Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN TUTORIAL BLOK THT SKENARIO III PATOFISIOLOGI DAN MANIFESTASI KLINIS HIPERTROFI ADENOID

OLEH: KELOMPOK 15 1. Putri Ayu W 2. Ginanjar Tenri Sultan 3. Himmatul Fuad 4. Noviana Rahmawati 5. Okti Rahmawati 6. Shinta Adi Sarasati 7. Surya Adhi Prakoso 8. Zhafran Veliawan 9. Sales Pousror (G0010156) (G0010086) (G0010094) (G0010140) (G0010146) (G0010176) (G0010182) (G0010206) (G0010208)

Tutor : Adi Prayitno, drg

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2012

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar belakang Peradangan pada tonsil bisa terjadi dari berpagai penyebab, termasuk kareana virus dan juga karena bakteri. Pasient dengan peradangan pada tonsil biasanya memdapatkan gejala seperti nafsu makan menurun, badan demam, sakit saat menelan,dll. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologinya dan bagaimana bisa terjadi gejala seperti diatas kita dapat sebuah sekanario sebagai berikut: Anakku mengeluh teggoroknya sering sakit Seorang anak laki-laki usia 8 tahun bersama ibunya datang ke poliklinik, dengan keluhan seduah dua tidak mau makan, karena sakit untuk menelan, badan demam. Benjolan pada leher dan nyeri saat ditekan, disertai suara serak. Keluhan yang sama sering di rasakan sejak usia 5 thanun, dan pasien kalau tidur mengorok. Tetapi riwayat sesak nafas disangkal. Pada pemierksaan pharing didapatkan: mukosa pharing granuloma(+) dan hiperemi, tonsil fibrosis dan diteritus(+), plica vokalis oedema dan radiologi: rontgen nasofaring adenoid membeser. II. RUMUSAN MASALAH 1. Anatomi dan fisiologi pharing/ tonsil. 2. Fisiologi menelan. Bersuara. 3. Patofisiologi dari menifestasi klinis yang diderita pasient , sakit menelan, badan demam, benjolan pada leher nyeri tekan, suara serak. 4. Mekanisme tubuh ketika terjadi infeksi dan inflamasi. 5. Interpritasi hasil pemeriksaan labotorium (ELISA). 6. Streptococcus dan antibiotic 7. Diferensial diagnosis.

III.

TUJUAN Tujuan pembelajaran pada sekanario ke tiga ini adalah: 1. Anatomi dan fisiolog tonsil 2. Fisiologi menelan 3. Patofisiologi dari menifestasi klinis yang diterita pasien 4. Mengetahui mekanisme tubuh ketika terjadi infeksi dan inflamasi 5. Interpretasi hasil labotorium (ELISA) 6. Streptococcus dan antibioticnya

BAB II STUDI PUSTAKA

1.

ANATOMI PHARYNX/ TONSIL Pharynx adalah bagian dari tractus digestifus dan tractus respiratorius yang

terletak debelakang cavum nasi, cavum oris, dan dibelakang larynx. Merupakan saluran musculomembranosus yang berventuk kerucut dengan basis diatas dan apex dibawah. Pharynx membentang dari basis cranii (tuberculum pharyngeum) sampai setinggi cartilage cricoid dibagain depan dan setinggi VC 6 dibagain belakang. Anatomi rongga mulut, faring, laring ditampilkan dalam gambar 1. Lidah memiliki permukaan lisan dan faring. Rongga mulut dipisahkan dari faring oleh tiang-tiang faucial. Faring memiliki lapisan konstriktor otot-otot yang bersumber pada tempurung kepala dan tulang hyoid dan tulang rawan tiroid anterior dan memasukkan pada posterior median raphe. Otot-otot submental berasal pada mandibula dan melampirkan ke tulang hyoid dan lidah. Otot cricopharyngeus melekat ke sisi tulang rawan krikoid anterior dan menutup sfingter esofagus bagian atas (UES) dengan mengompresi terhadap ke belakang tulang rawan krikoid. Bagain pharing yang terletak debelakang cavum oris, setinggi palatum molle sampai tepi atas epiglotica SC 2-3. Berhubungan dengan kavum oris melalui isthmus faucium. Didaerah isthmus faucium terdapat suatu lingkaran jaringan limfoid (annulus waldeyers) yang tersusun dari, tonsila pharyngea, tonsila palatine, tonsila lingualis. Annulus waldeyer berfungsi sebagai barrier therhadap rembetan infeksi. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris. Hasil perkembangan dari saccus pharyngeus II saat embrio. Di innervasi oleh N,IX, ateri oleh r. tonsilaris a. facialis. Epiglottis berasal dari laring dan miring ke atas dan ke belakang melekat tulang hyoid anterior. Ruang antara faring permukaan lidah dan epiglotis disebut valleculae. Laring mempunyai dua plica vocalis yaitu sejati dan palsu lipatan vokal serta permukaan laring epiglottis. Laring aditus (ujung atas laring)

