Anda di halaman 1dari 14

RUMAH PEMOTONGAN HEWAN TAMANGAPA DAN PERATURAN UNDANG-UNDANG YANG TERKAIT Salah satu tahap yang sangat menentukan

kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di Makassar dikenal RPH Tamangapa ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan dan akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Di dalam Undang-Undang Peternakan dan kesehatan Hewan Bab I Pasal 1 ayat 38 disebutkan bahwa Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan. Sembelih atau penyembelihan hewan adalah suatu aktifitas, pekerjaan atau kegiatan menghilangkan nyawa hewan atau binatang dengan memakai alat bantu atau benda yang tajam ke arah urat leher saluran pernafasan dan pencernaan. Agar binatang yang disembelih halal dan boleh dimakan, penyembelihan hewan harus sesuai dengan aturan agama islam. Jika binatang yang mau disembelih masuk ke lubang yang sulit dijangkau maka diperbolehkan melukai bagian mana saja asalkan mematikan binatang tersebut sedangkan yang dimaksud dengan Prosedur Standar Operasi Pemotongan Hewan adalah

alur proses untuk memproduksi daging sapi yang Aman, Sehat, Umum dan dan Halal (ASUH) baik menggunakan alat dan mesin peternakan yang modern ataupun yang tradisional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 40 dan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Bab IV Bagian ketiga Pasal 24 ayat (1) yaitu: 1. Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 40 . Alat dan mesin peternakan adalah semua peralatan yang digunakan berkaitan dengan kegiatan peternakan dan kesehatan hewan, baik yang dioperasikan dengan motor penggerak maupun tanpa motor penggerak. 2. Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Bab IV Bagian ketiga Pasal 24 ayat (1) a. Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan mesin peternakan yang peredarannya perlu diawasi. Alat-alat benda tajam dan tumpul yang tidak diperbolehkan untuk penyembelihan / pemotongan hewan : gigi, kuku, tulang, listrik/disetrum, benda tumpul untuk memukul, panahan/busur dana anak panah, boomerang, sumpit, gada, palu, martil, dan lain-lain. Pada proses pemotongan ternak di Indonesia harus benar-benar memperhatikan hukum-hukum agama Islam, karena ada kewajiban menjaga ketentraman batin masyarakat. Pada pelaksanaannya ada 2 cara yang digunakan di Indonesia, yaitu : a). Tanpa Pemingsanan Cara ini banyak dilakukan di Rumah-rumah Potong tradisional. Penyembelihan dengan cara ini ternak direbahkan secara paksa denganmenggunakkan tali temali yang

diikatkan pada kaki-kaki ternak yangdihubungkan dengan ring-ring besi yang tertanam pada lantai Rumah Potong, dengan menarik tali-tali ini ternak akan rebah. Pada penyembelihandengan sistem ini diperlukan waktu kurang lebih 3 menit untuk mengikat dan merobohkan ternak. Pada saat ternak roboh akan menimbulkan rasa sakit karena ternak masih dalam keadaan sadar. b). Dengan Pemingsanan Di Rumah Potong Hewan yang besar dan modern, sebelum ternak dipotong terlebih dahulu dilakukan pemingsanan, maksudnya agar ternak tidak menderita dan aman bagi yang memotong. Pemotongan dilakukan pada ternak dalam keadaan posisi rebah, kepalanya diarahkan ke arah kiblat dan dengan menyebut nama Allah, ternak tersebut dipotong dengan menggunakan pisau yang tajam. Pemotongan dilakukan pada leher bagian bawah, sehingga tenggorokan, vena yugularis dan arteri carotis terpotong. Menurut Ressang (1962) hewan yang dipotong baru dianggap mati bila pergerakan-pergerakan anggota tubuhnya dan lain-lain bagian berhenti. Oleh karena itu setelah ternak tidak bergerak lagi leher dipotong dan kepala dipi-sahkan dari badan pada sendi Occipitoatlantis. Pada pemotongan tradisional, pemotongan dilakukan pada ternak yang masih sadar dan dengan cara seperti ini tidak selalu efektif untuk menimbulkan kematian dengan cepat, karena kematian baru terjadi setelah 3-4 menit. Dalam waktu tersebut merupakan penderitaan bagi ternak, dan tidak jarang ditemukan kasus bahwa dalam waktu tersebut ternak berontak dan bangkit setelah disembelih. Oleh karena itu pengikatan harus benarbenar baik dan kuat. Cara penyembelihan seperti ini dianggap kurang berperikemanusiaan.Waktu yang diperlukan secara keseluruhan lebih lama dibandingkan dengan cara pemotongan yang menggunakan pemingsanan. Dengan adanya perbedaan dalam cara penyembelihan tersebut, pihak australia menuduh Indonesia melakukan tindak

