway, Breathing dan Circulation serta kontrol adanya perdarahan. Lakukan pemeriksaan Glasgow Coma scale (GCS) dan pupil. Observasi tanda tanda vital setiap 15 menit. Lakukan pemeriksaan Capillary reffil, warna kulit dan kehangatan bagian akral. Kolaborasi dalam pemberian cairan infus. Monitoring input dan out put terutama produksi urine. Nyeri sehubungan dengan rusaknya jaringan lunak / organ abdomen yang ditandai dengan pasien menyatakan sakit bila perutnya ditekan, nampak menyeringai kesakitan. Tujuan : Rasa nyeri yang dialami klien berkurang / hilang. Kriteria hasil : Klien mengatakan nyerinya berkurang atau hilang. Klien nampak tidak menyeringai kesakitan. Tanda tanda vital dalam batas normal. Rencana Tindakan : Kaji tentang kualitas, intensitas dan penyebaran nyeri. Beri penjelasan tentang sebab dan akibat nyeri, serta jelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan. Berikan posisi pasien yang nyaman dan hindari pergerakan yang dapat menimbulkan rangsangan nyeri.

Berikan tekhnik relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan jalan tarik napas panjang dan dikeluarkan secara perlahan lahan. Observasi tanda tanda vital, suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgesik bilamana dibutuhkan, (lihat penyebab utama) Cemas sehubungan dengan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan yang ditandai dengan pasien menyatakan kekhawatirannya terhadap pembedahan, ekspresi wajah tegang dan gelisah. Tujuan : Kecemasan dapat diatasi. Kriteria hasil : Klien mengatakan tidak cemas. Ekspresi wajah klien tampak tenang dan tidak gelisah. Klien dapat menggunakan koping mekanisme yang efektif secara fisik psiko untuk mengurangi kecemasan. Rencana Tindakan : Indetifikasi tingkat kecemasan dan persepsi klien seperti takut dan cemas serta rasa kekhawatirannya. Kaji tingkat pengetahuan klien terhadap musibah yang dihadapi dan pengobatan pembedahan yang akan dilakukan. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya. Berikan perhatian dan menjawab semua pertanyaan klien untuk membantu mengungkapkan perasaannya. Observasi tanda tanda kecemasan baik verbal dan non verbal. Berikan penjelasan setiap tindakan persiapan pembedahan sesuai dengan prosedur. Berikan dorongan moral dan sentuhan therapeutic. Berikan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang sederhana tentang pengobatan pembedahan dan tujuan tindakan tersebut kepada klien beserta keluarga. Kurangnya pengetahuan tentang pembedahan yang akan dilakukan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang sebab dan akibat dari trauma serta dampak dari pembedahan yang ditandai dengan pasien / keluarga sering bertanya dari petugas yang satu ke petugas yang lain, klien / keluarga nampak belum kooperatif.

Tujuan : Klien / keluarga mengerti dan memahami tentang tindakan pembedahan yang akan dilakukan. Kriteria hasil : Klien / keluarga memahami prosedur dan tindakan yang akan dilakukan. Klien kooperatif setiap tindakan yang terkait dengan persiapan pembedahan. Rencana Tindakan : Kaji tingkat pengetahuan klien / keluarga. Jelaskan secara sederhana tentang pengobatan yang dilakukan dengan jalan pembedahan. Diskusikan tentang hal hal yang berhubungan dengan prosedur pembedahan dan proses penyembuhan. Berikan perhatian dan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya. Anjurkan klien untuk berpartisipasi selama dalam perawatan. Lakukan check list untuk persiapan pre operasi antara lain informed consent, alat/obat dan persiapan darah untuk transfusi.

Pelaksanaan Perawatan Dalam pelaksanaan sesuai dengan rencana perawatan dengan modifikasi sesuai dengan kondisi pasien dan kondisi ruangan dan asuhan perawatan yang telah dilakukan di tulis pada lembar catata perawatan sesuai dengan tanggal, jam, serta tanda tangan, nama yang melakukan.

