Anda di halaman 1dari 126

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia, dikenal sejak tahun satu setengah millennium yang lalu penyakit ini menimbulkan tantangan yang besar bagi pemerintah di Negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Pemerintah mencanangkan program penurunan angka kesakitan kusta menjadi lebih kecild dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000 merupakan salah satu usaha untuk eradikasi kusta di Indonesia. Salah satu kendala yang masih perlu mendapat perhatian adalah penanganan reksi lepra. Reaksi lepra meskipun sering dianggap lumrah karena merapakan bagian dari proses perjalanan penyakit itu sendiri terkadang dapat menimbulkan kondisi yang parah hingga dapat digolongkan sebagai komplikasi sehingga pengetahuan yang cukup srta pengembangan keterampilan pada penanganan reaksi kusta sangatlah penting dan diperlukan I.2 Tujuan - Memberikan gambaran mengenai perjalan penyakit kusta - Memberikan penjelasan terkait penggolongan reaksi kusta dan reaksi kusta itu sendiri - Menjelaskan cara diagnose dan penatalaksanaan reaksi kusta I.3 Manfaat - Menambah wawasan pembaca mengenai penyakit kusta- proses perjalanan penyakit, reaksi kusta dan cara mendiagnosis serta tatalaksananya - Referat ini dapat menjadi rangkuman kecil untuk reaksi penyakit kusta dari beberapa sumber yang digunakan sebagai acuan I.4 Pokok Masalah - Apa itu penyakit kusta ? - Bagaimana patofisiologi penyakit kusta ? - Apa itu reaksi kusta ? - Bagaimana cara mendiagnosis penyakit kusta ? - Bagaimana penatalaksanaan penyakit kusta ?

BAB II PEMBAHASAN II.1 Definisi Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejalagejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Kosasih, 2002). Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respons selular) atau reaksi antigen-antibodi (respons humoral) dengan akibat merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan. II.2 Etiologi M. leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar 0,2-0,5, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.1

Gambar 1: Mycobacterium leprae, sumber : (http://www.ciriscience.org/ph_130Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy )

II.3 Epidemiologi Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada yang mengatakan antara 40 hari 40 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir di luar manusia. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar. Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Dfapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rerntan dari orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun 13%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali.frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Factor social ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah social ekonominya makin subur penyakit kusta. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah tropis dan subtropics yang panas dan lembab. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakutimoleh karena adanya ulserasi, mutilasi dan deformitas yang disebabkannya, hal ini akibat kerusakan saraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anetetik disertai paralisis dan atrofi otot. 2

Gambar 2: Distribusi penyakit kusta di dunia menurut geografi, pada tahun 2006. (Sumber: Standford Summary of Worldwide Leprosy, 2007 ; www.standford.edu, disadur ke dalam Pedoman Nasional Pengendalian Kusta 2007 )

II.4 Patofisiologi Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan. Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa. Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan perkalian,

penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.4 M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer) dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang respon kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya, pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal. Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme, mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri. Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara juga moderator kemampuan bakterisidal makrofag. Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini. Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10), tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu, spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu, kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat keparahan penyakit. Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis kusta . M leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel Schwann, terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang dimediasi sel yang paling aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk aktivasi gen apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada orang dengan penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel Schwann juga merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel, sedangkan aktivasi dari jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi sebagai mediator dari demielinasi pada kusta.

Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel yang terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel dendritik. [5] Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel-sel endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain dimanfaatkan oleh M leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan apoptosis sel kekebalan tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi. Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe I reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks imun pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ. Satu studi menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat saraf terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal. Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. 1 Reaksi Kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit kusta yang sebenarnya sangat kronik dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbul efloresensi baru di kulit. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Reaksi menyebabkannya: 1. 2. Reaksi tipe 1 disebabkan reaksi hipesensitifitas selular Reaksi tipe 2 disebabkan hipersensitifitas humoral Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk reaksi tipe 2 yang lebih berat. Dari segi imunologisnya terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading yang memegang peranan adalah imunitas selular, sedangkan pada reaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL)yang memegang peranan adalah imunitas humoral. kusta terbagi atas dua tipe reaksi menurut hipersensitifitas yang

Diunduh dari sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.full pada tanggal 13 september 2013 pukul 16.00

Menurut Ridley dan Jopling spectrum kusta terdiri atas 5 tipe yaitu: TT, BT, BB, BL, LL. Bentuk TT dan LL disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas yang stabil, sedangkan yang lainnya disebut bentuk subpolar dan imunitasnya tidak stabil. Disamping tipe-tipe tersebut terdapat tipe TTs dan LLs, yang merupakan bentuk subpolar, berdekatan sekali dengan tipe TT maupun LL, sehingga secara klinis sukar dibedakan dengan bentuk TT maupun LL (klinis seperti TT dan LL, tetapi imunitasnya tidak stabil).

Semakin tinggi imunitas (SIS) yang dimiliki seseorang pasien kusta, semakin tinggi jumlah basil yang dikandungnya. Pada tipe TT dengan imunitas tinggi sukar sekali menemukan basil, sedangkan pada tipe LL yang hampir atau tidak mempunyai imunitas, dengan mudah basil dapat ditemukan.5

II.4. 1 Reaksi Tipe 1 Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sehingga dapat disebut reaksi borderline yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah Sistem Imun Seluler (SIS), yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Tipe ini dapat bergerak bebas kearah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu diikuti dengan perubahan SIS pula. Begitu pula pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitifitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Antigen yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan SIS yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas (SIS) dan basil. Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading / reversal, apabila menuju kearah tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading, apabila menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS). 7 Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan sebagai reaksi reversal oleh karena paling sering ditemui terutama pada kasus-kasus yang mendapat pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang ditemui oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan. Meskipun secara teoritis reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain.

Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk TTs sedangkan bila down grading akan menjadi bentuk BL dan akhirnya ke bentuk LLs. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tidak disertai neuritis tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosinya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisone 4060 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurani terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritema, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi sama menjadi bertambah luas. Jadi kesimpulannya adalah, ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi lepra nodular) sedangkan reversal tanpa nodus (reaksi non-nodular). II.4.2 Reaksi Tipe 2 Secara imunopatologis, reaksi kusta termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae dengan antibodi (IgM, IgG) dan komplemen membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat

melibatkan berbagai organ. Reaksi kusta termasuk suatu kegawatdaruratan medik karena dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat irreversible. Reaksi tipe 2 ini dikenal dengan nama eritema nodusun leprosum (ENL). Berbeda dengan reaksi kusta tipe 1 atau reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sedangkan pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. ENL merupakan reaksi hipersensitifitas tipe 3 menurut Coomb dan Gell. Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk komplek Ag-Ab. Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun. Terutama terjadi pada LL dan LLs dan kadang-kadang pada bentuk BL. Biasanya disertai gejala-gejala sistemik. Baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungan dengan pemberian pengobatan antikusta, hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama pengobatan, tapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi granular. Tidak terlihat gambaran perubaha lesi kusta seperti pada reaksi tipe 1 (SIS tidak berubah, dengan demikian kedudukannya dalam spectrum pun tetap. Obat yang paling sering dipakai untuk menangani reaksi ini adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin beratnya reaksi makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.6 II. 5 Gejala Klinis 1. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi borderline)

Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan selular secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. a. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi). b. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe I ini dapat dibedakan atas: reaksi ringan dan reaksi berat. c. Perjalanan reaksi 6 12 minggu atau lebih. Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I Gejala 1. Lesi Kulit Reaksi Ringan Tambah aktif, menebal merah, teraba panas dan nyeri tekan. membentuk plaque Tidak ada nyeri tekan saraf dan gangguan fungsi. Kulit dan saraf bersama sama Lesi yang telah ada menjadi lebih eritematosa, nyeri pada saraf. Berlangsung kurang dari 6 minggu. Reaksi Berat Lesi membengkak sampai ada yang pecah, merah, teraba panas dan nyeri kaki membengkak, sendi-sendi sakit. Nyeri tekan, dan/atau gangguan fungsi, misalnya kelemahan otot. Lesi kulit yang eritematosa disertai ulserasi atau edema pada tangan/kaki. Saraf membesar, nyeri, dan fungsi terganggu. Berlangsung sampai 6 minggu atau lebih.
pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)

Makula yang menebal dapat sampai tekan. Ada lesi kulit baru, tangan dan Saraf Tepi

Tabel 1: Perbedaan reaksi brat dan reaksi ringan pada eksi tipe satu, sumber: ( buku pedoman nasional

Jika ada reaksi ringan pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf, dikategorikan sebagai Reaksi Berat.

Gambar 4: Manifestasi reaksi kusta tipe 1. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health Problem; Geneva: 2007)

2. Reaksi tipe II (reaksi ENL, reaksi eritema nodosum leprosum) Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, di mana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai respons adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen + antibodi + komplemen = Immunokompleks.

Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul pada kulit yang multiple berupa nodus eritema yang dikenal sebagai erirema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf ( neuritis) dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata merah. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.

Perjalanan reaksi biasanya berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat.2

Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I Gejala Lesi Kulit Reaksi Ringan Nodul yang nyeri tekan jumlahnya sedikit, biasanya hilang sendiri dalam 2 3 Keadaan Umum Saraf Tepi Organ tubuh hari Tidak ada demam atau demam ringan Tidak ada nyeri tekan atau gangguan fungsi Tidak ada gangguan Reaksi Berat Nodul nyeri tekan, ada yang pecah (Ulseratif), jumlah banyak, berlangsung lama. Demam ringan sampai berat Ada nyeri tekan, terjadi gangguan fungsi Terjadi peradangan pada organ-organ tubuh seperti Mata (Iridocyclitis), Testis (Epididymoorchitis), Ginjal (Nephritis), Sendi (Arthritis), Kelenjar Limfe

(Limphadenitis), Gangguang pada tulang, hidung dan tenggorokan.


Tabel 2: Perbedan reaksi ringan dan reaksi berat pada reaksi kusta tipe 2. Sumber: (( buku pedoman nasional pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)

Gambar 5: Manifestasi reaksi kusta tipe 2. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health Problem; Geneva: 2007)

3. Fenomena Lucio Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai

purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1

Gambar 6: Manifestasi fenomena lucio. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health Problem; Geneva: 2007)

II.6 Klasifikas Kusta


Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada table dibawah ini 1:

Klasifikasi Ridley & Jopling Madrid WHO Puskesmas

Zona spektrum kusta TT, Ti, BT, BB, BL, Li, LL Tuberkuloid, Borderline, Lepromatosa Pausibasilar, Multibasilar Pausibasilar, Multibasilar

Tabel 3: Zona spectrum kusta.. Sumber: (WHO, Committee of Leprosy Cure, Manual of Leprosy, Geneva:2000)

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu : TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti : tuberkuloid indefinite BT: borderline tuberculoid BB: Mid borderline Bl : borderline lepromatous Li : lepromatosa indefinite LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. Menurut WHO (1981), lepra dibahi 2 menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, yaitu tipe LL,BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari 2+, yaitu tipe TT,BT, dan I. 1 Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe TT,BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 3

Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 )

1.

Lesi kulit

PB -

1-5 lesi

MB -

> 5 lesi Distribusi Hilangnya

(makula datar, papul yang meninggi, nodus)

Hipopigmentasi/eritema Hilangnya sensasi jelas Hanya satu cabang -

Distribusi tidak simetris lebih simetris sensasi kurang jelas Banyak cabang saraf

2.

Kerusakan saraf

(menyebabkan hilangnya saraf sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1 Sifat Lesi Bentuk Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL) Makula Infiltrat difus Papul Jumlah Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA Lesi kulit Sekret hidung Tes Lepromin Nodus Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat Simetris Halus berkilat Tidak jelas Biasanya tidak jelas Banyak (ada globus) Banyak (ada globus) Negatif Makula Plakat Papul Sukar dihitung, masih ada kulit sehat Hampir simetris Halus berkilat Agak jelas Tak jelas Banyak Biasanya negatif Negatif Plakat Dome-shape (kubah) Punched-out Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada Asimetris Agak kasar, agak berkilat Agak jelas Lebih jelas Agak banyak Negatif Negatif Mid Borderline (BB)

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1

Karakteristik Lesi Tipe

Tuberkuloid (TT) Makula ; makula dibatasi infiltrat

Borderline Tuberculoid (BT) Makula dibatasi infiltrat saja; infiltrat saja Beberapa atau satu dengan lesi satelit Asimetris Kering, skuama Jelas Jelas

Indeterminate (I)

Hanya Infiltrat

Jumlah Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA lesi kulit Tes lepromin

Satu atau dapat beberapa Terlokalisasi & asimetris Kering, skuama Jelas Jelas

Satu atau beberapa Bervariasi Dapat halus agak berkilat Dapat jelas atau dapat tidak jelas Tak ada sampai tidak jelas

Hampir selalu negatif Positif kuat (3+)

Negatif atau hanya 1+ Positif lemah

Biasanya negatif Dapat positif lemah atau negatif

II. 7 Diagnosa

Anamnesa

Tanda-tanda kardinal

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Histo-patologi

Pemeriksaan Bakterioogis

DIAGNOSA

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda cardinal (tanda utama), yaitu : 1. Bercak kulit yang mati rasa : Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, medatar (macula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri. 2. Penebalan saraf tepi : Dapat disertai rasa nyeri dan dpat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu : a. Gangguan funsi sensoris : mati rasa b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu. 3. Ditemukan kuman tahan asam Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf. Untuk menegakkan diagnose paling idak harus ditemukan satu tanda karidinal, jika tidak pemeriksan diulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakan atau disingkirkan.1 A. Anamnesis Keluhan pasien Riwayat kontak dengan pasien Latar belakang keluarga, misalnya keadaan social ekonomi

B. Pemeriksaan Fisik : Inspeksi : dengan penerangg baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit. Palpasi : Kelainan kulit : nodus, infiltrate, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki

Kelainan saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N. Aurikularis magnus, N. Ulnaris, N. Peroneus. Periksa dengan teliti apabila ada nyeri tekan dan juga penebalan saraf. Perhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf di raba.3

Pada waktu melakukan pemeriksaan saraf tepi ingat untuk membandingkan sisi kanan dan kiri, apakah ada pembesaran atau tidak, pembesaran regular (smooth) atau irregular (bergumpal), terasa keras atau kenyal, dan ada nyeri atau tidak. Cara pemeriksaan saraf tepi sebagai berikut : a. N. Aurikularis Magnus : Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mngkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bias terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan antara yang kiri dengan yang kanan. b. N. Ulnaris : Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan siku (sulkus N. ulnaris)ndan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Bandingkan antara yang kanan dan yang kiri.

c. N. Paroneus lateralis: Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae. Biasanya sedikit ke posterior. Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, seringkali asien merasa seperti terkena setrum. Pada kasus neuritis akut sentuhan yang sedikit sudah dapat menimbulkan nyeri hebat.

