Anda di halaman 1dari 34

MODUL HOM Seorang Laki laki dengan Kelelahan, Nafas Pendek Saat Aktivitas dan Berkeringat pada Malam

m Hari

KELOMPOK VII

030.07.156 030.08.189 030.09.151 030.09.164 030.09.179 030.09.194 030.09.209 030.09.223 030.09.239 030.09.253 030.09.266 030.09.281

Marissa Rusyani Oryza Sativa Melly Utami Nabila Zaneta P. Gusti Ratih Raufina Yunica Riyan Budianor Sara Vigorousty L Sitti Monica A. A. Tezar Andrean B. Wicaksoso Harry Yusrina Affiatika U.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 24 April 2012

BAB I PENDAHULUAN

Diskusi kami berlangsung selama 4 jam dibagi dalam 2 sesi pertemuan yang bertempat diruangan 205 lantai 2 FK Trisakti. Setiap sesi berlangsung dalam waktu 2 jam. Diskusi sesi pertama dan sesi kedua diikuti oleh dua belas orang peserta. Diskusi pertama dan kedua dibimbing oleh dr. Lenny Sp.GK dengan topik yang dibahas adalah Seorang laki-laki 32 tahun dengan keluhan mudah lelah, nafas pendek dan keringat malam dan beliau memberi pengarahan yang baik selama diskusi berlangsung. Pada sesi pertama, diskusi dilaksanakan pada hari Rabu, 18 April 2012

dari pukul 10.00 sampai 11.50 WIB. Diskusi kelompok ini dipimpin oleh Sara Vigorousty L, dengan sekretaris Nabila Zaneta. Sedangkan sesi dua dilaksanakan pada hari Jumat, 20 April 2012 dari pukul 13.00 sampai 14.50 WIB. Diskusi kelompok ini dipimpin oleh P Gusti Ratih P, dengan sekretaris Sara Vigorousty L. Sepanjang diskusi berlangsung, semua mahasiswa mengikuti jalanya diskusi

dengan baik. Hal-hal yang terjadi selama diskusi berlangsung adalah perdebatan antara anggota diskusi dalam menguraikan masalah pasien sampai penyaranan prosedur kepada pasien.

BAB II LAPORAN KASUS

A. 1 IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Alamat Pekerjaan : Tn. Brian : 32 Tahun : Laki Laki ::-

Kewarganegaraan : Status :-

A. 2 HASIL ANAMNESIS PASIEN Keluhan utama : Pasien datang dengan keluhan kelelahan Nafas pendek saat beraktivitas Berkeringat pada malam hari selama 4 minggu

Keluhan tambahan : Pasien merasa nyeri pada kuadran kiri atas dan penurunan nafsu makan karena merasa perutnya penuh Keterangan tambahan dari pasien : Pasien adalah orang yang sehat dan suka berolahraga sebelumnya, aktif bekerja dan tidak pernah pergi ke dokter selama beberapa tahun

Kesimpulan kelompok kami berdasarkan anamnesis : Kemungkinan gagal jantung bisa disingkirkan terlebih dahulu karena pasien adalah orang yang sehat dan suka berolahraga sebelumnya, tetapi perlu pemeriksaan fisik untuk lebih memastikannya. Selain itu, ada keluhan nyeri pada kuadran kanan atas. Hal itu membuat kelompok kami memikirkan penyakit lain 2

sebagai penyebab keluhan, misalnya splenomegali karena anemia hemolitik, atau karena ada infiltrasi sel leukemia.

A. 3 PEMERIKSAAN FISIK I. Keadaan Umum a. Tingkat kesadaran b. Kesan sakit c. Terlihat II. Status Antropometri a. Tinggi badan : 167 cm b. Berat badan c. BMI III. Tanda Vital Hasil Pemeriksaan Suhu Denyut nadi1 Irama denyut Tekanan darah2 Pernafasan 22 x/menit 16-20 x/menit 37,2C 140 x/menit Tidak diketahui 130/85 mmHg Nilai Normal 36,5 - 37,2C 60-100 x/menit Teratur (reguler) 130/85 mmHg(Normal) Keterangan Normal Meningkat Tidak diketahui Normal (Prehipertensi) Meningkat : 54 kg : 16,17 (menurun) : Compos mentis : Fatig : Pucat wajah dan kulit

IV.

Status Generalis Pemeriksaan Mata Telinga Hasil pemeriksaan Tidak diketahui Tidak diketahui Tidak diketahui

Kepala

Hidung

Mulut dan Kesehatan Gigi Tenggorokan

Pucat di bibir dan lidah Tidak diketahui

Leher dan Pembesaran kel. pembesaran KBG, kanan: Tiroid Leher 3x4x4 cm 1 buah, kiri: 12x1x2 cm 2 buah (dapat digerakkan, tidak

undulasi, padat dan tidak nyeri). Tiroid hanya bisa di palpasi jika menelan Cor Thorax Pulmo Mammae Usus Abdomen Hepar Normal Normal Tidak diketahui Tidak diketahui Teraba (hepatomegali)

dan tidak nyeri Lien Teraba masa di kuadran kiri atas, 10 cm di bawah costae kiri Punggung Ekstremitas Kulit Genitalia Tidak diketahui Normal Pucat Kelenjar inguinal tidak

teraba (Normal)

Kesimpulan kelompok kami berdasarkan anamnesis : Pada pemeriksaan fisik kami menyimpulkan beberapa penyakit yang bisa menjadi penyebab dan alasan kami menyingkirkannya. Pertama, thalassemia minor berdasarkan tampak pucat, lelah dan hepatosplenomegali. Tetapi kemungkinan ini kami singkirkan karena adanya limfadenopati pada pasien ini.