membuka ke bagian bawah faring. Lateral laring adalah dua ruang di faring disebut relung pyriform.

Gambar I, Fisiologi tonsil Kedua tonsil merupakan jaringan limfoid yang terletak di kanan dan kiri faring di antara tiang tiang tengkus fauses. Tonsil dijelejahi pembuluh darah dan pembuluh limfe dan mengandung banyak limfosit. Permukaan tonsil ditutupi membrane mokosa yang bersambung degan bagian bawah faring. Permukaan ini penuh dengan lekukan. Dan ke dalam lekukan yang banyak ini sejmulah beser kelenjar penghasil mucus menuangkan sekresinya. Mucus ini mengandung banyak limfosit. Dengan demikian tonsil bekerja sebagai garis depan pertahanna dalam infeksi yang tersebar dari hidung. Mulut dan tenggorok. Meskipun demikian tonsil bisa gagal menahan infeksi. Yaitu ketida terjadi tonsillitis (peradangan tonsil) atau sebuah avses peritonsiler.

Fisiologi faring Faring berfungsi untuk membantu proses menelan dan pernafasan. Pada orofaring dan laringofaring terdapat persilangan jalan yaitu persilangan jalan udara pernafasan dan jalan makanan/minuman. Udara pernafasan dari hidung akan menyilang masuk ke trakea yang telaknya di depan esophagus, sedangkan makanan dari mulut akan menyilang masuk ke esophagus yang letaknya dibelakang trakea. Dengan demikian, agar tidak terjadi salah jalan, yaitu udara pernafasan masuk ke jalan makanan atau sebaliknya. Pada persilangan jalan ini, udara pernafasan dan makanan harus bergantian lewat. Dalam hal ini epiglottis akan mengatur giliran bagi udara dan makanan/ minuman dalam mempergunakan persilangan tersebut. Dengan cara ini, jika udara pernafasan akan masuk trakae, epiglottis akan membuka rima glottis, sedangkan jika makanan masuk esophagus, epiglottis akan menutup rima glottis sehingga tidak akan terjadi salah jalan. Fisiologi menelan Menelan dilakukan setelah mengunyah, dan dapat dilukiskan dalam tiga tahap. Gerakan membentuk makanan menjadi sebuah lobus dengan bantuan lidah dan pipi, dan melalui bagian belakang mulut masuk ke dalam faring. Setelah makanan masuk faring, palatum lunak naik untutuk menutup nars posterior, glottis menutup oleh kontraksi otot-ototnya, dan otot kontriktor faring menangkap makanan dan mendorongnya masuk oesofagus, pada saat ini pernafasan berhenti, kalau tidak maka akan tersedak. Orang tak dapat menelan dan bernafas pada saat yang sama. Gerakan pada bagian ini merupakan gerakan refleks. Setelah cairan diambil ke dalam mulut dari cangkir atau dengan sedotan, bolus cair diadakan di bagian anterior dari lantai mulut atau pada permukaan lidah pada langit-langit keras yang dikelilingi oleh atas lengkungan gigi (gigi atas). Rongga mulut disegel posterior oleh langit-langit lunak dan lidah kontak untuk mencegah bolus cair yang bocor ke orofaring sebelum menelan. Selama minum cairan, rongga mulut posterior disegel oleh kontak lidah-langit-langit selama tahap persiapan lisan ketika bolus diadakan di rongga mulut. Sebaliknya, selama pemrosesan makanan, lidah dan langit-langit lunak bergerak siklis dalam

