Anda di halaman 1dari 39

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh.

Saleh Probolinggo

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

1.1. PENGERTIAN DIABETES MELITUS Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Mansjoer dkk,1999). Sedangkan menurut Francis dan John (2000), Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.(5) DM merupakan sekelompok kelainan yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemi). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dalam makanan yang dikonsumsi. Insulin, yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya.(5) Pada diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini dapat menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti dibetes ketoasidosis dan sindrom hiperglikemia hiperosmolar nonketotik (HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat mengakibatkan komplikasi mikrovaskular yang kronis (penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi neuropati (penyakit pada saraf). DM juga meningkatkan insiden penyakit makrovaskuler yang mencakup insiden infark miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer. Diabetes mellitus merupakan masalah endokrin yang paling sering dihadapi ahli anestesi dalam melakukan pekerjaannya. Sebanyak 5 % orang dewasa di Barat mengidap diabetes mellitus, lebih dari 50 % penderita diabetes mellitus suatu saat mengalami tindakan pembedahan dalam hidupnya dan 75 % merupakan usia lanjut di atas 50 tahun. Sedangkan di Indonesia angka prevalensi penderita diabetes mellitus adalah 1,5 % dan diperkirakan 25 % penderita diabetes mellitus akan mengalami pembiusan dan pembedahan. Karena faktor penyulit inilah mereka lebih banyak memerlukan pembedahan dari pada orang lain.(5) Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka 1

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gangguan persendian jaringan kolagen (keterbatasan ekstensi leher, penyembuhan luka yang buruk), gastroparesis, dan produksi granulosit yang inadekuat. Oleh karena itu perhatian utama ahli anestesi harus tertuju pada evaluasi preoperatif dan penanganan penyakit-penyakit tersebut untuk menjamin kondisi preoperatif yang optimal.

1.2. KLASIFIKASI American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam (Dewi, Debhryta Ayu, 2009): 1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin. 2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin. 3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ). 4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama masa kehamilan.

1.3. PATOFISIOLOGI Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes 2

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Tabel diunduh dari http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/diabetes-mellitus/pada tanggal 16 Maret 2013 pukul 23.00

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikan, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan pandangan yang kabur Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakter utama hiperglikemia kronis. Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peran yang kuat dalam munculnya DM ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktivitas fisik, obesitas dan tingginya kadar asam lemak bebas. Pada DM terjadi defek sekresi insulin, resistensi insulin di perifer dan gangguan regulasi produksi glukosa oleh hepar. Penyakit diabetes membuat gangguan/komplikasi melalui kerusakan pada pembuluh darah di seluruh tubuh, disebut angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan pada pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut mikroangiopati. Bila yang terkena pembuluh darah di otak timbul stroke, bila pada mata terjadi kebutaan, pada jantung penyakit jantung koroner yang dapat berakibat serangan jantung/infark jantung, pada ginjal menjadi penyakit ginjal kronik sampai gagal ginjal tahap akhir sehingga harus cuci darah atau transplantasi. Bila pada kaki timbul luka yang sukar sembuh sampai menjadi busuk (gangren). Selain itu bila saraf yang terkena timbul neuropati diabetik, sehingga ada bagian yang tidak berasa apa-apa/mati rasa, sekalipun tertusuk jarum /paku atau terkena benda panas. Kelainan tungkai bawah karena diabetes disebabkan adanya gangguan pembuluh darah, gangguan saraf, dan adanya infeksi. Pada gangguan pembuluh darah, kaki bisa terasa sakit, jika diraba terasa dingin, jika ada luka sukar sembuh karena aliran darah ke bagian tersebut sudah berkurang. Pemeriksaan nadi pada kaki sukar diraba, kulit tampak pucat atau kebirubiruan, kemudian pada akhirnya dapat menjadi gangren/jaringan busuk, kemudian terinfeksi dan kuman tumbuh subur, hal ini akan membahayakan pasien karena infeksi bisa menjalar ke seluruh tubuh (sepsis). Bila terjadi gangguan saraf, disebut neuropati diabetik dapat timbul 4

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

gangguan rasa sensorik, kurang berasa sampai mati rasa. Selain itu gangguan motorik, timbul kelemahan otot, otot mengecil, kram otot, mudah lelah. Kaki yang tidak berasa akan berbahaya karena bila menginjak benda tajam tidak akan dirasa padahal telah timbul luka, ditambah dengan mudahnya terjadi infeksi. Jika sudah gangren, kaki harus dipotong di atas bagian yang membusuk tersebut. Gangren diabetik merupakan dampak jangka lama arteriosclerosis dan emboli trombus kecil. Angiopati diabetik hampir selalu juga mengakibatkan neuropati perifer. Neuropati diabetik ini berupa gangguan motorik, sensorik dan autonom yang masing-masing memegang peranan pada terjadinya luka kaki. Paralisis otot kaki menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan di sendi kaki, perubahan cara berjalan, dan akan menimbulkan titik tekean baru pada telapak kaki sehingga terjadi kalus pada tempat itu. Gangguan sensorik menyebabkan mati rasa setempat dan hilangnya perlindungan terhadap trauma sehingga penderita mengalami cedera tanpa disadari. Akibatnya, kalus dapat berubah menjadi ulkus yang bila disertai dengan infeksi berkembang menjadi selulitis dan berakhir dengan gangren. Gangguan saraf autonom mengakibatkan hilangnya sekresi kulit sehingga kulit kering dan mudah mengalami luka yang sukar sembuh. Infeksi dan luka ini sukar sembuh dan mudah mengalami nekrosis akibat dari tiga faktor. Faktor pertama adalah angiopati arteriol yang menyebabkan perfusi jaringan kaki kurang baik sehingga mekanisme radang jadi tidak efektif. Faktor kedua adalah lingkungan gula darah yang subur untuk perkembangan bakteri patogen. Faktor ketiga terbukanya pintas arteri-vena di subkutis, aliran nutrien akan memintas tempat infeksi di kulit.

1.4. DIAGNOSIS Diagnosis klinis DM umumnya akan akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM karena lebih mudah diterima oleh pasien serta murah. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM , hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl. Kadar glukosa darah 5

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

sewaktu mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200mg/dl. Namun TTGO dalam prakteknya sangat jarang dilakukan. (Reno Gustaviani, 2007. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi keempat Jilid III).(4)

Tabel Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006

Tabel diunduh dari http://ifan050285.wordpress.com/2010/03/15/diabetes-mellitus/pada tanggal 16 Maret 2013 pukul 23.00

1.5. EFEK PEMBEDAHAN DAN ANESTESI PADA METABOLISME PENDERITA DIABETES MELITUS Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, kortisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. 6

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 /kg) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi.

1.6.