kekerasan terhadap hewan yang akan dipotong padahal Indonesia mempunyai standar dan cara yang sudah ditetapkan menurut Islam dan Undang-Undang. Undang-Undang yang mengatur dalam hal perlakuan terhadap ternak ini antara lain: 1. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 42. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang damanfaatkan manusia. 2. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab II Pasal 3 huruf a. Pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan bertujuan untuk: 1. Mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertangung jawab, dan berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab IV Bagian Kesatu Pasal 18 ayat (1) dan (2). (1) Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit, ternak ruminansia betina produktif

diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan ternak ruminansia betina tidak produktif disingkirkan untuk dijadikan ternak potong. (2) Ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan

penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan. 3. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab IV Bagian keempat Pasal 34.

(1)

Peternak dan perusahaan peternakan melakukan tata cara panen yang baik untuk

mendapatkan hasil produksi dengan jumlah dan mutu yang tinggi. (2) Pelaksanaan panen hasil budi daya harus mengikuti syarat kesehatan hewan,

keamanan hayati, dan kaidah agama, etika, serta estetika. 4. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu Pasal 56. Kesehatan masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk: 1. Pengendalian dan penanggulangan zoonosis; 2. Penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan; 3. Penjaminan higiene dan sanitasi; 4. Penegmbangan kedokteran perbandingan; dan 5. Penanganan bencana. 5. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu Pasal 58. (1) Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal,

Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pegujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan. (2) Prngawasan dan pemeriksaan produk hewan berturut-turut dilakukan ditempat

produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan. (3) Standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan dilakukan terhadap produk

hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (4) Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal. (5) Produk hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal jika dipersyaratkan oleh negara pengimpor. (6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5)

diatur dengan Peraturan Menteri. (7) Untuk pangan olahan asal hewan, selain wajib memenuhi ketentuan sabagaimana

dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pangan. 6. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu Pasal 61. (1) Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus: 1. dilakukan di rumah potong; dan 2. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan. (2) Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan hewan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memerhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut masyarakat.

(3)

Menteri menetapkan persyaratan rumah potong dan tata cara pemotongan hewan

yang baik. (4) Ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

dikecualikan bagi pemotongan untuk kepentingan hari besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat.

7. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kedua Pasal 66. (1) Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan

penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan. (2) Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan secara manusiawi yang meliputi: 1. penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi; 2. penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya; 3. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapr dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan; 4. pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut, dan tertekan serta bebas dari penganiayaan;

5. penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan; 6. pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut, dan tertekan, penganiayaan, dan penyalahgunaan; dan 7. perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan. (3) Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan

diberlakukan bagi semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

8. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kedua Pasal 67. Penyelenggaraan kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah Daerah bersama masyarakat Syarat Sah Penyembelihan hewan : - Hewan tidak haram dimakan (anjing, hyena, kucing, babi, dan lain sebagainya) Binatang masih hidup atau bukan bangka - Disembelih secara islam dan menyebut nama Allah SWT - Penyembelihan sengaja dilakukan secara sadar

Kondisi Aman dan Sehat, dapat dilakukan dengan cara memeriksa kesehatan sapi pada :

Awal Proses pemotongan (ante mortem), untuk memeriksa penyakit-penyakit yang menular.