hubungannya dengan gerakan rahang, permitting komunikasi yang terbuka antara rongga mulut dan pharynx. Sebab itu, ada tidak ada penyegelan rongga mulut posterior selama makan. Gerakan rahang dan lidah pompa udara ke dalam rongga hidung melalui faring, memberikan aroma makanan untuk chemoreceptors di hidung. Fisiologi bersuara Fungsi laring antara lain adalah untuk bersuara dan bernapas. Pada stadium respirasi kedua dorda vokalis ditarik ke lateral oleh muskulus golongan abductor sehingga rima glottis membuka, sedangkan pada stadium fonasi, korda vokalis degerakan ke medial oleh muskulus golongan aduktor sehingga rima glottis menutup. Suara terbentuk karena tiupan udara dari paru yang mengetarkan dorda vokalis. Korda vokalis akan membuka dan menutup secara sekali sehingga timbul gataran suara. Selain itu, ada neurochronaxi yang mengatakan perlu ada rangsangan saraf rekurens ke otot intrinsic laring supaya bergetar. Agar dapat mengerluarkan suara bernada tinggi, korda vokalis harus dapt ditipiskan detegangkan, dan dipanjangkan. Dan dipendekan. Kemampuan manusia untuk bersuara sempurna ini karena adanya kelima pasang otot aduktor. Setelah suara terbentuk di laring, maka suara akan diubah menjadi huruf-huruf untuk bicara oleh mulut gigi, bibir, palatum, lidah, dengan demikian laring hanya sebagai sumber suaura yang oleh mulut dan lain lain akan diubah menjadi kata kata pembicara. Respon Imun terhadap Mikroba Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau non spesifik/innate/native/non adaptif/natural dan didapat/spesifik/adaptif/acquired (Karnen,2010). Disebut non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas terhadap benda asing dan mampu melindungi tubuh terhadap banyak patogen potensial. Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali masuk kedalam tubuh

menimbulkan sensitasi, sehingga antigen yang sama dan masuk ke dalam tubuh untuk kedua kalinya akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan (Karnen,2010). Mikroba yang masuk akan merangsang sistem imun non spesifik untuk memblok masuknya mikroba dan dihancurkan atau membatasi

pertumbuhannya yang dapat membuat koloni pada jaringan dan imun spesifik akan terangsang untuk membuat antibodi (Abul,2010). Secara garis besar respon imun non spesifik dalam melindungi tubuh terhadap serangan mikroba dibagi kedalam tiga garis pertahanan. Pertahanan pertama adalah barir sel-sel epitel yang tersusun rapat,berfungsi untuk mencegah masuknya mikroba dari lingkungan external, dan apabila barir berhasil ditembus maka mikroba akan bertemu makrofag yang berperan sebagai pertahanan kedua didalam jaringan subepitel. Makrofag yang teraktivasi akan memfagosit mikroba dan mensekresikan sitokin yang akan merekrut leukosit lain seperti neutrofil dari pembuluh darah ke pusat infeksi. Setelah itu akan terjadi akumulasi dari leukosit untuk menghancurkan mikroba dalam proses inflamasi. Ketika mikroba dapat bertahan terhadap reaksi perlindungan tubuh ini maka mikroba dapat masuk kedalam peredaran darah. protein komplemen bisa secara langsung aktif karena permukaan mikroba, yang berikutnya akan merangsang proses inflamasi, meningkatkan fagositosis, dan membuat lubang pada mikroba yang membuat mereka lisis (Abul,2010). Apabila reaksi imun non spesifik tidak mampu mengahancurkan mikroba maka diperlukan sistem imun spesifik. Sistem imun ini mempunyai 3 cara untuk menghadapi mikroba yang masuk yaitu, pertama dengan mensekresi antibodi yang mengikat mikroba ekstraseluler, menghalangi kemampuan mikroba untuk menginfeksi ; cara kedua melalui aktivitas fagositosis dan sel T helper yang akan meningkatkan aktivitas mikrobisidal dari sel-sel fagosit ; ketiga, sel T sitotoksik yang akan menghancurkan mikroba apabila antibodi tidak berhasil melakukan tugasnya (Abul,2010). A. Imunitas terhadap bakteri ekstraseluler