Tes fungsi saraf a. Tes sensoris : gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hagat dan dingin. Rasa raba : sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya ke kulit. Pasien harus dalam keadaan duduk. Saat dilakukan tes perabaan pasien diminta untuk menunjukkan daerah yang telah diraba. Untuk memastikan hasil yang objektif pasien dapat disruh menutup mata atau ditutup dengan kain. Pada bercak-bercak yang ada dilakukan pemeriksan raba pada bagian tengahnya bukan pada bagian pinggirnya. Rasa nyeri : dengan menggunakan jarum petugas menusuk kulit pasien dengan ujung jarum yang tajam dan tangkai jarum yang tumpul. Pasien diminta untuk mengatakan tusukan mana yang tajam dan yang tum\pul. Rasa suhu: dilakukan dengan memakai dua tabung reaksi, yang satu berisi air hangat (40 0C) dan yang satu berisi air dingin (20 0C). mata pasien di tutup. Sebelumnya dilakukan tes pada kulit yang normal untuk memastikan bahwa pasien pada awalnya tidak memiliki kelainan sensibilitas (sebelun terinfeksi). Tabung disentuhkan secara bergilir dan pasien diminta untuk mengatakan yang mana yang panas dan yang dingin. b. Tes otonom : Berdasarkan adanya ganggaun berkeringat di macula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis. Tes dengan pensil tinta (tes gunawan) : pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal. Pasien disuruh beraktivitas dan jika pada daerah lesi tinta utuh tidak terhapus keringa berarti tes positif.

Tes pilocarpin : daerah kulit pada macula dan perbatsannya diuntik dengan pilocarpin subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.

c. Tes motoris : Voluntary Muscle Test (VMT) Cara memeriksa: Mula-mula periksa gerakan seperti ditunjukkan oleh tanda panah hitam pada gambar. Perhatikan apakah pasien dapat melakukan dengan baik dan tanpa bantuan. Periksa tahanan yang diberikan sebagai respon oleh pasien. Kerjakan pemeriksaan ini jika gerakan pasien sempurna atau mendekati, lakukan perlahan-lahan, pasien jangan dikejutkan, jangan paksa pasien sampai berubah posisi amati perubahan posisi dan kekuatan menahan pasien apakaha normal, berkuang, atau tidak ada sama sekali. Bandingkan selalku kaki dan angan pasien yang kanan dan yang kiri. 1

C. Pemeriksaan Histopatologis Diagnosis kusta melalui pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan melalui pemeriksaan bakterioskopis. Sediaan biasanya diambil pada daerah yang paling aktif dimna jumlah pengambilan sediaan jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu cuping telinga kiri, cuping telinga kanan, serta pada bagian tubuh dengan lesi paling aktif.3 Cara pembuatan : Daerah/ruam yang hendak di toreh dibersihkan dengan alcohol. Kemudian dijepit kuat dengan telunjuk dan jempol kiri pemeriksa untuk menghilangkan perdarahan dan mengurangi rasa sakit. Dengan tangan kanan pemeriksa, jaringan/kulit yang terjepit di toreh sedalam 3-5mm sepanjang kurang lebih 1 cm, darah yang keluar dibersihkan. Kemudian dengan satu sisi tajam pisau torehan dikerok, pisau diputar 180 derajat dan sayatn dikerok kea rah sebaliknya di saat yang bersamaan daerah harus terus dijepit. Hasil kerokan pada pisau toreh segera dihapuskan pada gelas objek. Pada satu gelas objek dapat dibuat bebeapa apusan dari tmpat yang berbeda. Preparat apusan dipulas dengan ziehl-Neelsen dan dilihat di bawah mikroskop cahaya dengan minyak emersi dan dihitung dengan menggunakan indeks bakteri. D. Pemeriksaan Serologis Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman M.leprae mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternative yang paling diharapkan. Beberapa tes serologis yang banyak digunakan untuk mendiagnosis penyakit kusta, antara lain : 1. Tes FLA-ABS 2. Tes ELISA 3. Tes MLPA (untuk mengukur titer antibody Ig G yang telah terbentuk di dalam tubuh pasien. Titer dapat ditentukan secara kuantitatif dan kualitatif).2

II.8 Penatalaksanaan Non farmakologis : Menjaga kebersihan tubuh dan lingkugan Menjaga asupan makan agar tetap mengandung gizi dan nutisi yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh

Farmakologis :

Regimen MDT : Terapi untuk kusta tipe PB pada dewasa : 1x dalam satu bulan: hari 1 . 2 kapsul rifampisin (300mg x 2) . 1 tablet dapsone (100mg) 1x dalam satu hari : hari 2-28 . 1 tablet dapsone (100mg) Paket penuh : 6 paket blister

Terapi untuk kusta tipe PB pada anak (10-14 th): 1 x dalam satu bulan: hari 1 . 2 kapsul rifampisin (300mg + 150mg) . 1 tablet dapsone (50mg) 1 x dalam satu hari : hari 2-28 . 1 table dapsone (50mg)

Paket penuh : 6 paket blister. Untuk anak kurang dari 10 th, dois harus disesuaikan Dengan berat badan.

Terapi untuk kusta tipe MB untuk dewasa 1x dalam satu bulan : hari 1 . 2 kapsul rifampisin (300mg x 2) . 3 kapsul clofazimin (100mg x 3) . 1 tablet dapsone (100mg) 1x dalam satu hari : hari 2-28 . 1 kapsul clofazimin (50mg) . 1 tablet dapsone (100mg) Paket penuh : 12 paket blister

Terapi untuk kusta tipe MB pada anak (10-14 th ): 1x dalam satu bulan : hari 1 . 2 kapsul rifampisin (300mg + 150mg) . 3 kapsul clofazimin (50 mg x 3) . 1 tablet dapsone (50mg) 1x dalam satu hari : hari 2-28

. 1 kapsul clofazimin setiap hari (50mg) . 1 tablet dapsone (50mg) Paket penuh : 12 paket blister Bagi anak kurang dari 10 tahun, dosisharus disesuaikan Dengan berat badan. 7 Pengobata Reaksi Kusta Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama ditujukan untuk : Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau kontraktur. Secepatnya dilakukn tindakan agar tidak terjadi kebutaan bila mnegenai mata. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas Menatasi rasa nyeri

Prinsip pengibatan reaksi kusta : 1. Pemberian obat antireaksi 2. Itirahat atau imobilisasi 3. Analgetik, sedative untuk mengatasi rasa nyeri 4. Obat antikusta yang sudah diberikn diteruskan Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra-indikasi, sema obat anti-kusta dosis penuh harus tetap diberikan: Untuk membunuh kuman agr penyakit tidak mluas Untuk mencegah timbulnya resistensi

Dengan menghentikan obat anti-kusta saat pengobatan reaksi, kadangkadang justru menimbulkan reaksi pada waktu pengobatan anti-kusta tersebut dilakukan kembali.

A. Pengobatan reaksi ringan Non medikamentosa Istirahat, imobilisasi, berobat jalan. Medikamentosa Aspirin : masih merupakan obat terbaik dan murah untuk mengtasi rasa nyeri dan sebagai nti radang. Dosis yang dianjurkan 600-1200 mg diberikan tiap 4 jam, 4 sampai 6 kali sehari. Klorokuin: kombinasi aspirin dan klorokuin memiliki khasiat lebih baik dbanding pemberian tunggal. Dosis 3 x 500mg/hr. efek toksik pada penggunaan jangka panjang dapat berupa: ruam pada kulit, fotosensitisasi serta gangguan gastro-intestinal, pengelihatan dan pendengaran. Antimon: Stibophen berisi 8,5mg antimony per ml. dosis:2-3 ml dibrikan secara selang-seling, dosis total tidak melebihi 30 ml. digunakan pada reaksi tipe 2 yang ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi-sendi dan tulang. Efek samping : ruam pada kulit, bradikardi, hipotensi. Kini jarang dipakai karena efeknya toksiknya kuat. Talidomid: digunakan untuk mnegatasi reaksi tipe 2 agar dapat melepaskan ketergantugan pada kortikosteroid. Dosis: mula-mula diberikan 400mg/hr sampai reaksi teratasi, kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai 50mg/hr. tidak dianjurkan diberikan pada wanita usia subur. 2 B. Pengobatan reaksi berat Segera rujuk ke rumah sakit untuk prawatan. Untuk reaksi tipe 1 harus segera diberikan kortikosteroid, sedangkan untuk reaksi tipe 2 dapat diberikan klofazimin, talidomid, dan kortikosteroid sendiri-sendiri atau kombinasi. Mengenai dosis, cara maupun lama pengobatan reaksi kusta sangat bervariasi sehingg belum ada dosis baku.

Cara pemberian kortikosteroid : Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang Gunakan prednisone atau predniolon Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari Dosis diturunkan setelah respons maksimal Dosis steroid dapat dimulai antara 30-80mg prednisone/ hari dan diturunkan 510mg/2 minggu, sebagai berikut:1 2 mg I 2mg II 2mg III 2mg IV 2mg V : 30mg/hr : 20mg/hr : 15mg/hr : 10mg/hr : 5mg/hr

II. 9 Rehabilitasi Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan sosial. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.7

II.10 Monitoring dan Evaluasi Pengobatan 1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat 2. Apabila penderita terlambat mengambil obat paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan 3. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita 4. Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif a. Tipe PB selama 2 tahun b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium 5. Penderita PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium 6. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium 7. Defaulter Jika seorang penderita PB tidak mengambil obatnya lebih dari 3 bulan maka dinyatakan sebagai Defaulter PB. Jika seorang penderita MB tidak mengambil obatnya lebih dari 6 bulan maka dinyatakan sebagai Defaulter MB. Tindakan bagi penderita defaulter : a. Dikeluarkan dari monitoring dan register b. Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang, pengobatan menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat 8. Relaps/ Kambuh Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika ternyata pada pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi 2 atau lebih disbanding saat diagnosis maka penderita dinyatakan Relaps. Rujuan dalam kasus relaps memungkinkan karena kasus relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila hasil relaps telah dikonfirmasikan maka penderita diobati sesuai hasil pemeriksaan pada saat itu.

Catatan : Untuk mereka yang pernah mendapat pengobatan Dapson monoterapi (sebelum diperkenalkan MDT) namun kemudian muncul kembali sebagai tanda kusta aktif yang membutuhkan MDT, maka penderita tersebut dimasukkan dalam kategori relaps. 9. Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, default. 10. Pada keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan pesan penyuluhan lengkap dengan efek samping dan indikasi untuk kembali ke pelayanan kesehatan.6

BAB III PENUTUP

1. Reaksi kusta sekalipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus sudah diketahui namun hungga kini penyebab pastinya belum dapat diketahui. 2. Reaksi kusta terabagi menjadi dua yakni : Reaksi tipe I oleh hipersensitivitas selular Reaksi tipe II oleh hipersensitivitas humoral

Dimana kedua reaksi tersebut dapat dibedakan melalui gejala yang ditimbulkan pada kulit, saraf, dan kulit juga saraf bersama-sama, dimana masing masing reaksi dapat dikatagorikan lagi menjadi reaksi ringan dan reaksi berat. 3. Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala seperti banyak penykit lain sehingga disebut sebagi the great imitator, oleh karena itu dalam mendiagnosis kusta dibutuhkan ketelitian dan pmeriksaan yang menyeluruh untuk mendiagnosanya secara tepat. Dasar diagnosanya didasarkan pada penemuan 4 tanda cardinal, anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik termasuk didalamnya tes fungsi saraf dan mecari tanda apabila sudah terjadi kmplikasi, serta pemeriksaan histopatologis atau serologis.

4. Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama untuk : Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis Mencegah kebutaan apabila penyakit sudah menyerang mata Membunuh kuman agar penyakit tidak meluas Mengatasi rasa nyeri

Dimana

hal di atas dilakukan melalui pemberian obat antireaksi, istirahat atau

imobilisasi, pemberian analgetik atau sedatif untuk mengatasi rasa nyeri, dan melanjutkan obat antikusta sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Martodihardjo R, Susanto R.S.D, Reaksi Kusta dan Penanganannya, Kusta, Ed. II, p.7285, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2003. 2. Departemen Kesehatan R.I. Ditjen PPPL, Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta, Jakarta;2007. 3. Litiawan M.Y, Agusni I, Martodihardjo S, Morbus Hansen-Reaksi Kusta, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. III, p. 41-48, Airlangga Universiy Press, Surabaya; 2005. 4. Kosasih A, Wisnu I.M, Daili E.S.S, Menaldi S.L. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. VI, p. 73-88, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2010. 5. Murtiastutik D, Ervianty E, Agusni I, Suyoso S, Morbus Hansen, Atlas Penyakit Kulit & Kelamin, Ed. II, p. 41-54, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP), Surabaya; 2010 6. Guinto R.S, Abalos R.M, Cellona R.V, Fajardo T.T. Atlas Kusta ; disadur dari An Atlas of Leprosy, Sasakawa Memorial Health Foundation, Dirjen PPM & PL, Jakarta; 2000. 7. World Health Organization, Giude to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem, Ed. I, Geneva; 2000

BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Kusta merupakan salah satu penyakit tertua di dunia, dikenal sejak tahun satu setengah millennium yang lalu penyakit ini menimbulkan tantangan yang besar bagi pemerintah di Negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Pemerintah mencanangkan program penurunan angka kesakitan kusta menjadi lebih kecild dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000 merupakan salah satu usaha untuk eradikasi kusta di Indonesia. Salah satu kendala yang masih perlu mendapat perhatian adalah penanganan reksi lepra. Reaksi lepra meskipun sering dianggap lumrah karena merapakan bagian dari proses perjalanan penyakit itu sendiri terkadang dapat menimbulkan kondisi yang parah hingga dapat digolongkan sebagai komplikasi sehingga pengetahuan yang cukup srta pengembangan keterampilan pada penanganan reaksi kusta sangatlah penting dan diperlukan I.2 Tujuan - Memberikan gambaran mengenai perjalan penyakit kusta - Memberikan penjelasan terkait penggolongan reaksi kusta dan reaksi kusta itu sendiri - Menjelaskan cara diagnose dan penatalaksanaan reaksi kusta I.3 Manfaat

