Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

Dispepsia adalah sindrom atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/ begah. Setiap pasien memliki keluhan yang bervariasi. Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek spesialis merupakan kasus dispepsia. Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi. Dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.

BAB II LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS PENDERITA

Nama Umur Alamat Agama Status Perkawinan Suku Pekerjaan Tanggal Masuk RSUZA Tanggal Pemeriksaan

: Ny. H : 84 Tahun : Peuniti : Islam : Sudah Menikah : Aceh : Swasta : 15 Mei 2013 : 15 Mei 2013

II.

ANAMNESA 1. Keluhan Utama :

Nyeri di uluhati sejak 3 hari yang lalu Keluhan Tambahan : Nyeri sendi

2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan nyeri uluhati sejak 3 hari yang lalu, nyeri yang dirasakan tidak terus menerus, nyeri dirasakan memberat bila pasien

terlambat makan. Pasien juga mengeluhkan perut seperti kembung dan terkadang disertai mual. Pasien juga mengeluhkan nyeri sendi lutut yang telah dirasakan pasien sejak pasien berumur 60 tahun, dan pasien sering mengkonsumsi obat anti nyeri untuk mengatasi nyeri sendi yang dirasakan pasien. Buang air besar tidak ada keluhan, buang air kecil tidak ada keluhan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya. 4. Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal 5. Riwayat Penggunaan Obat-obatan Promagg Meloxicam

III. PEMERIKSAAN FISIK

- Keadaan Umum - Kesadaran - Tekanan Darah - Nadi - Suhu - Pernafasan - Keadaan Gizi

: Baik : Compos Mentis : 110/80 mmHg : 70 x/menit : 36,4 oC : 18 x/menit : Cukup

IV. STATUS INTERNUS

a. Kulit Warna Turgor Sianosis Ikterus Udema Anemia : Sawo matang : Cepat kembali : (-) : (-) : (-) : (-)

b. Kepala Rambut Wajah Mata : Hitam, sukar dicabut : Asimetris, edema (-), deformitas (-) : Conjunctiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-),

sekret

(-/-),

RCL

(+/+),

RCTL

(+/+),

pupil isokor Mengangkat alis : mata kanan tertinggal Menutup mata : mata kanan tidak menutup rapat Telinga Hidung Mulut Bibir Lidah Tonsil Faring Caries : Pucat (-), mukosa basah (+), sianosis (-) : Tremor (-), hiperemis (-) : Hiperemis (-/-) T1 T1 : Hiperemis (-) : (-) : Serumen (-/-) : Sekret (-/-), NCH (-/-)

c. Leher - Inspeksi - Palpasi : Simetris, retraksi (-) : JVP (N) 5-2cm H2O, Pembesaran KGB (-)

d. Thorax Inspeksi Statis : Simetris, Cardic Bulging (-), Bentuk Normochest Dinamis : Pernafasan thoracoabdominal, retraksi Suprasternal (-), Retraksi Intercostal (-) Retraksi Epigastrium (-)

Paru

Inspeksi Palpasi Depan Belakang

: Simetris statis, dinamis. Kanan fremitus N fremitus N Kiri fremitus N fremitus N

Perkusi Depan Belakang sonor sonor sonor sonor

Auskultasi Depan Vesikuler (normal) Ronki (-)Wheezing (-) Vesikuler (normal Ronki (-)Wheezing (-)

Belakang

Vesikuler (normal) Ronki (-) wheezing (-)

Vesikuler (normal) Ronki (-) wheezing (-)

Jantung

Inspeksi Palpasi Perkusi

: Ictus Cordis tidak terlihat, cardiac bulging (-) : Ictus Cordis tidak teraba, thrill (-) : Batas-batas jantung Atas Kiri Kanan : Sela iga III LMCS : 2 jari medial linea midclavikula sinistra : linea parasternal kanan

Auskultasi

: BJ I II normal, regular, bising (-), gallop (-)

e. Abdomen o Inspeksi o Palpasi

: Simetris, distensi (-), tumor (-), vena kolateral (-) : Lemas, nyeri Tekan (+) didaerah uluhati, defans muscular (-) Hepar : tidak teraba Lien : tidak teraba

Ginjal : Ballotement tidak teraba o Perkusi o Auskultasi

: Timpani, shifting dullness (-) : Peristaltik (normal)

f. Genetalia g. Anus

: Tidak diperiksa : Tidak diperiksa

h. Tulang Belakang i. Kelenjar Limfe j. Ekstremitas

: Simetris : Pembesaran KGB (-) : Superior Kanan Kiri Inferior Kanan Kiri

- Sianosis - Oedema - Fraktur

V.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Tidak dilakukan

VI.