Bakteri ekstraseluler dapat hidup di luar sel tubuh misalnya dalam sirkulasi, jaringan ikat, lumen, dan sebagainya. Penyakit yang ditimbulkan dapat berupa inflamasi yang menimbulkan destruksi jaringan di tempat infeksi dengan membentuk nanah/infeksi supuratif seperti yang terjadi pada infeksi streptokok (Karen,2010).Selain mampu mendestruksi jaringan, mekanisme kedua, bakteri ekstraseluler mampu produksi toksin baik eksotoksin maupun endotoksin yang mempunyai efek patologis (Abul,2010). Kerusakan yang ditimbulkan selain dari toksin bakteri juga bergantung kepada lokasi bakteri itu tumbuh seperti Streptococcus pneumoniae yang menyebabkan pneumonia, dan apabila

menembus peredaran darah dapat terjadi sepsis pneumococcal (Kenneth,2008). a. Imunitas non spesifik terhadap bakteri ekstraseluler Mekanisme utama dalam imunitas ini adalah aktivasi komplemen, fagositosis, dan reaksi inflamasi. Bakteri gram positif memiliki peptidoglikan pada dinding selnya yang mengakibatkan aktivasi C3 konvertase pada jalur alternatif komplemen. Lipopolisakarida pada dinding sel bakteri gram negatif juga mengaktivasi jalur alternatif komplemen. Bakteri-bakteri yang memiliki mannose pada permukaannya dapat terikat di lektin pengikat mannose dan mengaktivasi komplemen lewat jalur lektin. Hasil dari aktivasi komplemen akan mengarah kepada proses opsonisasi dan fagositosis bakteri. Sel-sel fagosit menggunakan berbagai macam reseptor seperti reseptor mannose dan scavenger untuk mengenali bakteri ekstraseluler, juga reseptor Fc untuk mengenali bakteri yang teropsonisasi (Abul,2010). Selain itu, sel fagosit juga mengikat bakteri melalui berbagai reseptor permukaan lain seperti TLR (toll-like receptor) yang semuanya meningkatkan aktivitas fagositosis (Karen,2010). Respon utama pejamu terhadapa bakteri ekstraseluler adalah produksi sitokin oleh makrofag yang diaktifkan yang dapat menimbulkan inflamasi dan syok septik.Toksin seperti super antigen mampu mengaktifkan banyak sel T sehingga menimbulkan produksi sitokin dalam jumlah besar dan kelainan klinikopatologi seperti yang terjadi pada syok septik (karen,2010).Ada beberapa kasus, yang menghubungkan syok septik akibat drespon imun yang gagal

mungkin akibat deplesi sel T dalam tubuh sehingga menyebabkan penyebaran infeksi yang tidak terdeteksi sebelumnya (Abul,2010). b. Imunitas spesifik terhadap bakteri ekstraseluler Antibodi mengenali bakteri extraseluler lewat antigen dinding sel bakteri itu sendiri dan toksin yang disekresikan dalam bentuk polisakarida ataupun protein. Mekanisme antibodi untuk melawan bakteri ekstraseluler meliputi netralisasi, opsonisasi dan fagositosis, dan aktivasi komplemen lewat jalur klasik. Netralisasi dimediasi oleh IgG tinggi afinitas dan IgA isotipe, opsonisasi oleh beberapa sub kelas dari IgG,dan aktivasi komplemen oleh IgM dan sub kelas IgG. Antigen bakteri ekstraseluler juga mengaktivasi sel T helper CD4+ yang memproduksi sitokin yang akan menstimulasi pembuatan antibodi, menginduksi sel inflamasi,dan meningkatkan aktivitas fagositosis dan mikrobisidal dari makrofag dan neutrofil. IFN-gamma adalah sitokin sel T yang berperan dalam aktivasi makrofag dan TNF serta limfotoxin untuk memicu inflamasi. (Abul,2010) B. Imunitas terhadap bakteri intraseluler Karakteristik yang dimiliki oleh bakteri intraseluler adalah kemampuannya yang mampu bertahan hidup bahakan bereplikasi dalam sel fagosit. Oleh karena itu dibutuhkan respon imunitas seluler untuk mengeleminasi mereka. efek patologis yang ditimbulkan oleh bakteri intraseluler tergantung pada respon tubuh terhadap bakteri ini. (Abul,2010) a. Imunitas non spesifik bakteri intraseluler Respon pertahanan ini utamanya di mediasi oleh fagosit dan sel NK. Pathogen intraseluler resisten terhadap enzim-enzim degradasi dari sel-sel fagosit. Bakteri intraseluler akan mengaktifkan sel NK melalui ligand pengaktif NK pada sel yang terinfeksi atau stimulasi dari sel dendritik dan produksi dari makrofag yaitu IL-12. Sel NK akan memproduksi IFN-gamma yang akan mengaktivasi makrofag (Abul,2010). b. Imunitas Spesifik bakteri intraseluer

