Anda di halaman 1dari 17

BAB I PENDAHULUAN

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti serangan. Otak adalah struktur yang kompleks, terbuat dari jutaan sel saraf ( neurones). Otak mengkontrol banyak tugas, seperti kesadaran, gerakan, dan postur. Otak mengirim dan menerima pesan-pesan sehingga kegiatan-kegiatan ini terjadi. Jika ada kesalahan dalam pengiriman atau penerimaan pesan yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan sel saraf, beberapa atau bahkan seluruh fungsi otak akan berhenti untuk sementara. Jika itu terjadi, orang akan merasakan bangkitan epilepsi (seizure). Jadi secara klinis, suatu bangkitan dinyatakan epilepsi jika disebabkan oleh hiperaktifitas listrik di saraf otak, bukan karena penyakit otak akut (Epilepsi Indonesia, 2007). Epilepsi adalah sebuah sindrom, bukan sebuah penyakit. Keadaan ini bisa disebabkan oleh sebab apapun yang mempengaruhi korteks serebri. Epilepsi juga tidak selalu berciri kejang. Sebaliknya kejang tidak secara otomatis berarti epilepsi (Sudomo, 2004). Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka kepala, stroke, tumor otak, serta alkohol. Epilepsi mungkin dapat juga disebabkan oleh genetika, namun epilepsi bukan penyakit keturunan. Sampai saat ini penyebab pasti epilepsi belum diketahui (Epilepsi Indonesia, 2007). Kurang lebih 60% epilepsi termasuk jenis idiopatik maupun kriptogenik. Prevalensi sebesar 1% hampir seragam di beberapa negara. Sedangkan puncak serangan terjadi pada umur di bawah 16 tahun atau di atas 70 tahun (Sudomo, 2004). Penatalaksanaan epilepsi sendiri tidak hannya terapi medisinal. Terapi medisinal yang bertujuan untuk memberantas atau mengelola timbulnya serangan hanya merupakan salah satu aspek dari perawatan seorang penderita epilepsi. Penatalaksaan epilepsi sebenarnya terdiri dari penerangan tentang epilepsi, advis cara hidup sehari-hari, follow up, pemberian antikonvulsan dan advis mengenai tindakan-tindakan yang harus dikerjakan bila serangan epileptik bangkit. Sedangkan tujuan utama dari terapi farmakologik untuk epilepsi adalah mengendalikan serangan epilepsi dengan satu jenis obat. Sebisa mungkin dengan dosis terendah namun dapat mengendalikan epilepsi (lowest but best control) (Sudomo, 2004).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EPILEPSI A. DEFINISI Epilepsi adalah manifestasi gangguan fungsi (malfungsi) otak secara intermitten sebagai kondisi kronis hasil dari muatan listrik abnormal neuronneuron secara paroksismal akibat berbagai macam sebab selain penyakit otak akut (unprovoked) (Sudomo, 2004). Tahapan epilepsi meliputi: 1. Prodromal, terdapat perubahan perilaku maupun mood, timbul berjam-jam dan seringkali mendahului timbulnya serangan. 2. Aura, merupakan gejala sesaat sebelum serangan. 3. Ictus, yaitu serangan atau seizure itu sendiri. 4. Post ictal period, merupakan sesaat sesudah ictus, dimana pasien kadang bingung ataupun disorientasi. Sedangkan status epileptikus adalah serangan berkepanjangan tanpa disertai recovery (pemulihan kesadaran) dan berakhir lebih dari 30 menit atau dua serangan atau lebih tanpa disertai recovery diantara dua serangan (Sudomo, 2004). Namun kejang yang berlangsung lebih dari 5 menit sangat jarang berhenti dengan spontan, oleh karena itu dalam praktek sehari harus dianggap sebagai status epileptikus (Handryastuti, 2011).