Evaluasi Evaluasi dilaksanakan setiap saat setelah rencana perawatan dilakukan serta ssat pasien pindah dari IRD, sedangkan cara melakukan evaluasi sesuai dengan criteria keberhasilan pada tujuan rencana perawatan. Dengan demikian evaluasi dapat dilakukan sesuai dengan criteria / sasaran secara rinci di tulis pada lembar catatan perkembangan yang berisikan S-O-A-P-I-E-R (data Subyek, Obyek, Assesment, Implemetasi, Evaluasi dan Revisi.). Dari catatan perkembangan ini seorang perawat dapat mengetahui beberapa hal antara lain : Apakah datanya sudah relevan dengan kondisi saat ini. Apakah ada data tambahan selama melaksanakan intervensi (perencanaan perawatan). Adakah tujuan perencanaan yang belum tercapai.

Tujuan perencanaan perawatan manakah yang belum tercapai. Apakah perlu adanya perubahan dalam perencanaan perawatan. KATETERISASI SISTEM UROGENITAL Pengertian Tindakan kateterisasi urine merupakan tindakan invasif dan dapat menimbulkan rasa nyeri, sehingga jika dikerjakan dengan cara yang keliru akan menimbulkan kerusakan uretra yang permanen (Kozier, Erb, dan Oliveri 1991, Basuki, B.Purnomo,2003). Kateterisasi urine adalah tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine. Kateterisasi dapat menyebabkan hal - hal yang mengganggu kesehatan sehingga hanya dilakukan bila benar - benar diperlukan serta harus dilakukan dengan hati hati ( Brockop dan Marrie, 1999 ). Kateterisasi merupakan suatu tindakan untuk mengalirkan urin melalui selang kateter yang dimasukkan melalui uretra untuk mengatasi retensi urin dan menghindari komplikasi. Kateterisasi urine adalah memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra kedalam kandung kemih Kateterisasi urinari adalah tindakan penggunaan selang catether pada saluran eliminasi urin seseorang dengan melakukan tindakan secara aseptik yang ketat dan hanya dilakukan jika sangat diperlukan. Penggunaan kateter urinari biasanya dilakukan dengan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui urethra ke dalam kandung kemih. Jika kateter telah dipasang, maka sistem ini harus benar-benar tertutup. Kateter ini dialiri hanya jika sangat perlu untuk mempertahankan patensinya. Jenis pemasangan Kateter Menurut ( Brockop dan Marrie, 1999 ) Jenis jenis pemasangan kateter urine terdiri dari : Indewelling catheteter yang biasa disebut juga dengan retensi kateter / folley cateter indewelling catheter dibuat sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kandung kemih. Intermitten catheter yang digunakan untuk jangka waktu yang pendek ( 5-10 menit ) dan klien dapat diajarkan untuk memasang dan melepas sendiri. Suprapubik catheter kadang - kadang digunakan untuk pemakaian secara permanent. Cara memasukan kateter dengan jenis ini dengan membuat sayatan kecil diatas suprapubik Saat ini ukuran kateter yang biasanya dipergunakan adalah ukuran dengan kalibrasi French ( FR ) atau disebut juga Charriere ( CH ). Ukuran tersebut didasarkan atas ukuran diameter lingkaran kateter tersebut misalkan 18 FR atau CH 18 mempunyai diameter 6 mm dengan patokan setiap ukuran 1 FR = CH 1 berdiameter 0,33 mm. Diameter yang diukur adalah diameter pemukaan luar kateter. Besar kecilnya diameter kateter yang digunakan ditentukan oleh tujuan pemasangan kateter urine tersebut untuk klien dewasa,ukuran kateter urine yang biasa digunakan adalah 16-19 FR. Kateter yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai diameter lumen yang sama karena perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter tersebut. Bahan kateter dapat berasal dari logam ( Stainlles ), karet ( Latteks ), latteks dengan lapiasan silicon ( Siliconized ). Perbedaan bahan kateter menentukan biokompabiliti kateter didalam buli-buli sehingga akan mempengaruhi daya tahan kateter yang terpasang di buli - buli.