Mekanisme pertahanan yang dilakukan adalah melalui imunitas yang dimediasi sel T. Terdapat dua tipe reaksi diantaranya adalah aktivasi makrofag oleh ligand CD40 dari sinyal derivat T sel dan IFN-gamma,yang akan mengfagosit bakteri dan lisis sel oleh sel limfosit T sitotoksik. Baik sel CD4+ dan CD8+ merespon antigen yang muncul dari molekul MHC I dan II.CD4+ akan berdifrensiasi menjadi sel T helper dibawah pengaruh IL-12 yang diproduksi oleh makrofag dan sel dendritik. Sel T akan mengekspresikan ligand CD40 dan IFNgamma, dua stimulus ini mengaktivasi makrofag untuk mengeluarkan substansisubstansi seperti lisozim, oksigen reaktif, nitrit oksida,dan lain-lain. Bakteri yang telah difagosit kemudian menstimulasi sel T CD8+ jika antigen dari bakteri berpindah dari fagosom menuju sitosol atau bakteri lepas dari fagosom dan masuk kedalam sitosol dari sle yang terinfeksi. Bakteri tidak akan dikenali oleh mekanisme mikrobisidal dari sel fagosit, maka untuk mengeradikasi bakteri, sel yang terinfeksi akan dihancurkan oleh sel sitotoksik (Abul,2010). Reaksi inflamasi Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk

menghilangkan penyebab awal jejas (luka) sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal (Kumar,2007). Apabila terjadi kegagalan dalam penanganan antigen yang masuk, proses inflamasi kronis dapat terjadi, dan menimbulkan penyakit inflamasi. Bila terjadi rangsangan yang menyimpang dan menetap,inflamasi bahkan dapat ditingkatkan. Reaksi dapat berlanjut yang menimbulkan kerusakan jaringan tubuh dan penyakit

(Karnen,2010). Secara umum, stimulus awal radang memicu pelepasan mediator kimiawi. Mediator tersebut larut dan memperkuat reaksi inflamasi yang telah terjadi dan mempengaruhi perubahannya dengan mengatur respon vaskuler dan seluler berikutnya.Respon inflamasi berakhir ketika stimulus yang mebahayakan menghilang dan mediator radang telah hilang,dikatabolisme, atau diinhibisi. Proses yang terjadi ketika terjadi cedera jaringan akan muncul vasodilatasi dari kapiler dan arteriol setempat sehingga terjadi peningkatan volume darah dan akan

tampak kemerahan (rubor) dan akan terasa panas di lokasi cedera (kalor). Peningkatan volume darah yang mengalir juga menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler karena melalui pelebaran interendothelial junction pada venula ataupun melalui jejas langsung pada sel endotel sehingga cairan merembes kedalam jaringan sekitar dan timbul pembengkakan (edema jaringan)