B. ETIOLOGI 1. Idiopatik. Tidak diketahui dan diduga akibat kelainan genetik 2. Kriptogenik. Dicurigai akibat lesi pada otak 3. Simptomatik. Lesi otak dapat dikenal 4. Psikogenik 5. Multifaktorial. Merupakan gabungan dari kelainan genetik, faktor

predisposisi, kelainan metabolik maupun faktor mendadak akut. (Sudomo, 2004).

C. FAKTOR PRESIPITASI Faktor presipitasi adalah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, antara lain (Mansjoer, 2000): 1. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang

mengejutkan, air panas. 2. Faktor sistematis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik. 3. Faktor mentai: stres, gangguan emosi

D. KLASIFIKASI 1. Kejang parsial (fokal) a. Sederhana Disertai gejala motorik, autonomik, somatosensoris, psikis. Motorik : gerakan involunter otot salah satu anggota gerak, wajah, rahang bawah, pita suara dan kolumna vertebralis (badan berputar). Sensorik : merasakan nyeri, panas/dingin Autonom : mual, muntah, hiperhidrosis. Disebut dengan epilepsi Jackson dengan tanpa penurunan kesadaran tetap normal. Misalnya, serangan gejala defisit neurologik yang bersifat sensorik (parestesia, hipestesia, anestesia) disebut epilepsi Jackson sensorik. b. Kompleks 1) Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau tanpa automatism 2) Parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran dengan atau tanpa automatism. Awalnya kesadaran baik kemudian kesadaran menurun. 3) Sederhana yang berkembang menjadi umum sekunder Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik klonik 2. Kejang umum a. Bangkitan lena (absence)/petit mal dan atypical absence 3

Petit mal biasanya terjadi pada umur 4-8 tahun. Kesadaran hilang sejenak. Pada waktu kesadaran hilang beberapa detik, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Lamanya serangan antara 5-10 detik. Adakalanya timbul gerak otot wajah (facial twitching).Serangan petit mal akan berhenti ketika usia 20 tahun atau selambat-lambatnya pada umur menjelang 30 tahun. Ada kemungkinan petit mal berkembang menjadi grand mal. Atypical absence lama serangan 5-30 detik (> 10 detik) dengan awal dan akhir serangan perlahan berbeda dengan petit mal yang berawal dan berakhir seketika. b. Bangkitan mioklonik Mioklonik adalah gerakan involunter sekelompok otot skeletal yang timbul tiba-tiba dan berlangsung sejenak. Mioklonus terutama tubuh bagian atas disebut dengan miklonous jerking. c. Bangkitan klonik d. Bangkitan tonik Pada bangkitan tonik otot hanya menjadi kaku. e. Bangkitan tonik-klonik (grand mal) Secara tiba-tiba penderita jatuh sambil menjerit atau berteriak, untuk sesaat pernafasan berhenti dan seluruh tubuh menjadi kaku kemudian bangkit gerakan tonik-klonik, yaitu gerakan tonik (kaku) yang diselingi oleh relaksasi sehingga selama serangan grand mal tungkai tetap lurus namun secara ritmik terjadi fleksi ringan dan ekstensi kuat pada semua persendian anggota gerak. Kesadaran hilang saat penderita saat penderita jatuh. Air liur berbusa keluar dari mulut hasil kontraksi tonik-klonik wajah selama 1-2 menit, frekuensi dan intensitas konvulsi berkurang secara berangsurangsur hingga akhirnya berhenti. Setelah itu pasien akan tertidur tergantung berat/ringannya konvulsi. f. Bangkitan atonik Otot seluruh tubuh mendadak lemas kemudian jatuh. Kesadaran tetap baik atau menurun sesaat. 3. Kejang tidak tergolongkan