DIAGNOSIS BANDING Dipepsia dd : 1. Tipe Like Ulcer 2. Tipe Dismotility 3. Tipe Mixed

VII.

DIAGNOSA KERJA Dispepsia tipe like ulcer

VIII. TATALAKSANA Pengobatan non-farmakologi berupa saran kepada pasien untuk : 1. Tidak menunda makan, mengatur pola makan dengan secara teratur dan sebaiknya mengkonsumsi makanan berserat tinggi, bergizi, serta perbanyak minum air putih. 2. Kurangi makan makanan pedas, kecut, banyak mengandung gas yang dapat menimbulkan gas dilambung (kubis, kol, kentang, semangka dan melon) 3. Menghindari konsumsi obat-obatan yang dapat mengiritasi lambung seperti obat anti inflamasi misalnya yang

mengandung ibuprofen, aspirin dan ketoprofen. Sebaiknya diganti dengan acetaminophen karena tidak mengiritasi lambung. 4. Menghindari stress

Pengobatan farmakologi yang diberikan : Lansoprazole

BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN TINJAUAN A. Definisi Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/ begah. Setiap pasien memliki keluhan yang bervariasi.(1) Definisi dispepsia berdasarkan criteria Roma II tahun 2000 dyspepsia refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen.(1) B. Epidemiologi Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek spesialis merupakan kasus dispepsia. Di Amerika, prevalensi dispepsia sekitar 25%, tidak termasuk pasien dengan keluhan refluks. Insiden pastinya tidaklah terdokumentasi dengan baik, tetapi penelitian di Skandinavia menunjukkan dalam 3 bulan, dispepsia berkembang pada 0,8% pada subyek tanpa keluhan dispepsia sebelumnya(7). Prevalensi keluhan saluran cerna menurut suatu pengkajian sistematik atas berbagai penelitian berbasis populasi (systematic review of population-based study) menyimpulkan angka bervariasi dari 11-41%. Jika keluhan terbakar di ulu hati dikeluarkan maka angkanya berkisar 4-14%. Dispepsia masih menimbulkan masalah kesehatan karena merupakan masalah kesehatan yang kronik dan memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga meningkatkan biaya perobatannya. Walaupun gejalanya hanya singkat dan dapat diobati sendiri oleh pasien tanpa berobat ke dokter. Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%) populasi tiap tahun tetapi tidak semua pasien yang terkena dispepsia akan mencari pengobatan medis.

C. Etiologi Berdasarkan etiologi nya, dispepsia dibagi menjadi dua jenis yaitu: a) Dispepsia fungsional(2) o Dalam Konsensus Roma III (2006), definisi nya adalah: Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.

Tidak ada bukti kelainan structural (termasuk di dalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.

Keluhan ini terjadi selama tiga bulan dalam waktu enam bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.

o Dalam usaha untuk mencoba ke arah praktis pengobatan, dispepsia fungsional dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: Dispepsia tipe seperti ulcus. Yang lebih dominan adalah nyeri epiastric. Dispepsia tipe seperti dismotilitas. Yang lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang. Dispepsia tipe non-spesifik. Tidak ada keluhan yang dominan. b) Dispepsia organic(1) Bisa disebabkan karena: Gangguan penyakit dalam lumen saluran cerna (tukak gaster/duodenum, gastritis kronis, gastritis NSAID, tumor, infeksi Helicobacter pylori) Obat-obatan (Acarbose, Aspirin, Obat anti inflamasi non steroid, Colchicine, Digitalis, Estrogen, Gemfibrozil, Glukokortikoid, Preparat besi, Levodopa, Narkotik, Niasin, Nitrat, Orlistat, Potassium klorida, Quinidine, Sildenafil, Teofilin) Penyakit pada hati, pancreas, system bilier (hepatitis, pancreatitis, kolesistitis, kolelitiasis, disfungsi sfingter Oddi, keganasan) Penyakit sistemik (diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner, gagal ginjal) Gangguan fungsional (dyspepsia fungsional, irritable bowel syndrome)

D. Patofisiologi Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena bermacammacam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan mekanismenya dapat terjadi sendiri atau kombinasinya. Pembagian dispepsia berdasarkan gejalanya, seperti tercantum diatas, adalah untuk panduan manajemen awal terutama untuk dispepsia yang tidak terinvestigasi. Beberapa hipotesis nya yaitu: (2)