(Kumar,2007). Pada abad kedua, Galen menambahkan pertanda inflamasi ke lima berupa kehilangan fungsi alat yang terkena (Karnen,2010). A. Inflamasi Akut Inflamasi akut merupakan respon khas imunits non spesfik. Inflamasi akut adalah respon cepat terhadap kerusakan sel berlangsung cepat dan dipacu oeh termal serta infeksi (Karnen,2010). Proses ini memiliki dua komponen utama yaitu perubahan dalam kaliber pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan aliran darah (vasodilatasi) dan perubahan struktural yang memungkinkan protein plasma untuk meningkatkan sirkulasi (peningkatan permeabilitas vaskuler), dan emigrasi leukosit dari mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas (rekrutmen dan aktivasi seluler) (Kumar,2007). Inflamasi akut berhubungan dengan produksi sitokin proinflamasi IL-1,IL6, dan IL-8. Sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein yang disebut protein fase akut (APP) yang terdiri dari a1-antitripsin, komplemen (C3 dan C4), CRP, fibrinogen dan haptoglobin. Molekul- molekul tersebut memiliki fungsi antarra mencegah enzim (a1-antitripsin), opsonisasi, CRP mengikat C polisakarida dari S. Dalam klinik, pengukuran APP diperlukan untuk menilai derajat inflamasi dan respon terhadap terapi (Karnen,2010). Akibat dari inflamasi akut bergantung dari sifat jejas yang mengenai tubuh, akan terjadi resolusi atau penyembuhan apabila cedera bersifat terbatas atau berlangsung singkat, tidak terdapat kerusakan jaringan ataupun terdapat kerusakan kecil, dan jika jaringan mampun mengganti setiap sel yang cedera secara irreversibel, biasa terjadi perbaikan terhadap normalitas histologis dan fungsional. Proses ini meliputi netralisasi atau pembuangan berbagai mediator kimiawi, normalisasi permeabilitas vaskuler, dan penghentian emigrasi leukosit

diikuti kematian (lewat apoptosis) neutrofil yang mengalami ekstravasasi. Akhirnya usaha gabungan antara drainase limfatik dan penelanan makrofag pada debris nekrotik menyebabkan pembersihan cairan edema, sel radang, dan sisa sel yang rusak.Apabila setelah destruksi jaringan yang substansial atau ketika terjadi inflamasi, tidak terjadi regenerasi maka akan terjadi pembentukan jaringan parut atau fibrosis. Selain itu, eksudat fibrosa meluas (akibat peningkatan permeabilitas vaskuler) tidak bisa diabsorpsi sempurna dan terjadi organisasi dengan pertumbuhan kedalam jaringan ikat yang menimbulkan fibrosis. Pembentukan abses dapat terjadi pada keadaan meluasnya infiltrat neutrofil atau pada infeksi jamur atau bakteri tertentu. Oleh karena meluasnya destruksi jaringan yang mendasari (termasuk matriks ekstraseluler). Ketiga, terdapat kemungkinan kearah inflamasi kronik, walaupun tanda inflamasi kronik dapat muncul pada awal cedera. Inflamasi kronik dapat diikuti oleh regenerasi pada struktur dan funsi normal atau bisa menimbulkan jaringan parut, bergantung pada luasnya jejas jaringan awal, dan jejas yang terus berlangsung, serta kemampuan jaringan yang terinfeksi untuk tumbuh kembali (Kumar,2007). B. Inflamasi Kronis Inflamasi kronis terjadi apabila antigen menetap atau proses inflamasi akut gagal. Berlawanan dengan inflamasi akut, yang dibedakan dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrat neutrofilik yang sangat banyak, inflamasi ditandai dengan infiltrasi sel mononuklear yang mencakup makrofag, limfosit, dan sel plasma ; destruksi jaringan; perbaikan jaringan yang melibatkan proliferasi pembuluh darah baru dan fibrosis (Kumar,2007). Antigen yang menetap menimbulkan aktivasi dan akumulasi makrofag yang terus menerus. Hal ini menimbulkan terbentuknya sel epiteloid (makrofag yang sedikit diubah) dan granuloma. TNF diperlukan untuk pembentukan dan mempertahankan granuloma. IFN-gamma dilepas sel T yang diaktifkan menimbulkan transformasi makrofag menjadi sel epiteloid dan sel multinuklear (sel datia) yang merupakan fusi dari beberapa makrofag. Infeksi bakteri kronis dapat memacu pembentukan granuloma berupa agregat fagosit mononuklear dan sel plasma yang disebut DTH. Fagosit terdiri atas monosit yang baru dikeluarkan

dengan sedikit

makrofag yang sudah ada dalam jaringan. Pembentukan

granuloma akan mengisolasi fokus inflamasi yang persisten, membatasi penyebaran dan memungkinkan fagosit mononuklear mempresentasikan antigen ke limfosit yang ada di permukaan (Karnen,2010).