FAKTOR RESIKO PEMBEDAHAN DAN ANESTESI PADA PENDERITA DIBETES MELITUS Proses pembedahan merupakan stres fisik tersendiri yang ditandai proses katabolisme,

peningkatan metabolisme, peningkatan pemecahan protein dan lemak, balans nitrogen negatif, starvasi, dan intoleransi glukosa. Derajat perubahan metabolik sangat terkait dengan prosedur pembedahannya, lama pembedahan, dan komplikasi yang terjadi. Terjadi juga peningkatan sekresi hormon-hormon katekolamin, ACTH, kortisol, hormon pertumbuhan ( GH ), dan glukagon selama operasi sebagai akibat kekacauan metabolisme. Respon stres terhadap pembedahan berupa peningkatan kadar gula darah pada penderita non diabetes adalah akibat sekresi dari hormon katabolik dan terdapatnya defisiensi insulin relatif. Defisiensi relative terjadi akibat kombinasi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi akibat meningkatnya sekresi hormon anti insulin ( kortisol, growth hormon, epinefrin, dan katekolamin ) serta tejadinya perubahan pada paska reseptor insulin yang mengakibatkan penurunan transport glukosa transmembran. Jenis anastesi juga mempunyai pengaruh metabolik pada penderita diabetes. Anastesi ekstradural dan spinal mempunyai pengaruh yang lebih ringan dibandingkan general. Obatobat anastesi seperti eter, chloroform, dan cyclopropane dapat meningkatkan kadar gula darah, mobilisasi asam lemak, inhibisi sekresi insulin, dan peningkatan sekresi katekolamin dan ACTH. Semua efek metabolik pembedahan di atas akan memperberat kondisi pada pendeita diabetes. Adanya katabolisme dapat menyebabkan pelepasan asam lemak, ketogenesis, hiperglikemia, dan bahkan dapat menyebabkan ketoasidosis. Oleh karena itu tujuan utama dari pengelolaan selama pembedahan adalah mencegah terjadinya dekompensasi metabolisme bersamaan mencegah terjadinya hipoglikemia sehingga tercapai kontrol diabetik yang baik selama pembedahan. Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi 7

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung.(6) Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh: 1. Sepsis 2. Neuropati autonomik 3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer) 4. Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.(6) Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih. 8

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Maka Faktor Resiko pada Penderita diabetes melitus : 1. Infeksi & sepsis : fungsi leukosit terganggu, dan bila gula darah < 250 mg/dl fungsi leukosit pulih 2. Neuropatik otonom - Hipotensi ortostatis (Penurunan TD > 30 mmHg pada perubanhan posisi tegak berdiri) - Hipotensi berat setelah pemberian anestesi - Penurunan respon Heart Rate terhadap atropin dan propanolol - Respon abnormal hipoksia yang dapat menyebabkan pasien meninggal mendadak - Hipotermia intra operatif - Nyeri berkurang pada pasien dengan Myocard iskemik (Sailent Myocard Iscemic) - Nerogenic Bladder yang dapat menyebabkan retensi urin - Gastroparesis menyebabkan resiko aspirasi, cegah dengan pemberian metroclopamid untuk mempercepat pengosongan lambung. - Keringat berkurang - Impotensi 3. Gangguan ginjal - Mikroalbuminuria proteinuria - Gangguan GFR Kreatinin menigkat - Penurunan GFR menyebabkan hipertensi ringan - Stenosis arteri renalis (sklerotik) menyebabkan hipertensi berat / hipertensi tiba-tiba - Gagal Ginjal 4. Diuresis hipoosmolar, pasien mudah terjadi dehidrasi 5. Stift Join Sindrome , timbul kekakuan sendi atlantooccipitalis yang dapat menyebabkan kesulitan melakukan tindakan intubasi.

1.7. PENILAIAN PRABEDAH Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus . Pasien dengan hipertensi mempunyai 9

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah. PHYSICAL STATUS Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan pra bedah, selanjutnya dapat dibuat penilaian status fisis. ASA mengklasifikasikan pasien kedalam beberapa tingkatan pasien berdasarkan kondisi pasien : ASA I : Pasien normal, sehat fisik dan mental ASA II : pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan fungsi ASA III: pasien dengan penyakit sedang hingga berat dan mengalami keterbatasan fungsi ASA IV : pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam nyawa. ASA V : penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau tanpa operasi. ASA VI : penedrita mati batang otak yang organ-organya dapat digunakan untuk donor. E : Bila operasi yang dilakukan darurat (emergency) maka penggolongan ASA diikuti huruf E ( e.g I E atau II E )

1.8. ANESTESI PADA PENDERITA DIABETES MELITUS Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU. Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil 10

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes. Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, mencegah efek insulin untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon ; pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah. Pengaruh propofol pada sekresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya. Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan komplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.

1.9. TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat 11

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

kompetitif reseptor adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal. Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.

1.10. KONTROL METABOLIK PERIOPERATIF Tujuan pokok adalah : 1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan. 2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme katabolik dan ketoasidosis. 3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia. Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga hanya membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya. Untuk bedah yang relatif kecil, jangan diberikan obat anti diabetes oral kerja pendek pada hari operasi, dan obat kerja lama 2 hari sebelum pembedahan. Untuk bedah besar, dosis kecil insulin mungkin dibutuhkan untuk mengontrol kadar gula darah dan glikosuria Indikasi pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan kondisi di bawah ini: 1. 2. 3. Gula darah puasa > 180 mg/dl Hemoglobin glikosilasi 8-10 g% Lama pembedahan lebih 2 jam

Untuk pasien-pasien yang kronis, dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk 12

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

bedah minor cukup dengan pemberian insulin subkutan. Pada pagi hari sebelum pembedahan, pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!, dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl. Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.(6) Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang paling sering digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah dari dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana insulin

perioperatif pada pasien DM Pemberian secara bolus Preoperatif D5W (1,5 ml/kg/jam) pagi hari) (NPH=neutral protamine Hagedorn) Intraoperatif Regular insulin (berdasarkan sliding scale) Pascaoperatif Sama dengan intraoperatif Sama dengan preoperatif Sama dengan preoperatif Infus kontinyu D5W (1 ml/kg/jam) Glukosa plasma : 150

NPH insulin (1/2 dosis biasa Regular insulin Unit/jam =

Tabel diunduh dari http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feeds pada pada tanggal 20Maret 2013 pukul 21.00

Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang normalnya mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan kadar gula darahnya 150 13

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum pembedahan bersama-sama dengan infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam). Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien mengalami hipoglikemia (<100 mg/dl). Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl) diobati dengan RI intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus diingat bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien dalam keadaan katabolik (sepsis, hipertermi).6,8 Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan lebih tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10 sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1 ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah, infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen): Gukosa plasma (mg/dl) Unit perjam = 150 Glukosa plasma (mg/dl) Unit per jam = 100 pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin menyebabkan pergeseran kalium intraselular.6,8 Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan perencanaan yang seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins adalah sebagai berikut: Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5% perjam diberikan intra vena. Kalium dapat ditambahkan tetapi hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut: 1. 2. Campur 50 RI kedalam 500cc 0,9%Nacl. Infuskan dengan larutan 0,5-1 /jam (5-10 cc/jam dengan pompa infus). atau

14

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

3.

Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan kebutuhan insulin seperti di bawah ini : Kadar gula darah mmol (mg/dl) 4,4 4,4 - 6,6 6,6-9,9 9,9 - 13,2 > 13,75 ( 80 ) ( 80 - 120 ) (120 - 180) (180 - 240) . (>250) Kebutuhan insulin Matikan pompa, beri glukosa IV Kurangi insulin menjadi 0,2 - 0,7 u/jam teruskan insulin 0,5 - 1 /jam Naikkan laju insulin 0,8 - 1,5 /jam Laju insulin 1,5 /jam atau lebih

Tabel diunduh dari http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feeds pada pada tanggal 20Maret 2013 pukul 21.00

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran.1,9 Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK) dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-sama. Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran di bawah ini:

Kadar gula < 150 mg/dl 150 - 250 mg/dl

Infus insulin 5 cc/jam (1 unit/jam) 10 cc/jam (2 unit/jam)

15

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

250 - 300 mg/dl 300 - 400 mg/dl

15 cc/jam (3 unit/jam) 20 cc/jam (4 unit/jam)

Tabel diunduh dari http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-mellitus/feeds pada pada tanggal 20Maret 2013 pukul 21.00

Diabetes adalah salah satu penyebab paling umum dari stadium akhir gagal ginjal. Periksa urea, kreatinin dan elektrolit. Khusus memeriksa kalium terutama dalam pandangan dari kebutuhan yang mungkin untuk suksametonium sebagai akibat dari gastroparesis. Jika tidak tersedia, proteinuria ini mungkin mengindikasikan kerusakan ginjal. Pastikan hidrasi yang cukup untuk mengurangi disfungsi ginjal pasca operasi. Pasien dengan diabetes memiliki faktor risiko bedah khusus untuk kesehatan yaitu mereka, faktor risiko kardiovaskular yang mungkin atau tidak mungkin sebelumnya telah didiagnosa. Pasien dengan diabetes mungkin memiliki silent ischemia, manifestasi atipikal dari iskemia koroner, atau kardiomiopati mendasarinya. Banyak pasien dengan diabetes tipe 2 memiliki hipertensi, yang dapat mempersulit manajemen perioperatif. Faktor-faktor risiko yang umum bedah pada populasi ini termasuk obesitas, penyakit ginjal kronis, dan disfungsi otonom tidak terdiagnosis, yang dapat mengganggu stabilitas hemodinamik pada periode perioperatif. Selain itu, pasien dengan lama pengurangan diabetes pengalaman dalam fungsi paru (misalnya, volume ekspirasi paksa, arus puncak ekspirasi, dan kapasitas difusi untuk karbon monoksida) terkait dengan durasi penyakit dan cedera pembuluh darah, yang dapat mempersulit 2 menyapih dari dukungan ventilasi.

Karakteristik prosedur dan anestesi Kedua operasi dan anestesi dapat menyebabkan peningkatan kadar hormon stres (epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) dan sitokin inflamasi (interleukin-6 dan tumor necrosis factor-alpha), mengakibatkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin (bahkan di antara pasien yang hadir dengan sekresi insulin yang memadai). Ini pada gilirannya memberikan kontribusi lipolisis dan katabolisme protein, menyebabkan hiperglikemia dan, 16

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

jika pasien yang sangat kekurangan insulin, ketoasidosis. Faktor lain yang sangat mempengaruhi resistensi insulin dan sekresi termasuk operasi bypass jantung, sepsis, kebutuhan nutrisi parenteral total, dan terapi steroid. Karakteristik dari prosedur bedah, termasuk jenis operasi serta urgensinya, durasi, dan waktu (pagi vs di kemudian hari), yang penting dalam perencanaan pengelolaan glikemik perioperatif. Misalnya, prosedur, pendek kecil mungkin memerlukan pengamatan saja, sedangkan prosedur yang lebih luas menjamin pemantauan berkala dan manajemen glikemik aktif dengan infus insulin. Jenis anestesi juga harus dipertimbangkan. Dibandingkan dengan anestesi epidural, anestesi umum dikaitkan dengan stimulasi yang lebih besar dari sistem saraf simpatik dan kadar katekolamin meningkat, sehingga lebih jelas. 1.11. PERAWATAN PASCA BEDAH Infus glukosa dan insulin harus tetap diteruskan sampai kondisi metabolik pasien stabil dan pasien sudah boleh makan. Infus glukosa dan insulin dihentikan hanya setelah pemberian subkutan insulin kerja pendek. Setelah pembedahan besar, infus glukosa dan insulin harus diteruskan sampai pasien dapat makan makanan padat. Pada pasien-pasien ini, kegunaan dari suntikan subkutan insulin kerja pendek sebelum makan dan insulin kerja sedang pada waktu tidur dianjurkan selama 24-48 jam pertama setelah infus glukosa dan insulin dihentikan dan sebelum regimen insulin pasien dilanjutkan. Perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya hipoglikemia atau hiperglikemia pasien pasca bedah terutama bite terdapat keterlambatan bangun atau penurunan kesadaran. Harus dipantau kadar gula darah pasca bedah. Pemeriksaan EKG postoperatif serial dianjurkan pada pasien DM usia lanjut, penderita DM tipe I, dan penderita dengan penyakit jantung Infark miokard postoperatif mungkin tanpa gejala dan mempunyai mortalitas yang tinggi. Jika ada perubahan status mental, hipotensi yang tak dapat dijelaskan atau disritmia, maka perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya infark miokard. 1.12. DEBRIDEMENT DAN AMPUTASI GANGRENE a. Definisi Kaki diabetes gangrene merupakan salah satu komplikasi dari penyakit vascular akibat penyakit diabetes. b. Ruang lingkup 17

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Diagnosis diabetes tidak sukar untuk ditegakkan. Sebaiknya dibiasakan mencari tanda tanda kelainan vaskuler pada pasien diabetes, seperti mengecilnya atau menghilangnya pulsasi perifer. Osteomyelitis tulang metatarsal atau tulang tulang kaki yang lain akan terlihat pada pemeriksaan radiologik. Pemeriksaan Doppler Ultrasound akan menjelaskan kelainan hemodinamik dan vaskularisasi setempat, sedangkan arteriografi menggambarkan secara rinci lokasi, kelainan dan kolateral dari sistem arteri, yang diperlukan untuk menentukan jenis operasi dan prognosisnya biasanya berbeda untuk setiap pasien diabetik. c. Indikasi operasi Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang disertai selulitis luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase darah yang terinfeksi sebaiknya dilakukan di kamar operasi dan secepat mungkin. Debridemen harus tetap dilaksanakan biarpun keadaan vascular masih belum optimal. d. Kontra indikasi operasi: Adanya penyakit dasar yang masih aktif dalam hal ini adalah diabetes militus yang tidak terkontrol merupakan kontraindikasi dilakukannya operasi amputasi. Kemudian adanya infeksi yang masih aktif pada kaki gangrene tersebut. e. Diagnosis Banding gangrene diabetikum adalah : Gangrene karena sebab yang lain f. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaa penunjang untuk kasus oklusi arteri dan gangren diantaranya pemeriksaan laboratorium, dopler Ultrasound blood flow director, Arteriografi, magnetic Resonance Agiography

