Anda di halaman 1dari 12

Identifikasi korban bencana massal ( Disaster victim identification/DVI). BAB TINJAUAN PUSTAKA 2.1.

Definisi Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan. 1,2 Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban. Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99% yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. 3 2

Tugas Utama DVI: 1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk melakukan evakuasi korban meninggal dari tempat kejadian 2. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat/rumah sakit tempat rujukan korban meniinggal 3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya yang ada 4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan 5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait 2,3 Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, yang serta

menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk melakukan identifikasi proses tersebut terdapat

menanggulanginya. Dalam metode dan tehnik

bermacam-macam demikian Interpol

yang dapat digunakan. Namun

menentukan Primary

Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri identifikasi ini dari Medical, Property dan Photography. Prinsip dari proses

adalah dengan membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem,

semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers. 4

2.2.Identifikasi korban Pengetahuan identifikasi secara ilmiah diperkenalkan pertama kali oleh dokter

Perancis pada awal abad ke 19 bernama Alfonsus Bertillon tahun 1853-1914 dengan memanfaatkan ciri umum seseorang seperti ukuran anthropometri, warna rambut, mata dan lain-lain. Kenyataan cara ini banyak kendala-kendalanya oleh perubahan yang terjadi secara biologis kesulitan dalam menyimpan data secara sistematis. 4,5,6 Sistem yang berkembang kemudian adalah pendeteksian melalui sidik jari karena perubahan-

pada seseorang dengan bertambahnya usia selain

(Daktiloskopi) yang awalnya diperkenalkan oleh Nehemiah Grew tahun 1614-1712, kemudian ilmiah oleh oleh Mercello Malphigi tahun 1628-1694 dan dikembangkan secara dan Francis Dalton tahun 1892

dokter Henry

Fauld tahun 1880

keduanya berasal dari Inggris. Berdasarkan perhitungan matematis penggunaan sidik jari sebagai sarana identifikasi mempunyai ketepatan yang cukup tinggi karena kemungkina adanya 2 orang yang memiliki sidik jari yang sama adalah 64 x 109: 1,

kendala dari sistem ini adalah diperlukan data dasar sidik jari dari seluruh penduduk untuk pembanding. 4,5,6 Adanya perkembangan ilmu pengetahun, saat ini berbagai disiplin ilmu pengetahuan

dapat dimanfaatkan untuk meng-identifikasi seseorang, namun yang paling berperan adalah berbagai disiplin ilmu kedokteran mengingat yang dikenali adalah manusia. Identifikasi melalui sarana ilmu kedokteran dikenal sebagai Identifikasi Medik.4,5,6 Manfaat identifikasi semula hanya untuk kepentingan dalam bidang kriminal (mengenal korban atau pelaku kejahatan), saat ini telah berkembang untuk kepentingan non kriminal seperti asuransi, penentuan keturunan, dapat

ahli waris dan menelusuri sebab dan akibat kecelakaan, bahkan identifikasi dimanfaatkan untuk pencegahan cedera atau kematian akibat kecelakaan. 4,5,6

Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No. Pol Kep/40/IX/2004 2

Proses Disaster Victim Identification Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man made disaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian dan pengalaman,

sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim dari berbagai institusi. Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masingmasing tim yang bekerja dalam masingmasing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah 2,3

2.3 Metodologi dan fase DVI Pada prinsipnya, disaster victim identification terdiri dari lima fase, yaitu :

2.3.1 Initial Action at the Disaster Site

Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
1.

Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area

bencana.
2. 3. 4.

Perkiraan jumlah korban. Keadaan mayat. Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.

5. 6. 7. 8. 9.

Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI. Metode untuk menangani mayat. Transportasi mayat. Penyimpanan mayat. Kerusakan properti yang terjadi.

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan. 1,2,5 1. To Secure Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah langkah tersebut antara lain adalah :

Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line. Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana. Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana. Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehadiran dan otorisasi. Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencana. 2,3

2. To Collect Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan korban korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban. 2,3

3. Documentation Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban. Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi. 1,2,3

2.3.2 Collecting Post Mortem Data Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap lengkapnya mengenai korban. Prinsipnya adalah pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode dari yang sederhana sampai yang rumit.

a. Metode sederhana 1) Cara visual, dapat bermanfaat bila kondisi mayat masih baik, cara ini mudah karena identitas dikenal melalui penampakan luar baik berupa profil tubuh atau muka. Cara ini tidak dapat diterapkan bila mayat telah busuk, terbakar, mutilasi serta harus mempertimbangkan faktor psikologi keluarga korban (sedang berduka, stress, sedih, dll) 2) Melalui kepemilikan (property) identititas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan tersebut (pakaian, perhiasan, surat jati diri) masih melekat pada tubuh korban. 3) Dokumentasi, foto diri, foto keluarga, foto sekolah, KTP atau SIM dan lain sebagai 3,4

b. Metode ilmiah, Prosedur identifikasi korban terdiri dari 4 utama tahap, yaitu: (1) penandaan dan mengantongi tubuh, (2) sidik jari, (3) patologi forensik, dan (4) kedokteran gigi forensik. Mayat-mayat itu, tentu saja, didinginkan baik sebelum dan setelah prosedur, dan kemudian dibalsemkan setalah itu dipulangkan. 5

Body Tagging and Bagging Pelabelan tubuh masing-masing dengan nomor identifikasi yang unik, diikuti oleh penempatan di dalam kantong kedap air tubuh dilakukan oleh tim DIV. DVI merancang sistem pelabelan yang terdiri urutan angka berikut: telepon kode negara internasional-situs nomor - (5-digit) tubuh nomor (misalnya 65-1-00123) .1,2 Fingerprinting

Sidik jari dari tubuh yang sangat membusuk atau mengalami lebam mayat( post mortem), yang hampir selalu menunjukkan deskuamasi (mengelupas) kulit yang meluas, menimbulkan tantangan yang cukup untuk petugas polisi yang ditugaskan untuk tugas itu. Identifikasi fingerprinting mengunakan "teknik bubuk", yang memerlukan aplikasi hati-hati dan lembut,

dimana prosesnya menabur bedak kering ke ujung jari dengan kuas, disertai permukanan dari

kulit longgar di bagian distal dari jari-jari yang berisi lipatan kulit yang unik, teknik ini bekerja dengan cukup sukses 1,2

Forensic Pathology

Setiap tubuh berlabel dan sidik jarinya diperiksa oleh tim 4-anggota DVI, yang terdiri dari ahli patologi forensik, seorang teknisi anatomis, seorang penulis (biasanya seorang perwira polisi atau penyidik forensik kematian), dan seorang fotografer (biasanya adegan-of-kejahatan atau petugas FMB). Dalam bencana massal hebat, tujuan dari pemeriksaan post-mortem (AM) adalah untuk mendapatkan petunjuk yang mungkin menyebabkan identifikasi positif dari para korban yang meninggal, bukan untuk menetapkan penyebab kematian (yang sebagian besar akan terjadi karena tenggelam atau beberapa luka-luka yang ditimbulkan oleh bencana alam). Sebuah prosedur yang disederhanakan karena itu didirikan untuk mempercepat pemeriksaan apa yang ribuan tubuh yang sangat busuk. Prosedur ini terdiri langkah-langkah berikut:

a) Tubuh dikirm ke kamar mayat oleh bagian sidik jari. b) Penulis menerima dan menandatangani formulir pelacakan. c) Ahli patologi dan juru tulis mengkomfirmasikan nomor tubuh, menggunakan formulir PM merah muda DVI (seperti yang ditentukan oleh Interpol). d) Nomor tubuh difoto. e) Teknisi mengangkat dan mencuci pakaian korban(jika ada) untuk menampilkan masingmasing merek, ukuran, warna dan desain, pakaian itu kemudian difoto dan dicatat. f) Semua efek perhiasan dicuci, difoto dengan tubuh tempat terpasangnya perhiasan ,

dijelaskan dan direkam; mereka kemudian ditempatkan dalam kantong tertutup yang, pada gilirannya, ditempatkan dalam kantong mayat. g) Sebuah pemeriksaan luar tubuh dilakukan antara lain untuk menentukan jenis kelamin, tinggi, usia diperkirakan (kebanyakan mustahil), melihat tato, bekas luka (trauma dan

terapi), fisik kelainan dan karakteristik lainnya dicatat. h) membuat sayatan pada garis tengah untuk memeriksa ada/tidaknya kantong empedu, usus buntu, genitalia interna wanita, dan bukti visum lain. Dalam hal ini,

i)

penulis pertama ditemui kasus laparotomi sebelumnya, laparoskopi kolesistektomi dan histerektomi total halaman dan bilateral salpingo-ooforektomi. Kadang-kadang, degradsi post-mortem yang cepat menjadikan sulit untuk menetapkan adanya tindak kekerasan, meskipun bekas luka apendisektomi akan membantu. Dibuat sayatan lain, di mana diperlukan, misalnya, di mana ada bekas luka sternotomy garis tengah, yang menunjukkan sebelumnya bedah kardiotoraks, atau bekas luka bedah terkait dengan pinggul total atau operasi penggantian lutut.