BAB III PEMBAHASAN

Secara fisiologis, adenoid akan membesar pada usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sendiri pada usia 14 tahun. Anak yang berusia 8 tahun pada skenario, menjadi predisposisi kejadian hipertrofi adenoid (tonsilla pharyngea). Pada mulanya anak tersebut sering mengalami infeksi saluran nafas atas (ISPA) disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti virus, bakteri, dan alergi. Manifestasi klinis dari infeksi daerah tersebut (regio faring) dapat berupa badan demam, nyeri menelan, benjolan di leher dan nyeri saat ditekan, serta perubahan suara seperti suara serak. Keluhan badan panas merupakan salah satu tanda adanya peradangan (inflamasi). Demam disebabkan oleh adanya pirogen yang dihasilkan oleh kuman (eksogen) atau akibat sekresi fagositik (endogen). Pirogen akan menyebabkan sekresi prostaglandin di dalam hipotalamus sebagi pengatur suhu untuk menaikkan termostat sehingga akan terjadi pengeluaran panas yang berlebihan. Suhu yang lebih tinggi meningkatkan proses fagositosis dan kecepatan aktivitas peradangan yang bergantung pada enzim (Sherwood, 2001). Secara umum, mekanisme urutan inflamasi ialah :

Rubor

(kemerahan) terjadi karena banyak darah mengalir ke dalam

mikrosomal lokal pada tempat peradangan.

Kalor (panas) dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan pada tempat peradangan dari pada yang disalurkan ke daerah normal.

Dolor (Nyeri) dikarenakan pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif lainnya.

Tumor

(pembengkakan)

pengeluaran

ciran-cairan ke jaringan

interstisial.

Functio laesa (perubahan fungsi) adalah terganggunya fungsi organ tubuh

Nyeri menelan (odinofagi) dapat terjadi pada ketidaknormalan setiap organ dalam proses menelan dan oleh karena kelainan/peradangan di daerah nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Odinofagi pada pasien kemungkinan disebabkan oleh peradangan akibat invasi kuman pada mukosa faring. Pembesaran kelenjar leher pada penderita disebabkan oleh penjalaran infeksi secara limfogen ke nodi lymphoidei regional yang terdekat. Di regio kepala leher terdapat beberapa nodi lymphidei yang kemungkinan terbesar menyebabkan benjolan pada leher penderita yaitu nodi lymphoidei cervicales profundi, nodi lymphoidei cervicales superioris dan nodi lymphoidei submandibularis. Mengorok merupakan mekanisme fisiologis yang ditimbbulkan oleh aliran turbuler dari udara ekspirasi yang melewati kanal sempit. Kanal sempit tersebut bisa terbentuk karena adanya pembesaran organ regio faring atau jatuhnya lingua ke arah dorsal saat posisi tubuh tidur terlentang sehingga menutupi area orofaring. Pada pemeriksaan laryng didapatkan plica vocalis oedema dan hiperemis. Hal ini menunjukkan adanya peradangan di laryng yang kemungkinan akibar perluasan (infeksi sekunder) dari faring. Plica oedema menyebabkan penderita mengalami suara serak. Plica vocalis pada anak sering/mudah terkena infeksi disebabkan oleh celah rima glottidis lebih sempit, banyak vascularisasi dan aliran limfe, dan mukosa lebih regang. Adenoid tampak menonjol merupakan akibat dari hipertrofi adenoid yang kemudian menutup OPTAE, selain itu inflamasi akibat penjalaran infeksi yang ditandai oleh hiperemi adenoid. Mukosa faring hiperemis merupakan tanda terjadinya penjalaran infeksi dan inflamasi yang meluas ke daerah pharynx. Adanya detritus merupakan penanda dari sisa-sisa infeksi. Hasil pemeriksaan ASTO didapatkan hasil positif. Pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASTO) merupakan pemeriksaan untuk menentukan adanya antibodi dari streptolisin O yang dihasilkan oleh strain Streptococcus. Streptolisin O kebanyakan dihasilkan oleh Streptococcus beta hemiliticus grup A dan beberapa oleh grup B dan G. Pemeriksaan ASTO dapat menentukan infeksi akut karena dapat diditeksi 4-8 minggu setelah infeksi. streptococcus beta-hemoliticus menghasilkan eksotoksin yaitu streptolisi yang terdiri atas dua macam