E. PATOFISIOLOGI Dasar serangan epilepsi ialah gangguan neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak, mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na, dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat di ruang ekstraselular. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensi membran. Biasanya membran sel dalam keadaan polarisasi yang dapat dipertahankan oleh adanya suatu proses metabolik aktif (pompa sodium) yang mengeluarkan ion Ca dan Na dari dalam sel (Sudomo, 2004). Berbagai faktor dapat mengubah atau mengganggu fungsi membran neuron, sehingga membran mudah dilewati oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intraselular. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan tidak terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi (Sudomo, 2004). Suatu sifat khas serangan epilepsi adalah setelah beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron di sekitar fokus epileptik. Selain itu juga sistemsistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yagn menjamin agar neuron-neuron tdak terus menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti adalah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat penting untuk fungsi otak, diantaranya oksigen, ATP, kreatin fosfat, dan neurotransmiter serta timbulnya zat-zat yang menyebabkan inhibisi seperti CO2, sisa-sisa metabolisme dan zat asam amino (Sudomo, 2004). Sedangkan hilangnya kesadaran pada serangan umum sering dikaitkan oleh adanya peningkatan aktivitas abnormal pada korteks asosiasi frontoparietal dan struktur sub kortikal yang berhubungan dengannya. Sedangkan

aktivitas yang abnormal pada lokasi diatas juga bisa menyebabkan hilangnya kesadaran, yaitu pada saat serangan partial kompleks (Sudomo, 2004). F. DIAGNOSIS 1. Anamnesa/aloanamnesa a. Fokalitas: dari penderita atau orang-orang yang pernah menyeksikan serangan epileptiknya harus didapati lukisan lengkap. Bila fokalitas sudah ditetapkan, maka interogasi harus diarahkan ke penentuan jenis serangan fokal. Bila unsur fokalitas tidak ada, maka jenis epilepsi umum idiopatik harus ditentukan. b. Riwayat keluarga yang dapat mengungkapkan adanya anggota keluarga yang epileptik. c. Riwayat penyakit dahulu yang dapat memberikan informasi tentang faktor kausatif yang relevan. d. Riwayat kehamilan dan kelahiran yang berhubungan dengan trauma lahir atau gangguan serebral dalam masa intrauterin. (Sudomo, 2004). 2. Pemeriksaan klinis umum 3. Pemeriksaan penunjang a. EEG Pada epilepsi gelombang yang muncul adalah gelombang abnormal, yaitu gelombang tajam (tajam lambat) dapat saat atau di luar serangan, dan gelombang paku ombak (paku lambat) b. Rontgen kepala fraktur? c. CT-scan infark? hematom? tumor? d. Laboratorium hipoglikemi? hiponatremi? Uremia? e. MRS (Magnetic Resonance Spectroscopy) f. Lumbal pungsi indikasi infeksi SSP akut

G. PENATALAKSANAAN Terapi medisinal yang bertujuan untuk memberantas atau mengelola timbulnya serangan hanya merupakan salah satu aspek dari perawatan seorang penderita epilepsi. Penatalaksaan epilepsi sebenarnya terdiri dari penerangan tentang epilepsi, advis cara hidup sehari-hari, follow up,

pemberian antikonvulsan dan advis mengenai tindakan-tindakan yang harus dikerjakan bila serangan epileptik bangkit. Sedangkan tujuan utama dari terapi farmakologik untuk epilepsi adalah mengendalikan serangan epilepsi dengan satu jenis obat. Sebisa mungkin dengan dosis terendah namun dapat mengendalikan epilepsi (lowest but best control) (Sudomo, 2004). 1. Kausatif terapi penyebab primer, misalnya tumor otak dan metabolik. 2. Drug of choice berdasarkan tipe kejang : Jenis Bangkitan Parsial Sederhana Kompleks Umum Sekunder Serangan Umum Tonik-klonik Fenitoin Fenobarbital Valproat Karbamazepin Absans/Lena Valproat Etosuksimid Asetazolamid, Klobazam,Felbamat, Lamotrigin,Topiramat Tonik, atonik,klonik Mioklonik Valproat Valproat Klobazam,Felbamat, Lamotrigin,Topiramat. Asetazolamid, klobazam,klonazepam, felbamat,lamotrigin, topiramat. Juvenile Myoclonic Valproat Topiramat,lamotrigin Pilihan Pertama Fenitoin Karbamazepin Fenobarbital Pilihan Kedua Klobazam,Gabapentin, Lamotrigin,Primidon, Tiagabin,Topiramat, Vigabatrin,Valproat Vigabatrin,Klobazam, Gabapentin,Lamotrigin, Primidon,Tiagabin, Topiramat