Kedua, infeksi TBC karena ada keringat pada malam hari, limfadenopati dan sesak saat beraktifitas. Kemungkinan ini kami coret karena adanya hepatosplenomegali. Ketiga, menyingkirkan gagal jantung. Dari anamnesis pasien. kelompok Pemeriksaan kami fisik sudah juga

berdasarkan

keterangan

menguatkan pendapat kami karena ada tanda yang lebih khas untuk penyakit lain. Selain itu pada pasien tidak terdapat oedema pada ekstremitas. Dari hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menunjang anamnesis, kami meyimpulkan kemungkinan adanya keganasan pada pasien ini yang bias disebabkan oleh limfoma Hodgkin dan leukemia kronis. Kami berpendapat leukemia kronis karena pada suhu tubuh pasien tidak terlalu tinggi. Berbeda dengan yang akut yang didominasi oleh sel blast, suhu tubuh pasien bias tinggi karena rentan terhadap infeksi.

B. FAKTOR RESIKO Faktor resiko yang kami maksudkan adalah faktor resiko untuk penyakit leukemia. Dari kasus, kami menemukan beberapa faktor resiko, yaitu : - umur yang semakin tua - pria Untuk faktor resiko lain yang tidak kami dapatkan pada kasus yaitu : - riwayat radiasi, misalnya untuk terapi kanker sebelumnya.3

C. DAFTAR MASALAH DAN HIPOTESIS Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, beikut daftar masalah yang kami simpulkan : Masalah Kelelahan ringan Dasar Masalah Kadar Hb : 8,6 g/dl anemia. Tidak nafsu makan akibat perut terasa penuh karena Hipotesis Leukemia myeloid kronis Leukemia limfositik kronis

splenomegali. Hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Nafas pendek ketika beraktivitas RR : 22 x/menit takipneu. Hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia.

Limfoma Hodgkin Limfoma nonHodgkin Anemia aplastik Leukemia myeloid kronis Leukemia limfositik kronis Limfoma Hodgkin Limfoma nonHodgkin Anemia aplastik Leukemia myeloid kronis

Keringat malam

Hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia.

Leukemia limfositik kronis Limfoma Hodgkin Limfoma nonHodgkin Anemia aplastik Leukemia myeloid kronis

Nyeri di kuadran kiri atas

Pada palpasi teraba massa di kuadran kiri atas sampai 10 cm di batas bawah kosta kiri splenomegali menimbulkan nyeri seperti di remas.

Leukemia limfositik kronis Limfoma Hodgkin Limfoma nonHodgkin

Penurunan nafsu makan

Splenomegali mengakibatkan desakan lambung terhadap limpa

Leukemia myeloid kronis Leukemia limfositik

perut terasa penuh.4 Pada pemeriksaan antropometri gizi kurang.

kronis Limfoma Hodgkin Limfoma nonHodgkin

Untuk menegakkan diagnosis pada pasien, kelompok kami mengusulkan pemeriksaan laboratorium, SADT, aspirasi sumsum tulang dan pemeriksaan sitogenetika philadelphia. untuk mencari kelainan kromosom, misalnya kromosom

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM PEMERIKSAAN Hb Leukosit HASIL PEMERIKSAAN 8,6 g/dl 115 x 10 sel/l
9 9

NILAI RUJUKAN 13-16 g/dl 4,5-11 x 109 sel/l 150-350 x 109 sel/l 0-1/1-3/2-6/5070/20-40/3-8

KETERANGAN Anemia Leukositosis

Trombosit

840 x 10 sel/l

Trombositosis Basofilia. Netrofilia Limfositopenia. Monositopenia Retikulositosis Normal Normal Normal

5/1/-/80/2/2

Hitung jenis

Blast 2 Promielosit 4 Mielosit 20 Metamielosit 4 Tidak ditemukan di darah tepi 0,5-1,5% 2,5-9 mg/dl 0-40 IU/l 5-40 IU/l 0,7-1,5 mg/dl

Retikulosit Asam urat SGOT SGPT Kreatinin

2% 9,5 mg/dl 31 IU/l 26 IU/l 0,9 mg/dl

Ureum Kalium Natrium

32 mg/dl 5,2 mEq/l 141 mEq/l

10-38 mg/dl 3,5-5,2 mEq/l 135-145 mEq/l

Normal Normal Normal

Interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium: 1. Hb : Hb yang rendah pada pasien ini menunjukan bahwa pasien menderita anemia. Hb yang rendah berarti terjadi gangguan oksigenasi ke jaringan, hal ini menerangkan kenapa pasien cepat lelah. Karena gangguan oksigenasi ke jaringan maka sebagai kompensasi pasien akan

meningkatkan frekuensi pernapasanya untuk mendapatkan oksigen yang lebih sehingga ia mengeluh nafasnya pendek saat beraktivitas. Hb yang rendah juga dapat dilihat pada pemeriksaan fisik dimana didapatkan kulit, muka, bibir, dan lidah pasien berwarna pucat, hal ini terjadi sebagai kompensasi tubuh terhadap gangguan oksigenasi dengan cara