Ruang lingkup 1. Semua penderita yang datang dengan keluhan berupa tidak bisa kencing. 2. Dalam kaitan penegakan diagnosis dan pengobatan, diperlukan disiplin ilmu yang terkait yaitu Radiologi. Indikasi penggunaan kateter: 1. Untuk menyembuhkan retensi urin 2. Mengurangi tekanan pada kandung kemih 3. Memudahkan pengobatan dengan operasi 4. Mempercepat pemulihan jaringan setelah operasi 5. Memasukkan obat ke dalam kandung kemih 6. Mengukur outpit urin secara tepat 7. Mengukur output residual 8. Memvisualisasikan struktur anatomi secara radiografis Menurut ( Brockop dan Marrie, 1999 ) pemasangan kateter urine dapat dilakukan untuk diagnosis maupun sebagai terapi. Indikasi pemasangan kateter urine untuk diagnosis adalah sebagai berikut : Untuk mengambil sample urine guna pemeriksaan kultur mikrobiologi dengan menghindari kontaminasi. Pengukuran residual urine dengan cara, melakukan regular kateterisasi pada klien segera setelah mengakhiri miksinya dan kemudian diukur jumlah urine yang keluar. Untuk pemeriksaan cystografi, kontras dimasukan dalam kandung kemih melalui kateter. Untuk pemeriksaan urodinamik yaitu cystometri dan uretral profil pressure. Indikasi Pemasangan Kateter urine sebagai Terapi adalah : Dipakai dalam beberapa operasi traktus urinarius bagian bawah seperti secsio alta, repair reflek vesico urethal, prostatatoktomi sebagai drainage kandung kemih. Mengatasi obstruksi infra vesikal seperti pada BPH, adanya bekuan darah dalam buli-buli, striktur pasca bedah dan proses inflamasi pada urethra. Penanganan incontinensia urine dengan intermitten self catheterization. Pada tindakan kateterisasi bersih mandiri berkala ( KBMB ). Memasukan obat-obat intravesika antara lain sitostatika / antipiretika untuk buli - buli. Sebagai splint setelah operasi rekontruksi urethra untuk tujuan stabilisasi urethra, Indikasi operasi - Retensio urin - Sebagai bagian dari persiapan pra operasi Kontra indikasi operasi: Ruptur urethra

Prosedur kateterisasi Tujuan 1. Menghilangkan distensi kandung kemih 2. Mendapatkan spesimen urine 3. Mengkaji jumlah residu urine, jika kandung kemih tidak mampu sepenuhnya dikosongkan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Persiapan a. Persiapan pasien Mengucapkan salam terapeutik Memperkenalkan diri Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilaksanakan. Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien/keluarganya Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam. Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi Privasi klien selama komunikasi dihargai. Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian serta respek selama berkomunikasi dan melakukan tindakan Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)

b.Persiapan alat 1. Bak instrumen berisi Poly kateter sesuai ukuran 1 buah (klien dewasa yang pertama kali dipasang kateter biasanya dipakai no. 16) Urine bag steril 1 buah Pinset anatomi 2 buah Duk steril Kassa steril yang diberi jelly 2. Sarung tangan steril 3. Kapas sublimat dalam kom tertutup 4. Perlak dan pengalasnya 1 buah 5. Sampiran 6. Cairan aquades atau Nacl 7. Plester 8. Gunting verband 9. Bengkok 1 buah 10. Korentang pada tempatnya

1. 1.

