Anda di halaman 1dari 1

Warga

Tuntut Percepat Penetapan Enklave

January 30, 2014



PALU, KOMPAS Masyarakat Dongidongi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah,
menuntut Kementerian Kehutanan melalui Balai Besar Taman Nasional Lore
Lindu mempercepat penetapan enklave atas lahan yang mereka tempati. Ini
bertujuan agar keberadaan mereka di taman nasional tersebut tak dianggap
ilegal.
Tidak ada komitmen nyata Kementerian Kehutanan terkait tuntutan kami soal
enklave. Selama ini, kami diberi janji kosong, ujar Koordinator Bidang
Pendidikan Forum Petani Merdeka Dongidongi Zimanul Fatta saat dialog
bersama dengan Balai Besar Taman Nasional (BBTN) Lore Lindu, di Palu,
Sulteng, Selasa (28/1).

Sekitar 1.000 warga Dongidongi berunjuk rasa di BBTN Lore Lindu
menyusul penangkapan 10 warga oleh BBTN, Senin, saat mereka mengadakan
kongres adat. Kongres tersebut juga dihadiri perwakilan Pemerintah Kabupaten
Sigi dan Provinsi Sulteng.

Masyarakat Dongidongi memperjuangkan enklave (wilayah kantong)
sejak 2001. Mereka menuntut lahan pengelolaan seluas 4.000 hektar di TN Lore
Lindu. Warga Dongidongi yang terdiri atas 1.300 keluarga atau sekitar 4.000
jiwa menduduki lahan di wilayah konservasi TN Lore Lindu sejak 1998.
Selama ini, penguasaan lahan dilakukan atas kesepahaman bersama dengan
BBTN Lore Lindu untuk lahan seluas 2.000 hektar. Namun, hal ini tanpa payung
hukum yang tetap.

Menurut Zimanul, wilayah hutan yang dikelola masyarakat tergolong
hutan sekunder, bekas hak penguasaan hutan sebuah perusahaan kayu. Jadi,
kalau kami dituduh merambah hutan, itu tidak tepat, ujarnya.
Juru bicara Lembaga Adat Dongidongi, Husen Libulemba, mengatakan, Ini
bukan soal benar salah, tetapi kami minta keputusan yang bijak karena kami
juga warga negara yang dilindungi undang-undang.

Kepala BBTN Lore Lindu Sudayatna mengatakan, status enklave
Dongidongi sedang dibahas di Komisi IV DPR. Kalau tuntutan enklave tidak bisa
dipenuhi, Dongidongi bisa dijadikan kawasan khusus. Artinya, warga bisa
mengelola kawasan hutan yang batasnya ditetapkan bersama, tetapi status
kepemilikannya di BBTN Lore Lindu.

Sementara itu, perambahan hutan konservasi di Sumatera Selatan terus
terjadi. Para perambah umumnya membuka hutan untuk lahan garapan. Mereka
juga mendirikan pondok-pondok.

Ada pula perambahan yang diawali dengan jual-beli lahan. Salah satunya
diduga terjadi di Hutan Margasatwa Padang Sugihan, Kabupaten Banyuasin, yang
saat ini tengah didalami Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA)
Sumsel. Perambahan juga dilakukan oleh perusahaan, baik perkebunan kelapa
sawit, karet, maupun tambang.

Koordinator Penyelidikan BKSDA Sumsel Edi Sopian menyebutkan, setiap
tahun pihaknya mengeluarkan rata-rata 40 perambah dari hutan konservasi dan
mengajukan 3-5 orang untuk diproses secara hukum. (VDL/IRE)

Anda mungkin juga menyukai