j) Bukti dari setiap penyakit lain diidentifikasi, dicari dan dicatat. k) pembersihan mandibula untuk memfasilitasi selanjutnya pemeriksaan gigi forensik. Tubuh akhirnya disampaikan ke bagian gigi. 1,2

Forensic Dentistry Ilmu gigi forensik terdiri 2 bagian: pemeriksaan gigi dan radiologi gigi. Tim dari odontologists diawasi oleh seorang odontologist senior ("dokter gigi super"), bekerja di bagian ini. Untuk memudahkan pemeriksaan gigi. Untuk memudahkan pemerikasaan dilakukan insisi bilateral dari leher anterior atas ke bagian belakang telinga. Kulit dan jaringan di bawahnya kemudian terdorong ke atas seluruh wajah untuk mengekspos rahang atas dan rahang bawah. Pada bagian pemeriksaan gigi, 1 dokter gigi (pemeriksa) memeriksa gigi tetap, sementara yang lain (juru tulis) mendokumentasikan hasil. Jumlah tim bisa sampai dengan 4 orang yang bisa bekerja di bagian ini pada waktu itu. Pertama gigi-gigi disikat bersih untuk dokumentasi fotografi. Foto Three Polaroid diambil, yang terdiri dari pandangan frontal gigi anterior, dan pandangan oklusal rahang atas dan bawah. Foto-foto ini diberi label dengan nomor tubuh. Tim penguji-juru tulis gigi kemudian mulai untuk menulis catatan post-mortem gigi. Dokter gigi melakukan pemeriksaan gigi dan melaporkannya dengan berseru sedikit keras untuk setiap jenis gigi, sedangkan juru tulis dokter gigi memetakan mereka dalam bentuk DVI merah muda menggunakan interpol dental charting system. interpol dental charting system dipekerjakan oleh World Dental Federation (FDI) yang memberikan penomoran gigi, yang membagi menjadi 4 kuadran dentitions, nomor 1 sampai 4.

Kuadran kanan atas adalah 1, 2 kiri atas, kiri bawah dan kanan bawah 3, 4. Gigi diberi nomor dari garis tengah ke posterior, misalnya, gigi seri tengah adalah # 1, # 3 dan taring molar ketiga # 8. Gigi dilambangkan dengan kode 2-digit (kuadran dan gigi). Rincian sistem post-mortem charting Interpol dirangkum dalam Lampiran. 2,3,5 Selama pemeriksaan gigi, gigi-gigi tersebut akan dicocokan dan dikembalikan atau disambung dengan saluran akarnya untuk diidentifikasi untuk penyelidikan lebih lanjut mengunakan radiografi. Gigi yang tak disambung ke akarnya kemudian dipilih untuk ekstraksi. Gigi-gigi ini akan menyediakan sumber DNA genom untuk profil DNA. Gigi yang dipilih untuk di ekstraksi adalah gigi geraham, karena pulp mereka lebih besar, gigi utuh lainnya juga bisa dipilih. Jika gigi seperti itu tidak tersedia, seperti pada orang tua atau bayi, segmen poros tulang femur akan digunakan walaupun ada gangguan patologis ataupun ada gangguan nonpotologis. Pada bagian radiologi gigi, odontologists juga bekerja berpasangan. Satu dokter gigi akan melakukan prosedur x-ray gigi tetap, sementara yang lain, setiap film berlabel terkena dengan jumlah tubuh sebelum mengirimkan mereka untuk diproses. Dua sayap gigitan radiografi, 1 untuk setiap sisi rahang, dan radiografi tambahan lainnya diambil. Setelah film telah selesai diproses, mereka diperiksa untuk kualitas. Setiap informasi lebih lanjut mengungkapkan dengan radiografi akan direkam dalam bentuk DVI merah muda. Jika perlu, radiografi diulang. Setelah radiograf dianggap memuaskan, gigi yang diidentifikasi sebelumnya untuk profil DNA akan diekstraksi, ditempatkan dalam wadah plastik steril, dan dikirim ke area pengumpulan DNA. Para, dokter gigi, akan melaksanakan pemeriksaan final dari dokumen dan radiografi, sebelum mengembalikan tubuh kedalam wadah pendingin. Meskipun ilmu gigi forensik adalah proses melelahkan dan memakan waktu, itu menghasilkan informasi yang mengarah pada identifikasi yang relatif cepat dari sejumlah korban di tahap awal proses DVI. 3,5 Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut : Primer : Sidik Jari, Profil Gigi, DNA. Secondary : Visual, Fotografi, Properti Jenazah, Medik-Antropologi (Tinggi Badan, Ras, dll).

Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.

2.3.3 Collecting Ante Mortem Data Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan korban. 2,3

2.3.4 Reconciliation

Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah. 2,3

2.3.5 Returning to the Family

Korban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan

mediko-legal serta administrative untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah. Perawatan jenazah setelah teridentifikasi dilaksanakan oleh unsur Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas Pemakaman yang dibantu oleh keluarga korban. Adalah sangat penting untuk tetap memperhatikan file record dan segala informasi yang telah dibuat untuk dikelompokkan dan disimpan dengan baik. Dokumentasi berkas yang baik juga berkepentingan agar pihak lain (Interpol misalnya) dapat melihat, mereview kasusnya, sehingga menunjukkan bahwa proses identifikasi ini dikerjakan dengan baik dan penuh perhatian.

Indikator kesuksesan suatu proses disaster victim investigation bukan didasarkan pada cepat atau tidaknya proses tersebut berlangsung tapi lebih didasarkan pada akurasi atau ketepatan identifikasi. Pada prosesnya di Indonesia, disaster victim investigation terkadang menemui hambatan hambatan. Hambatan yang terjadi terutama disebabkan oleh buruknya sistem pencatatan yang ada di negeri ini sehingga untuk mengumpulkan data ante mortem yang dibutuhkan, misalnya data sidik jari dari SIM (Surat Izin Mengemudi), rekam medis pemeriksaan gigi dan lain sebagainya, tim ante-mortem sering menemui kendala. 3,5 Seperti yang kita tahu, tidak semua penduduk Indonesia memiliki SIM dan tidak semua penduduk Indonesia yang memiliki SIM memiliki catatan sidik jari yang asli miliknya sendiri, karena tidak jarang pengambilan SIM di Indonesia dilakukan oleh orang lain yang bukan merupakan pemilik SIM, misalnya oleh calo atau suruhan si pembuat SIM. Ditambah lagi tidak semua penduduk Indonesia pernah melakukan pemeriksaan gigi yang tercatat, sehingga pengumpulan data profil gigi memang masih sulit untuk dilakukan. Pemeriksaan DNA pada pengumpulan data post-mortem juga tergolong pemeriksaan yang mahal sehingga terkadang polisi sebagai organisasi yang memimpin komando untuk DVI tidak memiliki biaya yang memadai untuk membayar pemeriksaan. 3 Hal ini sangat mengecewakan karena biaya untuk identifikasi korban seharusnya menjadi tanggungan pemerintah yang dibayarkan pada institusi terkait yang melakukan pemeriksaan, namun terkadang birokrasi yang dibutuhkan untuk mencairkan dana tersebut sangat sulit sehingga polisi harus mendanai sendiri permintaan identifikasinya. Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat terutama keluarga korban yang tentunya sangat ingin tahu mengenai benar tidaknya suatu jenazah merupakan keluarganya. Pemerintah seharusnya lebih tanggap

mengenai hal hal yang dibutuhkan untuk menjamin kelancaran proses DVI, terutama karena Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana alam, sehingga tentunya proses DVI yang baik akan sangat diperlukan di Indonesia. 2,3

DAFTAR PUSTAKA

1. INTERPOL. 2009. Disaster Victim Identification Guide. chapter 3 pp 11-14. London: INTERPOL. 2. Kementrian kesehatan RI. 2010. Disaster Victim Identification (DVI). Available from: http://buk.depkes.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67:disastervictim- identification-dvi- . Accessed on 10 Pebruari 2014 3. G. Lau, W.F. Tan, P.H. Tan, 2005, After the India Ocean Tsunami: Singapores Contribution to the international Disaster Victim Identification Effort in Thailand: Ann Acad Med Singapore;34:341-51. 4. Singh, Surgit. 2008. Available from http://respository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18620/1/mkn-des2008-41%20(11).pdf 5. Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M. Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 2004. h.123 6. Edyy S, DVI in Indonesia an Overview. DVI Workshop, Bandung : 2006

Anda mungkin juga menyukai