PALU,
KOMPAS
Masyarakat
Dongidongi,
Kabupaten
Sigi,
Sulawesi
Tengah,
menuntut
Kementerian
Kehutanan
melalui
Balai
Besar
Taman
Nasional
Lore
Lindu
mempercepat
penetapan
enklave
atas
lahan
yang
mereka
tempati.
Ini
bertujuan
agar
keberadaan
mereka
di
taman
nasional
tersebut
tak
dianggap
ilegal.
Tidak
ada
komitmen
nyata
Kementerian
Kehutanan
terkait
tuntutan
kami
soal
enklave.
Selama
ini,
kami
diberi
janji
kosong,
ujar
Koordinator
Bidang
Pendidikan
Forum
Petani
Merdeka
Dongidongi
Zimanul
Fatta
saat
dialog
bersama
dengan
Balai
Besar
Taman
Nasional
(BBTN)
Lore
Lindu,
di
Palu,
Sulteng,
Selasa
(28/1).
Sekitar
1.000
warga
Dongidongi
berunjuk
rasa
di
BBTN
Lore
Lindu
menyusul
penangkapan
10
warga
oleh
BBTN,
Senin,
saat
mereka
mengadakan
kongres
adat.
Kongres
tersebut
juga
dihadiri
perwakilan
Pemerintah
Kabupaten
Sigi
dan
Provinsi
Sulteng.
Masyarakat
Dongidongi
memperjuangkan
enklave
(wilayah
kantong)
sejak
2001.
Mereka
menuntut
lahan
pengelolaan
seluas
4.000
hektar
di
TN
Lore
Lindu.
Warga
Dongidongi
yang
terdiri
atas
1.300
keluarga
atau
sekitar
4.000
jiwa
menduduki
lahan
di
wilayah
konservasi
TN
Lore
Lindu
sejak
1998.
Selama
ini,
penguasaan
lahan
dilakukan
atas
kesepahaman
bersama
dengan
BBTN
Lore
Lindu
untuk
lahan
seluas
2.000
hektar.
Namun,
hal
ini
tanpa
payung
hukum
yang
tetap.
Menurut
Zimanul,
wilayah
hutan
yang
dikelola
masyarakat
tergolong
hutan
sekunder,
bekas
hak
penguasaan
hutan
sebuah
perusahaan
kayu.
Jadi,
kalau
kami
dituduh
merambah
hutan,
itu
tidak
tepat,
ujarnya.
Juru
bicara
Lembaga
Adat
Dongidongi,
Husen
Libulemba,
mengatakan,
Ini
bukan
soal
benar
salah,
tetapi
kami
minta
keputusan
yang
bijak
karena
kami
juga
warga
negara
yang
dilindungi
undang-undang.
Kepala
BBTN
Lore
Lindu
Sudayatna
mengatakan,
status
enklave
Dongidongi
sedang
dibahas
di
Komisi
IV
DPR.
Kalau
tuntutan
enklave
tidak
bisa
dipenuhi,
Dongidongi
bisa
dijadikan
kawasan
khusus.
Artinya,
warga
bisa
mengelola
kawasan
hutan
yang
batasnya
ditetapkan
bersama,
tetapi
status
kepemilikannya
di
BBTN
Lore
Lindu.
Sementara
itu,
perambahan
hutan
konservasi
di
Sumatera
Selatan
terus
terjadi.
Para
perambah
umumnya
membuka
hutan
untuk
lahan
garapan.
Mereka
juga
mendirikan
pondok-pondok.
Ada
pula
perambahan
yang
diawali
dengan
jual-beli
lahan.
Salah
satunya
diduga
terjadi
di
Hutan
Margasatwa
Padang
Sugihan,
Kabupaten
Banyuasin,
yang
saat
ini
tengah
didalami
Badan
Konservasi
dan
Sumber
Daya
Alam
(BKSDA)
Sumsel.
Perambahan
juga
dilakukan
oleh
perusahaan,
baik
perkebunan
kelapa
sawit,
karet,
maupun
tambang.
Koordinator
Penyelidikan
BKSDA
Sumsel
Edi
Sopian
menyebutkan,
setiap
tahun
pihaknya
mengeluarkan
rata-rata
40
perambah
dari
hutan
konservasi
dan
mengajukan
3-5
orang
untuk
diproses
secara
hukum.
(VDL/IRE)