Sindrom Lennox-Gestaut

Topiramat Felbamat Lamotrigin

Valproat,fenobarbital, BZDs,ZNS

Sindrom West

Hormonal Valproat Vigabatrin

Topiramat,lamotrigin, ZNS,BZDs,piridoksin

a. Parsial Sederhana karbamazepin 20 mg/kgbb/hari, fenobarbital (luminal) 5 mg/kgbb/hari Kompleks karbamazepin 20 mg/kgbb/hari, fenobarbital 5

mg/kgbb/hari Umum sekunder sama dengan atas b. Umum Tonik klonik (grandmal) : asam valproat, karbamazepin 20

mg/kgbb/hari, fenitoin Mioklonik : asam valproat 60 mg/kgbb/hari Lena/petit mal : asam valproat 60 mg/kgbb/hari Pengobatan dihentikan setelah 2-5 tahun pasien bebas kejang, dilakukan secara perlahan selama beberapa bulan. 3. Pengobatan Psikososial Penjelasan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian besar akan bebas kejang. Penderita epilepsi juga dapat bermasyarakat secara normal. Pasien juga harus taat dan patuh terhadap pengobatan. H. PROGNOSIS Prognosis epilepsi tergantung dari beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, umur saat serangan pertama kali, lamanya dan ada tidaknya kelainan struktur otak. Pada umumnya prognosis epilepsi cukup baik. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya dimulai pada usia 3 tahun atau yang disertai dengan kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek (Sudomo, 2004).

BAB III KASUS DAN PEMBAHASAN

A. KASUS Ny. S (26 th) datang dengan keluhan tidak sadar setelah kejang kurang lebih 1 jam sebelum masuk RS. Kejang berlangsung 15-20 menit, seluruh anggota badan kaku, keluar busa pada mulut pasien. Sebelum kejang, pasien mengeluh kepalanya pusing. Kemudian saat di RS, pasien kembali kejang 1 kali dengan gejala yang sama 10 menit. Setelah kejang pasien sempat tidak sadar 15 menit. Kurang lebih 6 tahun yang lalu dan 2 bulan yang lalu dengan gejala serupa. Saat itu pasien sempat tidak sadar 1 jam setelah kejang. Pasien kemudian dibawa ke RS Kustati (mondok). Pasien mendapatkan obat tetapi tidak tahu obat apa yang didapat dan obat tidak diminum teratur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, RR 24 kali/menit, nadi 72 kali/menit, suhu 36,7C. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan GCS E1 Vx M3, n. III rc (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), refleks fisiologis menurun pada lengan dan tungkai kanan, refleks patologis negatif.

B. ASSESMENT Diagnosis Klinis: Epilepsi, general seizure tonic clonic Diagnosis Topis: Korteks Diagnosis Etiologis: Idiopatik