Akhir proses pemotongan (post mortem),yaitu pemeriksaan kesehatan daging untuk mengetahui kandungan bakteri/bakteri/ parasit dan kelainan patologis yang membahayakan kesehatan atau yang menyebabkan daging sapi tidak layak lagi untuk dikonsumsi.

Sedangkan halal, adalah cara memotong sapi dengan disertai doa dan prosedur yang sesuai dengan ketentuan agama Islam serta di sembelih oleh seorang Muslim. Untuk memenuhi persyaratan ASUH, proses pemotongan sapi harus dilakukan melalui prosedur dan tahaptahap proses yang baku (standar). Standar dan prosedur operasi (S.O.P) pemotongan sapi yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah sbb:

Mengistirahatkan sapi (rekondisi) yang akan dipotong minimal + 8 jam. Pemeriksaan sebelum proses penyembelihan (ante mortem) oleh petugas yang berkepentingan.

Sapi dimasukan ke ruang pemotongan yang telah memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi.

Sesuai standar Halal, sapi direbahkan mengarah kiblat. Sapi dibersihkan dari segala kotoran yang melekat di badannya. Dilakukan proses pemotongan. Didiamkan beberapa saaat hingga darah betul-betul tiris/ habis, kemudian daging dimatangkan (aging), dengan cara menyimpannya pada suhu kamar (27 300C) selama 24 48 jam atau pada suhu pendinginan (10 -150C) selama 5 7 hari. Hal ini dilakukan karena setelah proses pemotongan, karkas (daging)nya akan

mengalami rigor mortis, yaitu pengerasan dan peng-kakuan daging akibat terjadinya kekejangan (kontraksi) urat daging. Daging demikian jika dimasak akan menghasilkan hidangan daging yang keras dimakan. Penyimpanan karkas, di samping untuk pematangan daging juga bertujuan untuk persediaan bahan mentah (stock) dan untuk menunggu angkutan atau pemasaran.

Proses pemisahan kepala dari badan. Proses pengulitan. Pemeriksaan kesehatan daging. Pemisahan daging, organ dalam, jeroan di ruang yang sudah ditentukan. Pemeriksaan post mortem oleh petugas keur master, jika produk daging dinyatakan sehat dengan stempel khusus, boleh dipasarkan dan didistribusikan.

Dengan adanya aturan pemerintah yang tercantum didalam Undang-Undang dan prosedur pemotongan hewan yang benar diharapkan semua RPH ataupun perusahaan peternakan skala kecil bisa mengetahui dan menerapkan bagaimana cara memotong hewan yang benar sehingga terjamin kesejahteraan bagi masyarakat dan hewan. C. Solusi Pemerintah dan Sanksi Pemerintah mempunyai kewenangan terhadap perlindungan peternak, perusahaan peternakan, hewan ternak dan konsumen sehingga semua aspek yang ada didalamnya mendapatkan kesejahteraan. Guna mendapatkan jaminan kesejahteraan tersebut

pemerintah mengatur kewenangan tersebut dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 63, 64 yang berbunyi: 1. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 63.

(1)

Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib

menyelenggarakan penjaminan higiene dan sanitasi. (2) Untuk mewujudkan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan: 1. pengawasan, inspeksi, dan audit terhadap tempat produksi, rumah pemotongan hewan, tempat pemerahan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, dan tempat penjualan atau penjajaan serta alat dan mesin produk hewan; 2. surveilans terhadap residu obat hewan, cemaran mikroba, dan/atau cemaran kimia; dan 3. pembinaan terhadap orang yang terlibat secara langsung dengan aktivitas tersebut. (3) Kegiatan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

dokter hewan berwenang di bidang kesehatan masyarakat veteriner. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 2. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 64. Pemerintah dan pemerintah daerah mengantisipasi ancaman terhadap kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh hewan dan/atau perubahan lingkungan sebagai dampak bencana alam yang memerlukan kesiagaan dan cara penanggulangan terhadap zoonosis, masalah higiene, dan sanitasi lingkungan. Pemerintah saat ini sedang memfinalisasi kebijakan untuk perbaikan dan penyempurnaan berbagai peraturan yang terkait dengan mata rantai pasokan ternak serta Rumah Potong Hewan (RPH) di Indonesia. Hal ini sebagai reaksi dari isu penyiksaan sapi