Sekresi asam lambung Kasus dispepsia fungsional mempunyai tingkat sekresi asam lambung rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut. Helicobacter pylori Peran infeksi Helicobacter pylori belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada dispepsia fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka kekerapan Hp pada kelompok orang sehat. Dismotilitas gastrointestinal Berbagai studi melaporkan pada dispepsia fungsional terjadi perlambatan

pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster dan hipersensitivitas visceral. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan pada setengah sampai dua pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional, tetapi tidak ada korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat perlambatan pengosongan lambung. Pemeriksaaan manometri antro-duodenal memperlihatkan adanya abnormalitas dalam bentuk post antral hipomotilitas prandial, di samping juga ditemukannya disfungsi motorik usus halus. Perbedaan patofisiologi ini diduga mendasari perbedaan pola keluhan dan akan mempengaruhi pola piker pengobatan yang akan diambil. Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami perlambatan pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi lambung biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan. Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi lambung pada waktu makan. Pada keadaan normal, waktu makanan masuk lambung, terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam lambung. Dilaporkan bahwa penderita dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang mendasari adanya pembagian sub grup dispepsia menjadi tipe dismotilitas, tipe seperti ulkus, dan tipe campuran. Ambang rangsang persepsi Dinding usus memiliki banyak reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia mempunyai hipersensitivitas visceral terhadap distensi balon di gaster atau duodenum.

Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volum yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi control. Disfungsi autonom Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Aktivitas mioelektrik lambung Adanya disaritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa tachygastria, bradygastria pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten. Hormonal Peran hormonal belum jelas dalam pathogenesis dispepsia. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesterone estradiol dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal. Diet dan factor lingkungan Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus control. Psikologis Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stress sentral. Tapi korelasi antara factor psikologis stress kehidupan, fungsi otonom dan motilitas tetap masih controversial. Tidak didapatkan personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini dibandingkan kelompok control. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional terdapat masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik.

E. Gejala Klinis Keluhan, kuantitas dan kualitas pada setiap pasien sangat bervariasi, maka dispepsia diklasifikasikan berdasarkan keluhan yang dominan(1,2):

Bila nyeri ulu hati yang mendominasi dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia)

Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti

dismotilitas (dismotility like dyspepsia) Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non spesifik. F. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau intra lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneal atau peritonitis. (1)

H. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu: 1. Pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9. 2. Ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan padat intraabdomen, misalnya ada batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis hati, dsb. 3. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan. 4. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa di bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah: a. CLO (rapid urea test) b. Patologi anatomi (PA) c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin. Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentinal loops. (1) I. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi. Tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak pasien yang dapat ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan sehingga diagnosis secara klinis agak terbatas kecuali bila ada alarm sign. Bila ada salah satu atau lebih ada pada pasien, sebaiknya dilakukan pemeriksaan endoskopi. Alarm sign adalah: Umur 45 tahun (onset baru) Perdarahan dari rektal atau melena Penurunan berat badan >10% Anoreksia Muntah yang persisten Anemia atau perdarahan Massa di abdomen atau limfadenopati Disfagia yang progresif atau odinofagia Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya Riwayat ulkus peptikum

Kuning (Jaundice) Radiologi (dalam hal ini pemeriksaan barium meal), dapat mengidentifikasi kelainan structural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif di mana skop endoskopi tidak dapat melewatinya.

J. Penatalaksanaan Penatalaksanaan optimal dispepsia terutama pasien baru dengan dispepsia yang belum terinvestigasi serta tidak ada gambaran alarm, didominasi oleh pengobatan H pylori secara empiris dengan antibakteri. Pada pengobatan tingkat pertama, terapi antisekretori secara empiris juga masih popular. Penatalaksanaan dispepsia tanpa gambaran alarm meliputi : 1. Supresi asam secara empiris 2. Pemeriksaan H pylori non invasif dengan urea breath test, serologi, pemeriksaan antigen feses dan pemeriksaan endoskopi untuk kasus yang positif 3. Pemeriksaan H pylori non invasif dan eradikasi bila positif 4. Terapi eradikasi empiris H pylori tanpa pemeriksaan 5. Endoskopi dini Pada dispepsia dengan gambaran alarm, diperlukan manajemen awal dengan pemeriksaan endoskopi. Manajemen selanjutnya tergantung dari hasil endoskopi tersebut.(6,7)