Kateterisasi pada pria

Prosedur Pasien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan, kemudian alat-alat didekatkan ke klien 2. Pasang sampiran 3. Cuci tangan 4. Pasang pengalas/perlak dibawah bokong klien 5. Pakaian bagian bawah klien dikeataskan/dilepas, dengan posisi klien terlentang. Kaki sedikit dibuka. Bengkok diletakkan didekat bokong klien. 6. Buka bak instrumen, pakai sarung tangan steril, pasang duk steril, lalu bersihkan alat genitalia dengan kapas sublimat dengan menggunakan pinset. 7. Bersihkan genitalia dengan cara : Penis dipegang dengan tangan non dominan penis dibersihkan dengan menggunakan kapas sublimat oleh tangan dominan dengan gerakan memutar dari meatus keluar. Tindakan bisa dilakukan beberapa kali hingga bersih. Letakkan pinset dalam bengkok 8. Ambil kateter kemudian olesi dengan jelly. Masukkan kateter kedalam uretra kira-kira 10 cm secara perlahan-lahan dengan menggunakan pinset sampai urine keluar. Masukkan cairan Nacl/aquades 20-30 cc atau sesuai ukuran yang tertulis. Tarik sedikit kateter. Apabila pada saat ditarik kateter terasa tertahan berarti kateter sudah masuk pada kandung kemih 9. Lepaskan duk, sambungkan kateter dengan urine bag. Lalu ikat disisi tempat tidur 10. Fiksasi kateter 11. Lepaskan sarung tangan 12. Klien dirapikan kembali 13. Alat dirapikan kembali 14. Mencuci tangan 15. Melaksanakan dokumentasi : Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien Catat tanggal dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien

2.

Kateterisasi pada wanita Prosedur Klien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan, kemudian alat-alat didekatkan ke pasien Pasang sampiran Cuci tangan Pasang pengalas/perlak dibawah bokong klien Pakaian bagian bawah klien dikeataskan/dilepas, dengan posisi klien lithotomi (kaki ditekuk dan Kaki sedikit dibuka). Bengkok diletakkan didekat bokong klien Buka bak instrumen, pakai sarung tangan steril, pasang duk steril, lalu bersihkan alat genitalia dengan kapas sublimat dengan menggunakan pinset.

1. 2. 3. 4. 5. 6.

7.

Bersihkan genitalia dengan cara : dengan tangan nondominan perawat membuka vulva kemudian tangan kanan memegang pinset dan mengambil satu buah kapas sublimat. Selanjutnya bersihkan labia mayora dari atas kebawah dimulai dari sebelah kiri lalu kanan, kapas dibuang dalam bengkok, kemudian bersihkan labia minora, klitoris, dan anus. Letakkan pinset pada bengkok. 8. Ambil kateter kemudian olesi dengan jelly. Masukkan kateter kedalam uretra kira-kira 10 cm secara perlahan-lahan dengan menggunakan pinset sampai urine keluar. Masukkan Cairan Nacl/aquades 20-30 cc atau sesuai ukuran yang tertulis di kateter. Tarik sedikit kateter. Apabila pada saat ditarik kateter terasa tertahan berarti kateter sudah masuk pada kandung kemih 9. Lepaskan duk, sambungkan kateter dengan urine bag. Lalu ikat disisi tempat tidur 10. Fiksasi kateter pada bagian sisi dalam paha klien 11. Klien dirapikan kembali 12. Alat dirapikan kembali 13. Mencuci tangan 14. Melaksanakan dokumentasi : Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien Catat tanggal dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien Diagnosis Banding - Retensio urin - Tumor suprapubic - Uterus pada kehamilan Pemeriksaan Penunjang Foto polos abdomen. Tehnik Operasi Secara singkat tehnik dari kateterisasi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Posisi terlentang 2. Desinfeksi lapangan tindakan dengan larutan antiseptik. 3. Lapangan tindakan dipersempit dengan linen steril. 4. Anestesi topikal pada penderita yang peka dengan jelly xylocaine 2-4% yang dimasukkan dengan spuit 20cc. 5. Kateter yang diolesi jelly steril dimasukkan ke dalam urethra. Pada penderita pria, kateter dimasukkan dengan halus sampai urin mengalir (selalu dicatat jumlah dan warna urin), kemudian balon dikembangkan sebesar 5-10 ml. 6. Bila diputuskan untuk menetap, kateter dihubungkan dengan kantong penampung steril dan dipertahankan sebagai sistem tertutup. 7. Kateter difiksasi dengan plester pada kulit paha proksimal atat di daerah inguinal dan diusahakan agar penis mengarah ke lateral, hal ini untuk mencegah nekrosis akinat tekanan pada bagian ventral urethra di daerah penoskrotal