Australia sebelum di sembelih di sejumlah RPH di Indonesia. Upaya ini merupakan komitmen pemerintah dalam menindaklanjuti semua peraturan perundangan yang terkait dengan aspek kesehatan, agama dan kesejahteraan hewan yang telah sesuai dengan ketentuan badan kesehatan hewan dunia (OIE), dimana Indonesia adalah anggotanya. Saat ini beberapa RPH di Indonesia telah memiliki sertifikasi mutu yang dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Namun sertifikasi mutu belum mencakup prinsip kesejahteraan hewan secara keseluruhan di setiap rantai pasokannya (supply chain). Berdasarkan kondisi tersebut dan guna menjamin ketersediaan pasokan daging sapi dan keterjangkauan harga, terdapat beberapa solusi yang diputuskan oleh Pemerintah Indonesia saat ini, yang terbagi menjadi tiga solusi. Solusi pertama, yaitu solusi jangka pendek, mengembangkan pedoman

kesejahteraan hewan dengan mengacu pada standar dan ketentuan yang berlaku di Indonesia, termasuk untuk peraturan dalam hal kebersihan, sanitasi, maupun jaminan halal; menyusun daftar RPH yang sudah menerapkan prinsip kesejahteraan hewan dan peraturan yang lain maupun daftar RPH yang harus ditingkatkan pengelolaannya. Kemudian mengevaluasi RPH yang memenuhi syarat berdasarkan penilaian auditor independen internasional; membuka impor secara bertahap yang ditujukan kepada RPH yang telah siap menerapkan prinsip kesejahteraan hewan, dan bagi yang belum memenuhi syarat masih mempunyai waktu setidaknya enam bulan untuk memenuhi persyaratan impor khususnya sertifikasi dari RPH yang memenuhi standar; segera menerbitkan Peraturan Menteri (Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian) tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk sesuai dengan amanah UU no 18 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; menerbitkan peraturan (dari) tentang ekspor dan impor hewan dan produk hewan.

Solusi kedua, yaitu solusi jangka menengah evaluasi atas cetak biru/blueprint program dan rencana aksi Program Swasembada Daging dikoordinasikan Kemenko Perekonomian dengan penanggung jawab utama adalah Kementan; rencana Aksi Program Swasembada Daging yang disepakati agar dapat selesai dalam satu sampai tiga bulan ke depan sehingga kepastian langkah Pemerintah dan Daerah dalam alokasi APBN/APBD 2012-1014, dan memberi arah yang jelas bagi stakeholder lain. Solusi ketiga, solusi jangka panjang, melengkapi regulasi yang sudah ada dengan petunjuk teknis pelaksanaan; merevisi SNI tentang RPH karena sudah lebih dari lima tahun; menyusun SNI tentang Pedoman Kesejahteraan Hewan di RPH dan seluruh rantai pasok; memperkuat inspeksi dan surveillance; melakukan kerja sama internasional dalam meningkatkan capacity building dan infrastruktur supply chain kesejahteraan hewan. Dengan adanya aturan pemerintah yang tercantum didalam Undang-Undang dan prosedur pemotongan hewan yang benar diharapkan semua RPH ataupun perusahaan peternakan skala kecil bisa mengetahui dan menerapkan bagaimana cara memotong hewan yang benar sehingga terjamin kesejahteraan bagi masyarakat dan hewan. Untuk RPH Tamangapa belum sesuai dengan S.O.P pemotongan hewan, hal ini dikarenakan sarana dan prasarana yang terdapat di RPH ini tidak mendukung (belum terpenuhi)

Daftar Pustaka
Wahyudi. 2012. http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/475095/.

Diakses pada tanggal 18 Mei 2012 pada pukul 10.00

R.Fadlan. 2012. http://reproduksiternakruminansia-

reproduksi.blogspot.com/2010/05/abatoir-dan-teknik-pemotongan-ternak.html.
Diakses pada tanggal 18Mei 2012 pada pukul 1000

Anda mungkin juga menyukai