Anda di halaman 1dari 14

PENGOBATAN KONSERVATIF PADA FRAKTUR TULANG PANJANG

Oleh: Mira Zulyati Ahfa, S.Ked 04124705033

Pembimbing : Dr. dr. Muzakkie, SpB SpOT

DEPARTEMEN ILMU BEDAH RSMH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG 2014

a. Definisi Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik total maupun parsial. Tulang panjang adalah tulang yang berkembang dari pemanjangan pada bagian epifise (bonggol tulang). Ujung dari epifise dibungkus oleh tulang rawan hialin. Pertumbuhan secara longitudinal ini disebabkan oleh osifikasi secara endokondral pada epifise. Fraktur tulang panjang adalah hilangnya kontinuitas tulang panjang akibat trauma yang dapat terjadi pada sepertiga proksimal, sepertiga tengah, dan sepertiga distal. Femur (tulang paha),tibia (tulang kering), fibula (tulang betis), humerus (tulang lengan atas) dapat digolongkan ke dalam tulang panjang.

b. Perbedaan tertutup dan terbuka 1. Fraktur tertutup Tidak adanya hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. 2. Fraktur terbuka Adanya hubungan antara fragmen dengan dunia luar. Ada 3 derajat fraktur terbuka menurut Gustillo, yaitu : a) Derajat I 1) Luka < 1 cm 2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk 3) Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringan 4) Kontaminasi minimal b) Derajat II 1) Laserasi > 1 cm 2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas 3) Fraktur kominutif sedang 4) Kontaminasi sedang c) Derajat III Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.

c. Tanda dan Gejala 1. Look ( Inspeksi ) Adanya pembengkakan, memar, dan deformitas (penonjolan abnormal, angulasi, rotasi, dan diskrepensi). Jika ada kulit robek atau terluka dan berhubungan dengan fraktur fraktur terbuka. 2. Feel ( Palpasi ) Nyeri tekan setempat, krepitasi, dan jika fraktur pada tulang mengenai pembuluh darah mungkin bisa menyebabkan pulsasi arteri dibagian distalnya berkurang. 3. Move ( Pergerakan) Menilai adanya krepitasi saat bergerak, nyeri saat bergerak, dan berkurangnya ROM.

d. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan Sinar X untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau luasnya trauma. Diperiksa harus dengan menggunakan minimal dua posisi yaitu anteroposterior dan lateral. 2. Pemeriksaan darah rutin Hb untuk melihat ada dan tidaknya penurunan dan untuk keperluan transfusi darah. Leukosit untuk melihat infeksi atau tidak.

e. Tatalaksana 1. Penilaian awal a) Airway Membuka jalan nafas dengan menggunakan manuver head tilt, chin lift, dan jaw thrust atau tripple airway manuver. Jika ada sesuatu yang menyebabkan sumbatan maka dikeluarkan bisa dengan menggunakan suction (darah atau lendir) atau secara manual dengan menggunakan tangan. Selain itu posisikan pasien miring. Pasang guedel atau lakukan intubasi.

b) Breathing Pemberian oksigenasi dengan menggunakan kanul atau masker sesuai dengan kebutuhan oksigen pasien. c) Circulation Pemberian cairan infus terutama jika ada perdarahan (gunakan larutan kristaloid contohnya RL dan RA).

Pemasangan Dauer kateter. Kontrol perdarahan pemasangan balut cincin dan penstabilan fraktur dengan menggunakan bidai.

2. Penatalaksanaan fraktur a) Terbuka Penanganan dini Penutupan luka hingga sampai ke kamar bedah. Pemberian antibiotik 6 48 jam pertama biasanya digunakan kombinasi benzilpenisilin dan fluklosasilin, jika kontaminasi parah maka ditambah dengan gentamisin atau metronidazol dan pemberian diperpanjang hingga 4 atau 5 hari. Debridemen Melakukan eksisi pada bagian kulit disekitar luka, otot yang kemungkinan telah mati atau mati, dan permukaan fraktur ditempatkan kembali pada posisi yang benar, fragmen tulang boleh dibuang jika tulang kecil dan terpisah. Penutupan luka Jika fraktur terbuka derajat I - II dan kontaminasi sangat minimal bisa langsung dilakukan penjahitan atau pencangkokan kulit. Jika luka derajat III, luka dibiarkan terbuka dulu hingga bahaya infeksi telah lewat. Luka tadi cukup ditutup dengan menggunakan kassa steril dan setelah masa bahaya infeksi lewat maka dapat dilakukan penjahitan dan pencangkokan kulit. Stabilisasi fraktur Jika derajat I dan II dengan fraktur yang stabil bisa dengan menggunakan gips, atau untuk femur dapat digunakan traksi pada bebat. Derajat III harus menggunakan fiksasi eksternal contohnya pemasangan pen intramedula (untuk femur dan tibia). b) Tertutup Secara umum prinsip pengobatan fraktur ada 4 (4R), yaitu meliputi: 1. Recognition, diagnosis dan penilaian fraktur Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksan klinis dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: Lokalisasi fraktur Bentuk fraktur Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan

Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan

2. Reduction, reduksi fraktur apabila perlu Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat diterima. Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan posisi anatomis normal. Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi anatomik normalnya. Posisi yang baik adalah : alignment yang sempurna aposisi yang sempurna Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.

Metode reduksi : 1. Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan Manipulasi dan Traksi manual. Sebelum reduksi dan imobilisasi, pasien harus dimintakan persetujuan tindakan, analgetik sesuai ketentuan dan bila diperlukan diberi anestesia. Ektremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ektremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.

2. Traksi. Traksi merupakan salah satu pengobatan konservatif yang bermanfaat dalam mereduksi suatu fraktur atau kelainan-kelainan lain seperti spasme otot. Dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Ini dilakukan pada fraktur yang akan

terdislokasi kembali di dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat. Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh atau dipasang gips setelah tidak sakit lagi. Berdasarkan mekanisme traksi dikenal dua macam traksi yaitu: Traksi menetap (fixation traction) dipergunakan untuk melakukan fiksasi sekaligus traksi dengan mempergunakan Thomas Splint. Traksi berimbang (sliding traction) merupakan suatu traksi secara bertahap untuk memperoleh reduksi tertutup dan sekaligus imobilisasi pada daerah yang dimaksud. Dikenal dua jenis pemasangan traksi, yaitu: 1. Traksi kulit Traksi kulit menggunkan plaster lebar yang direkatkan pada kulit dan diperkuat dengan perban elastis. Berat maksimum yang dapat diberikan adalah 5 kg yang merupakan batas toleransi kulit. Jenis-jenis traksi kulit: Traksi ekstensi dari Buck adalah traksi kulit dimana plaster melekat secara sederhana dengan memakai katrol Traksi dari Dunlop, dipergunakan pada fraktur suprakondiler humeri anak-anak Traksi dari Gallow atau traksi dari Bryant, dipergunakan pada fraktur femur anakanak dibawah 2 tahun Traksi dari Hamilton Russel, digunakan pada anak-anak usia lebih dari 2 tahun

Gambar skematis traksi Buck

Gambar skematis traksi dari Dunlop pada fraktur suprakondiler humeri

Gambar skematis traksi dari Bryant (Gallow)

Gambar skematis traksi dari Hamilton Russes

2. Traksi pada tulang Traksi pada tulang dengan kawat Kirscher (K-wire) dan pin Stainmann yang dimasukkan ke dalam tulang dan juga dilakukan traksi dengan mempergunakan berat badan dengan bantuan bidai Thomas dan bidai Brown Bohler. Tempat untuk memasukkan pin, yaitu: Bagian proksimal tibia dibawh tuberositas tibia Bagian distal tibia Trokanter mayor Bagian distal femur pada kondilus femur Kalkaneus (jarang dilakukan) Prosesus olekranon Bagian dista metacarpal dan tengkorak

Keterangan gambar: a. Traksi dengan berat b. Traksi menetap c. Traksi Dunlop d. Traksi Hamilton Russel e. Traksi berimbang dengan bidai Thomas dan pegangan Pearson 3. Reduksi terbuka Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat-alat yang

dipergunakan dalam pembedahan yaitu kawat bedah, kawat Kirschner, screw, screw and plate, pin Kuntscher intrameduler, pin Rush, pin Stainmann, pin Trephine (Pin

Smith Peterson), plate and screw Smith Peterson, pin plate teleskopik, pin Jewett dan protesis. Alat-alat ini dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.

4. Retention; imobilisasi fraktur Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi penyembuhan. Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat eksternal (bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan alat-alat internal (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang, dll).

Keterangan Gambar: D. Kirschner wire E. Screw F. Plate dan Screw G. Kuntscher nail

A. Interlock nail B. Protesis C. Kompresi dinamik plate and screw

Imobilisasi fragmen fraktur ini dilakukan sampai terjadi penyatuan antara fragmen distal dan fragmen proksimal (union).