Komplikasi operasi Komplikasi pasca bedah ialah urethritis, ruptur urehtra dan striktur urethra. Penggunaan kateter intermiten merupakan alternatif dibanding penggunaan kateter dalam waktu lama pada beberapa pasien. Ini meliputi masing-masing petugas perawat untuk memasukkan kateter dengan teknik aseptik atau pasien sendiri yang memasukkan kateter dengan menggunakan teknik pembersihan setiap 4-6 jam sesuai keperluan. Jika terjadi trauma pada sistem urinari, maka penggunaan kateter akan sangat penting hingga menghilangkan oedem kateterisasi intermiten membantu bagi pasien dengan neurogenik bladder yang harus diajarkan untuk memasang kateter sendiri. Perawat membantu pasien mengenali tempat urethra. Pasien tidak perlu menggunakan sarung tangan tetapi harus menggunakan peralatan yang telah dibersihkan menggunakan sabun dan air. Perawat mengajarkan kepada pasien bagaimana memasukkan kateter. Urin dialirkan kemudian kateter diambil kembali, kemudian peralatan ini dicuci dan disimpan. Pasien kemungkinan perlu memasangnya kembali setiap 4-6 jam atau jika ia merasa ingin membuang urin. Perawat dapat juga mengajarkan pada pasien bagaimana cara meraba kandung kemih yang sudah penuh. Nyeri merupakan keluhan utama yang sering dialami oleh pasien dengan kateterisasi urine karena tindakan memasukkan selang kateter dalam kandung kemih mempunyai resiko terjadinya infeksi atau trauma pada uretra. Resiko trauma berupa iritasi pada dinding uretra lebih sering terjadi pada pria karena keadaan uretranya yang lebih panjang daripada wanita dan membran mukosa yang melapisi dinding uretra memang sangat mudah rusak oleh pergesekan akibat dimasukkannya selang kateter juga lumen uretra yang lebih panjang (Wolff, Weitzel, dan Fuerst, 1984). Bahwa cara memasukkan jelly langsung kedalam uretra dapat mempengaruhi kecepatan pemasangan kateter sehingga mengurangi tingkat iritasi pada dinding uretra akibat pergesekan dengan kateter bila dibandingkan dengan cara pelumasan dengan melumuri jelly pada ujung kateter (Ferdinan, Tuti Pahria; 2003). Iritasi jaringan atau nekrosis dapat juga diakibatkan oleh pemakaian kateter yang ukurannya tidak sesuai besarnya orifisium uretra, kurangnya pemakaian jelly, penekanan yang berlebihan, misalnya memfiksasi terlalu erat dan penggunaan kateter intermiten yang terlalu sering dapat merusak jaringan kulit. Dampak nyeri sebagai akibat spasme otot spingter karena kateterisasi akan terjadi perdarahan dan kerusakan uretra yang dapat menyebabkan striktur uretra yang bersifat permanen hal ini akan memperberat penyakit serta memperpanjang hari perawatan pasien. Bila hal tersebut tidak segera mendapat perhatian, maka kejadian berbagai komplikasi dengan mekanisme yang belum diketahui berpeluang sangat besar. Dalam pelaksanaan tindakan kateterisasi urin, perawat biasanya melakukan pemilihan ukuran dengan cermat, sesuai dengan besar kecilnya diameter meatus urinarius. Meatus urinarius ini merupakan bagian yang paling luar dari uretra, yang paling tidak mengambarkan besar kecilnya lumen uretra. Selain itu untuk mengurangi pergesekan pada dinding uretra yang nantinya akan menyebabkan iritasi, perawat juga biasanya melumuri ujung kateter sepanjang 1518 cm dengan cairan kental berbentuk gel yang biasa disebut jelly. Penggunaan jelly dimaksudkan untuk mencegah spasme otot meatus uretra eksterna sehingga dapat mengurangi iritasi pada dinding uretra. Teknik pemberian jelly sendiri dapat memperbaiki

