Anda di halaman 1dari 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A.

Penyakit Kusta

1. Pengertian Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi , selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas,sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis ( Amirudin.M.D, 2000 ). Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta ( Mycobacterium leprae ) yang menyerang kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh lain kecuali susunan saraf pusat, untuk mendiagnosanya dengan mencari kelainankelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit ( Depkes, 2005 ).

2. Etiologi

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh G.A.Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf lurus batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa ireguler besar yang disebut sebagai globi ( Depkes , 2007). Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat lama , yaitu 2-3 minggu , diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis )kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977,dalam Leprosy Medicine in the Tropics Edited by Robert C. Hasting , 1985). Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada suhu 2730 C ( Depkes, 2005).

M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan hidup 46 hari , ada lima sifat khas : a.M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan dimedia buatan . b.Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin . c.M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (DDihydroxyphenylalanin). d.M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer. e.Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenik yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita

tuberculoid dan negatif pada penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).

3.

Patogenesis

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M.Leprae ke dalam telapak kaki mencit yang telah diambil tymusnya dengan diikuti iradiasi (900 r), sehingga kehilangan respon imun sellulernya akan menghasilkan granulomagranuloma penuh basil yang menyeluruh, terutama di daerah yang dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor.Sebenarnya M.Leprae mempunyai patogenitas dan daya invasif yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman jauh lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik, gejala-gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas infeksinya ( Marwali Harahap, 2000).

4.

Manifestasi Klinik dan Diagnosis Manifestasi klinik biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja .Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa

peemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan ( Muh.Dali Amirudin, 2000). Untuk mendiagnosa penyakit kusta perlu dicari kelainan-kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada kulit.Untuk itu dalam menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu mencari tanda-tanda utama atau Cardinal Sign, yaitu :

1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa . Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan hypopigmentasi )atau kemerah-merahan (Eritemtous ) yang mati rasa (anestesi ). 2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.ganggguanfungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).gangguan fungsi saraf ini bisa berupa : a.Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa. b.Gangguan fungsi motoris :kelemahan(parese) atau kelumpuhan /paralise). c.Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kereing dan retak-retak. 3. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit (BTA+), pemeriksaan ini hanya dilakukan pada kasus yang meragukan (Dirjen PP & PL Depkes, 2005 ).

5.

Klasifikasi Setelah seseorang didiagnosa kusta, maka tahap selanjutnya menentukan type/klasifikasi penyakit kusta yang diderita, penentuan type penyakit kusta pada seseorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta. Dalam klasifikasi menurut WHO (1982) seluruh penderita hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu : Tipe Paucibacillary (PB) dan tipe Multibacillary (MB). Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO adalah sebagai berikut :

Tanda Utama Bercak kusta Penebalan saraf yang

type PB Jumlah 1s/d 5 disertai Hanya satu saja

type MB Jumlah > 5 Lebih satu saraf dari

gangguan Fungsi (mati/kurang rasa / kelemahan otot yang dipersarafi).

Sediaan apus

BTA Neg

BTA Pos

6.

Cara Pemeriksaan Kusta

1.Cara Pemeriksaan a.Anamnese: 1). Keluhan yang ada/kapan timbul bercak . 2). Apakah ada riwayat kontak . 3). Riwayat pengobatan sebelumnya.

b.Pemeriksaan kulit / rasa raba. Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang dilancipkan kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai, sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan .Terlebih dulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh bagian tubuh dengan

kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya.Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada tidaknya anestesi . pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena pada tempat ini kulit lebih tebal. c.Pemeriksaan saraf (nervus ) Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta mengikuti

kerusakan pada saraf-saraf utama.

2.Tehnik Pemeriksaan Saraf . a.Saraf Ulnaris. Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi Ulnaris yaitu lekuken diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis ). Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita

adakah tampak kesakitan atau tidak . b.Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis). 1).Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam keadaan rilek. 2).Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa kaki kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan . 3).Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula )setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm kearah belakang . 4).Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian kekanan dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita . c.Saraf Tibialis Posterior . 1).Penderita masih duduk dalam posisi rileks . 2).Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis Posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam(maleolus medialis)dengan tangan menyilang (tangan kiri memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posteior kanan pasien ) 3).Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik / reaksi dari penderita.

3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu diperiksa adalah Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan Kekuatan Otot. Alat yang diperlukan : ballpoin yang ringan dan kertas serta tempat duduk untuk penderita. Cara pemeriksaan Fungsi Saraf . Periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki .

a. Mata Fungsi Motorik (Saraf Facialis ) 1).Penderita diminta memejamkan mata. 2).Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna / tidak , apakah ada celah . 3).Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat, misal lagofthalmus 3 mm, mata kiri atau kanan. Catatan : Untuk fungsi sensorik mata(pemeriksaan kornea, yaitu fungsi saraf Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan .

b.Tangan 1).Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus )

a).Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas meja/paha penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa sedemikian rupa, sehingga semua ujung jari tersangga . b).Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya, sambil memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada lengannya dan satu atau dua titik pada telapak tangan

c).Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain .

d).Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif . e).Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari tangan yang diperiksa. f).Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh . g).Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan h).Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm .

2). Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris ,Medianus dan Radialis . a).Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking). (1).Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan

posisi ektensi (jari kelingking /5 bebas bergerak tidak terhalang oleh tangan pemeriksa . (2).Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-jari lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan

kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu jari pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking.

Penilaian : (a).Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh berarti dari jari lainnya berarti lumpuh. (b).Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti lemah . (c).Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa ibu jari bisa maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti masih kuat. (d).Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang diletakkan diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan terhadap kertas tesebut .

Penilaian : (e).Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah . (f).Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat b).Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari ) (1).Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap keatas,dan dalam posisi ekstensi . (2).Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut. (3).Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian batas antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan .

Penilaian : (a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat . (b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah . (c).Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh .

c).Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ). (1).Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan penderita . (2).Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang (ektensi ). (3).Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi ( keatas) lalu dengan tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah fleksi . terkepal keatas

Penilaian : (a).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat . (b).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah . (c).Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan tangan tidak

bisa digerakkan keatas) . c. Kaki 1).Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior ) a).Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak menghadap keatas . b).Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita . c).Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan. d).Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan cm. e).Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm. berdiameter 1 kaki

3).Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis ). a).Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit). b).Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah /lantai . Keterangan: c).Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat. d).Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah . e).Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan keatas) B. Pengobatan

1.Tujuan Pengobatan adalah ; a.Memutus mata rantai penularan . b.Menyembuhkan penyakit Penderita . c).Mencegah Terjadinya cacat.

2.Regimen Pengobatan MDT(Multi Drug Therapie).

WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan menggunakan regimen MDT Yaitu : a.Penderita Pauci Baciler ( PB ) lesi 2-5 Dewasa. Pengobatan bulanan: hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas ). 1). Satu capsul Rifampicin @300 mg ( 600 mg ). 2). Satu tab Dapson /DDs 100 mg . Pengobatan harian : hari ke 2-28 (1 tab dapsone /DDS 100 mg 1 blister satu bulan) lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan . untuk

b.Penderita Multi-Basiler ( MB ) Dewasa Pengobatan bulanan :hari pertama (dosis yang diminum didepan petugas ). 1). Tiga capsul Rifampicin @300 mg ( 600 ). 2).Tiga Tablet Lampren @100 mg ( 300 ). 3). Satu tablet Dapsone @100 mg .

Pengobatan harian : hari ke 2-28 ( 1 tablet Lamprene 50 mg, 1 tablet

Dapsone

/DDS 100 mg ) 1 blister untuk satu bulan lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12-18 bulan .

3. Dosis MDT menurut Umur, lihat Bagan sebagai berikut : Type PB

Jenis Obat

<5 th

5-9 th

10-14 th 450 mg /bl

>15 th

Keterangan

Berdasarkan 300 mg/bl Rifampicin Berat badan 25 mg /bl

600 mg /bl Minum


didepan petugas

50 mg/bl

100 mg / Minum bl
didepan petugas

DDS

25 mg /hr

50 mg /hr

100 /hr

mg Minum
dirumah

Type MB
Jenis Obat <5 th Berdasar Rifampicin kan Berat badan 25 mg /bl 50 mg/bl 100 mg / bl 5-9 th 300 mg/bl 10-14 th 450 mg /bl >15 th 600 mg /bl Keteranga n
Minum didepan petugas Minum didepan petugas

DDS Clofazimin

25 mg /hr 100 mg/bl

50 mg /hr 150 mg/bl

100 mg /hr 300 mg/bl

Minum dirumah Minum didepan petugas

50 mg 2x seminggu

50 mg/2 hr

50 mg/hr

Minum dirumah

4.Bagi anak di bawah usia 10 th dengan BB kurang ,dosis MDT diberikan berdasarkan BB: a.Rifampicin b.DDS c.Clofazimin C. : 10-15 mg / kg BB. : 1-2 mg / kg BB. : 1mg /kg BB.

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit kusta

1. Faktor Internal. . a.Umur. Umur dimana kejadian penyakit kusta sering terkait dengan umur pada saat diketemukan dari pada timbulnya penyakit, namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi, angka kejadian (Insidence Rate ) meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.

b.Jenis kelamin. Jenis kelamin, kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, menurut catatan sebagian besar negara didunia kecuali dibeberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada wanita kemungkinan karena faktor lingkungan atau biologi seperti

kebanyakan pada penyakit menular lainnya laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.

c.Daya tahan tubuh seseorang. Daya tahan tubuh seseorang, apabila seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah akan rentan terjangkit bermacam-macam penyakit termasuk kusta, meskipun

penularannya lama bila seseorang terpapar kuman penyakit sedangkan imunitasnya menurun bisa terinfeksi, misalnya: kurang gizi/malnutrisi berat, infeksi, habis sakit lama dan sebagainya.

d. Etnik/suku. Etnik/suku, kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena perbedaan etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan etnik India, situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, kejadian lepromatosa lebih banyak pada etnik cina dibandingkan etnik Melayu atau India, demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa dan Melayu .

2. Faktor Ekternal. a.Kepadatan hunian Penularan penyakit kusta bisa melalui droplet infeksi atau melalui udara, dengan penghuni yang padat maka akan mempengaruhi kualitas udara, hingga bila ada anggota keluarga yang menderita kusta maka anggota yang lain akan rentan tertular namun kuman kusta akan inaktif bila terkena cahaya matahari, sinar ultra violet yang

dapat merusak dan mematikan kuman kusta. Kepadatan hunian yang ditetapkan oleh Depkes (2000), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan di bagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur , kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kondisi rumah didaerah yang padat penghuninya juga sangat berpengaruh terhadap status kesehatan seseorang , oleh karena itu didalam membuat rumah harus memperhatikan persyaratan sebagai berikut :

1). Bahan bangunan memenuhi syarat : a).Lantai tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan, karena lantai yang lembab merupakan sarang penyakit. b).Dinding tembok adalah baik, namun bila didaerah tropis dan ventilasi kurang lebih baik dari papan . c).Atap genting cocok untuk daerah tropis, sedang atap seng atau esbes tidakcocok untuk rumah pedesaan karena disamping mahal juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah. 2).Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendela /ventilasi adalah 15 % dari luas Lantai , karena ventilasi mempunyai fungsi menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humidity) yang optimum . Kelembaban yang optimal (sehat ) adalah sekitar 40 70 % kelembaban yang lebih dari 70 % akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah Kelembaban udara didalam ruangan naik terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan . Kelembaban yang tinggi akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri patogen(bakteri penyebab penyakit).

3).Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya Matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca,suhu udara yang ideal didalam rumah adalah 1830C.Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium Leprae tumbuh optimal pada

suhu37C.Paparan

sinar

matahari

selama

menit

dapat

membunuh

Mycobacterium Leprae.Bacteri ini tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangan bacteri lebih banyak dirumah yang gelap.

4).Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus cukup sesuai dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan menyebabkan berjubel ( over crowded ) .Rumah yang terlalu padat penghuninya tidak sehat , sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O juga bila salah satu anggota keluarganya ada yang sakit infeksi akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni ( sleeping density) dinyatakan baik bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7; cukup bila kepadatan antara 0,50,7; dan kurang bila kepadatan kurang dari 0,5. Didaerah pantura kabupaten Pekalongan tingkat kepadatan hunian lebih tinggi dibanding bagian selatan sehingga angka prevalensi lebih besar. Untuk wilayah kecamatan Tirto pada Tribulan II th 2010 tercatat 13/10.000 penduduk (Data Dinkes Kabupaten Pekalongan, 2010 ). Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang rentan ( susceptible) akan terpapar dengan penderita kusta menular lebih tinggi pada wilayah yang kepadatan hunian lebih tinggi.

b. Perilaku Pengertian perilaku menurut skiner ( 1938 ) merupakan respon atau reaksi seseorang tehadap stimulus ( rangsangan dari luar ), dengan demikian perilaku terjadi melalui proses : Stimulus Organisme Respons, sehingga teori Skiner disebut juga teori S-

O-R Sedangkan pengertian Perilaku Kesehatan ( health behavior ) menurut Skiner adalah Respon seseorang terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit ( kesehatan ) seperti lingkungan, makanan dan minuman yang tidak sehat, dan pelayanan kesehatan .

Secara garis besar perilaku kesehatan dibagi dua, yakni :

1).Perilaku sehat (healty behavior ) Yang mencakup perilaku-perilaku(overt dan covert behavior )dalam mencegah penyakit ( perilaku preventif ) dan perilaku dalam mengupayakan peningkatan kesehatan ( perilaku promotif ), contoh: Makan makanan bergizi, olah raga teratur, mandi pakai sabun mandi, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan dari pada yang sudah terlambat datang, karena kebanyakan pasien datang sudah stadium lanjut sehingga pengobatan lebih sulit dan resiko cacat lebih besar.

2).Perilaku orang yang sakit (health seeking behavior ), perilaku ini mencakup tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah untuk memperoleh kesembuhan, misalnya pelayanan kesehatan tradisional seperti :

dukun, sinshe, atau paranormal, maupun pelayanan modern atau profesional seperti : RS, Puskesmas, Dokter dan sebagainya( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 ). Becker ( 1979 ) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membagi menjadi tiga, yakni : 1. Perilaku Sehat (healhty behavior) Perilaku atau kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, misalnya : a.Menjaga kebersihan kulit dengan mandi memakai sabun mandi. b. tidak memakai handuk atau pakaian secara bergantian, karena akan menyebabkan bermacam-macam kelainan kulit termasuk kusta. c.Bila ada kelainan dikulit seperti panu atau bercak kemerahan yang tidak gatal, kurang rasa atau mati rasa segera ke Puskesmas atau petugas kesehatan barang kali itu tanda awal penyakit kusta sehingga lebih mudah disembuhkan.

d.Makan makanan bergizi, teratur berolahraga serta cukup istirahat. e.Perilaku dan gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan.

2. Perilaku Sakit(illness behavior) Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang untuk mencari penyembuhan , misal ke Puskesmas, RS dan sebagainya.

3. Perilaku peran orang sakit(the sick role behavior) Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran(roles), yang mencakup hak-haknya(rights), dan kewajiban sebagai seorang sakit(obligation).

Menurut Becker Perilaku peran orang sakit ini antara lain : a.Tindakan untuk memperoleh kesembuhan. b.Tindakan untuk mengenal dan atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk memperoleh kesembuhan. c.Melakukan kewajiban sebagai pasien untuk mematuhi nasihat dokter/perawat .

d.Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhan ( Soekidjo Notoatmodjo, 2010 )

c. Sosial Ekonomi Menurut WHO(2005) menyebutkan bahwa sekitar 90 % penderita kusta menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, sosial ekonomi rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi buruknya lingkungan selain itu masalah kurang gizi dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan yang sosial ekonominya rendah. Dengan garis kemiskinan yang pada dasarnya ditentukan untuk memenuhi kebutuhan pangan utama, maka rumah tangga yang tergolong miskin tidak akan mempunyai daya beli yang dapat di gunakan untuk menjamin ketahanan pangan keluarganya. Pada saat ketahanan pangan mengalami ancaman (misal pada saat

tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan ) maka status gizi dari kelompok rawan pangan akan terganggu.

Kriteria Rumah Tangga Miskin Versi( BPS 2008) 1). Luas Lantai bangunan kurang dari 8 m2 per orang, lantai dari tanah 2). Dinding rumah dari bambu, kayu kualitas rendah atau tembok tanpa plester. 3). Tidak memiliki jamban atau menggunakan jamban bersama. 4). Rumah tidak dialiri listrik dari PLN. 5). Sumber air minum dari sumur atau mata air tak terlindungi, sungai, air hujan. 6). Hanya sanggup makan dua kali sehari atau sekali sehari. 7). Hanya mengkonsumsi daging, ayam, dan susu seminggu sekali. 8). Hanya sanggup membeli baju sekali setahun. 9). Pendidikan terakhir kepala keluarga SD/tidak tamat SD 11).Sumber penghasilan kepala rumah tangga petani dengan luas lahan 0,5 hektar buruh tani , nelayan, buruh bangunan, dengan penghasilan < Rp.600 ribu perbulan ( UMR Kabupaten Pekalongan Rp.810.000 sesuai SK gubernur Jateng no 561.4/69/2010 tentang UMK kab/kota). 12).Tidak punya tabungan atau barang dengan nilai jual dibawah Rp.500 ribu seperti ternak, motor, dan lain-lain.

Interpretasi:

Kategori sangat miskin Kategori miskin Kategori mendekati miskin

: skore 12 kriteria. : skore 6 10 kriteria. : skore 5 6 kriteria

D.

Kerangka Teori

1. Internal a.Umur. b.Jenis kelamin. c. Etnik / suku. d.Daya tahan tubuh.

1.Ekternal. a.Kepadatan hunian. b.Perilaku. c.Sosial ekonomi.

KUSTA TIPE PB/MB

Kerangka Teori (Rebecca Harmsen dan Betty B.Gallucci, 2006 )

E.

Kerangka Konsep.

1.Ekternal. a.Kepadatan hunian. b.Perilaku. c.Sosial ekonomi.

KUSTA TYPE PB /MB

F.

Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas ( Independen ) atau variabel mempengaruhi dan variabel Terikat(dependen) atau variabel yang dipengaruhi . 1.Variabel bebas (Independen) Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Faktor ekternal dan faktor Internal resiko penyakit Kusta. 2.Variabel terikat (dependen) Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian Penyakit Kusta tipe PB/MB.

G.

Hipotesis Ada hubungan faktor Kepadatan Hunian, Perilaku kesehatan dan Sosial ekonomil

dengan penderita penyakit kusta di kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan.

Anda mungkin juga menyukai