C. PENATALAKSANAAN Medikamentosa IVFD RL 20 tpm Inj Fenitoin 100mg/8jam dalam 20cc NS Inj Diazepam 1 amp (k/p)

Resep Cito! R / Diazepam inj. amp Cum disposable syringe cc 3 imm R / Infus RL flab Cum Infuse set Iv catheter no 22 imm R / Fenitoin inj. amp Nacl 0,9% flab Cum disposable syringe cc 3 disposable syringe cc 20 imm Pro : Ny. S ( 25 th ) D. PEMBAHASAN Obat pilihan utama terdiri dari fenobarbital atau fenitoin. Dua-duanya baik sekali dan murah harganya. Fenitoin mempunyai sifat-sifat yang unggul, yaitu tidak membuat orang mengantuk, tidak akan menimbulkan manifestasi overdose yang fatal dan bila dihentikan tidak akan membangkitkan status epileptikus. Efek samping yang kurang enak ialah sakit epigastrik, dermatitis, anemia, hipertrofi gusi, hirsutismus, nistagmus, dan ataksia (Sidharta, 2009). Jika pasien tidak mau dirawat di RS dan diberikan fenitoin maka terapi dimulai dengan dosis tinggi yaitu 10-15 mg/kgBB/hari untuk orang dewasa atau 200-400 mg/hari dan 5-8 mg/kgBB/hari untuk anak-anak di bawah 6 tahun (Sidharta, 2009). Anak-anak, bayi, dan wanita lebih baik diobati dengan fenobarbital, mengingat efek buruk kosmetik dari fenitoin. Sedangkan efek samping No I No I No III No I No I No I No III No II No I

10

fenobarbital hanya mengantuk saja. Dosis fenobarbital untuk anak-anak di bawah 6 tahun ialah 3-5mg/kgBB/hari atau 60-120 mg/hari (Sidharta, 2009). Bila serangan grand mal masih belum dapat diberantas dengan obatobat tersebut di atas baik secara kombinasi maupun obat tunggal, dapat digunakan primidone (Sidharta, 2009). Primidone efektif untuk semua bangkitan kecuali bangkitan lena. Efeknya baik untuk bangkitan tonik klonik yang telah refrakter terhadap terapi yang lazim, dan lebih efektif lagi dalam kombinasi dengan fenitoin (Utama dan Gan, 2007). Dosis untuk anak dibawah umur 6 tahun ialah 10-25 mg/kgBB/hari. Sedangkan orang dewasa 300-600 mg/hari. Dosis permulaan harus rendah misalnya 100-150 mg/hari. Efek samping primidone dapat berupa ngantuk, vertigo, ataksia, dermatitis, dan anemia (Sidharta, 2009). Di bawah ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai fenobarbital dan fenitoin: 1. Fenobarbital Fenobarbital sebagai antiepilepsi bekerja dengan membatasi penjalaran aktivitas dan bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif dan murah. Dosis efektifnya relatif rendah. Efek samping yang terjadi adalah efek sedatif. Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang demam pada anak. Dosis anak ialah 100-300 mg/hari sedangkan dewasa dua kali 120-250 mg/hari. (Utama dan Gan, 2007) 2. Fenitoin Obat yang dipilih sebagai antiepilepsi pada kasus diatas adalah fenitoin. Fenitoin merupakan golongan hidantoin yang merupakan obat utama untuk hampir semua jenis epilepsi, kecuali bangkitan lena. Fenitoin diindikasikan terutama untuk bangkitan tonik klonik dan bangkitan parsial. Farmakodinamik Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel, dalam hal ini, khususnya menggiatkan pompa Na+, K+, Ca2+ neuron dan mengubah neurotranmitor NEPI, asetilkolin, dan GABA.

11

Farmakokinetik Pemberian secara per oral mengalami absorpsi secara lambat dan sesekali tidak lengkap. Pemberian secara IM menyebabkan fenitoin mengendap ditempat suntikan kira-kira 5 hari dan absorpsi berlangsung lambat. Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga kerjanya bertahan lebih lama, tetapi mula kerjanya lebih lambat daripada fenobarbital. Metabolit fenitoin akan di ekskresi melalui ginjal. Interaksi obat Interaksi fenitroin dengan fenobarbital atau karbamazepin akan

menyebabkan fenitoin menurun kadarnya karena fenobarbital atau karbamazepin menginduksi enzim mikrosom hati, tetapi kadang-kadang kadar fenitoin dapat meningkat akibat inhibisi kompetitif dalam