Assessment of union (a): Union in a fracture cannot be expected until a certain amount of time has elapsed, and it is pointless to start looking to soon. When it is reasonable to assess union, the limb shoult be examined out of plaster. Persistent oedema at the fracture site suggests union is incomplate

Assessment of union (b): Examine the limb carefully for tenderness. Persisten tenderness localized to the fracture site is again suggestive of incomplete union

Assessment of union (c): Persistent mobility at the fracture site is certain evidence of incomplete union. Support the limb close to the fracture with one hand, and with the other attempt to move the distal part in both the nterior and lateral planes. In a uniting fracture this is not a painful procedure.

Assessment of union (d): Although clinical assessment is osten adequate in many fracture of cancellous bone, it is advisable, in the case of the shafts of femur, tibia, humerus, radius and ulna, to have up-to-date radiographs of the region. The illiustration is of a double fracture of femur at 14 weeks. In the proximal fracture, the fracture line is blurred and there is external bridging callus of good quality; union here is fairly far advanced. In the distal fracture, the fracture line is still clearly visible, and bridging callus is patchy. Union is incomplete, and certainly not sufficient to allow unprotected wight bearing. In assessing radiographs for union, be suspicious of unevenly distributed bridging callus, of a persistent gap, and of sclerosis or broadening of the bone ends. Note that where a particularly rigid system of internal fixation has been employed, bridging callus may be minimal or absent, and endosteal callus may be very slow to appear. If in doubt regardning the adequacy of union, continue with fixation and reexamine in 4 weeks. Note that in all cases you must assess whether the fores the limb is exposed to will result in displacement or angulation of the fracture, or cause such mobility that union will be prevented. You must therefore balance the following equation. External forces < (degree of union + support supplied by any internal fixation device and/or external splintage)

Perkiraan Waktu Imobilisasi yang Dibutuhkan untuk Penyatuan Tulang Fraktur

5. Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin. Sasaran dari rehabilitasi ini adalah meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian yang sakit. Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak, memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan isometrik dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktifitas hidup sehari-hari, dan melakukan aktifitas kembali secara bertahap dapat memperbaiki kemandirian fungsi. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik. Rehabilitasi yang dapat dilakukan adalah dengan fisioterapi berupa latihan. Terapi latihan adalah usaha pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif

Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian yang mengalami operasi dalam keadaan dielevasikan sekitar 30o.

1. Static Contraction Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa gerakan pada sendi. Latihan ini dapat meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang berkontraksi menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong ke proksimal yang dapat mengurangi oedem, dengan oedem berkurang, maka rasa nyeri juga dapat berkurang.

2. Passive Movement Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas. Passive movement ada 2, yaitu : Relaxed Passive Movement Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila pasien sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu, maka gerakan dihentikan Forced Passive Movement Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup gerak sendi. Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive movement, namun di sini pada akhir gerakan diberikan penekanan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri

3. Active Movement Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak tubuh pasien itu sendiri. Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat menimbulkan pumping action yang akan mendorong cairan bengkak mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat digunakan untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi. Active Movement terdiri dari : Free Active Movement Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem berkurang maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara kekuatan otot Assisted Active Movement

Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan licin ataupun tangan terapis sendiri. Latihan ini dapat mengurangi nyeri karena merangsang relaksasi propioseptif. Ressisted Active Movement Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang dilakukan oleh pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot berkontraksi. Tahanan yang diberikan bertahap mulai dari minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat meningkatkan kekuatan otot.

4. Hold Relax Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang mengkontraksikan otot kelompok antagonis secara isometris dan diikuti relaksasi otot tersebut. Kemudian dilakukan penguluran otot antagonis tersebut. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi

5. Latihan Jalan Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar pasien dapat kembali ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer dan ambulasi di sini yang penting untuk pasien adalah latihan jalan. Mula-mula latihan jalan dilakukan dengan menggunakan dua axilla kruk secara bertahap dimulai dari NWB (Non Weight Bearing) atau tidak menumpu berat badan sampai FBW (Full Weight Bearing) atau menumpu berat badan. Metode jalan yang digunakan adalah swing, baik swing to ataupun swing through dan dengan titik tumpu, baik two point gait, three point gait ataupun four point gait. Latihan ini berguna untuk pasien agar dapat mandiri walaupun masih menggunakan alat bantu.

an axillary crutch (left) and a forearm crutch (right)

Quad off set cane

Folding and Seat Canes

Ringkasan Tindakan terhadap Fraktur

Daftar Pustaka
Eser, Ronald McRae Max. Practical Fracture Treatment. Churchill Livingstone (ebook) Rasjad, Chairuddin. Ilmu Bedah dan Ortopedi. Pengobatan Kelainan Bedah Ortopedi. Makassar: Bintang Lamumpatue. 2003. hal 82-89.

Anda mungkin juga menyukai