Mayoritas pasien dengan dispepsia hasil pemeriksaan endoskopinya normal. Pada penelitian di Kanada dengan pasien dispepsia yang belum dilakukan tindakan endoskopi pada pelayanan kesehatan primer, menyimpulkan bahwa kebanyakan yang ditemukan adalah esofagitis (43%), ulkus peptikum (5%), adekarsinoma lambung dan esophagus (<1%), dengan H pylori yang kebanyakan negative dan penggunaan OAINS yang sedikit. Pemeriksaan endoskopi mempunyai beberapa keuntungan. Di antaranya untuk menegakkan diagnosis yang dapat menunjukkan adanya kelainan atau abnormalitas seperti esofagitis atau ulkus serta meningkatkan kepuasan pasien. Temuan yang dapat ditemukan pada pemeriksaan endoskopi lambung antara lain Normal, Gastritis (akut atau kronis), Ulkus gaster, Massa, Keganasan, Hipertensi portal, Perubahan setelah operasi, Lain-lain kelainan yang jarang ditemukan. Pada dispepsia fungsional, manajemennya 23amper sama dengan dispepsia tanpa gambaran alarm, antara lain dengan(2,5): Nonmedikamentosa Penjelasan kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Jelaskan sejauh mungkin tentang patogenensis penyakit yang dideritanya. Nasihat untuk menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Makanan yang merangsang seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi. Apabila keluhan pasien lebih cepat kenyang, maka dapat dianjurkan untuk makan porsi kecil tetapi sering dan rendah lemak. Pasien juga dianjurkan untuk rajin berolah raga dan menghindari stress. Medikamentosa o Antasida Obat yang paling umum dikonsumsi. Berfungsi untuk menetralisir faktor asam sesaat, penurun nyeri sesaat. o Penyekat h2 reseptor Obat ini juga umum diberikan. Berfungsi untuk menurunkan sekresi asam lambung. Diperkirakan manfaat terapinya 20% di atas placebo. Generik : cimetidin, ranitidin, famotidin. o Penghambat pompa proton Obat ini tampak superior dibandingkan placebo pada dispepsia fungsional. Berfungsi untuk menghambat produksi asam lambung. Respon terbaik terlihat pada kelompok dispepsia

fungsional tipe seperti ulkus. Jenis obatnya yaitu omeprazol, lansoprazol, pantoprazol, rabeprazol, esomeprazol. o Sitoproteksi Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, teprenon, rebamipid. Mucopromotor, meningkatkan kadar prostaglandin, meningkatkan aliran darah mukosa. o Prokinetik Termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis reseptor dopamine D2), domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak melewati sawar otak) dan cisapride (agonis reseptor 5-HT4). Dalam berbagai studi metaanalisis, baik domperidon maupun cisapride mempunyai efektivitas lebih baik dan mengurangi nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi abdomen, dan mual. Cisapride memiliki efek samping pada jantung yaitu aritmia, terutama pada pemanjangan masa Q-T, sehingga pemakaian berada dalam pengawasan. o Obat lain-lain Adanya peran hipersensitivitas visceral dalam patogenensis dispepsia fungsional. Bila sudah terbukti terlibatnya H.pylori (+), dapat diberikan antibiotic seperti Amoxicillin, claritromisin, tetrasiklin, metronidazol, bismuth. Obat dosis rendah antidepresan golongan trisiklik dapat menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen. o Psikoterapi Dalam studi terbatas, tampaknya behavioral therapy memperlihatkan manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan terapi baku.

K. Prognosis Dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.

PEMBAHASAN

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA 1. Djojoningrat, D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 441-2. 2. Djojoningrat, D. Dispepsia Fungsional. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 529-533. 3. Lindseth, G. Gangguan Lambung dan Duodenum. In: Patofisiologi. Edisi VI. Jakarta: EGC; 2006. p. 417-21. 4. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi II. Jakarta: EGC; 2001. p. 551- 63. 5. A, Ryan; et al. Update on the Evaluation and Management of Functional Dyspepsia. http://www.aafp.org/afp/2011/0301/p547.html Diunduh pada tanggal 18 Mei 2013 6. Talley, N; et al. Management Issues in Dyspepsia: Current Consensus and Controversies. http://www.helico.com/sites/default/files/publications/R21.pdf . Diunduh pada tanggal 18 Mei 2013. 7. Dyspepsia: Managing dyspepsia in adults in primary care. http://guidance.nice.org.uk/CG17. Diunduh pada tanggal 3 Januari 2013. 8. E Ari dan A. Azalia. Obat Lokal. In : Farmakologi dan Terapi. 5th. ED. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2007.p. 518 9. Mansjoer, Arif et al. Kapita Selekta Jilid I. Edisi ketiga. Jakarta; 2007.p. 488 10. Bazaldua,O.V. et al. Dyspepsia : What it is and What to do About it. http://familydoctor.org/online/famdocene/home/common/digestive/dyspepsia.html,dece mber2006; Diunduh pada tanggal 18 Mei 2013

Anda mungkin juga menyukai