metabolisme. Efek samping Efek samping yang dapat ditimbulkan dari fenitoin adalah keracunan pada SSP, saluran cerna, gusi dan kulit, sedangkan yang lebih berat mempengaruhi kulit, hati, dan sumsum tulang. Dosis Kadar plasma untuk terapi fenitoin terdapat antara 10-20g/ml. Ketika terapi oral sudah dimulai, dosis dewasa biasanya 300 mg/hari tanpa

memperlihatkan berat badan. Jika kejang berlanjut, dosis yang lebih tinggi biasanya diperlukan untuk mendapatkan kadar plasma dalam batas-batas terapi yang lebih tinggi. (Utama dan Gan, 2007) Sedangkan di bawah ini adalah alternatif obat yang digunakan untuk epilepsi tonik klonik 1. Karbamazepin Karbamazepin efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik klonik. Efek samping karbamazepin cukup sering terjadi. Efek samping yang terjadi setelah pemberian obat jangka lama berupa pusing, vertigo, ataksia, diplopia, dan penglihatan kabur. Frekuensi bangkitan dapat meningkat akibat dosis berlebih. Dosis anak di bawah 6 tahun 100 mg/hari, 6-12 tahun 2x 100 mg/hari, dewasa: dosis awal 2x 200 mg sehari pertama, selanjutnya dosis ditinggkat

12

secara bertahap. Dosis pemeliharaan 800-1200 mg.hari. (Utama dan Gan, 2007) 2. Asam valproat Asam valproat terutama untuk terapi epilepsi umum dan kurang efektif terhdap epilepsi fokal. Efek antikonvulsi valproat didasarkan meningkatnya kadar GABA di dalam otak. Valproat efektif terhadap epilepsi umum yakni bangkitan lena yang disertai oleh bangkitan tonik klonik. Sedangkan terhadap epilepsi fokal lain efektivitasnya kurang memuaskan. Terapi dimulai dengan dosis awal 3x 200 mg/hari dengan dosis harian berkisar 0,8-1,4 g. Valproat telah diakui efektivitasnya sebagai obat untuk bangkitan lena, tetapi bukan merupakan obat terpilih karena efek toksiknya terhadap hati. (Utama dan Gan, 2007) 3. Diazepam Diazepam digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Untuk mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa disuntikkan 0,2 mg/kgBB dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara lambat. Dosis ini dapat diulang seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal 20-30 mg. Efek samping berat dan berbahaya yang menyertai penggunakan diazepam IV ialah obstruksi saluran napas oleh lidah akibat relaksasi otot. Disamping itu dapat terjadi depresi napas sampai henti napas, hipotensi, henti jantung, dan kantuk. (Utama dan Gan, 2007)

Pada kasus Ny. S diatas, Ny. S didiagnosis general seizure tonik klonik dan masuk dalam kriteria status epileptikus karena kejang berlangsung selama lebih dari 5 menit dan diantara dua serangan tidak disertai recovery atau pemulihan kesadaran. Status epileptikus tonik klonik umum merupakan suatu keadaan yang membahayakan jiwa. Diazepam merupakan obat yang paling efektif pada beberapa pasien untuk menghentikan serangan dan diberikan secara langsung dengan dosis intravena total 20-30 mg pada orang dewasa. Efek diazepam tidak lama, tetapi 30-40 menit pada interval bebas kejang memberikan suatu awal terapi yang lebih berarti. Pasien yang tidak dalam keadaan kejang, terapi diazepam

13

dapat dihilangkan dan segera diobati dengan obat berjangka panjang seperti fenitoin. Pengobatan status epileptikus yang paling tepat adalah fenitoin intravena, efektif, dan nonsedatif. Diberikan dengan dosis tunggal intravena 13-18 mg/kgBB pada orang dewasa. Untuk pasien yang tidak responsif pada fenitoin, fenobarbital dapat diberikan dalam dosis besar, 100-200 mg IV sampai jumlah total 400-800 mg (Katzung, 2002)