1. 12. 1. Tehnik Operasi (Tehnik perawatan konservatif) Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang diserti selulitis luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase daerah yang terinfeksi sebaiknya di lakukan di kamar operasi dan dilakukan secepat mukin. Biasanya diperlukan beberapa insisi untuk mencapai drainase yang adekuat. Debridemen harus tetap dilakukan biarpun keadaan vascular masih belum optimal. Baru setelah jelas batas antara jaringan sehat dan jaringan mati, kita melakukan nekrotomi, membuang semua jaringan mati termasuk amputasi jari, bila diperlukan. Tapi selalu diingat untuk 18

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

mempertahankan jaringan sehat sebanyak mungkin. Hasil akhir pengelolaan kaki diabetes ini ditentukan oleh lokasi ulkus, luasnya infeksi, kontrol gula darah dan cukup atau tidaknya sirkulasi vaskuler. Lingkungan yang lembab disekitar ulkus akan merangsang penyembuhan. Kelembaban ( kompres ) ini dipertahankan dengan mengganti kain kasa pembalut 3 4 kali sehari. Cairan yang dipakai sebaiknya cairan isotonik, dan hanya bila korengnya sangat kotor, penuh nanah jaringan mati dicoba dengan merendam kaki tersebut dengan larutan betadine. Ulkus yang mulai membaik dilakukan nekrotomi dan bila sudah terlihat jaringan granulasi dapat dilakukan skin graft. Bila terjadi peradangan yang tidak dapat diatasi dan ada tanda tanda penyebaran yang sangat cepat, maka amputasi harus dipertimbangkan dengan segera dan jangan ditunggu sampai terlambat. Biasanya dalam waktu 24 48 jam sudah terlihat jelas perjalanan penyakit tersebut. Pertahanan badan daerah sendi tumit lebih kurang terhadap peradangan dan akan terlihat penyebaran yang cepat yang dapat mengakibatkan septikemi. Seringkali amputasi harus dikerjakan setinggi paha untuk menghentikan peradangan berlanjut yang kadang kadang bersifat life saving. Tindakan amputasi dapat dilakukan setinggi above knee, below knee, syme amputation, transmetatarsal Tindakan debridement berupa eksisi atau nekrotomi

1. 12. 2. ALGORITMA DAN PROSEDUR Algoritma

Iskemia Tungkai Apakah dari sumbatan vena atau arteri ?

19

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Arteri

ULKUS ?

YA

Apaka tungkai masih

TIDAK Debrideme

YA

TIDAK

Konservat

Amputasi

1. 12. 3. Komplikasi operasi Komplikasi operasi meliputi Residen lmb ischemia merupakan komplikasi yang jarang namun jika terkena akan mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi. Trauma dari residal limb dapat disebabkan oleh karena cara jalan yang belum biasa sehingga kemungkinan pasien dapat terjatuh mengakibatkan fraktur terutama pada residual limb. Hematoma Tromboembolisme dapat terjadi karena amputasi merupakan faktor resiko ntk terjadinya Deep Vein. Trombosis hal ini disebabkan oleh karena mobilisasi yang terlalu lama pasca operasi, penyakit dasar yang tidak diobati, dan meligasi vena pada saat operasi bisa mengakibatkan stagnasi dan aliran darah. 1. 12. 4. Mortalitas Kurang dari 1 % 1. 12. 5. Perawatan Pasca Bedah Setelah operasi meliputi : Residual limb ischemia merupakan komplikasi yang jarang namun jika terkena akan mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi. Trauma dari residual 20

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

1. 12. 6. Perawatan Pasta Bedah Setelah operasi, pada luka bekas operasi cliberikan kasa steril setengah basah oleh NaCl dan dilepas setelah 3 5 hari, biasanya dilakukan di dalam ruang operasi. Dilakukan pemasangan drain dan jaringan nekrotik yang tersisa dapat dilakukan nekrotomi. Karena pasien pasien ini pada dasarnya masih mempunyai masalah pada dirinya neuropathy dan ischemia - maka pasien ini beresiko untuk mengalami kerusakan jarrigan yang lebih parch. Penyakit dasar dari pasien harus diobati pula. infeksi dapat diatasi dengan pemberian antibiotik sesuai dengan tingkat resistensinya. 1. 12. 7. Follow-Up Follow up pasien pasca amputasi adalah melakukan rehabilitasi (fisioterapi, konseling) dan pemasangan prostese. Pada pasien yang muda biasanya dilakukan tempi yang lebih agresif sehingga mempercepat kesembuhan dan dapat bekerja seperti dahulu kala meskipun dengan menggunakan alat bantu. Pada orang dengan lebih tua biasanya memerlukan waktu rehabilitasi yang lebih lama oleh karena resiko terkena infeksi sangat besar yang diakibatkan oleh menurunnya daya penyembuhan luka. Pada waktu follow up juga harus diperhatikan keadaan tertentu yang mengakinbatkan pasien menjadi terhambat dalam melakukan rehabilitasi, keadaan keadaan seperti adanya penyakit jantung, diabetes melitus harus menjadi perhatian. Jika pasien menghendaki dapat dipasang prostese sehingga fungsi tubuh pasien dapat mendekati normal dan menambah rasa percaya diri. Pasien sebelum meninggalkan rumah sakit hendaknya diberi pengarahan mengenai jadwal follow up, cara merawat bekas amputasi terutama dalam hal kebersihan. Jadwal follow-up : Tahun ke 1 : tiap 6 bulan Tahun ke 2: tiap I tahun Tahun ke 3-4 : Tahun ke 5: Yang dievaluasi : Kemampuan pasien dalam melakuka aktivitas sehari hari dengan bagian yang teramputasi Pengkerutan dari sisa amputasi

21

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

BAB II LAPORAN KASUS


2.1 Identitas Nama Umur Jenis Kelamin Agama : : : : Ny. Sumiati 50 tahun Perempuan Islam

22

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Alamat Tanggal MRS No. RM Ruangan 2.2 Anamnesa Keluhan Utama

: :

Jl. Kh. Abd. Hamid gang II no. 10 RT II RW I, Jrebeng Lor Sabtu, 9 Maret 2013, Pukul : 15.00 WIB

