Gambar 4.1: Pembentukan angin disebabkan fenomena termal sinar matahari Potensi energi angin sangat dipengaruhi oleh keadaan permukaan.
37
Gambar 4.2: Distribusi kecepatan angin terhadap bidang vertikal Pola geostropik dari angin (secara teoretis angin terjadi dari gradien tekanan) menunjukan penurunan akibat adanya hambatan misalnya, gedung, pohon dan rerumputan. Sifat permukaan dapat dinyatakan dengan menngunakan parameter rougness-length. Z0 adalah tinggi dimana kecepatan angin mencapai nol (0). Table 1: Nilai Roughness-length untuk beberapa kelas dataran
Roughness-length
No 1 2 3 4 5 6 7 8 Sea smooth open open to rough rough very rough closed City centres
Kategori Z0 (m)
0.0002 0.005 0,03 0.1 0.25 0.5 1 2 High Seas Mud-flats
Keterangan
open, flat country; pasture agricultural land with low growth agricultural land with tall growth Parkland with bushes and trees woods, villages, suburbs Centres of big cities
38
Perhitungan kecepatan angin untuk suatu ketinggian tertentu (h2) atas dasar kecepatan angin pada posisi h1 (posisi anemometer) sebesar w1 (hasil pengukuran dengan anemometer) dapat didekati dengan:
w 2 (h2 )
h ln 2Z 0 = w1 h ln 1Z 0
dengan Z0 adalah Roughness-length. Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa profil kecepatanangin berbentuk logaritmis terhadap ketinggian. Energi angin dapat dimanfaatkan dari laju gerakannya (energi kinetik) dengan menggunakan kincir angin.
2 & = 0,5 m & wa E k
(4-1)
dimana wa adalah laju gerakan angin dan m massa dari angin yang melewati sudu kincir angin setiap detiknya.
& = A wa m
(4-2)
Sehingga jika kincir memiliki luas penampang A dan radius R, dan efisiensi CE maka energi yang dapat dihasilkan setiap satuan waktu (daya kincir angin) adalah:
& = 0,5 R 2 w 3C E k a E
(4-3)
Perhitungan tersebut adalah hasil teoritis yang harus dikoreksi oleh faktor ketersedian angin dan tentu saja masih dipengaruhi oleh efisiensi konversi sistem kincir antara 20 60% ataupun untuk sistem terbaru mencapai 70 80%. Pembangunan sistem pembangkit tenaga angin harus memperhatikan bentuk aliran angin di lokasi dan potensi yang mempengaruhinya, seperti bangunan tinggi, pepohonan dll.
Contoh: Sebuah kincir angin dengan spesifikasi daya 150 kW, diameter sudu 23 m, efisiensi 40%, dipasang di lokasi dengan kecepatan rerata 10 m/s dan densitas udara 1,125 kg/m3. Daya listrik yang dihasilkan : E = 0,5 (1,125) (11,5)2 (10)3 = 93,482 kWs 39
Jika kecepatan angin hanya separohnya (5 m/s), maka E = 11,685 kWs (sekitar 12,5%) Sehingga perhitungan potensi angin tahunan untuk perencanaan pemasangan kincir tidak dilakukan atas dasar formula di atas dengan hanya mempertimbangkan kecepatan rerata, karena akan memiliki kesalahan besar. Perhitungan potensi dilakukan dengan menggunakan distribusi kecepatan angin tahunan yang dapat didekati suatu pola distribusi misalnya Weibull atau Rayleigh.
40
Gambar 4.3: Distribusi Rayleigh Pendekatan perhitungan pola kecepatan angin sering digunakan atas dasar distribusi angin Rayleigh.
f (v )
k v = c c
k 1
v k exp c
( 4-4)
dimana v kecepatan angin, k faktor pola weibull dan c faktor skala.Karakteristik fungsi distribusi dianyatakan oleh kedua parameter k dan c, dimana c didekati sebagai fungsi dari kecepatan rerata c = 1,126 vrerata. Nilai k = 1 merupakan pendekatan eksponesial, k=2 mendekatai fungsi Rayleigh dan k = 2,35 mendekati fungsi Gausian.
41
Beberapa contoh pendekatan distribusi Weibull tampak pada Gambar 4.4, dimana data real dalam diagram batang dan fungsi pendekatan berupa garis.
42
Nilai parameter Weibull k bervariasi untuk tipe lokasi, misalnya daerah dataran pedalaman biasanya berkisar 1,2 sedangkan daerah pantai 2,3, dan semakin tinggi lokasi nilai k akan naik.
Gambar 4.6: Kecepatan angin pada suatu rotor Energi yang dihasilkan merupakan nilai perbedaan energi angin di depan dan belakang rotor. Eyield = m (v1 - v3) Sehingga daya yang dibangkitkan oleh angin adalah: Pyield = A v2 (v1 - v3) Jika kita hubungkan antara daya dengan daya yang terkandung dalam angin, maka didapatkan koefisien daya (power coefficient) cP, yang dinamakan juga sebagai efisiensi aerodinamik ('aerodynamic efficiency'). cP = Pcont / Pwind
43
dengan Pwind = A v1 Dengan asumsi bahawa kecepatan angin pada bidang rotor: v2 = (v1 + v3)/2 maka diperoleh: cP = (1+v3/v1) (1-(v3/v1) ) Diagram berikut menunjukkan koefisien daya cP sebagai fungsi dari rasio kecepatan v3 dengan v1.
Gambar 4.7: Koefisien daya menurut Betz Untuk mencapai nilai optimum penggunaan energi angin, maka kecepatan dibalik rotor v3 harus 1/3 dari kecepatan di depan rotor v1. Sehingga koefisien daya cP,Betz = 0,59. Ada dua kemungkinan untuk trnasformasi daya angin menjadi daya kinetik, yaitu dengan pemanfaatan gaya hambatan drag force dan dengan daya angkat lift force. Drag force rotors memanfaatkan gaya FW yang dihasilkan oleh angin pada suatu area A pada sudut tertentu: that FW = cw A v Nilai koefisien hambatan drag coefficient cw merupakan indikasi dari kualitas aerodinamik suatu benda. 44
Tabel 1: Nilai cw cw 1,11 1,10 0,33 1,33 Body Circular Plate Square Plate Closed Semi-Sphere Open Semi-Sphere
45
Biasanya rotor yang memanfaatkan gaya hambatan drag force rotor adalah cup anemometer.
Cup anemometer tidak hanya menghasilkan satu driving drag force tetapi juga sebuah pengereman braking Gaya penggerak:
Fw,drive = 1, 33 1 2 A (v u )2
Gaya pengereman:
Fw,brake = 0, 33 12 A (v + u )2
Daya yang diperoleh: P = (FW ,drive - FW ,brake) u
46
Didefinisikan sebuah parameter rasio kecepatan , yang merupakan indikasi rasio antara kecepatan putar rotor u dan kecepatan angin v.
u v
Nilai untuk Drag force rotor tidak akan mencapai 1, karena kecepatan putar rotor harus lebih kecil dari kecepatan angin. Cup anemometer memiliki opt = 0.16. Hal tersebut menunjukkan efisiensi aerodinamis yang amat rendah, sehingga cup anemometer tidak digunakan dalam pembangkitan daya.
Gambar 4.9: Koefisien daya sebagai fungsi Jika aliran udara menabrak bidang datar atau suatu profil sudu dengan sudut tertentu, maka seiring dengan gaya hambatan drag force FW, akan dihasilkan gaya angkat tegak lurus FA. Dikarenakan lift force jauh lebih besar drag force maka akan timbul rotasi.
47
Gambar 4.10: Gaya angkat Lift Force Gaya angkat dapat dihitung sbb:
FA = c a 12 A v 2
Koefisien gaya angkat lift force coefficient ca tergantung pada profil sudu sayap dan sudut antara aurs angin dengan sudu. Komponen upwind speed c adalah hasil dari jumlah dari kecepatan angin v dan kecepatan putar u. c = v + u Nilai c dari lift force rotor selalu lebih besar dari v, sedangkan c dari drag force rotor selalu lebih kecil dari v. Upwind speed memberikan kontribusi kepada gaya secara kuadrat. Sehingga atas dasar hal tersebut, lift forced rotor menghasikan efisiensi jauh lebih baik dari pada drag forced rotor cP,max= 0,5 Gambar berikut menunjukkan ukuran koefisien daya untuk kincir angin modern. Catatan bahwa, cP,max dicapai pada rasio kecepatan 8. Rotor kincir dengan >2 dinamakan fast running.
48
49
50
51
( 4-5)
Profil tekanan dan kecepatan untuk suatu volume atur sebagai model bentuk aliran udara yang melewati suatu kincir dapat ditampilkan seperti Gambar berikut.
52
Gambar 4.16: Profil tekanan dan kecepatan aliran angin Atas dasar persamaan Bernoulli, maka komponen gaya yang bekerja pada sudu rotor searah aliran untuk asumsi tidak ada friksi dan tekanan konstan (p1 = p2) adalah:
FT = a A
(w
2 1
2 w2 2
[N]
( 4-6)
[W]
( 4-7)
[W]
( 4-8)
w 2 w2 1 2 C p = 0,5 1 + 2 w1 w1
( 4-9)
53
Koefisien daya menyatakan pengaruh kecepatan terhadap gradien tekanan dan daya yang dapat dihasilkan oleh kincir. Koefisien daya amat dipengaruhi oleh parameter aerodinamik dari kincir serta sistem kendali kincir.
M =
PT 2 n
[N m]
( 4-10)
PT
[N m]
( 4-11)
dengan: PT : Daya turbin [W] : laju putaran rotor [s-1] R: radius [m] U: kecepatan lintasan [m/s] W: kecepatan angin : parameter angin (=u/w)
54
Gambar 4.17: Tampak lintang dari generator sinkron Atas dasar beda prinsip operasi maka dibedakan antara generator sinkron dan asinkron. Generator asinkron seperti namanya, rotor tidak akan berputar pada frekuensi sama untuk setiap bidang medan pada stator. Hal tersebut dinamakan slippage. Slippage dapat dihitung dari kecepatan rotasi sinkron dari armatur (frekuensi grid) dan kecepatan rotasi rotor. s = (ns - n) / ns Slippage memiliki nilai dalan jangkauan dari 1 (standstill) dan 0 (ideal open circuit). Modus operasi normal s < 0,10. Kecepatan rotasi sinkron adalah: ns = f / p dimana f adalah frekuensi jaringan (grid frequency) dan p jumlah pasangan pole. Atas dasar frekuensi jaringan 50 Hz, maka sepasang pole memiliki kecepatan rotasi sinkron sebesar 3000 rpm. Kecepatan sebesar itu hanya dapat dicapai dengan bantuan sistem transmisi (gearbox). Rotor mesin asinkron tidak memerlukan ekstra suplai arus karena rotasi medan pada stator dapat menhasilkan induksi tegangan dalam rotor yang kemudian menhasilkan aus reaktif dalam stator.
55