meningkatkan redistribusi ke organ vital dan terjadi vasokonstriksi di perifer. 2. Leukositosis: Leukosistosis yang sangat tinggi menadakan bahwa produksi leukosit di sum-sum tulang berlebihan. Kadar leukosit dapat meningkat pada infeksi namun pada pasien ini meskipun terjadi leukositosis tidak dapat dikatakan telah terjadi infeksi karena pasien tidak demam, pada leukemia parameter untuk menentukan infeksi adalah ada atau tidak ada nya demam. Dapat disimpulkan bahwa leukositosis yang terdapat pada pasien ini ialah akibat produksi yang berlebihan, menunjang hipotesis kami yaitu leukemia mielositik kronik, leukemia limfositik kronik. Pada leukemia mielositik kronik, hitung leukosit biasanya lebih dari 100 x 109 sel/l. Pada leukemia limfositik kronik hitung leukosit bisa mencapai 500 x 109 sel/l, akan tetapi pada leukemia tipe ini sering didapatkan gejala demam sebagai manifestasi dari infeksi akibat terjadinya neutropeni. 3. Trombositosis: Nilai trombosit yang tinggi menandakan bahwa produksi trombosit di sum-sum tulang berlebihan. Produksi trombosit yang berlebih dapat terjadi pada leukemia mielositik kronik tetapi tidak pada leukemia

limfositik kronik. Pada leukemia limfositik kronik justru nilai trombosit rendah karena produksi trombosit dihambat oleh seri limfosit yang berproliferasi dengan cepat oleh karena itu berdasarkan nilai trombosit maka leukemia limfositik kronik dapat disingkirkan dari hipotesis. 4. Hitung jenis: Hasil hitung jenis pada pasien ini sesuai dengan hitung jenis yang biasa didapatkan pada pasien penderita leukemia mielositik kronik. Yaitu, pada pasien ini dapat ditemukan peningkatan sel seri granulosit (basofil dan netrofil) dan juga ditemukan sel-sel mielosit yang muda yang seharusnya dalam keadaaan normal tidak didapatkan pada darah tepi. Sesuai dengan hitung jenis pada pasien, pada penderita leukemia mielositik kronik dapat ditemukan <10% sel blast dan promielosit serta sel mielosit yang dominan. Hasil hitung jenis pasien tidak sesuai dengan leukemia limfositik kronik karena pada penyakit ini dapat ditemukan limfositosis sedangkan pada pasien yang didapatkan ialah limfositopenia, sehingga memperkuat kelompok kami menyingkirkan hipotesis ini. 5. Asam urat : Peningkatan asam urat pada pasien ini ialah akibat pemecahan sel-sel darah yang meningkat. Pemecahan sel dapat menghasilkan asam urat akibat degradasi nukleotida di dalam sel yang terdiri dari purin. Sel-sel darah muda yang berada di dalam darah tepi gampang pecah karena ukurannya yang besar sehingga dapat

menghasilkan asam urat. 6. Retikulositosis: Retikulositosis ringan yang didapatkan pada pasien ini terjadi akibat peningkatan sintesis eritrosit, yang juga berasal dari myeloid stem cell. Hal ini juga menyingkirkan anemia aplastik.

E. SEDIAAN APUS DARAH TEPI

mielosit

mieloblast basofil Netrofil segmen promielosit Netrofil batang Anomali pelger huet Berdasarkan pemeriksaan sediaan apus darah tepi, menurut kelompok kami hasil dari pemeriksaaan ini lebih memperkuat hipotesis kami yaitu leukemia mielositik kronik karena ditemukan seri granolisit lengkap serta keabnormalan sel yang biasa ditemui pada pasien leukemia mielositik kronik : 1. Banyak sekali leukosit yang berada dalam 1 sedian apusan darah tepi. 2. Ditemukan berbagai jenis granulosit dari proses granulopoesis. Jenis granulosit yang ditemukan antara lain : a) Mieloblas inti besar berbentuk oval kadang tidak metamielosit

Hipersegmen tasi netrofil

teratur, dengan kromatin halus, sitoplasma relative sedikit dibandingkan inti, berwarna biru kelabu dan tidak bergranula. b) Promielosit bentuk sel bulat atau oval dengan warna

sitoplasma biru muda, nukleolus tampak ukuran sedang atau kadang-kadang tidak terlihat. c) Mielosit bentuk oval atau bulat dengan sitoplasma

biru muda atau merah jambu, nucleolus tidak terlihat.

10

d) Metamielosit

bentuk oval atau bulat, warna sitoplasma

merah muda, ada lekukan kurang dari setengah diameter inti. e) Neutrofil batang Inti berbentuk huruf U, lekukannya

lebih dari setengah diameter inti, warna sitoplasma merah muda, kromatin kasar dan padat dan granula tersebar merata. f) Neutrofil segmen Inti terdiri dari 2-5 lobus yang

dihubungkan oleh filament, sitoplasma merah muda, kromatin kasar padat dan granula tersebar merata. g) Basofil Sitoplasma mengandung granula dengan

ukuran berbeda, bentuk tak selalu bulat, warna biru hitam dan ada yang menutup inti. 3. Adanya anomali Pelger-Huet. Hal ini terjadi akibat kegagalan pemisahan inti pada neutrofil segmen sehingga dijumpai neutrofil dengan inti hanya 2 lobus atau kurang (mirip gagang telepon). Biasanya ditemukan dalam leukemia kronik. 4. Bentuk eritrosit normositik normokrom dan tampak eritrosit mulai membentuk rouleaux. Hal ini dapat dilihat pada hasil laboratorium dimana terjadi peningkatan LED. Kesimpulan yang dapat diambil dari pemeriksaan SADT pada kelompok kami adalah pasien kemungkinan besar menderita Leukimia Mieloblastik Kronik, dimana
5

dapat

dilihat

terjadi

peningkatan

seri

granulosit/mielosit dalam darah tepi.

F. PEMERIKSAAN ASPIRASI SUMSUM TULANG Penilaian aspirasi sumsum tulang pasien yang seharusnya (bila didapatkan gambarnya) dilakukan dengan menilai selularitas sel, menilai hitung jenis sel, serta menilai M:E ratio. M:E ratio ialah myeloid to erythroid ratio yang dihintung dengan cara membandingkan sel seri granulosit dengan sel seri eritrosit dimana normalnya ialah 2-4:1. Pada pasien ini karena dicurigai menderita leukemia mielositik kronik makan seherasnya gambaran sum-sum tulangnya ialah

11

hiperseluler dengan M:E ratio yang meningkat. Hasil pemeriksaan aspirasi sumsum tulang yang didapatkan untuk pasien ini ialah:

SEL YANG DINILAI Sel blast Basofil

HASIL PASIEN 5% 4%

NILAI RUJUKAN 1-2% 0-1%

KETERANGAN

Interpretasi hasil aspirasi sumsum tulang : Aspirasi sumsum tulang menunjukkan peningkatan sel seri myeloid yang bisa didapatkan pada leukemia mielositik kronik. Nilai sel blas serta basofil pada pasien ini juga menunjukan bahwa pasien menderita leukemia mielositik kronik yang berada pada fase kronik. Ini karena pada fase akselerasi seharusnya ditemukan blas 10-20% dan basofil 20% dan pada blast crisis seharusnya ditemukan blas 20%.6

G. HASIL ANALISIS SITOGENETIKA

12

Setelah dilakukan pemeriksaan sitogenetik, kelompok kami semakin yakin bahwa pasien menderita Leukemia Myelositik Kronik (LMK). Pada hasil sitogenetik dapat dilihat bahwa pasien juga mempunyai kromosom Philadelphia (Ph) yang khas. Sebagian besar penderita kromosom Ph memang mempunyai factor resiko lebih tinggi terkena LMK. Kromosom ini dihasilkan dari translokasi t(9;22)(q23;q11) antara kromosom 9 dan 22, akibatnya bagian dari protoonkogen Abelson (ABL) dipindahkan pada gen BCR di kromosom 22 dan bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9. Setelah terjadi pemindahan, terbentuklah fusi protein BCR-ABL yang nantinya akan membentuk tirosin kinase dan akhirnya mengarah pada leukemia mielositik kronik.5

H. DIAGNOSIS Diagnosa pasti kelompok kami adalah Leukemia Mielositik Kronik, yang menjadi dasar kelompok kami menegakan diagnosa ini adalah sebagai berikut : Anamnesis : Terdapat gejala cepet lelah sebagai manifestasi anemia serta hipermetabolisme yang terdapat pada leukemia mielositik kronik. Terdapat gejala sering berkeringat malam hari sebagai manifestasi dari hipermetabolisme yang terdapay pada leukemia mielositik kronik. Adanya riwayat nyeri pada perut kiri atas dimana sebagai kemungkinan splenomegali yang sering terjadi pada leukemia mielositik kronik. (splenomegali telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik) Pemeriksaan fisik : Pucat sebagai manifestasi anemia, Frekuensi nafas yang meningkat sebagai kompensasi dari anemia. Frekuensi nadi yang meningkat sebagai kompensasi dari anemia. Pemebesaran limpa (splenomegali) 13

Limfadenopati

Pemeriksaan penunjang : Hemoglobin yang rendah : anemia Trombosit meningkat Peningkatan basofil dan netrofil (seri granulosit) Ditemukan sel imatur seri granulosit pada pemeriksaan darah tepi dimana secara normal hanya terdapat pada sum-sum tulang Peningkatan asam urat Aspirasi dan biopsi sum-sum tulang, dimana menunjukan diagnosa pasti leukemia mielositik krinik fase kronik.

SEL DINILAI Sel blast Basofil

YANG

HASIL PASIEN 5% 4%

NILAI RUJUKAN 1-2% 0-1%

KETERANGAN

Terdapat kromosom philadelphia

14

I. PATOFISIOLOGI

J. PENATALAKSANAAN Tujuan terapi pada leukemia granulositik kronis adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, biomolekular. remisi sitogenetik, maupun remisi

Medikamentosa 1. Pemberian Hydroxyurea (hydrea) Dosis 30 mg/kg/BB diberikan dosis sebagai tunggal

Non Medikamentosa 1. Edukasi Edukasi yang dberikan berupa : pencegahan agar tidak terjadi luka menjaga kebersihan