: 429635 : Kelas III R. Bougenville

: Bengkak pada kaki kanan

Riwayat Penyakit Sekarang : Kaki kanan Bengkak sejak 2 bulan yang lalu. Sebelumnya sempat merasa kesemutan pada kaki kanan, namun hilang timbul. Semakin lama bengkak makin bertambah besar. Terasa hangat pada bagian bengkak. Muncul luka yang awalnya kecil beserta nanah pada jari kaki kanan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Luka dengan cepat makin melebar dan menghasilkan nanah lebih banyak dari sebelumnya. Seminggu kemudian baru melakukan pemeriksaan di poliklinik bedah umum RSUD DR MOH. SALEH Kota Probolinggo dan disarankan rawat inap. Pasien menolak anjuran rawat inap. Luka semakin parah dan bernanah kemudian meluas kearah tungkai bawah. Selain keluhan timbulnya pembengkakan kaki, pasien merasa kurang enak badan sejak satu bulan yang lalu. Sempat merasa badan agak hangat. Pasien mengatakan hangatnya badan berangsur-angsur hilang sendiri. Seminggu sebelum masuk Rumah sakit pasien merasa lemas, keadaan semakin lemah. Pasien masuk Rumah sakit, Ruang Bougenville kelas III pada hari Sabtu, 9 Maret 2013 pukul 15.00. Riwayat Penyakit Dahulu Sebelumnya pasien tidak pernah seperti ini. Sebelumnya bila pasien merasa ada keluhan kesehatan jarang kontrol ke dokter. Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga riwayat DM. Riwayat Pengobatan Pasien tidak pernah operasi sebelumnya Riwayat Alergi Pasien tidak mempunyai riwayat alergi obat-obatan maupun makanan.

23

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Riwayat Kebiasaan Merokok (-), Alkohol (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran GCS Airway Breathing : Lemah : Compos Mentis :456 : Jalan Napas Bebas, batuk (-) : RR Sesak Asthma Suara Napas Tambahan Circulation : Tensi Nadi Perfusi Suhu Grimace Makan/Minum Mual/muntah Status Generalis Kepala Leher o Kepala o Mata o Leher Thorax : o Jantung o Paru Inspeksi : bentuk dada kifosis, retraksi (-), Gerakan dada simetris 24 Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : bentuk dada simetris, Gerakan dada simetris : iktus kordis (-) : batas jantung kesan normal : S1 dan S2 tunggal, reguler, murmur (-) : : bentuk simetris : Konjunctiva Anemi (+) sclera Icterus (-) : Pembesaran KGB (-) : 36 o C : (+) : nafsu makan turun. : mual (+) muntah (-) : 25 x/menit : (-) : (-) : (-) : 120/90 : 85 x/menit : merah, hangat, berkeringat

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Palpasi Perkusi

: fremitus vocal simetris : sonor

o Auskultasi Abdomen Inspeksi Palpasi

: suara napas vesikuler (+), wheezing (-), ronchi (-)

- Distensi (-), asites (-), jejas (-) - Defans muskuler (-), nyeri tekan (-), hepar dan

lien tidak teraba Perkusi Auskultasi - Timpani - Bising usus (+) normal

Extremitas : akral hangat

+ +

+ +

Edema

Tungkai atas Inspeksi - Memar (-), Bengkak (-), Deformitas (-), Perubahan warna kulit (-), Palpasi - Deformitas (-), krepitasi (-) , perubahan suhu (-), nyeri tekan (-), akral dingin

Status Lokalis (Tungkai bawah- regio cruris dextra) Look Kulit : warna kulit menjadi kehitaman, hiperemi Tampak odema pada Regio cruris dextra Tampak ulkus dengan pus Feel : suhu kulit meningkat pada daerah bengkak, nyeri tekan positif Move : gerak pasien terbatas karena bengkak dan merasa nyeri 25

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

2.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium (Sabtu, 9 Maret 2013) N o I 1 2 3 4 5 Jenis Pemeriksaan Fungsi Hati Billirubin Direct Billirubin Total SGOT SGPT Alkali Hasi l 1,25 2,45 45 28 265 Nilai Normal 0,5 mg/dl 1,0 mg/dl 31 U/I 31 U/I 60-240 mg/dl 2 266 140 mg/dl 3 Leukosit Diff.Count 15.900 -/-/74/1 3/2 4 5 PCV (hematokrit) Trombosit 26 N o II 1 2 3 Jenis Pemeriksaan Fungsi Ginjal BUN Creatinine Uric Acid Hasil Nilai Normal

46 1,9 12,1

10-20 mg/dl 0,5 1,7

mg/dl L: 3-7; P: 2-6 mg/dl

IV Darah 1 Lengkap Haemoglobin 8,1 L: 13-18 g/dl P: 12-16 g/dl 400011000/cmm 0-2/0-1/13/45-70/3550/0-2% L:40-50%

Fosfatase III Gula Darah 1 Acak (sewaktu)

P:35-47% 382.000 150.000450.000/cmm

Pemeriksaan EKG (Sabtu, 9 Maret 2013)

26

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Pemeriksaan Laboratorium (Senin, 11 Maret 2013) Pemeriksaan Hb Trombosit Gula darah sewaktu gdp Bilirubin total Bilirubin direct SKr BUN 2.5 Assestment Ulkus DM Redio Pedis dextra + DM type II + nefropathy DM 2.6 Planning Nekrotomy (debridement) 2.7 Physical Status : ASA III ( DM + Nefropati DM ) Hasil 9,9 192.000 242 172 2,45 1,25 1,49 46 Harga Normal L: 13-18 P: 12-16 g/dl 150.000 450.000/cm < 140 mg/ dl < 125 mg/dl < 1,1 mg/dl < 0,25 mg/dl 0,5-1,7 mg/dl 10-20 mg/dL

27

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

2.8 Premedikasi : Ondancetron 4 mg sebagai anti emetik 2.9 Anestesi yang diberikan Pada kasus ini digunakan teknik Regional Anestesi (RA) dengan menggunakan Sub Arakhnoid Block (SAB/Spinal Block) Induksi dan Durante operatif Teknik Regional Anestesi (RA) dengan menggunakan Sub Arakhnoid Block (SAB/Spinal Block) dengan menggunakan Bupivacain HCl 20 mg yang merupakan anestesi lokal golongan amida. Setelah itu pasien diberikan O2 murni sebesar 2 liter per menit melalui nasal prong. Selama tindakan anestesi berlangsung, pasien diberikan ephedrine sebagai vasopressor untuk meningkatkan tekanan darah. Tekanan darah dan nadi senantiasa dikontrol. Tekanan darah sistolik berkisar antara 82-124 mmHg. Tekanan diastolik berkisar antara 45-70 mmHg. Nadi berkisar antara 88-100 x/menit. Infus RL diberikan kepada pasien sebagai rumatan, selama operasi pasien kira-kira menghabiskan 500 cc cairan RL.

Gambar: Obat premedikasi dan induksi ; ondansetron, lidocain, bupivacaine dan ephedrin Post Operasi

28

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Operasi berlangsung kurang lebih 35 menit. Setelah operasi selesai diberikan Injeksi Ketopain 30mg secara Intravena sebagai analgesik. Kemudian O2 diberhentikan. Setelah Operasi Selesai, pasien dibawa ke ruangan pada pukul 14.05. Keadaan umum baik, kesadaran baik, GCS 4-5-6, napas spontan, Ronchi (-), wheezing (-) S1 dan S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-), Mual/muntah (-), Tensi 92/50 mmHg, Nadi 100 x/menit.