kualitas pelumasan dengan demikian sensasi nyeri yang timbul karena iritasi juga dapat dikurangi (Malcolm R. Colmer, 1986). Setiap prosedur pemasangan kateter harus diperhatikan prinsip-prinsip yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu; pemasangan kateter dilakukan secara aseptik dengan melakukan disinfeksi secukupnya memakai bahan yang tidak menimbulkan iritasi pada kulit genitalia dan jika perlu diberikan antibiotik seperlunya, diusahakan tidak menimbulkan rasa sakit pada pasien. Kateter menetap dipertahankan sesingkat mungkin sampai dilakukan tindakan definitif terhadap penyebab retensi urin, perlu diingat makin lama kateter dipasang makin besar kemungkinan terjadi penyulit berupa infeksi atau cedera uretra ( Basuki, B Purnomo,2003 ). Mortalitas Kurang dari 1% Perawatan Pasca Kateterisasi Minum banyak untuk menjamin diuresis Membersihkan ujung urethra dari sekret dan darah yang mengering agar pengaliran sekrit urethra tetap terjamin 3. Mengusahakan kantong penampung urin tidak melampaui ketinggian buli-buli agar urin tidak mengalir kembali kedalamnya. Follow-up Mengganti kateter nelaton tiap 2 atau kateter silikon tiap 6-8 minggu minggu bila memang masih diperlukan, untuk mencegah pembentukan batu. 1. 2. Perawatan kateter urine selama terpasang kateter Perawatan kateter urine sangat pentung dilakukan pada klien dengan tujuan untuk mengurangi dampak negatif dari pemasangan kateterisasi urine seperti infeksi dan radang pada saluran kemih, dampak lain yang mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar manusia perawatan yang dilakukan meliputi : menjaga kebersihan kateter dan alat vital kelamin, menjaga kantong penampumg urine dengan tidak meletakan lebih tinggi dari buli-buli dan tidak agar tidak terjadi aliran balik urine ke buli-buli dan tidak sering menimbulkan saluran penampung karena mempermudah masuknya kuman serta mengganti kateter dalam jangka waktu 7-12 hari. Semakin jarang kateter diganti, resiko infeksi makin tinggi, penggantian kateter urine tergantung dari bahan kateter urine tersebut sebagai contoh kateter urine dengan bahan latteks silicon paling lama dipakai 10 hari,sedang bahan silicon dapat dipakai selama 12 hari. Pada tahap pengangkatan kateterisasi urine perlu diperhatikan agar balon kateter urine telah kempis. Selain itu menganjurkan klien menarik nafas untuk mengurangi ketegangan otot sekitar saluran kemih sehingga kateterisasi urine dapat diangkat tanpa menyebabkan trauma berlebihan

DAFTAR PUSTAKA Reeves, Charlene J. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC http://nursingbegin.com/tag/kateterisasi-urine/ http://bedahumum.wordpress.com/2008/10/10/kateterisasi/ http://tupays.multiply.com/journal/item/2

Anda mungkin juga menyukai