Bedah Dilakukan sumsum alogenik. Menurut kelompok kami hal ini dianjurkan keadaan cangkok tulang

maupun di bagi 2 3 dosis. leukosit Apabila

berhubung

pasien juga masih pada fase kronis yang bila

15

>300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan

menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien kepada pasien dan keluarganya Penjelasan tentang efek samping dari terapi yang akan diberikan.

dilakukan

cangkok

sumsum tulang dapat memungkinkan terjadinya penyembuhan. Jika

sampai maksimal 2,5 gram/hari Penggunaan dihentikan dulu jika leukosit <8.000/mm3 atau trombosit
3

pada fase akselerasi dan fase krisis dilakukan

<

cangkok sumsum tulang hasilnya tidak sebaik

100.000/mm Menurut

literature

pada fase kronis.

penggunaan obat ini dapat harapan selama 4 tahun. 2. Busulfan Dosis 4 8 mg/hari per oral, dapat memberikan hidup

dinaikkan sampai 12 mg/hari. Bila leukosit sangat tinggi sebaiknya

pemberian busulfan ini disertai dengan alopurinol dan

hidrasi yang baik. Hati hati dengan efek samping

fibrosis paru dan supresi tulang sumsum yang

berkepanjangan. 3. Imatinib mesylate Bekerja dengan

16

menghambat aktivitas tirosin

kinase dari fusi gen BCR-ABL Digunakan pasien ini pada karena

pasien terbukti dari hasil pemeriksaan

cytogenetikanya adalah kromosom

Philadelphia. Dosis 400 mg/hari setelah makan

(karena fase kronik). Dosis dapat

ditingkatkan sampai 600 tidak mg/hari bila

mencapai

respons hematologik setelah pemberian pernah respon tetapi perburukan hematologik 3 bulan atau mencapai yang baik terjadi secara yakni

Hb rendah dan/atau leukosit meningkat

dengan/tanpa perubahan trombosit Jika terjadi netropeni berat <500/mm3 atau jumlah

17

trombositopenia berat atau <50.000/mm3 peningkatan dan

SGOT/SGPT bilirubin. Menurut dapat harapan selama 5 tahun.

literature memberikan hidup

4. Interferon alfa-2a atau Interferon alfa-2b Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai remisi tercapai sitogenetik,

biasanya setelah 12 bulan terapi. Tetapi berdasarkan penelitian data di

Indonesia dosis yang dpat adalah IU/m /hari Atau sediaan interferon penyuntikan sekali memakai pegilasi sehingga cukup
2

ditoleransi 3 juta

seminggu,

tidak perlu tiap hari. Diperlukan premedikasi dengan analgetik antipiretik dan sebelum

18

pemberian interferon untuk mencegah atau mengurangi samping berupa syndrome.


7

efek

interferon flue-like

K. KOMPLIKASI 1. Masalah metabolic Masalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis (penghancuran sel-sel tubuh), yang akan mengakibatkan terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di antisipasi, dan di terapi dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol.

2.

Hiperleukositosis Peningkatan ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan

komplikasi leukostatik pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan penis. Sejak leukosit kurang seimbang dengan eritrosit akan terjadi peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan sengan leukosit lain, juga meningkatkan viskositas tersebut. Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus diterapi secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit.

3.

Hepatosplenomegali Hepatosplenomegali disebabkan oleh karena terjadinya hiperleukositosis,

dimana terdapat akumulasi leukosit yang berinfiltrasi ke dalam hepar dan limpa, lalu terkumpul di sana dan menyebabkan pembesaran kedua organ tersebut.

4.

Priapism

19

Nyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh leukemia, adanya penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf dan vena oleh pembesaran lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik, pemberian cairan yang cukup, kompres hangat, radioterapi (pada penis atau lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari intravena).

5.

Leukemia Meningeal Leukemia meningeal pada LMK fase kronis sering tidak diketahui dan

jarang dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralysis saraf pusat dan udema papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukannya sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah dengan memberikan metotreksat, walaupun hasilnya kurang memuaskan

6.

Myelofibrosis LMK sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan

meningkatkan produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen.

L. PROGNOSIS Ad Vitam : Dubia ad Bonam

Terdapatnya kromosom Philadelphia dan faktor umur dibawah 40 tahun merupakan penanda baik untuk prognosis pasien CML. Pada pasien dengan kelainan kromosom Philadelphia akan memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan pasien tanpa kromosom Philadelphia. Untuk pasien CML yang berumur dibawah 40 tahun juga memiliki survival rate lebih besar dibandingkan pasien umur 40 tahun keatas. Ad Fungtionam : Dubia ad Bonam

Dengan terapi dini yang adekuat dapat mencegah infiltrasi ke organ lain dan fungsi organ-organ vital masih dapat dipertahankan.

20

Ad Sanationam

: Dubia ad Malam

Pada kasus CML, untuk terjadinya relaps atau kekambuhan memiliki angka yang cukup besar, kecuali jika dilakukan transplantasi stem cell yang akan memberikan kesembuhan total bagi pasien.

21

BAB IV PEMBAHASAN

Dari skenario kasus yang diberikan, informasi yang kami dapatkan masih minim pada sesi awal, sehingga untuk menentukan diagnosis pasien ini menjadi agak sulit. Oleh karena itu kami perlu melakukan anamnesis tambahan terkait riwayat penyakit, dan kami pun memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan. Hal tersebut dilakukan untuk membandingkan informasi yang kami dapatkan pada pasien ini dengan informasi yang tercantum dalam literature dan pada sesi kedua sudah terdapat hasil pemeriksaan yang kami anjurkan.