14

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN Pada kasus Ny. S (26 th), pasien datang dengan keadaan tidak sadar setelah kejang kurang lebih 1 jam sebelum masuk RS. Kejang berlangsung 15-20 menit, seluruh anggota badan kaku, keluar busa pada mulut pasien. Sebelum kejang, pasien mengeluh kepalanya pusing. Kemudian saat di RS, pasien kembali kejang 1 kali dengan gejala yang sama 10 menit. Setelah kejang pasien sempat tidak sadar 15 menit. Kurang lebih 6 tahun yang lalu dan 2 bulan yang lalu dengan gejala serupa. Saat itu pasien sempat tidak sadar 1 jam setelah kejang. Pasien kemudian dibawa ke RS Kustati (mondok). Pasien mendapatkan obat tetapi tidak tahu obat apa yang didapat dan obat tidak diminum teratur. Dari kasus tersebut dapat didiagnosis bahwa Ny. S mengalami kejang umum tonik klonik dan masuk dalam kriteria status epileptikus karena kejang berlangsung selama lebih dari 5 menit dan diantara dua serangan tidak disertai recovery atau pemulihan kesadaran. Penatalaksanaan status epileptikus adalah dengan pemberian diazepam 5 mg IV. Jika masih kejang maka diberikan diazepam lagi hingga dosis maksimal 20-30 mg. Jika pasien sudah tidak kejang maka terapi diazepam dapat dihilangkan dan segera diobati dengan obat berjangka panjang seperti fenitoin. Fenitoin diberikan dengan dosis tunggal intravena 13-18 mg/kgBB.

B. SARAN Selain terapi farmakologik pasien epilepsi dan keluarganya harus penerangan tentang epilepsi, advis cara hidup sehari-hari, follow up, pemberian antikonvulsan dan advis mengenai tindakan-tindakan yang harus dikerjakan bila serangan epileptik bangkit. Perlu dan penting untuk diketahui bahwa penderita epilepsi harus hidup wajar sebagaimana orang sehat menjalani penghidupan sehari-harinya. Setiap penderita epilepsi harus hidup teratur, yaitu makan tepat pasa waktunya, tidur malam harus nyenyak dan berlangsung 7-8 jam, water intake harus dibatasi. Seorang penderita epilepsi tidak boleh mengendarai

15

kendaraan bermotor atau sepeda. Selain itu kesehatan badan pun juga harus terjaga. Jika pasien mengalami kejang jangan pindah pasien kecuali kalau dalam posisi bahaya misalnya di atas tangga atau di jalan. Taruhlah benda lembut dibawah kepala pasien (jaket atau bantal), atau letakkan tangan dibawah kepala mereka. Tujuannya agar pasien tidak membenturkan kepalanya ke lantai dan melukai otak belakang. Jangan halangi pasien. Biarkan seizure berlangsung. Jangan taruh apapun di mulut pasien. Jika serangan berakhir gulingkan pasien ke posisi pemulihan agar pasien berbaring di salah satu sisi. Hapuskan liur. Jika pernafasan pasien sulit, cek mulut untuk memastikan tak ada benda atau makanan yang menghalangi tenggorokan. Temanilah dan hiburlah pasiem sampai pulih kembali.

16

DAFTAR PUSTAKA

Epilepsi Indonesia. 2007. Apa itu epilepsi?. http://epilepsiindonesia.com/mengenal-epilepsi/apa-itu-epilepsi/apa-ituepilepsi

Handryastuti S. 2011. Tata Laksana Kejang Demam Pada Anak. Dalam Makalah Simposium Nasional Refresh and Update A Comprehensive Management of Seizure. Surakarta: Panitia Pelantikan Dokter Baru Periode 176

Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.I., Setiowulan, W. (eds). 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. pp: 33-27

Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat

Sudomo A. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surakarta: BEM FK UNS Press

Utama H. dan Gan V. 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi. Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI

Katzung B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2 Edisi 8. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

17

Anda mungkin juga menyukai