Gambar: Ketopain 30 mg post-op Terapi Post Op Infus RL 1000cc/24 jam Injeksi Ciprofloxasin 2 x 1 Injeksi Metronidazole 3 x 1 Injeksi Ketorolac 3 x 1 Injeksi Ranitidine 2 x 1

Monitoring Post Op a. Rabu, 13 Maret 2013 Pk. 19.00 Kesadaran Compos mentis, GCS 456, posisi berbaring, pasien mengatakan nyeri pada daerah bekas operasi, mual/muntah (-).Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 88 x/menit, RR 18 kali per menit, Suhu axilla 36,8 0C infus RL 1000 cc. GDA: 197 konsul dokter spesialis interna, terapi Injeksi RI 3 x 6 IU Secara Subkutan. b. Kamis, 14 Maret 2013 Pk. 16.00 Kesadaran Compos mentis, GCS 456, posisi berbaring, pasien mengatakan nyeri pada daerah bekas operasi dan merasa lemas, dari rawat luka ditemukan luka bekas operasi bernanah. mual/muntah (-). Tekanan darah 110/80 mmHg, Nadi 84 x/menit, RR 18 kali per menit, Suhu axilla 37 0C infus RL 500 cc 20 tpm. 29

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Terapi yang diberikan Injeksi Actrapid 3 x 4 IU secara Subkutan, Injeksi Ciprofloxasin 2 x 1, Metronidazole 3 x 1, injeksi Ketorolac 3 x 1, injeksi Ranitidine 3 x 1. c. Jumat, 15 Maret 2013 pukul 17.00 Kesadaran Compos mentis, GCS 456, posisi berbaring, pasien mengatakan nyeri pada daerah bekas operasi dan merasa lemas, dari rawat luka ditemukan luka bekas operasi bernanah dan bau (+). mual/muntah (-). Tekanan darah 110/80 mmHg, Nadi 80 x/menit, RR 18 kali per menit, Suhu axilla 37 0C infus RL 500 cc 20 tpm. Terapi yang diberikan Injeksi RI 3 x 4 IU secara Subkutan, Injeksi Ciprofloxasin 2 x 1, Metronidazole 3 x 1, injeksi Ketorolac 3 x 1, injeksi Ranitidine 3 x 1. Hasil konsul dokter bedah umum : Pro debridement ulang d. Sabtu, 16 Maret 2013 pukul 19.00 Kesadaran Compos mentis, GCS 456, keadaan umum lemah, posisi berbaring. Keluar darah dari anus bergumpal-gumpal. Tekanan darah 50/palpasi, Nadi 110 x/menit (lemah dan cepat), konjungtiva anemis (+), Hb 5,9 g/dl, Leukosit 20.520/cmm, Hematokrit 20%, GDA 240 gr/dl, RR 24 kali per menit, Suhu axilla 36,30C infus HES 1000 cc (guyur), Rh -/-. Terapi yang diberikan Injeksi RI 3 x 4 IU secara Subkutan, Injeksi Asam tranexamat 1 ampul IV, Infus HES habis diganti RL drip Adora 1ampul 30 tpm, Injeksi Vitamin K 3 x 1 , Injeksi Ciprofloxasin 2 x 1, Metronidazole 3 x 1, injeksi Ketorolac 3 x 1, injeksi Ranitidine 3 x 1. Pemasangan DC, Tampon dan penggunaan nasal prong O2 2 lpm. e. Sabtu, 16 Maret 2013 pukul 22.30 Kesadaran Compos mentis, GCS 456, keadaan umum lemah, pasien keringat dingin. Ganti tampon karena darah masih merembes. Tekanan darah 50/palpasi, Nadi 110 x/menit (lemah dan cepat), konjungtiva anemis (+),Hb 5,9 g/dl, Leukosit 20.520/cmm, Hematokrit 20%, GDA 235 gr/dl, RR 24 kali per menit, Suhu axilla 36,30C, Rh -/-. Terapi yang diberikan Tranfusi darah PRC kedua, Injeksi RI 3 x 4 IU secara Subkutan, Injeksi Asam tranexamat 1 ampul IV, Injeksi Vitamin K 3 x 1, Injeksi

30

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Ciprofloxasin 2 x 1, Metronidazole 3 x 1, injeksi Ketorolac 3 x 1, injeksi Ranitidine 3 x 1. Pemasangan DC 450 cc, Tampon dan penggunaan O2 masker 10 lpm. f. Minggu, 17 Maret 2013 pukul 07.30 Kesadaran Compos mentis, GCS 456, keadaan umum gelisah, pasien sesak, keluar darah segar dari anus. Tekanan darah 60/palpasi, Nadi lemah dan cepat, konjungtiva anemis (+), RR 100x per menit, Suhu axilla 36 0C. Terapi yang diberikan Tranfusi darah PRC, Injeksi Asam tranexid 2 x 1 ampul, Injeksi Vitamin K 3 x 1. Tampon (+) dan penggunaan O2 masker 10 lpm. g. Minggu, 17 Maret 2013 pukul 08.20 Pasien tidak sadarkan diri, Midarasi +/+, Nadi tidak teraba, tekanan darah (-), RR (-). Pasien dinyatakan meninggal dunia.

BAB III PEMBAHASAN


31

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Pada pasien ini status fisiknya adalah ASA III, artinya pasien ini mempunyai kelainan sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan keterbatasan fungsi. Penyulitnya adalah DM dan Nefropati DM. Penyulit pada pasien DM lanjut, organ lain bisa terkena imbasnya maka diperlukan. Pasien DM ada kemungkinan dapat terjadi komplikasi hipoglikemia atau hiperglikemia karena regulasi tubuh sudah mengalami kekacauan. Maka dari itu pentingnya sebelum operasi dilakukan pengendalian metabolik maupun monitor keadaan kardiovaskular, neurologi maupun fungsi ginjal. Jenis operasi yang dilakukan yakni debridement, dimana jenis anestesi yang digunakan adalah anestesi spinal untuk meberikan efek yang cepat serta dalam dan keseimbangan blockade motorik maupun sensorik dalam prosesnya. Tindakan bedah akut diperlukan pada ulkus dengan infeksi berat yang disertai selulitis luas, limfangitis, nekrosis jaringan dan nanah. Debridemen dan drainase darah yang terinfeksi sebaiknya dilakukan di kamar operasi dan secepat mungkin. Debridemen harus tetap dilaksanakan biarpun keadaan vascular masih belum optimal. Tindakan debridement berupa eksisi atau nekrotomi. Proses pembedahan merupakan stres fisik tersendiri yang ditandai proses katabolisme, peningkatan metabolisme, peningkatan pemecahan protein dan lemak, balans nitrogen negatif, starvasi, dan intoleransi glukosa. Derajat perubahan metabolik sangat terkait dengan prosedur pembedahannya, lama pembedahan, dan komplikasi yang terjadi. Terjadi juga peningkatan sekresi hormon-hormon katekolamin, ACTH, kortisol, hormon pertumbuhan ( GH ), dan glukagon selama operasi sebagai akibat kekacauan metabolisme. Respon stres terhadap pembedahan berupa peningkatan kadar gula darah pada penderita non diabetes adalah akibat sekresi dari hormon katabolik dan terdapatnya defisiensi insulin relatif. Defisiensi relative terjadi akibat kombinasi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi akibat meningkatnya sekresi hormon anti insulin ( kortisol, growth hormon, epinefrin, dan katekolamin ) serta tejadinya perubahan pada paska reseptor insulin yang mengakibatkan penurunan transport glukosa transmembran. Semua efek metabolik pembedahan di atas akan memperberat kondisi pada pendeita diabetes. Adanya katabolisme dapat menyebabkan pelepasan asam lemak, ketogenesis, hiperglikemia, dan bahkan dapat menyebabkan ketoasidosis. Oleh karena itu tujuan utama dari pengelolaan selama pembedahan adalah mencegah terjadinya dekompensasi metabolisme bersamaan mencegah terjadinya hipoglikemia sehingga tercapai kontrol diabetik yang baik selama pembedahan. 32