Anamnesis yang kami lakukan Riwayat penyakit sekarang: Sejak kapan keluhan tersebut timbul? Sejak kapan terdapat nyerinya? Sifat nyerinya bagaimana?atau ada hal yang mencetuskan nyerinya? Adakah keluhan lainnya?Apakah ada keluhan batuk? Apakah pasien mengalami penurunan berat badan? Ada dema atau tidak? Apakah mengalami nyeri tulang atau pada persendian? Apakah timbul memar pada badan? Riwayat penyakit dahulu: Apakah pasien punya riwayat gastritis atau tidak? Adakah riwayat infeksi? Pernah mengalami gejala serupa? Riwayat penggunaan radiasi? :

Riwayat Keluarga

Apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit yang sama?atau yang sidah terdiagnosis TB?

Riwayat Obat-obatan

22

Apakah sudah mengkonsumsi obat untuk mengatasi keluhannya? :

Riwayat kebiasaan

Bagaimana aktivitas sehari-hari? Apa pekerjaan pasien? Bagaimana intake makanannya? Masih aktif berolahraga atau tidak? Apakah mengonsumsi alkohol?

Gejala Klinis Pada LMK Pasien biasanya asimptomatik saat diagnosis, dengan kenaikan jumlah leukosit pada pemeriksaan laboratorium rutin. Gejala klinis dari LGK dapat berupa: malaise, demam yang tidak terlalu signifikan, gout, kenaikan rerata infeksi, anemia, dan trombositopenia dengan memar yang ringan (meskipun kenaikan jumlah trombosit (trombositosis) juga dapat terjadi dalam keadaan LGK). Splenomegali seringkali terjadi. Diagnosis Diagnosis LGK seringkali ditetapkan berdasarkan pemeriksaan darah lengkap, yang memperlihatkan kenaikan seluruh tipe granulosit, dan termasuk selsel myeloid dewasa. Basofil dan eosinofil hampir selalu mengalami kenaikan yang signifikan; halini membantu membedakan LGK dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-sum tulang biasanya dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang dignosis LGK, tetapi morfologi sum-sum tulang saja tidak cukup untuk menetapkan diagnosis LGK. Lebih jauh lagi, LGK didiagnosis dengan mendeteksi kromosom Philadelphia. Karakteristik abnormalitas kromosomal ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan sitogenetik rutin, mengguanakan hibridisasi fluorescent in situ, atau dengan PCR untuk gen bcr-abl. 23

Patofisiologi/ Patogenesis LGK merupakan keganasan pertama yang dihubungkan dengan

abnormalitas genetik secara langsung, yaitu translokasi kromosomal yang dikenal dengan kromosom Philadelphia. Kelainan kromosomal ini dinamai berdasarkan penemunya pada tahun 1960, dua orang ilmuwan dari Philadelphia, Pennsylvania: Peter Nowell dan David Hungerford. Pada translokasi ini, bagian dari 2 kromosom (9 dan 22) bertukar tempat. Akibatnya, bagian dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bercampur dengan gen ABL dari kromosom 9. Dari penggabungan abnormal ini terjadi sintesis protein berat p210 atau p185 (p merupakan ukuran berat protein selular dalam kDa). Karena ABL membawa domain yang dapat menambahkan gugus phosphat ke residu tirosin (suatu tirosin kinase), produk penggabungan gen BCR-ABL juga berupa tirosin kinase. Protein gabungan BCR-ABL berinteraksi dengan subunit reseptor interleukin 3beta(c). Transkrip BCR-ABL terus-menerus aktif dan tidak memerlukan pengaktifan oleh protein selular lain. Hasilnya, BCR-ABL mengaktifkan kaskade protein yang mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Lebih lagi, protein BCR-ABL menghambat perbaikan DNA, mengakibatkan ketidakstabilan pada sistem gen dan membuat sel lebih rawan mengalami abnormalitas genetik lain. Aktivitas dari protein BCR-ABL merupakan penyebab patofisologis dari LGK. Dengan berkembangnya pemahaman terhadap sifat-sifat dari protein BCRABL dan aktivitasnya sebagai tirosin kinase, terapi spesifik telah dikembangkan, yaitu dengan menghambat aktivitas protein BCR-ABL. Klasifikasi LGK dapat dibagi atas 3 fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium. Dengan tidak adanya intervensi, LGK berawal dari fase kronik, dan beberapa tahun kemudian berkembang menjadi fase terakselerasi (accelerated) dan akhirnya terjadi krisis blast (blast crisis). Krisis blast 24

merupakan fase terminal dari LGK dan secara klinis mirip dengan leukemia akut. Beberapa pasien telah berada pada fase terakselerasi atau krisis blast saat didiagnosis. Fase Kronik Sekitar 85% pasien penderita LGK berada pada fase kronik saat didiagnosis. Selama fase ini, pasien seringkali asimptomatik atau hanya menderita gejala-gejala lemah yang ringan, dan rasa tidak nyaman pada abdomen. Durasi dari fase kronik bervariasi dan bergantung pada seberapa cepat penyakit didiagnosis dan seberapa efektif terapi yang diberikan. Fase Terakselerasi Kriteria diagnosis perkembangan dari fase kronik ke fase terakselerasi yang paling umum digunakan adalah kriteria dari M.D. Anderson Cancer Center dan kriteria WHO. Menurut kriteria WHO, fase terakselerasi telah terjadi bila:

10-19% myeloblast pada darah atau sum-sum tulang >20% basofil pada darah atau sum-sum tulang Jumlah trombosit < 100.000, tidak berhubungan dengan terapi Jumlah trombosit > 1.000.000, tidak merespon pada terapi Perubahan sitogenetik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia

Pertambahan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi

Pasien dikatakan berada dalam fase terakselerasi jika terdapat salah satu keadaan diatas. Krisis Blast

25

Krisis blast merupakan fase akhir dari LGK, dan terlihat seperti leukemia akut dengan perkembangan sangat cepat. Krisis blast didiagnosis jika terdapat salah satu tanda berikut pada pasien LGK:

> 20% myeloblast atau limfoblast pada darah atau sum-sum tulang Persebaran luas sel-sel blast pada biopsi sum-sum tulang Terjadi perkembangan kloroma (inti padat dari leukemia diluar sum-sum tulang)

Pemeriksaan Penunjang Hematologi rutin. Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun, leukosit antara 20.000-60.000/mm3. Persentasi eusinofil dann atau basofil meningkat. Trombosit biasanya meningkat antara 500-600.000/mm3. Walaupun sangat jarang, pada beberapa kasus dapat normal atau trombositopenia. Apus Darah Tepi. Erotrosit sebagian besar normositik normokrom, sering ditemukan adanya prolikromasi eritroblas asidofil atau plorikromatofil. Tampak seluruh tingkatan diferensiasi dan maturasi sel granulosit, presentasi sel mielosit dan metamielosit meningkat, demikian juga presentasi eusinofil dan atau basofil. Apus Sumsum Tulang. Selularitas meningkat (hiperselular) akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga rasio myeloid:eritroid meningkat. Megakariosit juga tampak lebih banyak. Dengan pewarnaan retikulin, tampak bahwa stroma susum tulang mengalami fibrosis. Karyotipik. Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-binding technique), saat ini teknik ini sudah mulai ditinggalkan dan perannya digantiksn oleh metode FISH (Fluoresen Insitu Hybridization) yang lebih akurat. Beberapa aberasi

26

kromososm yang sering ditemukan pada LGK, antara lain: +8, +9, +21, i(17). Laboraturium Lain. Sering ditemukan hiperurikemia. Pengobatan Tujuan terapi pada LGK adalah mencapai remisi lengkap, baik remisi hematologi, remisi siogenik, maupun remisi biomolekular. Untuk mencapai remisi hematologis digunakan obat-obat yang bersifat mielosupresif. Begitu tercapai remisi hematologis, dilanjutkan dengan terapi interferon dan atau cangkok sumsum tulang. Indikasi cangkok sumsum tulang: 1. Usia tidak lebih dari 60 tahun, 2. Ada donor yang cocok, 3. Termasuk golongan resiko rendah menurut perhitungan Sokal. Hydroxyurea (Hydrea) o Merupakan terapi terpilih untuk indikasi remisi hematologik pada LGK o Lebih efektif disbanding busulfan, melfalan (Alkaren), dan klorambusil o Efek mielosupresif masih berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat menyebabkan anemi aplastik dan fibrosis paru. o Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Apabila leukosit > 300.000/mm3, dosis boleh ditinggikan sampai maximal 2.5 gram/hari Busulfan (Myleran) o Termasuk golongan alkil yang sangat kuat o Dosis 4-8mg/hari per oral, dapat dinaikan sampai 12mg/hari. Harus dihentikan bila lekosit antara 10-20.000/mm3, dan baru dimulai kembali setelah lekosit >50.000/mm3. o Tidak boleh diberikan pada wanita hamil

27

o Interaksi obat : asetaminofen, siklofosfamid, dan intrakonazol akan meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitonin akan

menurunkan efeknya. o Bila lekosit sangat tinggi, sebaiknya busulfan disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang baik. o Dapat menyebabkan hidrasi paru dan supresi sumsum tulang yang berkepanjangan. Imatinib mesylate (Gleevec = Glyvec) o Tergantung antibody monoclonal yang dirancang khusus untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dari fungsi gen BCR-ABL. o Diabsorbsi secara baik oleh mukosa lambung pada pemberian per oral o Untuk fase kronik, dosis 400mg/hari setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila tidak mencapai respon hematologic setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respon yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologic, yakni Hb menjadi rendah dan/atau leukosit meningkat

dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit. o Dosis harus diturunkan apabila terjadi netropeni berat (<500/mm3) atau trombositopenia berat (<50.000/mm3) atau peningkatan SGOT/SGPT dan bilirubin. o Untuk fase akselerasi atau krisis blas, dapat diberikan langsung 800mg/hari (400mg b.i.d) o Dapat timbul reaksi hipersensitivitas, walaupun sangat jarang o Tidak boleh diberikan pada wanita hamil o Interaksi obat : ketokonazol, simvastatin, dan fenitoin akan meningkatkan efek imatimib mesilat o Selain remisi hematologic, obat ini dapat menghasilkan remisi sitogenetik yang ditandaki dengan hilangnya/berkurangnya

kromosom Ph dan juga remisi biologis yang ditandai dengan

28

berkurangnya dihasilkannya.

ekspresi

gen

BCR-ABL atau

protein

yang

Interferon alfa 2a atau Interferon alfa 2b o Interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis walaupun dapat mencapai remisi sitogenetik o Dosis 5juta IU/m2/hari subkutan sampai terjadi remisi sitogenetik, biasanya setelah 2 bulan terapi. Berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari. Saat imi sudah tersedia sediaan pengilasi interferon, sehingga penyuntikan cukup sekali smeinggu,, tidak perlu tiap hari. o Diperlukan pre medikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian interfero untuk mencegah/mengurangi efek efek

samping interferon berupa flue-like-syndrome. o Interaksi obat: teofilin, simetidin, vinblastin dan zidovudin dapat meningkatkan efek toksin interferon Cangkok sumsum tulang o Merupakan terapi definitf untuk LGK. Data menunjukkan bahwa cangok sumsum tulang (CST) dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada CST alogenik. o Tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Phnegatif Tu BCRABL negative. Prognosis Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah dosis ditega,kkan. Saat ini dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagai contoh pada beberapa uji klinis kombinasi hidrea dengan interferon media kelangungan hdup mencapai 6-9 tahun. Imatimib mesilat memberikan hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum dapat

29

ditentukan karena masih menunggu b eberapa hasil uji klinik yang saat iini masih berlangsung. Faktor - faktor dibawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain: Pasien : usia lanjt, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti penurunan berat badan, demam, keringat malam Laboraturium : anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eusinofilia, kromosom Ph negative, BCR-ABL negative Terapi : memerlukan waktu lama (>3bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi singkat.8

30

BAB V DAFTAR PUSTAKA

1. Widjaja S. EKG Praktis. Jakarta: Binarupa Aksara; 2009. p. 43. 2. NHLBI. Categories for Blood Pressure Level in Normal Blood. Available at: http://www.nhlbi.nih.gov/hbp/detect/categ.htm. Accessed on May

25th, 2011. 3. Mayoclinic staff. Chronic Mylogenous Leukemia. Available at:

http://www.mayoclinic.com/health/chronic-myelogenousleukemia/DS00564/DSECTION=risk-factors. Accessed at: April 22th , 2012. 4. F a d j a r i , H . A n e m i a G r a n u l o s i t i k K r o n i s . Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. 2007. Jakarta; Interna Publishing: 688-91. 5. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC;2002.p.167-8 6. Bloomfield CD, Byrd JC, Wetzler M. Acute and Chronic Myeloid Leukemia. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J; editors. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGraw Hill Companies; 2008. 7. Besa EC. Chronic Myelogenous Leukemia. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/199425-medication. Accessed at: April 22th 2012. 8. Fadjari, Heri. Leukimia Granulositik Kronis in Buku ajar Ilmu Penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I et al. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Hal:689-91

31

BAB VI PENUTUP DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang kami menyimpulkan bahwa diagnosis pasti kelompok kami adalah Leukemia Myelositik Kronik. Hasil anamnesis yang mendukung ialah terdapat cepat lelah yang merupakan manifestasi anemia dan keringat malam yang mungkin terjadi karena hipermetabolisme pada pasien ini. Terdapat nyeri pada perut kanan atas, kemungkinan karena terjadi splenomegali. Hasil anamnesis ialah berupa keluhan yang sering terjadi pada leukimia myelositik kronik. Pemeriksaan fisik didapatkan bahwa keadaan umumnya pucat yang terjadi karena anemia. Frekuensi nadi dan nafasnya juga meningkat karena merupakan mekanisme kompensasi dari anemianya, kemudian ditemukan juga splenomegali dan limfadenofati. Pembesaran ini bisa terjadi karena adanya infiltrasi dari sel leukosit yang berlebihan. Hasil pemeriksaan penunjang menunjukan hemoglobin rendah yang berarti anemia, trombosit meningkat, leukositosis, seri granulosit (neutrofil) meningkat, sel granulosit imatur di darah tepi dan peningkatan asam urat. Hasilhasil tersebut sangat mendukung diagnosis leukimia myelisitik kronik dan untuk mematiskannya dapat dilihat dari hasil aspirasi dan biopsi sumsum tulang serta biopsi limfadenopati. Pada biopsi limfadenopati diharapkan tidak ditemukan kelainan dan Aspirasi sum-sum tulang menunjukkan peningkatan sel seri myeloid yang bisa didapatkan pada leukemia mielositik kronik. Nilai sel blas serta basofil pada pasien ini juga menunjukan bahwa pasien menderita leukemia mielositik kronik yang berada pada fase kronik. Selain itu juga didapatkan hasil analisa kromosom yang menurut interpretasi kelompok kami, pada pasien ini terjadi kromosom philadelphia. Hal tersebut bisa menjadi dasar terapi dan prognosis yang lebih baik. Secara keseluruhan kasus ini begitu bermanfaat bagi kami, dan sangat memicu diskusi yang kondusif dari seluruh peserta diskusi. Kami menyadari bahwa diskusi dan laporan kami masih jauh dari sempurna. Diharapkan dengan

32

bimbingan dan panduan para dosen, kami akan semakin baik nantinya. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

33

Anda mungkin juga menyukai