- Menambah wawasan pembaca mengenai penyakit kusta- proses perjalanan penyakit, reaksi kusta dan cara mendiagnosis serta tatalaksananya - Referat ini dapat menjadi rangkuman kecil untuk reaksi penyakit kusta dari beberapa sumber yang digunakan sebagai acuan I.4 Pokok Masalah - Apa itu penyakit kusta ? - Bagaimana patofisiologi penyakit kusta ? - Apa itu reaksi kusta ? - Bagaimana cara mendiagnosis penyakit kusta ? - Bagaimana penatalaksanaan penyakit kusta ? BAB II PEMBAHASAN II.1 Definisi Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejalagejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Kosasih, 2002). Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respons selular) atau reaksi antigen-antibodi (respons humoral) dengan akibat merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan. II.2 Etiologi M. leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan

asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8, lebar 0,2-0,5, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.1

Gambar 1: Mycobacterium leprae, sumber : (http://www.ciriscience.org/ph_130Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy )

II.3 Epidemiologi Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan. Cara penularannya saja belum diketahui pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, umumnya beberapa tahun, ada yang mengatakan antara 40 hari 40 tahun. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan kemungkinan-kemungkinan adanya reservoir di luar manusia. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar. Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M.leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Dfapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rerntan dari orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak- di bawah umur 14 tahun 13%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali.frekuensi tertinggi pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Factor social ekonomi kiranya memegang peranan, makin rendah social ekonominya makin subur penyakit

kusta. Sehubungan dengan iklim, ternyata penyakit ini kebanyakan terdapat di daerah tropis dan subtropics yang panas dan lembab. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakutimoleh karena adanya ulserasi, mutilasi dan deformitas yang disebabkannya, hal ini akibat kerusakan saraf besar yang irreversible di muka dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anetetik disertai paralisis dan atrofi otot. 2

Gambar 2: Distribusi penyakit kusta di dunia menurut geografi, pada tahun 2006. (Sumber: Standford Summary of Worldwide Leprosy, 2007 ; www.standford.edu, disadur ke dalam Pedoman Nasional Pengendalian Kusta 2007 )

II.4 Patofisiologi Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka.

Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan. Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa. Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan perkalian, penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.4 M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer) dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang respon kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya, pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal. Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme, mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri. Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara juga moderator kemampuan bakterisidal makrofag. Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini. Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10), tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu, spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu, kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat keparahan penyakit.

Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis kusta . M leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel Schwann, terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang dimediasi sel yang paling aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk aktivasi gen apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada orang dengan penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel Schwann juga merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel, sedangkan aktivasi dari jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi sebagai mediator dari demielinasi pada kusta. Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel yang terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel dendritik. [5] Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel-sel endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain dimanfaatkan oleh M leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan apoptosis sel kekebalan tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi. Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe I reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks imun pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ. Satu studi menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat saraf terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal. Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. 1 Reaksi Kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit kusta yang sebenarnya sangat kronik dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbul efloresensi baru di kulit. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Reaksi menyebabkannya: 3. Reaksi tipe 1 disebabkan reaksi hipesensitifitas selular kusta terbagi atas dua tipe reaksi menurut hipersensitifitas yang

4.

Reaksi tipe 2 disebabkan hipersensitifitas humoral Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk reaksi tipe 2 yang lebih berat.

Dari segi imunologisnya terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading yang memegang peranan adalah imunitas selular, sedangkan pada reaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL)yang memegang peranan adalah imunitas humoral.

Diunduh dari sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.full pada tanggal 13 september 2013 pukul 16.00

Menurut Ridley dan Jopling spectrum kusta terdiri atas 5 tipe yaitu: TT, BT, BB, BL, LL. Bentuk TT dan LL disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas yang stabil, sedangkan yang lainnya disebut bentuk subpolar dan imunitasnya tidak stabil. Disamping tipe-tipe tersebut terdapat tipe TTs dan LLs, yang merupakan bentuk subpolar, berdekatan sekali dengan tipe TT maupun LL, sehingga secara klinis sukar dibedakan dengan bentuk TT maupun LL (klinis seperti TT dan LL, tetapi imunitasnya tidak stabil).

Semakin tinggi imunitas (SIS) yang dimiliki seseorang pasien kusta, semakin tinggi jumlah basil yang dikandungnya. Pada tipe TT dengan imunitas tinggi sukar sekali menemukan basil, sedangkan pada tipe LL yang hampir atau tidak mempunyai imunitas, dengan mudah basil dapat ditemukan.5

II.4. 1 Reaksi Tipe 1 Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sehingga dapat disebut reaksi borderline yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah Sistem Imun Seluler (SIS), yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Tipe ini dapat bergerak bebas kearah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu diikuti dengan perubahan SIS pula. Begitu pula pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitifitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Antigen yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan SIS yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas (SIS) dan basil. Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading / reversal, apabila menuju kearah tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading, apabila menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS). 7 Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan sebagai reaksi reversal oleh karena paling sering ditemui terutama pada kasus-kasus yang mendapat pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang ditemui oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan. Meskipun secara teoritis reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain.

Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk TTs sedangkan bila down grading akan menjadi bentuk BL dan akhirnya ke bentuk LLs. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tidak disertai neuritis tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosinya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisone 4060 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurani terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritema, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi sama menjadi bertambah luas. Jadi kesimpulannya adalah, ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi lepra nodular) sedangkan reversal tanpa nodus (reaksi non-nodular). II.4.2 Reaksi Tipe 2 Secara imunopatologis, reaksi kusta termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae dengan antibodi (IgM, IgG) dan komplemen membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat

melibatkan berbagai organ. Reaksi kusta termasuk suatu kegawatdaruratan medik karena dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat irreversible. Reaksi tipe 2 ini dikenal dengan nama eritema nodusun leprosum (ENL). Berbeda dengan reaksi kusta tipe 1 atau reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sedangkan pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. ENL merupakan reaksi hipersensitifitas tipe 3 menurut Coomb dan Gell. Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk komplek Ag-Ab. Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun. Terutama terjadi pada LL dan LLs dan kadang-kadang pada bentuk BL. Biasanya disertai gejala-gejala sistemik. Baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungan dengan pemberian pengobatan antikusta, hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama pengobatan, tapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi granular. Tidak terlihat gambaran perubaha lesi kusta seperti pada reaksi tipe 1 (SIS tidak berubah, dengan demikian kedudukannya dalam spectrum pun tetap. Obat yang paling sering dipakai untuk menangani reaksi ini adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin beratnya reaksi makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.6 II. 5 Gejala Klinis 2. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi borderline)

Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan selular secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. d. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi). e. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe I ini dapat dibedakan atas: reaksi ringan dan reaksi berat. f. Perjalanan reaksi 6 12 minggu atau lebih. Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I Gejala 4. Lesi Kulit Reaksi Ringan Tambah aktif, menebal merah, teraba panas dan nyeri tekan. membentuk plaque Tidak ada nyeri tekan saraf dan gangguan fungsi. Kulit dan saraf bersama sama Lesi yang telah ada menjadi lebih eritematosa, nyeri pada saraf. Berlangsung kurang dari 6 minggu. Reaksi Berat Lesi membengkak sampai ada yang pecah, merah, teraba panas dan nyeri kaki membengkak, sendi-sendi sakit. Nyeri tekan, dan/atau gangguan fungsi, misalnya kelemahan otot. Lesi kulit yang eritematosa disertai ulserasi atau edema pada tangan/kaki. Saraf membesar, nyeri, dan fungsi terganggu. Berlangsung sampai 6 minggu atau lebih.
pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)

Makula yang menebal dapat sampai tekan. Ada lesi kulit baru, tangan dan Saraf Tepi

Tabel 1: Perbedaan reaksi brat dan reaksi ringan pada eksi tipe satu, sumber: ( buku pedoman nasional

Jika ada reaksi ringan pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf, dikategorikan sebagai Reaksi Berat.

Gambar 4: Manifestasi reaksi kusta tipe 1. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health Problem; Geneva: 2007)

5. Reaksi tipe II (reaksi ENL, reaksi eritema nodosum leprosum) Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, di mana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai respons adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen + antibodi + komplemen = Immunokompleks.

Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul pada kulit yang multiple berupa nodus eritema yang dikenal sebagai erirema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf ( neuritis) dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata merah. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.

Perjalanan reaksi biasanya berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat.2

Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I Gejala Lesi Kulit Reaksi Ringan Nodul yang nyeri tekan jumlahnya sedikit, biasanya hilang sendiri dalam 2 3 Keadaan Umum Saraf Tepi Organ tubuh hari Tidak ada demam atau demam ringan Tidak ada nyeri tekan atau gangguan fungsi Tidak ada gangguan Reaksi Berat Nodul nyeri tekan, ada yang pecah (Ulseratif), jumlah banyak, berlangsung lama. Demam ringan sampai berat Ada nyeri tekan, terjadi gangguan fungsi Terjadi peradangan pada organ-organ tubuh seperti Mata (Iridocyclitis), Testis (Epididymoorchitis), Ginjal (Nephritis), Sendi (Arthritis), Kelenjar Limfe

(Limphadenitis), Gangguang pada tulang, hidung dan tenggorokan.


Tabel 2: Perbedan reaksi ringan dan reaksi berat pada reaksi kusta tipe 2. Sumber: (( buku pedoman nasional pengendalian kusta Dirjen PPM & PL; Jakarta 2007)

Gambar 5: Manifestasi reaksi kusta tipe 2. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health Problem; Geneva: 2007)

6. Fenomena Lucio Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai

purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1

Gambar 6: Manifestasi fenomena lucio. Sumber: ( WHO, Guideline for Combating Leprosy as a Public Health Problem; Geneva: 2007)

II.6 Klasifikas Kusta


Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada table dibawah ini 1:

Klasifikasi Ridley & Jopling Madrid WHO Puskesmas

Zona spektrum kusta TT, Ti, BT, BB, BL, Li, LL Tuberkuloid, Borderline, Lepromatosa Pausibasilar, Multibasilar Pausibasilar, Multibasilar

Tabel 3: Zona spectrum kusta.. Sumber: (WHO, Committee of Leprosy Cure, Manual of Leprosy, Geneva:2000)

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu : TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil

Ti : tuberkuloid indefinite BT: borderline tuberculoid BB: Mid borderline Bl : borderline lepromatous Li : lepromatosa indefinite LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. Menurut WHO (1981), lepra dibahi 2 menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, yaitu tipe LL,BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari 2+, yaitu tipe TT,BT, dan I. 1 Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe TT,BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 3

Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 )

3.

Lesi kulit

PB -

1-5 lesi

MB -

> 5 lesi Distribusi Hilangnya

(makula datar, papul yang meninggi, nodus)

Hipopigmentasi/eritema Hilangnya sensasi jelas Hanya satu cabang -

Distribusi tidak simetris lebih simetris sensasi kurang jelas Banyak cabang saraf

4.

Kerusakan saraf

(menyebabkan hilangnya saraf sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1 Sifat Lesi Bentuk Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL) Makula Infiltrat difus Papul Jumlah Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA Lesi kulit Sekret hidung Tes Lepromin Nodus Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat Simetris Halus berkilat Tidak jelas Biasanya tidak jelas Banyak (ada globus) Banyak (ada globus) Negatif Makula Plakat Papul Sukar dihitung, masih ada kulit sehat Hampir simetris Halus berkilat Agak jelas Tak jelas Banyak Biasanya negatif Negatif Plakat Dome-shape (kubah) Punched-out Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada Asimetris Agak kasar, agak berkilat Agak jelas Lebih jelas Agak banyak Negatif Negatif Mid Borderline (BB)

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1

Karakteristik Lesi Tipe

Tuberkuloid (TT) Makula ; makula dibatasi infiltrat

Borderline Tuberculoid (BT) Makula dibatasi infiltrat saja; infiltrat saja Beberapa atau satu dengan lesi satelit Asimetris Kering, skuama Jelas Jelas

Indeterminate (I)

Hanya Infiltrat

Jumlah Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA lesi kulit Tes lepromin

Satu atau dapat beberapa Terlokalisasi & asimetris Kering, skuama Jelas Jelas

Satu atau beberapa Bervariasi Dapat halus agak berkilat Dapat jelas atau dapat tidak jelas Tak ada sampai tidak jelas

Hampir selalu negatif Positif kuat (3+)

Negatif atau hanya 1+ Positif lemah

Biasanya negatif Dapat positif lemah atau negatif

II. 7 Diagnosa

Anamnesa

Tanda-tanda kardinal

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Histo-patologi

Pemeriksaan Bakterioogis

DIAGNOSA

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda cardinal (tanda utama), yaitu : 4. Bercak kulit yang mati rasa : Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, medatar (macula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri. 5. Penebalan saraf tepi : Dapat disertai rasa nyeri dan dpat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu : d. Gangguan funsi sensoris : mati rasa e. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis f. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu. 6. Ditemukan kuman tahan asam Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf. Untuk menegakkan diagnose paling idak harus ditemukan satu tanda karidinal, jika tidak pemeriksan diulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakan atau disingkirkan.1 E. Anamnesis Keluhan pasien Riwayat kontak dengan pasien Latar belakang keluarga, misalnya keadaan social ekonomi

F. Pemeriksaan Fisik : Inspeksi : dengan penerangg baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit. Palpasi : Kelainan kulit : nodus, infiltrate, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki

Kelainan saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti: N. Aurikularis magnus, N. Ulnaris, N. Peroneus. Periksa dengan teliti apabila ada nyeri tekan dan juga penebalan saraf. Perhatikan raut wajah pasien, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf di raba.3

Pada waktu melakukan pemeriksaan saraf tepi ingat untuk membandingkan sisi kanan dan kiri, apakah ada pembesaran atau tidak, pembesaran regular (smooth) atau irregular (bergumpal), terasa keras atau kenyal, dan ada nyeri atau tidak. Cara pemeriksaan saraf tepi sebagai berikut : d. N. Aurikularis Magnus : Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mngkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bias terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan antara yang kiri dengan yang kanan. e. N. Ulnaris : Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan siku (sulkus N. ulnaris)ndan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Bandingkan antara yang kanan dan yang kiri.

f. N. Paroneus lateralis: Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae. Biasanya sedikit ke posterior. Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, seringkali asien merasa seperti terkena setrum. Pada kasus neuritis akut sentuhan yang sedikit sudah dapat menimbulkan nyeri hebat.

Tes fungsi saraf d. Tes sensoris : gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hagat dan dingin. Rasa raba : sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya ke kulit. Pasien harus dalam keadaan duduk. Saat dilakukan tes perabaan pasien diminta untuk menunjukkan daerah yang telah diraba. Untuk memastikan hasil yang objektif pasien dapat disruh menutup mata atau ditutup dengan kain. Pada bercak-bercak yang ada dilakukan pemeriksan raba pada bagian tengahnya bukan pada bagian pinggirnya. Rasa nyeri : dengan menggunakan jarum petugas menusuk kulit pasien dengan ujung jarum yang tajam dan tangkai jarum yang tumpul. Pasien diminta untuk mengatakan tusukan mana yang tajam dan yang tum\pul. Rasa suhu: dilakukan dengan memakai dua tabung reaksi, yang satu berisi air hangat (40 0C) dan yang satu berisi air dingin (20 0C). mata pasien di tutup. Sebelumnya dilakukan tes pada kulit yang normal untuk memastikan bahwa pasien pada awalnya tidak memiliki kelainan sensibilitas (sebelun terinfeksi). Tabung disentuhkan secara bergilir dan pasien diminta untuk mengatakan yang mana yang panas dan yang dingin. e. Tes otonom : Berdasarkan adanya ganggaun berkeringat di macula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis. Tes dengan pensil tinta (tes gunawan) : pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal. Pasien disuruh beraktivitas dan jika pada daerah lesi tinta utuh tidak terhapus keringa berarti tes positif.

Tes pilocarpin : daerah kulit pada macula dan perbatsannya diuntik dengan pilocarpin subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.

f. Tes motoris : Voluntary Muscle Test (VMT) Cara memeriksa: Mula-mula periksa gerakan seperti ditunjukkan oleh tanda panah hitam pada gambar. Perhatikan apakah pasien dapat melakukan dengan baik dan tanpa bantuan. Periksa tahanan yang diberikan sebagai respon oleh pasien. Kerjakan pemeriksaan ini jika gerakan pasien sempurna atau mendekati, lakukan perlahan-lahan, pasien jangan dikejutkan, jangan paksa pasien sampai berubah posisi amati perubahan posisi dan kekuatan menahan pasien apakaha normal, berkuang, atau tidak ada sama sekali. Bandingkan selalku kaki dan angan pasien yang kanan dan yang kiri. 1

G. Pemeriksaan Histopatologis Diagnosis kusta melalui pemeriksaan penunjang biasanya dilakukan melalui pemeriksaan bakterioskopis. Sediaan biasanya diambil pada daerah yang paling aktif dimna jumlah pengambilan sediaan jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu cuping telinga kiri, cuping telinga kanan, serta pada bagian tubuh dengan lesi paling aktif.3 Cara pembuatan : Daerah/ruam yang hendak di toreh dibersihkan dengan alcohol. Kemudian dijepit kuat dengan telunjuk dan jempol kiri pemeriksa untuk menghilangkan perdarahan dan mengurangi rasa sakit. Dengan tangan kanan pemeriksa, jaringan/kulit yang terjepit di toreh sedalam 3-5mm sepanjang kurang lebih 1 cm, darah yang keluar dibersihkan. Kemudian dengan satu sisi tajam pisau torehan dikerok, pisau diputar 180 derajat dan sayatn dikerok kea rah sebaliknya di saat yang bersamaan daerah harus terus dijepit. Hasil kerokan pada pisau toreh segera dihapuskan pada gelas objek. Pada satu gelas objek dapat dibuat bebeapa apusan dari tmpat yang berbeda. Preparat apusan dipulas dengan ziehl-Neelsen dan dilihat di bawah mikroskop cahaya dengan minyak emersi dan dihitung dengan menggunakan indeks bakteri. H. Pemeriksaan Serologis Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman M.leprae mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternative yang paling diharapkan. Beberapa tes serologis yang banyak digunakan untuk mendiagnosis penyakit kusta, antara lain : 4. Tes FLA-ABS 5. Tes ELISA 6. Tes MLPA (untuk mengukur titer antibody Ig G yang telah terbentuk di dalam tubuh pasien. Titer dapat ditentukan secara kuantitatif dan kualitatif).2

II.8 Penatalaksanaan Non farmakologis : Menjaga kebersihan tubuh dan lingkugan Menjaga asupan makan agar tetap mengandung gizi dan nutisi yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh

Farmakologis :

Regimen MDT : Terapi untuk kusta tipe PB pada dewasa : 1x dalam satu bulan: hari 1 . 2 kapsul rifampisin (300mg x 2) . 1 tablet dapsone (100mg) 1x dalam satu hari : hari 2-28 . 1 tablet dapsone (100mg) Paket penuh : 6 paket blister

Terapi untuk kusta tipe PB pada anak (10-14 th): 1 x dalam satu bulan: hari 1 . 2 kapsul rifampisin (300mg + 150mg) . 1 tablet dapsone (50mg) 1 x dalam satu hari : hari 2-28 . 1 table dapsone (50mg)

Paket penuh : 6 paket blister. Untuk anak kurang dari 10 th, dois harus disesuaikan Dengan berat badan.

Terapi untuk kusta tipe MB untuk dewasa 1x dalam satu bulan : hari 1 . 2 kapsul rifampisin (300mg x 2) . 3 kapsul clofazimin (100mg x 3) . 1 tablet dapsone (100mg) 1x dalam satu hari : hari 2-28 . 1 kapsul clofazimin (50mg) . 1 tablet dapsone (100mg) Paket penuh : 12 paket blister

Terapi untuk kusta tipe MB pada anak (10-14 th ): 1x dalam satu bulan : hari 1 . 2 kapsul rifampisin (300mg + 150mg) . 3 kapsul clofazimin (50 mg x 3) . 1 tablet dapsone (50mg) 1x dalam satu hari : hari 2-28

. 1 kapsul clofazimin setiap hari (50mg) . 1 tablet dapsone (50mg) Paket penuh : 12 paket blister Bagi anak kurang dari 10 tahun, dosisharus disesuaikan Dengan berat badan. 7 Pengobata Reaksi Kusta Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama ditujukan untuk : Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau kontraktur. Secepatnya dilakukn tindakan agar tidak terjadi kebutaan bila mnegenai mata. Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas Menatasi rasa nyeri

Prinsip pengibatan reaksi kusta : 5. Pemberian obat antireaksi 6. Itirahat atau imobilisasi 7. Analgetik, sedative untuk mengatasi rasa nyeri 8. Obat antikusta yang sudah diberikn diteruskan Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontra-indikasi, sema obat anti-kusta dosis penuh harus tetap diberikan: Untuk membunuh kuman agr penyakit tidak mluas Untuk mencegah timbulnya resistensi

Dengan menghentikan obat anti-kusta saat pengobatan reaksi, kadangkadang justru menimbulkan reaksi pada waktu pengobatan anti-kusta tersebut dilakukan kembali.

C. Pengobatan reaksi ringan Non medikamentosa Istirahat, imobilisasi, berobat jalan. Medikamentosa Aspirin : masih merupakan obat terbaik dan murah untuk mengtasi rasa nyeri dan sebagai nti radang. Dosis yang dianjurkan 600-1200 mg diberikan tiap 4 jam, 4 sampai 6 kali sehari. Klorokuin: kombinasi aspirin dan klorokuin memiliki khasiat lebih baik dbanding pemberian tunggal. Dosis 3 x 500mg/hr. efek toksik pada penggunaan jangka panjang dapat berupa: ruam pada kulit, fotosensitisasi serta gangguan gastro-intestinal, pengelihatan dan pendengaran. Antimon: Stibophen berisi 8,5mg antimony per ml. dosis:2-3 ml dibrikan secara selang-seling, dosis total tidak melebihi 30 ml. digunakan pada reaksi tipe 2 yang ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi-sendi dan tulang. Efek samping : ruam pada kulit, bradikardi, hipotensi. Kini jarang dipakai karena efeknya toksiknya kuat. Talidomid: digunakan untuk mnegatasi reaksi tipe 2 agar dapat melepaskan ketergantugan pada kortikosteroid. Dosis: mula-mula diberikan 400mg/hr sampai reaksi teratasi, kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai 50mg/hr. tidak dianjurkan diberikan pada wanita usia subur. 2 D. Pengobatan reaksi berat Segera rujuk ke rumah sakit untuk prawatan. Untuk reaksi tipe 1 harus segera diberikan kortikosteroid, sedangkan untuk reaksi tipe 2 dapat diberikan klofazimin, talidomid, dan kortikosteroid sendiri-sendiri atau kombinasi. Mengenai dosis, cara maupun lama pengobatan reaksi kusta sangat bervariasi sehingg belum ada dosis baku.

Cara pemberian kortikosteroid : Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang Gunakan prednisone atau predniolon Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari Dosis diturunkan setelah respons maksimal Dosis steroid dapat dimulai antara 30-80mg prednisone/ hari dan diturunkan 510mg/2 minggu, sebagai berikut:1 2 mg I 2mg II 2mg III 2mg IV 2mg V : 30mg/hr : 20mg/hr : 15mg/hr : 10mg/hr : 5mg/hr

II. 9 Rehabilitasi Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan sosial. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.7

II.10 Monitoring dan Evaluasi Pengobatan 11. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat 12. Apabila penderita terlambat mengambil obat paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan 13. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita 14. Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif a. Tipe PB selama 2 tahun b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium 15. Penderita PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium 16. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium 17. Defaulter Jika seorang penderita PB tidak mengambil obatnya lebih dari 3 bulan maka dinyatakan sebagai Defaulter PB. Jika seorang penderita MB tidak mengambil obatnya lebih dari 6 bulan maka dinyatakan sebagai Defaulter MB. Tindakan bagi penderita defaulter : a. Dikeluarkan dari monitoring dan register b. Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang, pengobatan menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat 18. Relaps/ Kambuh Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika ternyata pada pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi 2 atau lebih disbanding saat diagnosis maka penderita dinyatakan Relaps. Rujuan dalam kasus relaps memungkinkan karena kasus relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila hasil relaps telah dikonfirmasikan maka penderita diobati sesuai hasil pemeriksaan pada saat itu.

Catatan : Untuk mereka yang pernah mendapat pengobatan Dapson monoterapi (sebelum diperkenalkan MDT) namun kemudian muncul kembali sebagai tanda kusta aktif yang membutuhkan MDT, maka penderita tersebut dimasukkan dalam kategori relaps. 19. Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, default. 20. Pada keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan pesan penyuluhan lengkap dengan efek samping dan indikasi untuk kembali ke pelayanan kesehatan.6

BAB III PENUTUP

5. Reaksi kusta sekalipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus sudah diketahui namun hungga kini penyebab pastinya belum dapat diketahui. 6. Reaksi kusta terabagi menjadi dua yakni : Reaksi tipe I oleh hipersensitivitas selular Reaksi tipe II oleh hipersensitivitas humoral

Dimana kedua reaksi tersebut dapat dibedakan melalui gejala yang ditimbulkan pada kulit, saraf, dan kulit juga saraf bersama-sama, dimana masing masing reaksi dapat dikatagorikan lagi menjadi reaksi ringan dan reaksi berat. 7. Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala seperti banyak penykit lain sehingga disebut sebagi the great imitator, oleh karena itu dalam mendiagnosis kusta dibutuhkan ketelitian dan pmeriksaan yang menyeluruh untuk mendiagnosanya secara tepat. Dasar diagnosanya didasarkan pada penemuan 4 tanda cardinal, anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik termasuk didalamnya tes fungsi saraf dan mecari tanda apabila sudah terjadi kmplikasi, serta pemeriksaan histopatologis atau serologis.

8. Pada prinsipnya pengobatan reaksi kusta terutama untuk : Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis Mencegah kebutaan apabila penyakit sudah menyerang mata Membunuh kuman agar penyakit tidak meluas Mengatasi rasa nyeri

Dimana

hal di atas dilakukan melalui pemberian obat antireaksi, istirahat atau

imobilisasi, pemberian analgetik atau sedatif untuk mengatasi rasa nyeri, dan melanjutkan obat antikusta sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

8. Martodihardjo R, Susanto R.S.D, Reaksi Kusta dan Penanganannya, Kusta, Ed. II, p.7285, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2003. 9. Departemen Kesehatan R.I. Ditjen PPPL, Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta, Jakarta;2007. 10. Litiawan M.Y, Agusni I, Martodihardjo S, Morbus Hansen-Reaksi Kusta, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. III, p. 41-48, Airlangga Universiy Press, Surabaya; 2005. 11. Kosasih A, Wisnu I.M, Daili E.S.S, Menaldi S.L. Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed. VI, p. 73-88, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2010. 12. Murtiastutik D, Ervianty E, Agusni I, Suyoso S, Morbus Hansen, Atlas Penyakit Kulit & Kelamin, Ed. II, p. 41-54, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP), Surabaya; 2010 13. Guinto R.S, Abalos R.M, Cellona R.V, Fajardo T.T. Atlas Kusta ; disadur dari An Atlas of Leprosy, Sasakawa Memorial Health Foundation, Dirjen PPM & PL, Jakarta; 2000. 14. World Health Organization, Giude to Eliminate Leprosy as a Public Health Problem, Ed. I, Geneva; 2000

DEFINISI Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejalagejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebab ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Kosasih, 2002). Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (respons selular) atau reaksi antigen-antibodi (respons humoral) dengan akibat merugikan pasien. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum mendapat pengobatan, selama pengobatan, dan sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan. Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik; (kondisi lemah, menstruasi, hamil, setelah melahirkan, pembedahan, sesudah mendapat imunisasi. dan malaria) dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung.

EPIDEMIOLOGI

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah: a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam. b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang. Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Microbacterium leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : - Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa - Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti - Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti - Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah - Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat (Zulfikli, 2003).

Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan 13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropics, serta masyarakat yang social ekonominya rendah.

Gambar 2.1 Penyebaran Lepra di Dunia ( WHO, 2002)

ETIOLOGI

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G. A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol, serta positif Gram. Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response , yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Masa replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 25 tahun (Kosasih, 2002).

Diunduh dari sumber : http://www.ciriscience.org/ph_130Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy pada tanggal 13 september 2013 pukul 16.00

Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus reaksi kusta sudah diketahui jelas, namun penyebab pasti belum diketahui. Kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut terhadat antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada. Faktor pencetus: Setelah pengobatan kusta yang intensif Infeksi rekuren Pembedahan Stres fisik Imunisasi Kehamilan Saat saat melahirkan

PATOFISIOLOGI

Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik. Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan. Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa. Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan perkalian, penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa. M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer) dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang respon

kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya, pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal. Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme, mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri. Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara juga moderator kemampuan bakterisidal makrofag. Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini. Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10), tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu, spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu, kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat keparahan penyakit. Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis kusta . M leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel Schwann, terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang dimediasi sel yang paling aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk aktivasi gen apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada orang dengan penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel Schwann juga merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel, sedangkan aktivasi dari jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi sebagai mediator dari demielinasi pada kusta. Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel yang terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi sel dendritik. [5] Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel-sel endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain dimanfaatkan oleh M leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan apoptosis sel kekebalan tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi.

Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe I reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks imun pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ. Satu studi menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat saraf terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal. Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. 1

Diunduh dari sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.full pada tanggal 13 september 2013 pukul 16.00

Reaksi Kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalan penyakit kusta yang sebenarnya sangat kronik dengan gejala konstitusi, aktivasi dan atau timbul efloresensi baru di kulit. Adapun patofisiologinya belum jelas betul, terminologi dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Reaksi menyebabkannya: 5. 6. Reaksi tipe 1 disebabkan reaksi hipesensitifitas selular Reaksi tipe 2 disebabkan hipersensitifitas humoral Fenomena lucio atau reaksi kusta tipe 3, sebenarnya merupakan bentuk reaksi tipe 2 yang lebih berat. Dari segi imunologisnya terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading yang memegang peranan adalah kusta terbagi atas dua tipe reaksi menurut hipersensitifitas yang

imunitas selular, sedangkan pada reaksi tipe 2 atau Eritema Nodosum Leprosum (ENL)yang memegang peranan adalah imunitas humoral. Menurut Ridley dan Jopling spectrum kusta terdiri atas 5 tipe yaitu: TT, BT, BB, BL, LL. Bentuk TT dan LL disebut bentuk polar dan mempunyai imunitas yang stabil, sedangkan yang lainnya disebut bentuk subpolar dan imunitasnya tidak stabil. Disamping tipe-tipe tersebut terdapat tipe TTs dan LLs, yang merupakan bentuk subpolar, berdekatan sekali dengan tipe TT maupun LL, sehingga secara klinis sukar dibedakan dengan bentuk TT maupun LL (klinis seperti TT dan LL, tetapi imunitasnya tidak stabil). Semakin tinggi imunitas (SIS) yang dimiliki seseorang pasien kusta, semakin tinggi jumlah basil yang dikandungnya. Pada tipe TT dengan imunitas tinggi sukar sekali menemukan basil, sedangkan pada tipe LL yang hampir atau tidak mempunyai imunitas, dengan mudah basil dapat ditemukan. Reaksi Tipe 1 Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal atau reaksi upgrading hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sehingga dapat disebut reaksi borderline yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah Sistem Imun Seluler (SIS), yaitu terjadi peningkatan mendadak SIS. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil M. leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Tipe ini dapat bergerak bebas kearah TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu diikuti dengan perubahan SIS pula. Begitu pula pada reaksi reversal, terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat. Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction seperti halnya reaksi hipersensitifitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Antigen yang berasal dari basil yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan SIS yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe 1 terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas (SIS) dan basil. Dengan demikian sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading / reversal, apabila menuju kearah

tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading, apabila menuju ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS). Pada kenyataannya reaksi tipe 1 ini diartikan sebagai reaksi reversal oleh karena paling sering ditemui terutama pada kasus-kasus yang mendapat pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang ditemui oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan. Meskipun secara teoritis reaksi tipe 1 ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain. Bentuk BB, apabila terjadi reaksi reversal akan menjadi bentuk BT dan akhirnya ke bentuk TTs sedangkan bila down grading akan menjadi bentuk BL dan akhirnya ke bentuk LLs. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tidak disertai neuritis tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosinya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisone 4060 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurani terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritema, lesi macula menjadi infiltrate, lesi infiltrate makin infiltrative dan lesi sama menjadi bertambah luas. Jadi kesimpulannya adalah, ENL dengan lesi eritema nodosum (reaksi lepra nodular) sedangkan reversal tanpa nodus (reaksi non-nodular).

Reaksi Tipe 2 Secara imunopatologis, reaksi kusta termasuk respons imun humoral, berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae dengan antibodi (IgM,

IgG) dan komplemen membentuk kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk. ENL lebih banyak terjadi pada pengobatan tahun kedua. Hal ini dapat terjadi karena pada pengobatan, banyak basil lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ. Reaksi kusta termasuk suatu kegawatdaruratan medik karena dapat menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat irreversible. Reaksi tipe 2 ini dikenal dengan nama eritema nodusun leprosum (ENL). Berbeda dengan reaksi kusta tipe 1 atau reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, T), sedangkan pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. ENL merupakan reaksi hipersensitifitas tipe 3 menurut Coomb dan Gell. Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi dengan antibodi membentuk komplek Ag-Ab. Kompleks Ag-Ab ini akan mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks imun. Terutama terjadi pada LL dan LLs dan kadang-kadang pada bentuk BL. Biasanya disertai gejala-gejala sistemik. Baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungan dengan pemberian pengobatan antikusta, hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim terjadi dalam 6 bulan pertama pengobatan, tapi justru terjadi pada akhir pengobatan karena basil telah menjadi granular. Tidak terlihat gambaran perubaha lesi kusta seperti pada reaksi tipe 1 (SIS tidak berubah, dengan demikian kedudukannya dalam spectrum pun tetap. Obat yang paling sering dipakai untuk menangani reaksi ini adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin beratnya reaksi makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat

menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.

JENIS REAKSI/ GEJALA KLINIS

2. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi borderline) Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan selular secara cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB. Faktor pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

a. Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), atau gangguan keadaan umum pasien (gejala konstitusi). b. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipe I ini dapat dibedakan atas: reaksi ringan dan reaksi berat. c. Perjalanan reaksi 6 12 minggu atau lebih. Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I Gejala 7. Lesi Kulit Reaksi Ringan Tambah aktif, menebal merah, teraba panas dan nyeri tekan. membentuk plaque Tidak ada nyeri tekan saraf dan gangguan fungsi. Kulit dan saraf bersama sama Lesi yang telah ada menjadi lebih eritematosa, nyeri pada saraf. Berlangsung kurang dari 6 minggu. Reaksi Berat Lesi membengkak sampai ada yang pecah, merah, teraba panas dan nyeri kaki membengkak, sendi-sendi sakit. Nyeri tekan, dan/atau gangguan fungsi, misalnya kelemahan otot. Lesi kulit yang eritematosa disertai ulserasi atau edema pada tangan/kaki. Saraf membesar, nyeri, dan fungsi terganggu. Berlangsung sampai 6 minggu atau lebih.

Makula yang menebal dapat sampai tekan. Ada lesi kulit baru, tangan dan Saraf Tepi

Jika ada reaksi ringan pada lesi kulit yang dekat dengan lokasi saraf, dikategorikan sebagai Reaksi Berat.

3. Reaksi tipe II (reaksi ENL, reaksi eritema nodosum leprosum) Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB dan merupakan reaksi humoral, di mana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai respons adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen + antibodi + komplemen = Immunokompleks.

a. Kompleks imun ini dapat mengendap antara lain di kulit berbentuk nodul pada kulit yang multiple berupa nodus eritema yang dikenal sebagai erirema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi seperti demam dan malaise, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata merah. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.Ia juga dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula. b. Perjalanan reaksi biasanya berlangsung sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulangulang dan berlangsung lama. c. Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat. Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi tipe I Gejala Lesi Kulit Reaksi Ringan Nodul yang nyeri tekan jumlahnya sedikit, biasanya hilang sendiri dalam 2 3 Keadaan Umum Saraf Tepi Organ tubuh hari Tidak ada demam atau demam ringan Tidak ada nyeri tekan atau gangguan fungsi Tidak ada gangguan Reaksi Berat Nodul nyeri tekan, ada yang pecah (Ulseratif), jumlah banyak, berlangsung lama. Demam ringan sampai berat Ada nyeri tekan, terjadi gangguan fungsi Terjadi peradangan pada organ-organ tubuh seperti Mata (Iridocyclitis), Testis (Epididymoorchitis), Ginjal (Nephritis), Sendi (Arthritis), Kelenjar Limfe (Limphadenitis), Gangguang pada tulang, hidung dan tenggorokan.

Fenomena Lucio Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1

KLASIFIKASI KUSTA
Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada table dibawah ini 1:

Klasifikasi Ridley & Jopling Madrid WHO Puskesmas

Zona spektrum kusta TT, Ti, BT, BB, BL, Li, LL Tuberkuloid, Borderline, Lepromatosa Pausibasilar, Multibasilar Pausibasilar, Multibasilar Tabel 1. zona spektrum kusta

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu : TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil Ti : tuberkuloid indefinite BT: borderline tuberculoid BB: Mid borderline Bl : borderline lepromatous Li : lepromatosa indefinite LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.

Menurut WHO (1981), lepra dibahi 2 menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, yaitu tipe LL,BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari 2+, yaitu tipe TT,BT, dan I. 1 Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu tipe TT,BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 1 Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 ) 1 PB 6. Kerusakan saraf MB -

5.

Lesi kulit

1-5 lesi

> 5 lesi Distribusi Hilangnya

(makula datar, papul yang meninggi, nodus)

Hipopigmentasi/eritema Hilangnya sensasi jelas Hanya satu cabang -

Distribusi tidak simetris lebih simetris sensasi kurang jelas Banyak cabang saraf

(menyebabkan hilangnya saraf sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1 Sifat Lesi Bentuk Lepromatosa (LL) Borderline Lepromatosa (BL) Makula Infiltrat difus Papul Jumlah Nodus Tidak terhitung, praktis Makula Plakat Papul Sukar dihitung, masih Plakat Dome-shape (kubah) Punched-out Dapat dihitung, kulit Mid Borderline (BB)

Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA Lesi kulit Sekret hidung Tes Lepromin

tidak ada kulit sehat Simetris Halus berkilat Tidak jelas Biasanya tidak jelas Banyak (ada globus) Banyak (ada globus) Negatif

ada kulit sehat Hampir simetris Halus berkilat Agak jelas Tak jelas Banyak Biasanya negatif Negatif

sehat jelas ada Asimetris Agak kasar, agak berkilat Agak jelas Lebih jelas Agak banyak Negatif Negatif

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1

Karakteristik Lesi Tipe

Tuberkuloid (TT) Makula ; makula dibatasi infiltrat

Borderline Tuberculoid (BT) Makula dibatasi infiltrat saja; infiltrat saja Beberapa atau satu dengan lesi satelit Asimetris Kering, skuama Jelas Jelas

Indeterminate (I)

Hanya Infiltrat

Jumlah Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA lesi kulit Tes lepromin

Satu atau dapat beberapa Terlokalisasi & asimetris Kering, skuama Jelas Jelas

Satu atau beberapa Bervariasi Dapat halus agak berkilat Dapat jelas atau dapat tidak jelas Tak ada sampai tidak jelas

Hampir selalu negatif Positif kuat (3+)

Negatif atau hanya 1+ Positif lemah

Biasanya negatif Dapat positif lemah atau negatif

DIAGNOSA

Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinik, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu digunakan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil, dan sebagainya. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat, saja atau keduanya. Kusta mendapat julukan The great imitator dalam penyakit kulit sehingga perlu

didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang lain. Diagnosa bandingnya antara lain adalah: dermatofitosis, tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis seboroika, psoriasis, neurofibromatous, granuloma anulare, xantomatosis, skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark (Kosasih, 2002). Ada 3 tanda kardinal, yang kalau salah satunya ada sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta yakni7: 1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa. Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang mati rasa (anestesi). 2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa: a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak. 3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear). Secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak mebantu penentuan diagnosis, meskipun tidak terlalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan dapat juga dengan rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan tabung reaksi. Perhatikan pula ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi (Siregar, 2003). Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N.

tibialis posterior. Untuk tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang untuk tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf, dan membran mukosa10. Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy). Penilaian untuk tanda-tanda fisik terdapat pada 3 area umum: lesi kutaneus, neuropathi, dan mata. Untuk lesi kutaneus, menilai jumlah dan distribusi lesi pada kulit. Makula hipopigmentasi dengan tepian yang menonjol sering merupakan lesi kutaneus yang pertama kali muncul. Sering juga berupa plak. Lesi mungkin atau tidak mungkin menjadi hipoesthetik. Lesi pada pantat sering sebagai indikasi tipe borderline. Tanda-tanda umum dari neuropati lepra : neuropati sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi neuropati motorik murni dapat juga muncul. mononeuropati dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan peroneal yang lebih sering terlibat neuropati perifer simetris dapat juga timbul

Gejala dari neuropati lepra biasanya termasuk berikut: anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya kerusakan motoris dan sensoris. deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (claw hand atau drop foot menyusul kelemahan otot) gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia dalam distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek atau diregangkan

lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropik sebagai konsekuensi dari hilangnya sensoris

Deformitas pada kusta, sesuai dengan patofisiologinya, dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat lansung oleh granuloma yang terbentuk sebgai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf: 1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial 2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral 3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan 4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus. 5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik kaki dan kolaps arkus pedis 6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan servikal) 7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada: multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae respons imun penderita terhadap kuman M. leprae komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer 9

Gejala yang terlihat pada suatu reaksi reaksi reversal onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya lesi-lesi kulit yang baru reaksi ENL nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata merah.Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema,dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dantungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut,limfadenitis,arthritis,or kitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. Reaksi II dapat pula disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula. Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang menghasilkan claw hand atau drop foot.11 Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan12. Tabel perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 4 No. Gejala/tanda 1 Kondisi umum 2 Peradangan di kulit Tipe I (reversal) Baik atau demam ringan Bercak kulit lama menjadi lebih meradang (merah), dapat timbul bercak baru Tipe II (ENL) Buruk, disertai malaise dan febris Timbul nodul kemerahan, lunak, dan nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah 3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT (ulserasi) Setelah pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 4 5 Tipe kusta Saraf PB atau MB Sering terjadi bulan MB Dapat terjadi