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Jenis anastesi juga mempunyai pengaruh metabolik pada penderita diabetes. Anastesi ekstradural dan spinal mempunyai pengaruh yang lebih ringan dibandingkan general. Secara teori hampir semua obat anestesi meningkatkan glukosa darah terutama untuk anestesi inhalasi dan umum Obat-obat anastesi seperti eter, chloroform, dan cyclopropane dapat meningkatkan kadar gula darah, mobilisasi asam lemak, inhibisi sekresi insulin, dan peningkatan sekresi katekolamin dan ACTH. Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Untuk itu Anestesi lokal dan dan regional merupakan alternatif bagi pasien dengan diabetes. Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan komplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi. Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parsial. Obat-Obatan yang Dipakai 1. Ondancetron 4 mg Antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya ciplastin dan radiasi. Mekanisme kerjanya diduga langsung mengantagonisasikan reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor trigger zone di area postrema otak dan mungkin juga averen vagal saluran cerna. Selain itu juga mempercepat pengosongan lambung bila pengosongan kecepatan basal rendah, tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga terjadi konstipasi. Kadar maksimum tercapai setelah 1-1,5 jam. 33

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Dosisnya 0,1-0,2 mg/kgBB IV. Efek sampingnya konstipasi, sakit kepala, flushingm mengantuk, gangguan saluran cerna. Kontra indikasinya hipersensitivitas. Peringatan pada ibu menyusui, penyakit hati dan insufisiensi ginjal. 2. Bupivacaine HCl 20 mg (Marcaine) Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai berikut : 1butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride. Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Derivat anilide yang lebih kuat dan lebih lama efeknya dibandingkan Lidocaine dan Mepivacaine. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah. Digunakan pada konsentrasi 0,25 % - 0,75 %. Jumlah total satu kali pembagian maksimal 200-500 mg. Pada konstentrasi rendah, blok motorik kurang adekuat. Untuk operasi abdominal diperlukan konsentrasi 75 %. Onsetnya lebih lambat dari Lidocain dan Mepivacaine,tetapi lama kerjanya 2-3 x lebih lama. Secara komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 1520 mg, sedangkan bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-22,5 mg. Pada dosis 0,25 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %, epidural 0,5 0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya 3 4 mg / kgBB. 3. Ketopain 30mg Ketorolac termasuk golongan obat antiinflamasi non steroid (NSAID), obat ini untuk penggunaan jangka pendek (tidak lebih dari 5 hari). Ketorolac adalah derivat dari pyrrolo-pyrole pada kelompok NSAID Ketorolac tidak mempengaruhi hemodinamik pasien. Ketorolac tidak menstimulasi reseptor opioid sehingga tidak menimbulkan efek depresi pernafasan, sedatif dan euforia. 34

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti dengan 1030 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis efektif terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg. Indikasi Ketorolac untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total Ketorolac tidak boleh lebih dari lima hari. Resiko yang paling serius yang berhubungan dengan ketorolac adalah, seperti NSAID lainnya, gastrointestinal ulkus, perdarahan dan perforasi, ginjal peristiwa mulai dari interstisial nefritis untuk menyelesaikan gagal ginjal, perdarahan, dan hipersensitivitas reaksi. Pada hepar, terjadi peningkatan fungsi hepar dalam batas normal yang sifatnya sementara selama terapi. Maka Ketorolak kontra indikasi dengan faktor resiko diatas. Efek samping Ketorolac: diare, dispepsia, nyeri GI, mual, sakit kepala, mengantuk, berkeringat, edema, melena, tukak peptik, konstipasi, perdarahan per rektal, purpura, gangguan fungsi hati, maupun ganggguan fungsi ginjal poliuria maupun oligouria. 4. Ephedrine 50 mg/ ml Efedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang secara alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam efek secara langsung pada sel efektor. Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor , 1, 2. Efek pada 1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase. Efek pada 1 dan 2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat. Efek 1 berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada baroreseptor karena efek peningkatan TD20. Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis (pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang dapat dilepas, efek yang menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek perifernya. Hanya I-efedrin dan efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik. Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik dan mendesak NE keluar. Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat juga biasanya 35

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar. Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin. Disamping itu berbeda dengan efedrin, kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus. 5. Lidocain Lidokain (xilokain) adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih ekstensif daripada yang ditunjukkan oleh prokain pada konsentrasi yang sebanding. Lidokain merupakan aminoetilamid dan merupakan prototik dari anestetik lokal golongan amida.Larutan Lidokain 0,5% digunakan untuk anestesi infiltrasi, sedangkan larutan 1-2% untuk anestesia blok dan topikal. Anestetik ini lebih efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbsi dan toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap anestetik lokal golongan ester. Sediaan berupa larutan 0,5-5% dengan atau tanpa epinefrin (1:50000 sampai 1:200000). Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk anestesia infiltrasi, blokade saraf, anestesia spinal, anestesia epidural ataupun anestesia kaudal, dan secara setempat untuk anestesia selaput lendir. Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP, misalnya mengantuk, pusing, parastesia, kedutan otot, gangguan mental, koma, dan bangkitan. Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau oleh henti jantung.