(streptolisin S dan O). Streptolisin S bersifat non-antigenik sedangkan streptolisin O bersifat antigenik. Penatalaksanaan pasien dalam kasus dapat berupa terapi kausatif, simtomatik, dan suportif atau rehabilitatif. Terapi kausatif dapat berupa antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab dan tonsilektomi. Terapi simtomatik berupa analgesik dan antipiretik, serta terapi suportif berupa obat kumur untuk menjaga kebersihan oral. .

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Untuk memahami manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh suatu agen penyakit seperti bakteri diperlukan pengetahuan mengenai patogenesis dari awal kemungkinan agen penyakit itu memasuki tubuh hingga membuat tubuh menjadi sakit agar kita sbagai dokter mampu untuk memilih terapi secara tepat dengan melihat perjalanan penyakit itu sendiri dan lebih mudah untuk menginterfrensi untuk mencegah perkembangan penyakit yang lebih lanjut. Kemudian sebagai seorang dokter selain memberikan terapi, dokter harus memberikan edukasi meskipun hal ini sederhana, namun hal ini sangat penting untuk pasien agar mencegah penyakit itu kambuh dan penyakit itu tidak lebih mudah menjadi penyakit kronis. Kemudian dalam kasus ini perlu pertimbangan memilih antibiotik yang dipakai karena penggunaan antibiotik yang tidak sesuai akan menyebabkan bakteri menjadi resisten dan lebih sulit untuk di eradikasi. B. Saran 1. Mahasiswa harus lebih aktif belajar mengenai patogenesis dan patofisiologi suatu penyakit 2. Mahasiswa perlu memahami kerja sistem imun dalam tubuh manusia 3. Mahasiswa harus lebih komprehensif dan integratif dalam melakukan suatu pembelajaran 4. Mahasiswa harus belajar secara menyeluruh dan senantiasa update mengenai pengetahuan yang bersangkutan dengan kesehatan 5. Dalam melakukan diskusi tutorial mahasiswa perlu lebih aktif dalam menyampaiakan pendapat 6. Literatur yang digunakan lebih baik yang lebih baru (minimal 5 tahun terakhir) 7. Selain mempelajari patogenesis dan patofisiologi, Mahasiswa perlu memahami anatomi dan fisiologi tubuh manusia

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Abul K., Lichtman, Andrew H., Pillai,S. Celluler and Molecular Immunology. China: Saunders Elsevier. 2010. Adams, George L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. Boies: Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC. Baratawidjaya, Karnen G., Rengganis,. Imunologi Dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2010. Hermani, Bambang. Abdurrachman, Hartono. Cahyono, Arie. 2007. Kelainan Laring dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kumar, V., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley I., Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Vol 1. Jakarta: EGC. 2007. Murphy, K., Travers, P.,Walport, M. Janeways Immunobiology. Edisi 7th. America: T&F Informa. 2008. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2597750/?tool=pmcentrez http://books.google.co.id/books?id=xdRd2FuYWAC&pg=PA23&lpg=PA23&dq=fisiologi+bersuara&source=bl&ots=iySM 67QNcb&sig=_0PcHFI3d_VxVVWnGM92ipaqMqg&hl=id&sa=X&ei=LrVeUIb RApHorQfo4YHIDw&ved=0CCsQ6AEwAA#v=onepage&q=fisiologi%20bersua ra&f=false http://books.google.co.id/books?id=xdRd2FuYWAC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false

Anda mungkin juga menyukai