Umumnya berupa nyeri tekan saraf dan atau gangguan 6 7 Keterkaitan organ lain Faktor pencetus fungsi saraf Hampr tidak ada Melahirkan Obat-obat yang meningkatkan kekebalan tubuh Terjadi pada mata, KGB, sendi, ginjal, testis, dll Emosi Kelelahan dan stress fisik lainnya kehamilan

Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 4 No Gejala/tanda 1. Kulit Tipe I Ringan Bercak : merah, tebal, panas, nyeri Berat Bercak : merah, tebal, panas, nyeri yang bertambah parah sampai 2 Saraf tepi Nyeri pada perbaan 3 4 Keadaan umum Keterlibatan organ lain (-) Demam (-) pecah Nyeri pada perabaan (+) Demam (+) Demam (+) Demam (+) + Terjadi peradangan pada : mata : Nyeri pada perabaan (-) Nyeri pada perabaan (+) Tipe II Ringan Nodul : Berat Nodul : merah, bertambah parah sampai pecah

merah,panas,nyeri panas, nyeri yang

iridocyclitis testis : epididimoorchiti s ginjal : nefritis kelenjar limpa : limfadenitis gangguan pada tulang, hidung, dan tenggorokan *bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat

Tabel Karakteristik reaksi kusta: Reaksi tipe 1 Tipe kusta Kebanyakan tipe borderline (BB, BT, BL) dapat terjadi pada kusta subpolar (LLs) dan pada kusta tuberkuloid yang diterapi. Onset Reaksi upgrading biasanya muncul selama 6 bulan pertama dari terapi kusta pada pasien BT dan BB, tetapi dapat lebih lama pada pasien BL. Reaksi downgrading terjadi spontan pada pasien yang tidak diterapi atau pasien yang putus obat. Pada saat dilakukan terapi, dapat terjadi reaksi upgrading. Penyebab Berhubungan dengan perubahan Sindrom kompleks imun akibat ENL kebanyakan terjadi setelah dilakukan terapi kusta, 1 2 tahun setelah dilakukan kemoterapi. Dapat terjadi pada kasus tanpa terapi yang lama. Reaksi tipe 2 Kebanyakan lepromatous (LL), kadang kadang borderline lepromatous (BL)

imunitas selular, reaksi upgrading berhubungan dengan peningkatan secara tiba tiba imunitas selular; reaksi down grading berhubunhan dengan penurunan secara tiba tiba imunitas selular.` Gambaran klinik Reaksi Upgrading: beberapa atau semua lesi kusta menunjukkan tanda tanda peradangan akut (nyeri, tenderness, eritema, dan edema). Terlihat seperti erisipelas. Ulserasi dan nekrosis dapat terjadi pada kasus berat. Dapat muncul lesi baru. Reaksi down grading: lesi kusta tampak lebih buruk dan progres mengarah ke lepromatous, sering muncul lesi baru. Gejala sistemik Gejala penyerta Tidak biasa muncul, kecuali apabila semua gejala muncul Pembengkakan yang cepat dari satu atau beberapa saraf dengan perlunakan dan nyeri pada tempat tangan, tungkai, atau wajah dapat timbul; dapat terjadi abces pada saraf.

pengendapan komplek Ag-Ab pada tissue spaces dan pada pembuluh darah serta pembuluh limfa

Lesi kusta yang ada tidak menampakkan gejala yang mengganggu. Nodul atau plaque lunak berwarna pink yang tiba tiba muncul. Dapat menjadi vesicular, pustular, bulosa, gangrenous, dan break down (eritema nodosum necrotican).

Demam, malaise, pasien terlihat toxic Sering terjadi pembengkakan pada tangan, kaki ataupun wajah. Paralisis dapat muncul akan tetapi tidak mengancam secara cepat seperti pada reaksi tipe 1. Gejala yang sering menyertai: iritis, iridocycilitis, epistaksis, nyeri otot, nyeri tulang (sering muncul

saraf yang membengkak; edema pada pada reaksi tipe 2 kerusakan sarah

Claw hand, drop foot, facial palsy dapat muncul secara tiba tiba.

pada tibia), nerve pain, joint pain, limfadenitis, epididymo-orchitis,

Apabila tidak diterapi dengan adekuat maka lesi akan permanen. Special features Reaksi yang sangat berat pada lesi tuberkuloid dapat mengalami nekrosis dan ulserasi yang dalam

proteinuria.

Fenomena lucio adalah reaksi khas dan beart dari reaksi tipe 2 pada kasus yang tidak diterapi. Gejala : purpuric patches yang nyeri dan lunak yang dapat menjadi necrotic dan ulserasi (dengan atau tanpa bula) dan meninggalkan scar. Dapat menyebabkan multiple necrotizing vasculitis

Histologi

Reaksi upgrading: peningkatan limfosit, ephiteloid cells dan giant cells. Jumlah basil menurun. Reaksi down grading: defence cell (limfosit, ephiteloid cells dan giant cells) digantikan oleh makrofag. Jumlah basil meningkat.

Lesi ENL mengandung PMN dalam jumlah yang besar. Dapat ditemukan basil dan kebanyakan granular dan fragmenteg. ENL dapat menunjukkan tanda vaskulitis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai berikut: 1. Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium Hitung sel darah lengkap Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests HIV status, terutama nonresponder Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit

a. Darah rutin: tidak ada kelainan b. Bakteriologi: Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan membuat pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan perwarnaan terhadap basil tahan asam, antar lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seseorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengadung bakteri M. Leprae. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil, setelah yerlebih dulu menetukan jumlah tempat yang akan diambil. Jumlah lesi untuk pemeriksaan rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telingan tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharap mengandung basil paling banyak.6 M.leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Penting untuk membedakan antara bentuk solid dan non sloid karena bentuk solid lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain. Namun, dalam praktek, sukar untuk membedakan solid dan non sloid karena dipengaruhi oleh

banyak macam faktor. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non sloid pada sebuah sediaan dinyakatan dalam bentuk indeks bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut RIDLEY.6 Tabel 2. Indeks bakteri menurut RIDLEY 0 1+ 2+ 3+ 4+ 5+ 6+ Tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang 1-10 BTA dalam 100 lapang pandang 1-10 BTA dalam 10 lapang pandang 1-10 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang 11-100 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang 101.1000 rata-rata dalam 1 lapang pandang >1000 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskopik cahaya dengan minyak emersi pada pembesaran lensa objektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat pada sediaan. Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibanding dengan jumlah solid dan non solid.6

Gambar 4. Kuman solid

i. Indeks bakteri menurun ii. Indeks morfologi menurun 2. Pemeriksaan histopatologi Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa; Infiltrate limfosit yang meningkat sehingga terjadi udem dan hiperemi. Diferensiasi makrofag kearah peningkatan sel epiteloid dan sel Giant memberi gambaran sel Langerhans. Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis didalam granulosum. Penyembuhannya ditandai dengan fibrosis. Adanya kuman M.lepre masuk, akibatnya akan bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) orang itu. Apabila imunitas selulernya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M.leprae. datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunoligik dengan adanya faktir kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloidyang berlebihan dikelilingi oleh lomfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada panderita dengan imunitas seluler rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapar menghancurkan M.leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembangbiak dan disebut sel Virchow/sel lepra/sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Karakteristik tipe kusta berdasarkan klasifikasi RIDLEY-JOPLING dapat dilihat seperti tabel dibawah.

Tabel 3. Karakteristik berbagai tipe kusta menurut klasifikasi RIDLEY-JOPLING Tipe TT TT Reaksi lepromin Stabilitas imunologik 3+ ++ Ti 2+ + BT BT 1+ BB BB BL BL Li + LL LL ++

Reaksi borderline E.N.L Basil dalam hidung Basil dalam granuloma Sel epiteloid Sel datia Langhans Globi Sel Virchow Limfosit Infiltasi zona sub epidermal Kerusakan saraf

0 + +++ +++ + 0 - 1+ + ++ +++ +

+ 1+ - 3+ + + ++ +/-

++ 3 4+ + + + -

+ + 4 5+ + + + ++ 5 6+ + ++ +/ -

+ ++ 5 6+ + +++

++

+++

++

3. Imaging Studies Foto thorak Foto rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan Magnetic resonance (MR) neurography pada kondisi khusus Ultrasonography dan Doppler ultrasonography

4. Tes Yang Lain a. Tes Imunologi

Lepromin test Respon imun seluler melawan M leprae juga dapat dipelajari dengan lymphocyte transformation test dan lymphocyte migration inhibition test (LMIT). Tes berdasar pada deteksi antibody M lepra atau antigen. Tes serologi Pemeriksaan serologi lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi M. Leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35kD. antibodi anti-lipoarabinomanan M.tuberkulosis.6 Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosa lepra yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan lepra subklinis, karena tidak didapatkan lesi kulit, misalnya pada nonkontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik lepra ialah: uji MLPA (Mycobacterium leprae Particle Aglutination) uji ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay) ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).6 Estimasi dari komponen spesifik M leprae pada jaringan Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain (LAM), yang juga dihasilakn oleh kuman

b. DNA Recombinant dan polymerase chain reaction (PCR) c. Penyelidikan tentang abnormalitas konduksi saraf termasuk sebagai berikut: konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat terperangkap (segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang, berkurangnya (sensorik atau motorik) velositas konduksi saraf berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (compound muscle action potentials [CMAPs]) atau hilangnya amplitodo rendah dari potensial sensoris.

Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris, peroneal, median, dan saraf-saraf tibial.11

DIAGNOSA BANDING Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra: 1. 2. 3. 4. Ada Makula hipopigmentasi Ada daerah anestesi Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis, psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau psoriasis. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau erupsi obat REAKSI TIPE I

i. Relaps a. Untuk kusta PB, reaksi reversal seringkali dikelirukan sebagai relaps. Kebanyakan pasien yang dicatat sebagai relaps sebenarnya adalah reaksi reversal terlambat.Ini disebabkan karena tidak adanya standard baku (gold standard) sebagai pembanding oleh karena hasil pemeriksaan BTA-nya sejak awal negatif. b. Pada pasien MB, reaksi reversal kadang masih juga dikelirukan dengan relaps, tetapi kemungkinan untuk mengkonfirmasi relaps secara bakteriologi lebih memungkinkan, melalui kerokan jaringna kulit yang menunjukkan peningkatan indeks bakteri dan atau indeks morfologi yang positif. Tetapi tidak semua pasien mempunyai data awal pemeriksaan kerokan jaringan kulit tersebut untuk dapat dibandingkan. Tabel 8. Diagnosis banding reaksi tipe 1 dengan relaps11 Gejala Interval/onset Reaksi tipe 1 Umunya dalam 4 minggu-6 bulan pengobatan atau dalam 6 bulan setelah RFT Pada reaksi berulang sampai 2 tahun setelah RFT Relaps 1 tahun atau lebih setelah RFT PB : 3 tahun pada nonlepromatosa Borderline : 5 tahun MB : 9 tahun Timbulnya gejala Tipe kusta Lesi lama Mendadak, cepat BT, BB, BL Beberapa atau seluruh lesi menjadi berkilap, eritematosa dan bengkak ; nyeri tekan (+); konsistensi lunak. Terjadi perubahan tipe ke arah yang lebih baik, edema tangan dan kaki (+) Lesi baru Jumlah beberapa, morfologi sama Jumlahnya banyak Lambat, bertahap Semua tipe Eritem dan plak di tepi lesi Lesi bertambah dan meluas.

Ulserasi Keterlibatan saraf

(+) pada reaksi berat Neuritis akut yang nyeri; ada nyeri spontan; abses saraf; tiba-tiba ada paralisis otot disertai meluasnya gangguan sensoris

(-) Terjadi keterlibatan saraf baru; tanpa nyeri spontan; nyeri tekan positif; gangguan motoris dan sensoris terjadi lambat/perlahan Mungkin (-) BI mungkin positif pada pasien dengan BI yang sebelumnya negative Hasil tes tergantung tipe saat relaps

Gangguan sistemik BTA

Mungkin (+) Terjadi penurunan BI Peningkatan bentuk granuler

Tes lepromin

Reaksi Fernandez positif pada tipe BL dan BB yang secara berurutan menjadi BB dan BT

Respons terhadap pemberian steroid

Bagus. Lesi membaik dalam 2-4 minggu; tetap membaik dengan pengobatan 2 bulan

Respons tidak ada atau sedikit

ii. Berbagai kelainan kulit11 a. Lesi kulit berbentuk plakat merah pada urtikaria akut, erisepelas, selulitis, erupsi obat dan gigitan serangga. b. Lesi kulit bercak merah adalah seperti tabel 9. Tabel 9. Diagnosis banding bercak merah Diagnosis banding Bercak Merah Psoriasis Tinea Circinata Dermatitis seboroik

Bercak merah berbatas tegas, dengan sisik Efloresensi berlapis-lapis

Bercak meninggi, sering meradang, mengandung vesikel/krusta

Lesi di daerah sebore (berminyak) dengan sisik kuning berminyak gatal, kronis, residif, tidak ada rasa baal

Gambar

REAKSI TIPE II
Kutaneus Poliartritis Nodosa Kutaneus Poliartritis Nodosa merupakan salah satu vaskulitis yang terjadi pada pembuluh darah ukuran medium dengan gejala klinik antara lain penurunan berat badan, mialgia, miopati atau nyeri tekan otot, hipertensi (tekanan darah diastolik >90 mmHg), gangguan ginjal (peningkatan ureum, kreatinin), nyeri atau nyeri tekan testis, dll. Cutaneous polyarteritis nodosa juga bisa bermanifestasi berupa nodul eritem yang nyeri tekan dan bilatelar pada tungkai. Area yang terlibat biasanya memperlihatkan livedo reticularis. Nodulnya biasanya berlokasi pada calves dan sering mengalami ulserasi. Secara histopatologi terlihat vaskulitis yang melibatkan arteriole dan arteri ukuran medium pada septum dari jaringan subkutan. Pembuluh darah yang terlibat terdapat penebalan dinding dan tunika intima dari arteri yang

terlibat memperlihatkan cincin eosinofilik pada nekrosis fibrinoid memberikan gambaran targetlike (seperti-target) pada pembuluh darah.
1

Dikutip dari kepustakaan no.1 Sarkoidosis

Sarkoidosis adalah penyakit granulomatous multisistem yang tidak diketahui etiologinya mengenai khususnya umur muda, dan paling sering bermanifestasi berupa limfadenopati hillus bilatelar, infiltrasi pada paru atau lesi pada kulit dan mata. Eritema nodosum terjadi pada > 39 % pasien dengan

Sarcoidosis. Pada sarkoidosis subkutaneus granulomatosa melibatkan lebih banyak lobulus lemak dibanding septum dan septum tidak memperlihatkan fibrosis dan penebalan seperti yang biasa terlihat pada lesi yang berkembang penuh pada eritema nodosum. 1

Dikutip dari kepustakaan no. 1 Eritema Nodosum e.c Drug Eruption Sulfonamides, bromides dan kotrasepsi oral telah dilaporkan menyebabkan eritema nodosum dengan gambaran klinik berupa nodul yang eritem. Beberapa obat lain misalnya antibiotik, barbiturat, dan salicilat kadang-kadang dicurigai tetapi jarang terbukti sebagai penyebabnya.
3

Dikutip dari kepustakaan no.3

PENATALAKSANAAN KUSTA

Obat obat dalam rejimen MDT-WHO 1. Dapson Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.

Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-anak. Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim. 2. Rifampisin Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi. Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kirakira 99.9% dalam waktu beberapa hari. Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi kulit. 3. Klofazimin Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta. Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe I dan 2. Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus). 4. Etionamid dan Protionamid Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta. Obat ini bekerja bakteriostatik, cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen pengobatan kusta. Obat Kusta Baru Pada pelaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang timbul yaitu : adanya resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya pengobatan terutama pada kusta MB. Pada

penderita kusta PB timbul masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru setelah selesai MDT. Maka diperlukan obat-obat baru yang memenuhi syarat antara lain : Bersifat bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak anatagonis terhadap obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali. Obat-obat yang sudah terbukti efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin. A. Ofloksasin Ofloksasin merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae, dibandingkan dengan siprofloksaisn dan pefloksasin. Kerjanya melalui hambatan pada enzim girase DNA mikobakterium. B. Minosiklin Minosiklin merupakan turunan tetrasiklin yang bersifat lipofilik sehingga mampu menembus dinding M. leprae. Minosiklin bekerja dengan menghambat sintesis protein melakui mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta yang lain. C. Klaritromisin Klaritromisin merupakan golongan makrolid yang mempunyai aktivitas bakterisidal dengan menghambat suntesis protein melalui mekanisme yang lain dari minosiklin. Skema Rejimen MDT-WHO WHO membuat klasifikasi program rejimen MDT-WHO karena fasilitas bakterioskopik tidak selalu tersedia sehingga klasifikasi untuk rejimen ini juga didasarkan lesi kulit dan jumlah saraf yang terkena. Klasifikasi kusta untuk kepentingan rejimen MDT oleh WHO (1997) terbagi dalam 3 grup : 1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah. Rejimen terdiri dari : Rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan, ditambah dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan. 2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah Rejimen terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun. 3. Rejimen PB dengan lesi tunggal

Rejimen terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan dengan berat-badan ( lihat tabel) (Pramesemara, 2009). Tabel Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB Dapson Rifampisin 100 mg/hari 600 mg/bulan diawasi

Dewasa Anak-anak 10-14 tahun* 50 mg/hari 450 mg/bulan diawasi *Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya dapson 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan diawasi.

Tabel Obat dan Dosis Rejimen MDT-MB Dapson Rifampisin Klofamizin 100 600 mg/bulan Dewasa mg/hari diawasi 50 mg/hari dan 300 mg/bulan diawasi Anak-anak 10-14 50 450 mg/bulan 50 mg selang sehari dan 150 mg/bulan tahun* mg/hari diawasi diawasi *Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya dapson 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan diawasi, klofazimin 50 mg 2x seminggu, dan klofazimin 100 mg/bulan diawasi. Tabel Obat dan Dosis Rejimen MDT-PB lesi tunggal Dapson Ofloksasin Minosiklin Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg Anak-anak 5-14 tahun* 300 mg 200 mg 50 mg (dosis tunggal dan dimakan bersama-sama) * Tidak direkomendasikan pada wanita hamil dan anak-anak lebih kecil dari 5 tahun.

Pengobatan pada situasi khusus A. Penderita yang tidak dapat makan rifampisin Situasi ini mungkin disebabkan karena alergi, hepatits kronis atau resisten terhadap obat ini. Tabel Rejimen untuk penderita yang tidak dapat makan rifampisin Lama pengobatan 6 bulan Jenis obat Klofazimin Ofloksasin Dosis 50 mg/hari 400 mg/hari

Diikuti dengan 18 bulan

Minosiklin Klofazimin dengan Ofloksasin Atau Minosiklin

100 mg/hari 50 mg/hari 400 mg/hari 100 mg/hari

B. Penderita yang menolak klofazimin Situasi ini disebabkan pasien yang khawatir akan pewarnaan kulit. Pengobatan diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui Kusta sering eksaserbasi pada saat hamil oleh sebab itu obat MDT harus tetap diberikan. WHO menyatakan obat MDT standar aman dipakai selama kehamilan dan menyusui, bagi ibu dan bayinya, sehingga tidak perlu mengubah dosis. Obat dapat keluar melalui ASI dalam junlah kecil tetapi tidak ada laporan efek samping obat pada bayi kecuali pewarnaan kulit akibat klofazimin. Obat dosis tunggal bagi bercak tunggal ditunggu pemakaiannya sampai bayinya lahir.

PENATALAKSANAAN REAKSI KUSTA Reaksi lepra harus diobati dan dikontrol untuk mencegah terjadinya komplikasi. Penatalaksanaan reaksi reversal didasarkan pada pengetahuan tentang imunopatologi RR sebagai reakssi hipersensitifitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae, sehingga pendekatan terapi yang digunakan adalah dengan mengurangi paparan antigen dengan pemberian kemoterapi pada saat

penekanan respon CMI. Penatalaksanaan dilakukan dengan melanjutkan penggunaan obat anti mikroba, terapi anti inflamasi yang efektif dan jangka panjang, analgetik yang adekuat, dan dukungan kesehatan fisik selama fase aktif neuritis. Imobilisasi dan tindakan bedah dapat mencegah dan memulihkan gangguan saraf. Jika sedang dalam pengobatan MDT, maka MDT diteruskan dengan dosis tidak diubah. 8,10 Prinsip penanganan reaksi kusta :
1. Mengendalikan neuritis untuk mencegah anastesi, paralisis dan kontraktur dengan terapi

anti inflamasi yang efektif dan lama 2. Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan
3. Mematikan basil kusta dan menghentikan progresi penyakit

4. Mengatasi rasa nyeri 1. Prinsip pengobatan a. Pemberian obat antireaksi. Obat yang dapat digunakan adalah aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti-inflamasi. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut: o Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4jam, 4-6 kaii sehari. o Klorokuin 3 x 150 mg/hari. o Prednison 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesudah makan atau dapat juga diberikan secara dosis terbagi misalnya: 4 x 2 tablet/hari , berangsur-angsur diturunkan 510 mg/2 minggu setelah terjadi respons maksimal. Untuk melepas ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II digunakan talidomid. Dosis talidomid 400 mg/hari yang berangsur-angsur diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomid bersifat teratogenik. Setiap 2 minggu pasien harus diperiksa ulang untuk melihat keadaan klinis. Bila tidak ada perbaikan maka dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat ditingkatkan (misalnya dari 1 S mgjadi 20 mg sehari). Setelah ada perbaikan dosis diturunkan. Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan klofazimin. Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis). Dosis klofazimin ditinggikan dari dosis pengobatan kusta. Untuk orang dewasa 3 x 100 mg/hari selama 1 bulan. Bila

reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2 x 100 mg/hari, selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1 x 100 mg/hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari. b. Istirahat/imobilisasi. c. Pemberian analgetik dan sedatif. Obat yang digunakan sebagai analgetik adalah aspirin, parasetamol, dan antimon. Aspirin masih merupakan obat yang terbaik dan termurah untuk mengatasi nyeri (aspirin digunakan sebagai antiinflamasi dan analgetik). Menurut WHO (1998), parasetamol juga dapat digunakan sebagai analgetik. Sedangkan antimon yang digunakan pada reaksi tipe II ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendi dan tulang kini jarang dipakai karena kurang efektif dan toksik. Dosis obat yang digunakan sebagai berikut: o Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari. o Parasetamol 300-1000 mg yang diberikan 4-6 kali sehari (dewasa). o Antimon 2-3 ml diberikan secara selang-seling, maksimum 30 ml. 8. Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah. Untuk semua tipe reaksi, bila tidak ada kontraindikasi, semua obat antikusta dosis penuh harus tetap diberikan. 1. Pengobatan reaksi ringan. a. Pemberian obat antireaksi. Medikamentosa Aspirin mengatasi nyeri dan anti radang, 600-1200 mg diberikan setiap 4 jam Klorokuin kombinasi aspirin dan klorokuin lebih baik khasiatnya dibandingkan pemberian tunggal, 3 kali 150 mg/hari. Bila perlu dapat diberikan klorokuin 3-5 hari. Efek toksik pada penggunaan jangka panjang dapat berupa ruam pada kulit, fotosintesis serta gangguan gastrointestinal, penglihatan dan pendengaran. Antimon dugunakan pada reaksi tipe 2 yang ringan untuk mengatasi rasa nyeri sendisendi dan tulang Dosis 2-3 ml diberikan selang-seling Efek samping ruam pada kulit, bradikardi, hipotensi.

Talidomid obat ini digunakan pada reaksi tipe 2 agar dapat melepaskan ketergantungan terhadap kortikosteroid Dosis mula-mula 400 mg/hari sampai reaksi teratasi, kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak dianjurkan pada wanita subur b. Istirahat/imobilisasi. Berobat jalan dan istirahat di rumah. c. Pemberian analgetik dan sedatif. Pemberian analgetik dan obat penenang bila perlu. d. Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.

2. Pengobatan reaksi berat a. Pemberian obat antireaksi. Pada reaksi berat diberikan prednison dalam dosis tunggal atau terbagi. b. Istirahat/imobilisasi. Imobilisasi lokal pada anggota tubuh yang mengalami neuritis. Bila memungkinkan pasien dirawat inap di rumah sakit. c. Pemberian analgetik dan sedatif. d. Obat-obat kusta diteruskan dengan dosis tidak diubah.

Jika terjadi reaksi kusta dapat diberikan prednison 30 60 mg/hari serta pemberian obat simtomatis, lalu diturunkan. Pedoman terapi adalah: 1. Terapi standar untuk pasien PB dengan reaksi kusta Minggu 1-2 3-4 Dosis harian 40 mg 30 mg

5-6 7-8 9-10 11-12 2.

20 mg 15 mg 10 mg 5 mg

Terapi standar pasien MB dengan reaksi kusta. Pada reaksi tipe 2 dapat ditambah dengan Klofazimin 300 mg/hari selama 1 bulan, 200 mg/hari selama 3-6 bulan selanjutnya 100 mg/hari sampai gejala menghilang. Minggu 1-4 5-8 9-12 13-16 17-20 21-24 Dosis harian 40 mg 30 mg 20 mg 15 mg 10 mg 5 mg

Pengobatan reaksi reversal Perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik

dan sedativa diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang atau tidak pernah dipakai, begitu juga thalidomide tidak efektif terhadap reaksi reversal. Prinsip pengobatan pada reaksi reversal: Pengobatan reaksi ringan iv. Berobat jalan, istirahat di rumah v. Pemberian analgetik, atau penenang bila perlu vi. Atasi faktor pencetus vii. Jika sedang dalam pengobatan MDT, maka MDT diberikan terus dengan dosis tidak diubah Pengobatan reaksi berat i. Atasi faktor pencetusii. Pemberian prednisone iii. Pemberian analgetik, sedative iv. Immobilisasi local v. Bila memungkinkan penderita dirawat inap (di rumah sakit). 10,13 Obat-obatan yang dapat diberikan pada reaksi reversal : Kortikosteriod Pada RR kortikosteriod dimaksudkan untuk menekan proses inflamasi. 8 Penggunaan kortikosteriod, prednisolon, dimulai dengan dosis 40-80 mg sehari, kemudian diturunkan menjadi 40 mg setelah beberapa hari, dan lalu 5-10 mg setiap 2-4 minggu, dan diakhiri dengan dosis 10 mg. WHO (World Health Organization) merekomendasikan pemberian kortikosteroid (prednisolon) dosis 40 mg sehari pada minggu I dan II, 30 mg sehari pada minggu III dan IV, 20 mg sehari pada minggu V dan VI, 15 mg sehari pada minggu VII dan VIII, 10 mg sehari pada minggu IX dan X, dan 5 mg segari pada minggu XI dan XII. Dosis maksimum 1 mg/kgbb/hari. Regimen tersebut dapat diterapkan pada penderita kusta tipe BT dan umumnya mendapatkan terapi selama 2-4 bulan. Sedang penderita kusta tipe BB dan BL membutuhkan terapi yang lebih lama karena dengan pengobatan seperti diatas masih sering terjadi reaksi ulangan. Pada kusta tipe BL, dibutuhkan terapi 20 minggu dengan cara pemberian yaitu 40 mg sehari selama 2 minggu, 30 mg sehari selama 4 minggu, 20 mg sehari selama 4 minggu dan 5 mg sehari selama 2

minggu. Sebagian besar reaksi dan neuritis dapat diterapi dengan baik dengan pengobatan standar prednisone selama 12 minggu. Jika timbul neuritis diberikan kortikosteroid, prednisone 30-60 mg/hari 8,9,10,15 Klofazimin (Lampren)Klofazimin digunakan pada penderita RR yang membutuhkan terapi kortikosteroid dosis tinggi yang lebih lama, atau timbul efek samping steroid. Dosis yang digunakan biasanya 300 mg sehari, setelah 2-4 minggu dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap. Dosis ditingkatkan ke dosis semula dan dipertahankan selama 2-4 minggu apabila setelah penurunan dosis tidak menunjukkan perbaikan gejala klinis. Penurunan dosis yang lebih lambat biasanya akan berhasil dan kortikosteroid biasanya dihentikan setelah 612 bulan. Kadang-kadang dosis 300 mg sehari tidak dapat ditoleransi oleh penderita, sehingga dosis klofazimin diturunkan menjadi 100 mg sehari selama 1-2 tahun, tetapi penurunan tersebut mengakibatkan kegagalan pengobatan reaksi. Penggunaan klofazimin pada reaksi reversal masih kontroversial dan tidak bermanfaat pada fase akut reaksi. Efek samping dari klofazimin yaitu dapat menyebabkan terjadi perubahan warna kulit mulai dari warna merah jambu sampai coklathitam. 7, 8 Dapson (4-4 diaminodifenilsulfon) Dapson dosis 50 mg atau dengan dosis yang lebih besar menimbulkan efek supresif terhadap RR. Prevalensi RR selama masa pengobatan penyakit kusta dibeberapa negara berkurang setelah WHO menganjurkan penggunaan MDT yang menggunakan dapson 100 mg sehari. Prevalensi RR meningkat setelah masa pengobatan kusta selesai, yang menunjukkan efek imunosupressif dapson. Penderita reaksi dapat diterapi dengan kombinasi dapson dan kortikosteroid, tetapi apabila setelah beberapa minggu masih membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi sebaiknya dilakukan perubahan terapi dengan mengganti dapson dengan klofazimin. Dapson memiliki efek samping yakni efek sistemik yang berat, atau efek toksik.8,16 Metotreksat Dosis rendah metotreksat (5-7,5 mg/minggu) dapat menjadi suatu alternatif pengobatan bagi pasien yang tidak bisa mendapatkan terapi kortikosteroid. Metotreksat disini berfungsi menurunkan produksi sitokin proinflamasi, Th 1, dan meningkatkan produksi sitokin Th2.8,17