Pada pasien ini ditemukan peningkatan pada : Pemeriksaan Hasil Normal 36

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

Gula darah sewaktu gdp Bilirubin total Bilirubin direct SKr BUN Leukosit Trombosit

242 172 2,45 1,25 1,49 46 15.900/cmm 192.000

< 140 mg/ dl < 125 mg/dl < 1,1 mg/dl < 0,25 mg/dl 0,5-1,7 mg/dl 10-20 mg/dL 4000-11.000/cmm 150.000 450.000/cm

Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens kreatinin. Pada Pasien ditemukan peningkatan kadar BUN, namun dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih. Pada Pasien ditemukan peningkatan leukosit yaitu 15.900/cmm. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh: 1. Sepsis 2. Neuropati autonomik 3. Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer) Keadaan umum pasien lemah, hari ketiga paska operasi pasien mengalami pendarahan dari anus. Pasien telah mendapatkan terapi yang diberikan Tranfusi darah PRC, Injeksi Asam tranexamat, Injeksi Vitamin, dan sebelumnya telah mendapatan infus drip Adora namun pendarahan masih merembes pada tampon. Keadaan pasien makin melemah, GDA 235 gr/dl Hb 5,9 g/dl pergantian nasal prong menjadi O2 masker. Keesokan harinya pasien mengeluh sesak, keadaan semakin melemah hingga tidak teraba nadi dan tekanan darah, kemudian meninggal dunia. Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi, 37

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gastroparesis, gangguan jaringan kolagen (penyembuhan luka yang buruk),dan produksi granulosit yang inadekuat. Pada pasien ditemukan peningkatan leukosit dan Hb yang rendah. Pasien yang menderita DM dengan penyulit kronis dimana ditemukan peningkatan Bilirubin dan kadar BUN, mengindikasikan sudah terjadi komplikasi pada organ hati maupun ginjal pada pasien, maka kemungkinan gangguan dengan metabolisme dan ekskresi obat-obat selama terapi juga berpengaruh. Pada penderita DM juga mengalami penurunan daya imunitasnya maka meningkatkan resiko infeksi yang kemungkinan meningkatkan resiko mortalitas.

BAB IV KESIMPULAN

Pasien DM ada kemungkinan dapat terjadi komplikasi hipoglikemia atau hiperglikemia karena regulasi tubuh sudah mengalami kekacauan. Proses pembedahan merupakan stres fisik. Respon stres terhadap pembedahan berupa peningkatan kadar gula 38

Fakultas Kedokteran UWKS RSUD Dr. Moh. Saleh Probolinggo

darah pada penderita. Semua efek metabolik pembedahan di atas akan memperberat kondisi pada pendeita diabetes. Oleh karena itu tujuan utama dari pengelolaan selama pembedahan adalah mencegah terjadinya dekompensasi metabolisme bersamaan mencegah terjadinya hipoglikemia sehingga tercapai kontrol diabetik yang baik selama pembedahan. Pada Lapsus ini, Jenis operasi yang dilakukan yakni debridement, dimana jenis anestesi yang digunakan adalah anestesi spinal. Jenis anastesi juga mempunyai pengaruh metabolik pada penderita diabetes. Anastesi ekstradural dan spinal mempunyai pengaruh yang lebih ringan dibandingkan general. Anestesi lokal dan dan regional merupakan alternatif bagi pasien dengan diabetes. Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi. Penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas pada diabetes mellitus adalah karena penyulit kronis, hal tersebut terjadi karena hiperglikemia yang tak terkontrol dalam jangka waktu lama, berupa mikro dan makroangiopati. Penyulit kronis tersebut berhubungan dengan disfungsi organ seperti penyakit arteri koroner, penyakit pembuluh darah otak, hipertensi, insufisiensi ginjal, neuropati autonomik diabetik, gastroparesis, gangguan jaringan kolagen (penyembuhan luka yang buruk), produksi granulosit yang inadekuat sehingga mempengaruhi daya imunitas penderita Diabetes Melitus.

39

Anda mungkin juga menyukai

  • Buta Menurut Kategori WHO 2
    Buta Menurut Kategori WHO 2
    Dokumen2 halaman
    Buta Menurut Kategori WHO 2
    Ruchyta Ranti
    60% (5)
  • Sarpus I Upload
    Sarpus I Upload
    Dokumen30 halaman
    Sarpus I Upload
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Jati Luwih Rice Terrace
    Jati Luwih Rice Terrace
    Dokumen6 halaman
    Jati Luwih Rice Terrace
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Roadmap PGP
    Roadmap PGP
    Dokumen4 halaman
    Roadmap PGP
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Harga Tas Lipat
    Harga Tas Lipat
    Dokumen3 halaman
    Harga Tas Lipat
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Edit Sarpus 1 Lengkap
    Edit Sarpus 1 Lengkap
    Dokumen32 halaman
    Edit Sarpus 1 Lengkap
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Sindis
    Sindis
    Dokumen77 halaman
    Sindis
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Filsafat Ilmu
    Filsafat Ilmu
    Dokumen7 halaman
    Filsafat Ilmu
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Bento
    Bento
    Dokumen1 halaman
    Bento
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Lensa Kontak
    Lensa Kontak
    Dokumen2 halaman
    Lensa Kontak
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Konsumsi
    Konsumsi
    Dokumen35 halaman
    Konsumsi
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Ablatio Ophtal
    Ablatio Ophtal
    Dokumen351 halaman
    Ablatio Ophtal
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Konsumsi Jajan Bali
    Konsumsi Jajan Bali
    Dokumen34 halaman
    Konsumsi Jajan Bali
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Schwartz-Matsuo Syndrome+ Papilitis
    Schwartz-Matsuo Syndrome+ Papilitis
    Dokumen4 halaman
    Schwartz-Matsuo Syndrome+ Papilitis
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Diagnosa DF
    Diagnosa DF
    Dokumen117 halaman
    Diagnosa DF
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Hernia
    Lapsus Hernia
    Dokumen37 halaman
    Lapsus Hernia
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Revisi
    Lapsus Revisi
    Dokumen52 halaman
    Lapsus Revisi
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Disease TKM
    Disease TKM
    Dokumen161 halaman
    Disease TKM
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Entomolog
    Entomolog
    Dokumen158 halaman
    Entomolog
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Sindis
    Sindis
    Dokumen77 halaman
    Sindis
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • DEMAM
    DEMAM
    Dokumen64 halaman
    DEMAM
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • PTKM
    PTKM
    Dokumen52 halaman
    PTKM
    Ida Ayu Prama Yanthi
    0% (1)
  • PTKM
    PTKM
    Dokumen52 halaman
    PTKM
    Ida Ayu Prama Yanthi
    0% (1)
  • Lapsus Revisi
    Lapsus Revisi
    Dokumen52 halaman
    Lapsus Revisi
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Surped
    Surped
    Dokumen142 halaman
    Surped
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Retinal Soal
    Retinal Soal
    Dokumen284 halaman
    Retinal Soal
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Accidentally Skin
    Accidentally Skin
    Dokumen243 halaman
    Accidentally Skin
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Detachement
    Detachement
    Dokumen2.555 halaman
    Detachement
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Trauma Laserasi
    Trauma Laserasi
    Dokumen2.694 halaman
    Trauma Laserasi
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Detach
    Presentasi Detach
    Dokumen255 halaman
    Presentasi Detach
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat