Disusun oleh :
SUMOHARJO
C151080041
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya jualah sehingga
makalah ini dapat saya selesaikan.
Makalah ini berjudul “Dampak Lingkungan Dari Penggunaan Bahan
Kimia Dalam Kegiatan Akuakultur” yang mana merupakan pengembangan dari
sebuah buku yang berjudul Environmental Management for Aquaculture pada
Bab III dengan sub judul “Environmental Impact of Chemicals in Aquaculture”
yang ditulis oleh Alex Midlen dan TA. Redding, terbit pada tahun 1998.
Isi dari makalah ini memuat tentang penggunaan bahan-bahan kimia dalam
akuakultur, monitoring dan evaluasi dampak yang ditimbulkannya terhadap
lingkungan perairan budidaya maupun lingkungan perairan secara umum, dan
beberapa metode menghilangkan residu bahan kimia tersebut dari lingkungan
perairan budidaya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi dari makalah ini masih terdapat
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukannya.
Sumoharjo
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR TABEL...................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
2.2. ORGANOFOSFAT........................................................................................ 6
2.3. ANTIBIOTIK................................................................................................. 7
2.3.1. Jenis dan Cara Penggunaan Antibiotik ............................................... 7
2.3.2. Cara Kerja Antibiotik.......................................................................... 8
4.2. ORGANOFOSFAT........................................................................................ 22
4.2.1. Dampak Pestida Terhadap Lingkungan ................................................ 22
4.3. ANTIBIOTIK................................................................................................. 27
4.3.1. Resistensi Antibiotik ............................................................................. 27
4.3.2. Persistensi Residu Antibiotik di Lingkungan........................................ 28
4.3.3. Pengaruh Antibiotik Terhadap Komunitas Mikroba............................. 29
4.3.4. Dampak Antibiotik Terhadap Akuakultur ............................................ 31
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
Produk terapeutik yang paling umum digunakan terdiri atas tiga kelas (Alderman
dan Michel, 1992 dalam Midlen dan Redding, 1998) yaitu :
1. Disinfektan khusus, digunakan untuk memberantas parasit seperti; bakteri, protozoa,
dan fungi. Kelompok ini meliputi senyawa-senyawa seperti; malachite green, garam,
copper sulfat (CuSO4), potassium permanganat (KmNO4), dan senyawa quaternary
amonia (NH4-N).
2. Organo-phosphat, terutama diclorovos, digunakan untuk memberantas kutu laut atau
krustasea predator yang biasanya memangsa larva ikan.
3. Antimikroba, terdapat dalam berbagai macam senyawa, umumnya terdiri atas
antibiotik dan agen antibakteri sintetis.
2.1. DISINFEKTAN
Disinfektan merupakan suatu bahan bahan kimia yang dapat mematikan sel-sel
vegetatif tetapi belum tentu mematikan bentuk-bentuk spora mikroorganisme penyebab
penyakit. Biasanya digunakan untuk sterilisasi wadah dan peralatan yang digunakan
dalam kegiatan akuakultur (Madigan et al., 2003).
Disinfektan juga umum digunakan dalam kegiatan akuakultur untuk memberantas
parasit, jamur, bakteri, dan algae, terutama pada fase telur dan larva namun demikian
pemakaian.bahan kimia sebagai disinfektan perlu mempertimbangkan kemungkinan
pengaruh toksisitasnya, karena terdapat masalah dengan adanya batasan yang sangat tipis
yang memisahkan antara konsentrasi yang efektif dan konsentrasi yang dapat membunuh
ikan (Watson dan Yanong, 2002).
seperti Chara (stink weed). Telah ada beberapa usaha penggunaan copper untuk
mengurangi kelimpahan ganggang yang dapat mengurangi selera makan jenis ikan
catfish. Copper sulfat sebanyak 0.084 mg/l yang setara dengan 0.033 mg/l copper
digunakan untuk mereduksi blooming microcystis di kolam (Boyd, 1990)
mematikan parasit tersebut. Cara ini dilakukan pada ikan air tawar, sedangkan pada air
laut dilakukan cara yang terbalik yakni dengan perendaman ikan laut ke dalam air tawar.
2.2. ORGANOFOSFAT
Oncomiracidium Benedinia
2.3. ANTIBIOTIK
2.3.1. Jenis dan Cara Penggunaan Antibiotik
Antibiotik adalah zat kimia yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang dapat
menghambat kerja mikroorganisme lain. Lebih dari 8000 bahan antibiotik telah diketahui,
serta beberapa ratus antibiotik ditemukan setiap tahunnya (Madigan et al., 2003).
8
digunakan dibandingkan dengan perlakuan pada sistem terbuka. Bahan kimia ini
kemudian dapat dibuang ke perairan ketika sudah dianggap normal. Perlakuan dengan
injeksi merupakan metode yang mahal, hal ini dapat dilakukan jika ikan yang
dibudidayakan memiliki harga tinggi, sebagai contoh injeksi untuk vaksinasi ikan salmon
untuk mengobati penyakit furunculosis, suatu infeksi bakteri karena serangan virus. Ini
dapat dilakukan dengan tangan atau menggunakan mesin. Dampak lingkungan dari
teknik ini dapat diabaikan karena paling aman dari sudut pandang lingkungan (Midlen
dan Redding, 1998).
The Canadian Food Inspection Agency (CFIA) telah menguji malachite green dan
leucomalachite green untuk program mereka pada tahun 2003/04. Pada tahun 2005
sisa/residu malachite green atau metabolitnya (leucomalachite green) ditemukan pada
budidaya salmon dan trout di Canada dan ikan import. Namun demikian, kebanyakan
hasil samplingnya adalah negative, menunjukkan bahwa keberadaan malachite green
tidak menyebar secara luas. Setiap insiden di mana residu malachite green ditemukan
harus melalui investigasi menyeluruh untuk mencegah produk yang tidak terkonsumsi
masuk ke dalam rantai makanan.
Tidak semua bahan kimia therapeutik ini memiliki tingkat daya racun atau dampak
terhadap lingkungan yang sama, tergantung pada sifat volatilitasnya dan persistensinya.
Yang berbahaya adalah persistensinya yang lama di dalam tanah sehingga menimbulkan
residu yang dapat membahayakan organisme bukan sasaran, lingkungan, bahkan
manusia. kalau bahan kimia yang mudah terdegradasi sebenarnya tidak terlalu berbahaya
(meskipun semua bahan kimia tetap beresiko menimbulkan masalah). Misalnya pestisida
alami (nabati) lebih aman karena mudah terdegradasi dan bahan bakunya dari alam
(tumbuhan) sehingga residunya sangat kecil.
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk mengobati atau mencegah serangan
penyakit dan parasit biasanya sangat sulit untuk menentukan antara konsentrasi yang
efektif dan konsentrasi yang dapat membunuh ikan, bahkan ada bahan kimia yang tidak
langsung memberikan efek mematikan, tetapi bisa menyebabkan efek kronis sehingga
akan menghambat pertumbuhan, persistensinya lama, terresidu dan termagnifikasi dalam
rantai makanan, serta menimbulkan resistensi pada mikroba patogen. Selain itu,
penggunaan zat-zat kimia yang tidak terkontrol dan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
pemakaiannya, bisa berdampak pada keseimbangan lingkungan akuatik, merusak habitat,
mengubah atau menurunkan keanekaragaman ekosistem, bahkan mempengaruhi
kesehatan manusia (Ellis,1991 dalam Aitcheson, et al., 2001).
Mekanisme cemaran secara umum di dasarkan pada sifat racun suatu bahan kimia
yang dapat digolongkan menjadi dua menurut Murty (1986), yakni:
1. Racun sistemik, artinya dapat diserap melalui sistem organisme misalnya melalui
akar atau daun kemudian diserap ke dalam jaringan tanaman yang akan bersentuhan
atau dimakan oleh hama sehingga mengakibatkan peracunan bagi hama.
2. Racun kontak, langsung dapat menyerap melalui kulit pada saat pemberian
insektisida, sisa insektisida (residu) terjadi beberapa waktu setelah penyemprotan.
Selain itu, menurut Midlen dan Redding (1998) cemaran bahan kimia yang
digunakan dalam akuakultur biasanya terjadi akibat dari cara pemakaian bahan kimia itu
sendiri, yaitu : jika diberikan secara oral dan injeksi ada kemungkinan bahan tersebut
17
berikatan dengan ion Ca2+ dan Mg2+ (contoh Oxytetracycline) sehingga keluar dari tubuh
melalui osmoregulasi, dan jika diberikan dengan cara perendaman atau immersion
(dioleskan) kemungkinan besar bisa larut ke dalam air (leaching).
4.1. DISINFEKTAN
4.1.1. Copper Sulfat (CuSO4)
Unsur copper (Cu), merupakan logam berat yang dapat terakumulasi dan terikat
kuat dalam jaringan, unsur ini dapat mereduksi lipoprotein plasma sel, sehingga
dipastikan akan dapat mengganggu fungsi sel dan organ secara luas, terutama jaringan
hati. Demikian pula dengan asam sulfat yang menjadi oksidator dari senyawa CuSO4.
5H2O memiliki sifat iritasi yang kuat terutama terhadap kulit dan jaringan insang.
Meskipun suatu senyawa kimia memiliki sifat kelarutan yang tinggi, namun
akumulasinya tidak mudah terjadi, kecuali logam berat, seperti senyawa copper ini
meskipun mudah larut dalam air, namun tidak larut dalam alkohol dan lemak, dengan
demikian diffusi senyawa copper melalui kulit dan system pernafasan ikan (insang),
maupun yang masuk secara oral akan tersimpan dalam ”lemak cadangan” dan terikat erat
sehingga terakumulasi di hati (liver). Penyimpanan dalam lemak cadangan dapat
menghilangkan daya racun dari copper, namun jika terjadi proses katabolisme, dimana
lemak tersebut digunakan untuk menyediakan energi maka materi yang tersimpan dalam
lemak tersebut akan bergerak kembali dalam organisme dan beroksidasi dengan sel-sel
sehingga berpotensi sebagai racun kembali (Walker, 1990). Masuknya suatu bahan kimia
(uptake) ke dalam sel-sel organisme hidup terjadi melalui diffusi, dimana kekuatan atau
tekanan terjadinya diffusi ini disebut “potensi kimia” (the chemical potential) yang
berperan dalam memindahkan bahan kimia ke dalam jaringan organisme, proses ini
disebut bioakumulasi. Bahan kimia akan terikat pada gugus protein atau dalam lemak,
jika penyerapan berjalan lambat atau tidak berlanjut, atau bahan kimia tersebut tidak
terikat dalam sel, maka organisme yang bersangkutan dapat menyingkirkan bahan kimia
tersebut dari dalam tubuhnya.
Pada percobaan dengan metode uji toksisitas statis menunjukkan bahwa toksisitas
letal CuSO4.5H2O terhadap ikan mas adalah 0.7629 mg/l (LC50-96 jam), di mana copper
sulfat dapat menyebabkan mortalitas hewan uji sebesar 50 % selama 96 jam (lethal
18
median concentrate). Hal ini sesuai dengan pendapat Sorensen (1991) yang menyatakan
bahwa konsentrasi copper berkisar antara 0.6 – 2.4 mg/l dapat mengakibatkan mortalitas
ikan untuk LC50-96 jam (Sumoharjo 2007),
Sedangkan pada pengujian terhadap juvenil udang, semua udang dapat bertahan
hidup selama 75 hari pada kontrol dan pada perlakuan 0.45 mg/l, namun pada konsentrasi
4.50 mg/l semua udang mati selama 45 hari pemaparan, sedangkan pada konsentrasi 0.90
mg/l dan 1.80 mg/l, berturut-turut menyebabkan kematian udang sebesar 22 % dab 50 %
selama 75 hari pemaparan demikian pula dengan pertumbuhan udang, mengalami
penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi coper. Efek fisiologis dari toksisitas
copper terhadap ikan menyebabkan kerusakan secara struktural pada lamelar insang
dengan pembengkakan pada jaringan epitel sehingga menggangu keseimbangan regulasi
ion dan respirasi. Kerusakan insang juga terjadi pada juvenil udang yang terekspose 15.9
mg/l copper (Chen dan Lin, 2001),
Tabel 6. Data regresi linear pengaruh copper terhadap pertumbuhan (Chen dan Lin,
2001):
Time elapsed (days) A B R2 EC50 (mg/l)
Weight gain
15 0.082 -0.013 0.965* 3.367
30 0.188 -0.036 0.974* 2.822
45 0.372 -0.104 0.932* 1.893
60 0.597 -0.195 0.940* 1.635
75 0.900 -0.319 0.951* 1.508
Length increase
15 0.560 -0.089 0.952* 3.339
30 1.040 -0.172 0.994* 3.049
45 1.585 -0.375 0.979* 2.174
60 2.119 -0.624 0.979* 1.760
75 2.620 -0.821 0.960* 1.677
19
Gambar 1. Potongan membujur jaringan insang yang terpapar copper sulfat dengan 4
tingkat konsentrasi perlakuan (Sumoharjo, 2007)
pada pH rendah dan juga pada suhu tinggi, bahkan dicurigai memiliki sifat karsonogenik,
mutagenik, dan teratogenik (Srivastava, et al., 2004).
Kedua senyawa kimia ini mempengaruhi berbagai parameter biologi dan kimia air,
dapat membatasi degradasi partikulat organic seperti limbah, detritus dan algae. Formalin
lebih toksik pada air yang kurang sadah, air yang asam, dan juga menghilangkan oksigen
dari air, jadi aerasi harus dilakukan. Setiap 5 mg formalin dapat menghilangkan 1 mg
oksigen dari air. Di dalam menggunakan malachite green dan formalin, harus memakai
sarung tangan dan masker, jangan sampai tertelan atau terhirup, karena kedua senyawa
ini sangat berbahaya, karena dapat meracuni sistem pernafasan dan berpotensi
menimbulkan kanker (carcinogenic) contohnya, Proliferative Kidney Disease (PKD)
(Fishdoc, 2004).
Ikan yang diperlakukan dengan malachite green akan mengekskresi malachite
green dengan cepat, tetapi akan menyimpan metabolitnya berupa basa leuco,
leucomalachite green (LMG), dalam jaringan ototnya selama berbulan-bulan. Pada ikan
trout dan catfish, 80 % atau lebih malachite green di konversi menjadi LMG.
Transformasi malachite green menghasilkan leucomalachite yang dapat tertinggal di
dalam jaringan ikan secara jangka panjang. Waktu paruh LMG yang tertahan dalam otot
trout dapat terjadi selama 40 hari. Maka dari itu, kelihatannya mayoritas residu
violatifnya yang ada dalam ikan akan membentuk LMG (CFIA, 2005).
Meskipun KMNO4 sangat sukses untuk perlakuan penyakit, namun sifat reaktifnya
dengan bahan organik dapat menyulitkannya dan berpotensi membahayakan. Di
lingkungan perairan, senyawa ini akan bereaksi dengan bahan organik lain seperti; algae,
detritus, atau senyawa organik terlarut. Kemudian reaksi oksidasi akan terjadi dengan
bahan organic ini dari pada dengan parasit atau bakteri target. Untuk alasan ini KMNO4
tidak efektif diberikan dengan penyemprotan di kolam ikan atau green water.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan potassium permanganat
ini (GESAMP, 1997), yaitu :
∗ Sistem biofilter harus diisolasi dahulu sebelum perlakuan, karena berdampak pada
matinya mikroflora bakteri.
∗ Pengulangan perlakuan dapat berdampak pada kerusakan insang secara kumulatif.
∗ Lebih baik digunakan pada air kolam yang reltif bersih dari bahan organik.
∗ Lebih toksik pada pH tinggi, pada kondisi alkaline (basa) akan terjadi pengendapan
manganese dioxide (MnO2) dan bisa menumpuk di insang, sehingga menghalangi
proses respirasi insang, bahkan mengoksidasi insang sehingga merusak jaringan
insang.
∗ Tidak diperbolehkan dicampur dengan formalin, karena dapat menghasilkan gas
beracun formaldehyde.
∗ Potassium permanganate dapat dinetralkan dengan penambahan hydrogen peroxide.
Level yang direkomendasikan adalah 3 % H2O2/liter air yang dicampurkan ke dalam
10 liter air kolam akan mendeaktifkan 20.000 liter air kolam yang mengandung
KMNO4
∗ Efektif untuk membasmi ektoparasit yang lebih kecil seperti, Costia, Trichodina and
Chilodonella. Tetapi tidak efektif membasmi parasit yang lebih besar seperti
Gyrodactylus (skin flukes) dan Dactylogyrus (gill flukes), namun tergantung
dosisnya. Pada dosis residual di bawah 1.5 mg/l perlakuan untuk membasmi flukes
nampaknya tidak efektif. Perendaman dengan dosis tinggi dalam waktu singkat lebih
berhasil.
∗ Sangat berguna untuk membantu penyebuhan borok karena bakteri, karena bekerja
ganda dengan mereduksi keberadaan parasit dan sekaligus mereduksi bahan organic
dan level bakteri.
22
∗ Harus menggunakan sarung tangan karena KMNO4 sangat cepat bereaksi dengan
kulit yang akan meninggalkan bekas berwarna hitam.
4.2. ORGANOFOSFAT
Menurut Tarumingkeng (1977), dinamika pestisida dalam ekosistem lingkungan
dikenal istilah residu. istilah residu tidak sinonim dengan arti deposit. Deposit ialah
bahan kimia pestisida yang terdapat pada suatu permukaan pada saat segera setelah
penyemprotan atau aplikasi pestisida, sedangkan residu ialah bahan kimia pestisida yang
terdapat di atas atau di dalam suatu benda dengan implikasi penuaan (aging), perubahan
(alteration) atau kedua-duanya. Residu dapat hilang atau terurai dan proses ini kadang-
kadang berlangsung dengan derajat yang konstan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
ialah penguapan, pencucian, pelapukan (weathering), degradasi enzimatik dan
translokasi. Dalam jumlah yang sedikit (skala ppm), pestisida dalam tanaman hilang
sama sekali karena proses pertumbuhan tanaman itu sendiri.
Dichlorvos merupakan salah satu pestisida organofosfat neurotoksik yang biasa
digunakan dalam kegiatan marikultur. Perlakuan yang dilakukan biasanya dengan cara
perendaman untuk membasmi ektoparasit, mekanisme kerjanya dengan cara menghambat
aksi Acetylcholinesterase (AChE) pada sel syaraf.
yang lama. Walupun jika pada ikan dewasa tidak mati ketika terpapar, tetapi karena
persistensinya yang lama di lingkungan akan berpengaruh sublethal pada organisme yang
terkontaminasi sehingga akan menghambat pertumbuhan. Di sisi lain, pengaruhnya akan
menyebabkan berkurangnya kelimpahan mikroflora dan mikrofauna yang menjadi
sumber makanan organinisme perairan, dan bahkan dapat membunuh telur dan larva
ikan.
Palpp (1976) mengemukakan bahwa pengaruh samping dari pada penggunaan
pestisida terhadap hewan inveterbrata dapat berupa timbulnya pembentukan kekebalan
(resistensi) ataupun resurgensi. Pembentukan kekebalan terjadi melalui beberapa
mekanisme seperti perubahan asetilkolinestrase, menurunnya penyerapan, kekebalan
terhadap pengatur pertumbuhan (growth regulator), kekebalan terhadap piretroid,
kekebalan metabolisme terhadap organofosfat dan karbamat serta kekebalan terhadap
senyawa pestisida berklor. Szeics et al. (1973) menemukan bahwa penyerapan insektisida
oleh kulit krustasea bertambah sesuai dengan polaritasnya. Hal ini diamati pada
percobaan terhadap Heliothis virescens, akan tetapi penurunan penyerapan dapat terjadi
dan merupakan mekanisnme kekebalan. Walaupun mekanisme tersebut di atas belum
dapat dijelaskan secara rinci, akan tetapi pengamatan pada larva Heliothis zea yang lebih
tua nampak lebih kebal dari yang muda (Gast, 1961).
Sumber pencemaran perairan oleh pestisida ialah adanya aliran air dari daerah
pertanian terutama selama musim hujan dan juga dari aktifitas akuakultur dalam rangka
pemberantasan hama dan predator. Pada kadar yang tinggi pestisida dapat membunuh
jasad yang hidup di dalam air. Pestisida-pestisida yang persistensinya tinggi seperti
golongan organoklorin meskipun dengan kosentrasi rendah dapat masuk dalam rantai
makanan dan mengalamai proses peningkatan kadar (biological magnification) sampai
pada derajat yang mematikan (Coutney et.al.,1973). Terhadap kehidupan fitoplankton,
perlakuan paraquat pada dosis 1,0 ppm selama 4 jam dapat menurunkan produktivitas
53%, perlakuan diquat dengan dosis yang sama selang waktu 48 jam menurunkan
produktivitas 45 %, sedangkan diuran dengan dosis 1,0 ppm dalam 4 jam menurunkan
produktivitas sampai 87 % (Pimentel, 1974).
Daya meracun berbagai pestisida khususnya herbisida terhadap kehidupan ikan
telah banyak diteliti. Misalnya kemampuan meracuni kehidupan ikan, jenis insektisida
24
nampak lebih kuat dibanding herbisida. Akan tetapi karena pemakaian herbisida sebagai
pengendali gulma intensitas pemakaiannya lebih tinggi, maka dampak kerusakannya
lebih nampak. Nilai toksisitas akut herbisida terhadap ikan umumnya jauh lebih tinggi
dari pada konsentrasi yang dibutuhkan untuk mengendalikan gulma. Sebagai contoh,
herbisida paraquat pada kadar aplikasi 1,14 ppm dapat mematikan ikan lele, dan ikan
salmon 3 hari setelah aplikasi (Duursma and Marchand, 1974).
Secara umum, proses peracunan senyawa pestisida dapat diamati berdasarkan
golongan pestisida yang dipakai di lapangan. Pada senyawa fosfat organik, gejala yang
timbul dapat berupa sakit kepala, pusing, lemah, pupil mengecil, gangguan penglihatan,
sesak nafas, mual, muntal, kejang pada perut, diare, sesak dada dan detak jantung
menurun. Senyawa ini menghambat aktivitas enzim kolonestrasi dalam tubuh penderita.
Pada karbamat, gejala keracunannya hampir tak terlihat jelas, proses kerjanya juga
menghambat enzim kolinestrase dalam tubuh, tetapi reaksinya reversible dan lebih
banyak bekerja pada jaringan bukan dalam plasma darah.
Kategori senyawa tersebut adalah aldikarb, carbofuran, metomil, propoksur dan
karbaril untuk organofosfat, misalnya dichlorvos dapat terabsorbsi melalui permukaan
isang dan tubuh. Walaupun tidak terjadi bioakumulasi dalam tubuh ikan namun
toksisitasnya berada pada skala menengah sampai tinggi yang dapat mengakibatkan
kematian dan efek sublethal(Anonim, 1984).
Aktifitas ChE pada juvenile ikan gilthead sea bream yang terpapar dichlorvos
pada konsentrasi berbeda; O’ = Kontrol ethanol
Sumber : Varo’, et al.( 2007)
25
Tingkat lipid peroksida dalam kepala ikan gilthead sea bream yang
terpapar dichlorvos pada konsentrasi berbeda
Sumber : Varo’, et al.( 2007)
Dari hasil penelitian Varo’, et al.( 2007), dichlorvos secara signifikan menghambat
aktivitas ChE dengan perendaman selama 24 jam, pada konsentrasi 0.05 mg/l (41 %) dan
0.1 mg/L (52 %). Selanjutnya, dampak dari penghambatan ChE ini adalah terjadinya
peningkatan lemak di otak (brain lipid peroxidation), hal ini dapat menghambat aliran
darah yang menuju ke otak. Selain itu, lipid peroxidasi ini dapat terjadi pada membrane
plasma sel yang akan merangsang formasi radikal bebas penyebab munculnya sel kanker.
Bahkan ikan yang terekspos dichlorvos 0.05 mg/L dan 0.1 mg/L mengakibatkan
penurunan rasio RNA/DNA yang menjadi indicator toksisitas kronis suatu zat.
Beberapa jenis lain dari organofosfat seperti malathion pada konsentrasi 0.1 – 0.82
mg/l sedangkan Diazinon pada konsentrasi 2.6 – 23.4 mg/l dapat menyebabkan kematian
ikan (LD50).
Table 7. Dua faktor yang dapat menyebabkan fiksasi dan menurunkan daya toksin
organophosphate di perairan adalah :
1. Pada suhu rendah dapat menghambat laju
reaksi hydrolysis yang menyebabkan
Suhu rendahnya aktifitas mikroba.
2. Pada suhu tinggi akan meningkatkan
reaksi hydrolisa sehingga meningkatkan
aktifitas mikroba
1. Variabel alkali pH
pH
2. Stable acidic pH
Sumber : Babaei, et al (2007)
27
Laju degradasi organofosfat tergantung pada berbagai faktor seperti; cahaya, suhu
tinggi, aerasi, dan pH tinggi, semua ini akan mempercepat waktu degradasi. Pada suhu
rendah dan pH sedang, waktu paruhnya bisa beberapa hari, ini berarti bahwa organofosfat
aktif lebih lama. Pada kondisi alkalin dan suhu tinggi waktu paruhnya bisa kurang dari
sehari (Babaei, et al., 2007).
4.3. ANTIBIOTIK
Pemberian antibiotik secara oral nampaknya merupakan cara yang ideal untuk
pemberian senyawa therapeutik ini, namun demikian terdapat kesulitan, khususnya pada
udang, karena cara makan udang yang yang lambat, dimana makanan hanya digerogoti
perlahan-lahan menyebabkan senyawa therapeutik yang dimasukkan ke dalam
makanannya sebagian besar terbuang karena terlarut dalam air sehingga mencemari
lingkungan. Selain itu, obat yang sudah termakan tidak dapat dijamin dapat diserap oleh
tubuh, contohnya Oxytetracycline akan terikat dengan ion Ca2+ dan Mg2+ sehingga keluar
lagi dari tubuh ikan pada saat proses osmoregulasi, lalu terbuang ke lingkungan masih
dalam keadaan aktif. Faktor lainnya adalah ikan dan udang biasanya akan kehilangan
selera makan pada saat stress, sehingga semua obat yang diberikan tidak akan termakan
dan terbuang percuma sebagai limbah yang berimplikasi pada peningkatan jumlah bahan
kimia di alam (Midlen and Redding, 1998).
maka penggunaan antiobiotik secara berkala untuk perlakuan atas infeksi bakteri adalah
alat yang penting untuk efektifitasnya.
Dampak lingkungan karena resistensi bakteri patogen adalah dua kali lipat.
Pertama, infeksi menjadi sulit untuk ditangani, sehingga membahayakan kelangsungan
usaha akuakultur. Kedua, dapat berdampak pada kehidupan manusia, karena ada
kemungkinan air buangan dari kegiatan akuakultur yang mengandung residu antibiotik
digunakan untuk keperluan rumah tangga, demikian pula sebaliknya. Dengan demikian,
patogen pada manusia akan terpapar juga oleh antibiotik yang digunakan dalam
akuakultur yang mana biasa juga digunakan sebagai obat untuk manusia, misalnya
chloramphenicol. Hal ini, memungkinkan terjadinya resisten pada beberapa obat-obatan
penting yang digunakan untuk mengobati manusia (Midlen dan Redding,
Penggunaan antibiotik sebagai pencegahan, misalnya dengan penggunaan secara
bertahap sebagai anti terhadap respon infeksi untuk mencegah meluasnya infeksi.
Kontributor utama untuk perkembangan resistensi adalah bakteri, karena pencegahan
dengan antibiotik banyak digunakan untuk melawan infeksi bakteri Vibrio spp yang bisa
menyebabkan perkembangan strain resisten.
Penggunaan bahan untuk pencegahan pada perlakuan atas parasit eksternal tidak
menimbulkan perkembangan resistensi yang sama. Pada kasus ini, lebih menekankan
pada kelebihan bahan kimia yang terbuang ke dalam lingkungan akuatik yang dapat
menyebabkan keracunan bagi komunitas alami.
Tabel 8. Hasi uji waktu paruh dari tiga antibiotik; oxytetracyclin, oxilonic acid, dan
furazolidone dalam sedimen dari tiga karamba ikan salmon.
Senyawa Cage 1 Cage 2 Cage 3 Hasil uji
Furazolidone - - - 18 jam
Oxilonic acid - - - 48 hari
Oxytetracyclin 125 hari 142 hari 89 hari 55 hari
Sumber : Midlen and Redding (1998)
Oxytetracyclin dan oxilonic acid tidak dapat dimetabolisme oleh bakteri, senyawa
ini hilang dari sedimen melalui difusi secara bertahap ke lapisan air karena kedua
senyawa ini dapat larut dalam air. Asumsi ini membantu menjelaskan keberadaan
anomali pengukuran yang diperoleh pada bidang survey. Di sini waktu paruh
Oxytetracyclin bervariasi pada karamba berbeda. Penandaan atas perbedaan antara ketiga
karamba dapat dijelaskan bahwa ketika oxytetracyclin diberikan secara oral , ikan
dihilangkan dari karamba 3, maka akumulasi sedimen dapat dihindari. Sedangkan pada
karamba lain, sedimen terus dikumpulkan, meliputi deposit awal, dan kemungkinan
terjadi pengurangan karena difusi ke dalam air.
signifikan dipengaruhi oleh perlakuan, dan memerlukan waktu lebih dari satu bulan untuk
recovery tingkat pra-perlakuan.
Tabel 9. Jumlah total bakteri dalam semua sedimen setelah pemberian antibiotik
Perlakuan Hari ke-2 Hari ke-7 Hari ke-24 Hari ke-80
10 10 10
Kontrol (3.0 x 10 ) (3.3 x 10 ) (4.3 x 10 ) (3.2 x 1010)
Kontrol 100 100 100 100
Oxolinic acid 63 65 77 84
flumequine 67 71 93 84
Sumber : Midlen and Redding (1998)
Tabel 11. Resistensi bakteri atas agen antibakteri (% plate count) pada waktu berbeda
setelah pemberian antibiotik.
Perlakuan Hari ke-2 Hari ke-7 Hari ke-24 Hari ke-80
Kontrol 0.05 0.07 0.21 0.13
oxytetracyclin 2.8 13.5 - 8.7
Oxolinic acid 14.2 8.5 20.3 2.7
flumequine 0.2 0.4 - 4.0
Sumber : Midlen and Redding (1998)
secara bertahap dari populasi (selama periode minggu atau bulan). Oleh karena
itu, frekuensi penggunaan antibiotik untuk pencegahan harus terjaga, jika tidak,
akan meningkatkan level resistensi di antara populasi bakteri.
2. Populasi bakteri di sedimen berpengaruh secara luas karena berdasarkan pada
kemampuan metabolismenya terhadap limbah organik dari akuakultur.
Jadi pemberian antibiotik memberikan dua konsenkuensi potensi kerusakan untuk
para pembudidaya ikan, yaitu; perkembangan resistensi bakteri strain patogen dan
penurunan dalam laju mineralisasi sedimen yang dapat mengakibatkan masalah kualitas
air.
Hasil studi di Denmark menunjukkan bahwa tingkat resistensi oxolinic acid pada
aliran air yang terpolusi dua kali lipat dari pada bakteri yang tidak terpolusi, hal ini jelas
bahwa pengaruh penggunaan antibiotik berpengaruh terhadap lingkungan secara luas.
(Spanggaard et al., 1993). Sedangkan studi di Irlandia tentang distribusi residu
oxytetracyclin di bawah karamba ikan salmon menunjukkan sumber oxytetracyclin di
sedimen lebih banyak dari limbah sisa pakan dari pada limbah feses . Model perkiraan
yang digunakan untuk mengindikasikan distribusi limbah pakan dan limbah fese yang
mengendap, menunjukkan bahwa limbah feses tidak padat dan mengendap lebih lambat
sehingga menyebar lebih luas, sehingga residu oxytetracyclin tidak terdeteksi pada
daerah yang dianggap sebagai tempat mengendapnya feses.
Maka analisis resistensi antibiotik Vibrio harveyi dari sampel yang diisolasi dari
hatchery dan air di pesisir pantai memberikan kunci pertama untuk masalah ini. Bakteri
yang diisolasi dari hatchery menunjukkan resistensi yang lebih besar terhadap antibiotik
dari pada yang diisolasi dari air laut dan tingkat virulensi yang lebih besar dari pada isolat
kontrol yang diujikan pada larva hidup. Hal ini mendukung pendapat bahwa air laut
bukan merupakan sumber infeksi.
Kesimpulan yang digambarkan dari penelitian ini bahwa, resistensi strain patogen
V. Harveyi telah berkembang dan telah ada dalam larva yang dipelihara dalam bak-bak
hatchery, karena akibat dari penggunaan cholaramphenicol dan cotrimoxazole untuk
mengontrol bakteri secara terus menerus tanpa adanya proses disinfeksi dan pengeringan
di bak larva. Hal menyebabkan bakteri luminous dapat bertahan hidup di dalam bahan
organik yang ada di dalam bak larva, dan secara bertahap mengembangkan sifat resisten
terhadap antibiotik yang terekspos dalam jangka waktu yang lama. Dari hasil uji
menunjukkan bahwa bakteri ini resisten terhadap kloramphenical pada konsentrasi 1000
mg/l. Dengan demikian penggunaan bahan prophylactic dalam hatchery tidak efektif
untuk melindungi stok. Hatchery ditutup dan bak-bak dikeringkan lalu diberi disinfektan,
kemudian dioperasikan kembali dengan sukses tetapi pada penggunaan antibiotik yang
sangat terbatas.
Tabel 12. Sensitifitas antibiotik oleh isolat bakteri Vibrio harveyi yang diambil dari
hatchery berbeda
Antibiotik Air laut Air laut Bak PL 12 Bak PL12 Bak B 8
Co-trimoxazole S S R R R
Erythromycin R R R R R
Streptomycin S S R R R
Oxytetracycline S S S S S
Neomycin S S S S S
Chloramphenicol S S R R R
gentamicin S S S R S
Sumber : Midlen and Redding (1998)
R = Resisten, S = Sensitive
Tabel 13. Mortalitas PL udang windu (Peneaus monodon) dalam isolat bakteri pada
berbagai konsentrasi
102 103 104 105 106 Nil
V. harveyi dari bak larva 2/50 16/50 35/50 50/50 50/50 1/50
V. harveyi dari air laut 3/50 5/50 12/50 22/50 40/50 2/50
33
Dari data di atas, suhu merupakan parameter yang paling besar pengaruhnya
terhadap efisiensi adsorpsi therapeutant, dengan efisiensi adsorpsi terrendah 50 % atau
lebih rendah lagi seperti yang terlihat pada suhu 5 0C , pengaruh suhu dan kekuatan ion
sangat kecil. Walaupun nampaknya efisiensi adsorpsi lebih dengan kekuatan ion, tapi
adsorpsi paling besar terjadi pada suhu 10 – 20 0C dan kekuatan ion 0.2 – 2 mM
(Aitcheson, et al., 1999).
36
VI. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Aitcheson SJ, Arnet J, Murray KR, dan Zhang J. 2001. Removal of Aquaculture
Therapeutants by Carbon Adsorption 2: Multicomponent Adsorption and
Equilibrium behaviour of Mixture. Elsevier. Aquaculture Journal 192, 249-264.
Babaei D, Doost, ZB, dan Doost RB. 2007. Environmental Risk Assessment Of
Organophosphorus Pesticides In The Southern Coastal Of Caspian Sea.
International Conference “Waste Management, Environmental Geotechnology
and Global Sustainable Development. Slovenia.
Canadian Food Inspection Agency (CFIA). 2005. Update on the Canadian Food
Inspection Agency monitoring activities for malachite green. Retrieved July 6,
2005.
Chen JC and Lin CH. 2001. Toxicity of copper sulfate for survival, growth,
molting and feeding of juveniles of the tiger shrimp (Penaeus monodon).
Elsevier. Aquaculture Journal 192, 55–65.
Fish Doc. 2004. Malachite Green and Formalin : A Good General-Purposes Anti-
Parasites Treatment. FishDoc ©
Murty, A.S. 1986. Toxicity Of Pesticides To Fish. CRC Press. Hal. 136-138.
Watson dan Yanong, 2002. Use Copper in Freshwater Aquaculture and Farm
Pond : Institute of Food and Agricultural Sciences. University of Florida. First
published June 1989. Reviewed: December 2002. (Tersedia pada EDIS Web
Site at http://edis.ifas.ufl.edu).