Pembedahan Selama episode neuritis terdapat peningkatan volume cairan dalam saraf, epineurium menebal dan jaringan sekitarnya membengkakan sehingga tekanan intraneural meningkat. Pembengkakan pada saraf juga mengakibatkan aliran darah ke saraf terganggu. Tindakan bedah dilakukan

apabila setelah terapi kortikosteroid selama 48 jam belum tampak pengurangan nyeri atau tidak terjadi pemulihan fungsi saraf. Pengobatan ENL Obat yang sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedativa atau bila berat penderita dapat menjalani rawat inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, ENL akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikosteroid terus menerus. Obat lain yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik, jadi tidak boleh diberikan kepada orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi. Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi ENL tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantug pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tetapi masih bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama penanggulangan ENL ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa dikurangi dosisnya.

Prinsip terapi ENL

ENL Ringan

ENL Berat

Istirahat, baik fisik maupun mental, bila perlu diberikan sedativa secukupnya

Istirahat, baik fisik maupun mental, bila perlu diberikan sedativa secukupnya

Teruskan pemberian MDT Dapat diberikan injeksi antimonium

Teruskan pemberian MDT Nyeri saraf dapat dihilangkan dengan penyuntikan steroid intra neural sebagai pengganti steroid per oral dan jika terbentuk abses saraf, harus dilakukan terapi pembedahan

dengan tanpa penambahan obat anti inflamasi indometasin Tranquilizer dapat menolong mengurangi rasa takut dan cemas seperti penilbutason atau

Iridosiklitis akut memerlukan instilasi tetes mata dan aplikasi salep mata steroid

2. Reaksi berat Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi eritema nodosum leprosum (ENL) berat.
Obat-obat pada Reaksi ENL yang berat dapat diberikan obat2 sebagai berikut: Thalidomide 1 Ada lagi obat yang dianggap sebagai pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena obat ini teratogenik. Pada ENL yang kronik atau rekuren pada pria atau wanita menopause, thalidomide dapat dianjurkan untuk menghindari efek samping dari penggunaan kortikosteroid yang lama. Dosis awalnya 4 x 100 mg sehari dan dosis lanjutan 50-100 mg per hari. Di Indonesia obat ini tidak diproduksi lagi. Mekanisme kekebalan tubuh yang terjadi ketika merespon patogen dapat dibagi ke dalam respon imun awal yang juga dikenal sebagai kekebalan bawaan, dan setelah itu Thalidomide: Mekanisme Aksi,

respon imun yang lebih spesifik dikenal sebagai kekebalan adaptif. Dalam vitro penelitian telah menunjukkan bahwa thalidomide memiliki efek terhadap kedua respon ini. Kortikosteroid 1,3, Obat yang paling sering dipakai ialah kortikosteroid, antara lain prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Ada juga yang memberikan prednison awal sebanyak 30-60 mg per hari. Dosis tersebut dapat diturunkan setiap minggu sekitar 10 mg sampai dosisnya sisa 20 mg per hari kemudian diturunkan 5 mg setelahnya. Sebelum dihentikan perlu diberikan dosis maintanance 5-10 mg per hari selama beberapa minggu untuk mencegah rekurensi ENL pada pasien dengan ENL kronik. Pada reaksi yang melibatkan okuler (mata) perlu diberikan kortikosteroid topikal. Pada pria, orchitis merupakan indikasi pemberian kortikosteroid. Klofazimin 1, Jika penyakitnya kronik, klofazimin awalnya ditambahkan pada pemberian kortikosteroid dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian klofazimin saja. Klofazimin dipakai sebagai anti-ENL dengan dosis yang tinggi. Bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya antara 200-300 mg sehari. Dari referens lain diberikan 300 mg per hari selama 3-4 bulan kemudian diturunkan sampai 100 mg per hari. Dosisnya diturunkan secara bertahap sesuai perbaikan ENL. Pentoksifilin1

Pentoxifylin adalah sebuah turunan metilxantin yang memiliki sifat seperti hemorheologik potensial, pada awalnya diproduksi untuk mengobati pasien yang mengalami klaudikasi intermiten. Pentoxifylin, yang diyakini memiliki efek penting terhadap pengendalian ENL, memblokir sintesis RNA duta TNF- melalui penghambatan transkripsi gen. Pada penelitian-penelitian yang tidak terkontrol, pentoxifylin telah ditemukan efektif dan ditolerir dengan baik dalam mengurangi gejala lokal atau gejala sistemik dari ENL. Kelebihan utamanya adalah obat ini tidak memiliki efek teratogenik sehingga bisa digunakan oleh pasien wanita usia subur tanpa ada kekhawatiran.

Metrotreksat

Obat ini efektif pada dosis yang jauh lebih kecil sehingga efek samping berat jarang merupakan masalah. Dosisnya, 15-25 mg per minggu dand itingkatkan sampai 30-35 mg per minggu bila perlu.

Manajemen dengan kortikosteroid: 1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT. 2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri. 3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB dengan total durasi pemberian 12 minggu. Manajemen dengan klofazimin dan kortikosteroid: Indikasinya pada kasus ENL berat yang tidak berespon dengan pengobatan kortikosteroid atau dimana risiko toksisitas dengan kortikosteroid yang tinggi. 1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT. 2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri. 3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB. 4. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu. 5. Teruskan terapi standar prednisolon. Dilanjutkan dengan pemberian klofazimin seperti di bawah ini. Manajemen dengan klofazimin saja: Indikasinya pada kasus ENL berat dimana terdapat kontraindikasi penggunaan kortikosteroid. 1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT. 2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan nyeri. 3. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12 minggu.

4. Kurangi dosis klofazimin sampai 100mg 2xsehari selama 12 minggu dan kemudian 100mg x sehari selama 12-24 minggu.

Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah pentoxifylline saja atau dalam kombinasi dengan klofazimin / prednisolone. Karena alasan efek samping teratogenik, WHO tidak menganjurkan penggunaan thalidomide untuk manajemen reaksi ENL pada kusta

KOMPLIKASI

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan reaksi kusta adalah cacat. Infeksi pada saraf perifer adalah bagian penting dari penyakit kusta, tetapi kerusakan permanen saraf bukan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari yang diakibatkan oleh infeksi tersebut.

Menangani dengan cepat dan tepat pada saat reaksi kusta dapat mencegah kerusakan saraf-saraf secara permanen.3

REHABILITASI Usaha-usaha rehabilitasi meliputi medis, okupasi, kejiwaan, dan sosial. Usaha medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, fungsinya dapat diperbaiki. Lapangan pekerjaan dapat diusahakan untuk pasien kusta yang sesuai dengan cacat tubuh. Terapi kejiwaan berupa bimbingan mental diupayakan sedini mungkin pada setiap pasien, keluarga, dan masyarakat sekitarnya untuk memberikan dorongan dan semangat agar dapat menerima kenyataan dan menjalani pengobatan dengan teratur dan benar sampai dinyatakan sembuh secara medis. Rehabilitasi sosial bertujuan memulihkan fungsi sosial ekonomi pasien sehingga menunjang kemandiriannya dengan memberikan bimbingan sosial dan peralatan kerja, serta membantu pemasaran hasil usaha pasien.

MONITORING DAN EVALUASI PENGOBATAN 21. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat 22. Apabila penderita terlambat mengambil obat paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan 23. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium. Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita 24. Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif a. Tipe PB selama 2 tahun b. Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium 25. Penderita PB yang telah mendapatkan pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium

26. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium 27. Defaulter Jika seorang penderita PB tidak mengambil obatnya lebih dari 3 bulan maka dinyatakan sebagai Defaulter PB. Jika seorang penderita MB tidak mengambil obatnya lebih dari 6 bulan maka dinyatakan sebagai Defaulter MB. Tindakan bagi penderita defaulter : a. Dikeluarkan dari monitoring dan register b. Bila kemudian datang lagi maka harus dilakukan pemeriksaan klinis ulang, pengobatan menyesuaikan dengan gejala klinis yang didapat 28. Relaps/ Kambuh Dinyatakan kambuh setelah dinyatakan RFT timbul lesi baru pada kulit maka untuk menyatakan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps. Untuk relaps MB jika ternyata pada pemeriksaan ulang BTA setelah RFT terjadi peningkatan Indeks Bakteriologi 2 atau lebih disbanding saat diagnosis maka penderita dinyatakan Relaps. Rujuan dalam kasus relaps memungkinkan karena kasus relaps bukan termasuk kedaruratan. Bila hasil relaps telah dikonfirmasikan maka penderita diobati sesuai hasil pemeriksaan pada saat itu. Catatan : Untuk mereka yang pernah mendapat pengobatan Dapson monoterapi (sebelum diperkenalkan MDT) namun kemudian muncul kembali sebagai tanda kusta aktif yang membutuhkan MDT, maka penderita tersebut dimasukkan dalam kategori relaps. 29. Indikasi pengeluaran penderita dari register adalah : RFT, meninggal, pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, default. 30. Pada keadaan khusus dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan pesan penyuluhan lengkap dengan efek samping dan indikasi untuk kembali ke pelayanan kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai

  • Edit Sarpus 1 Lengkap
    Edit Sarpus 1 Lengkap
    Dokumen32 halaman
    Edit Sarpus 1 Lengkap
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Jati Luwih Rice Terrace
    Jati Luwih Rice Terrace
    Dokumen6 halaman
    Jati Luwih Rice Terrace
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Bento
    Bento
    Dokumen1 halaman
    Bento
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Harga Tas Lipat
    Harga Tas Lipat
    Dokumen3 halaman
    Harga Tas Lipat
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Buta Menurut Kategori WHO 2
    Buta Menurut Kategori WHO 2
    Dokumen2 halaman
    Buta Menurut Kategori WHO 2
    Ruchyta Ranti
    60% (5)
  • Roadmap PGP
    Roadmap PGP
    Dokumen4 halaman
    Roadmap PGP
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Sarpus I Upload
    Sarpus I Upload
    Dokumen30 halaman
    Sarpus I Upload
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Konsumsi Jajan Bali
    Konsumsi Jajan Bali
    Dokumen34 halaman
    Konsumsi Jajan Bali
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Lensa Kontak
    Lensa Kontak
    Dokumen2 halaman
    Lensa Kontak
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Sindis
    Sindis
    Dokumen77 halaman
    Sindis
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Filsafat Ilmu
    Filsafat Ilmu
    Dokumen7 halaman
    Filsafat Ilmu
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Schwartz-Matsuo Syndrome+ Papilitis
    Schwartz-Matsuo Syndrome+ Papilitis
    Dokumen4 halaman
    Schwartz-Matsuo Syndrome+ Papilitis
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Konsumsi
    Konsumsi
    Dokumen35 halaman
    Konsumsi
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Hernia
    Lapsus Hernia
    Dokumen37 halaman
    Lapsus Hernia
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Diagnosa DF
    Diagnosa DF
    Dokumen117 halaman
    Diagnosa DF
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Revisi
    Lapsus Revisi
    Dokumen52 halaman
    Lapsus Revisi
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Sindis
    Sindis
    Dokumen77 halaman
    Sindis
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Entomolog
    Entomolog
    Dokumen158 halaman
    Entomolog
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • PTKM
    PTKM
    Dokumen52 halaman
    PTKM
    Ida Ayu Prama Yanthi
    0% (1)
  • Lapsus Revisi
    Lapsus Revisi
    Dokumen52 halaman
    Lapsus Revisi
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Disease TKM
    Disease TKM
    Dokumen161 halaman
    Disease TKM
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • DEMAM
    DEMAM
    Dokumen64 halaman
    DEMAM
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Surped
    Surped
    Dokumen142 halaman
    Surped
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • PTKM
    PTKM
    Dokumen52 halaman
    PTKM
    Ida Ayu Prama Yanthi
    0% (1)
  • Retinal Soal
    Retinal Soal
    Dokumen284 halaman
    Retinal Soal
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Detach
    Presentasi Detach
    Dokumen255 halaman
    Presentasi Detach
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Accidentally Skin
    Accidentally Skin
    Dokumen243 halaman
    Accidentally Skin
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Ablatio Ophtal
    Ablatio Ophtal
    Dokumen351 halaman
    Ablatio Ophtal
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Trauma Laserasi
    Trauma Laserasi
    Dokumen2.694 halaman
    Trauma Laserasi
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat
  • Detachement
    Detachement
    Dokumen2.555 halaman
    Detachement
    Ida Ayu Prama Yanthi
    Belum ada peringkat