Anda di halaman 1dari 14

Nama NIM

: Mesyia Sari : J111 11 126

Kelompok : IV

MODUL I PERUBAHAN RONGGA MULUT LANSIA A. Lansia Usia lanjut adalah tahap akhir dalam siklus hidup manusia yang pasti dialami oleh setiap individu. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 1998 pasal 1 ayat 2 tentang kesejahteraan lanjut usia, lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia enam puluh tahun keatas.
Departemen Sosial Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Sosial Lanjut Usia; 2006.

Usia yang dijadikan patokan untuk usia lanjut berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah sebagai berikut: 1. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), ada empat tahapan yaitu : a. Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun. b. Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun. c. Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun d. Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun. 2. Menurut Hurlock (1979) : a. Early old age (usia 60-70 tahun) b. Advenced old age (usia > 70 tahun ) 3. Menurut Burnsie (1979) : a. Young old (usia 60-69 tahun) b. Middle age old (usia 70-79 tahun) c. Old-old (usia 80-89 tahun) d. Very old-old (usia >90 tahun)

4. Menurut Bee (1996) : a. Masa dewasa muda (usia 18-25 tahun) b. Masa dewasa awal (usia 25-40 tahun) c. Masa dewasa tengah (usia 40-65 tahun) d. Masa dewasa lanjut (usia 65-75 tahun) e. Masa dewasa sangat lanjut (usia > 75 tahun) 5. Menurut Prof. Dr. Koesoemanto Setyonegoro : a. b. c. Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20-25 tahun. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturasi usia 25-60/65 tahun. Lanjut usia (geriatric age) usia > 65/70 tahun, terbagi atas: Young old (usia 70-75 tahun) Old (usia 75-90 tahun) Very old (usia >80 tahun) 6. Menurut sumber lain : a. Elderly (usia 60-65 tahun) b. Junior old age (usia > 65-75 tahun) c. Formal old age (usia > 75-90 tahun) d. Longevity old age (usia > 90-120 tahun)
Padila. Buku keperawatan gerontik. Yogyakarta. Nuha Medika. 2013. Hal. 4-6.

B. Teori Penuaan Menurut Constantinides (1994), menua (= menjadi tua= aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untu memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan aan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dans truktural yang disebut sebagai penyakit degenaratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes mellitus, dan kanker) yang akan menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan episode terminal yang dramatik seperti stroke, infark miokard, koma asidotik, metastasis kanker, dsb.)
Tim Penulis Fakultas Kedoteran UI. Geriatri ed. ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 3

Teori-Teori Penuaan: Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan , yaitu teori biologi, teori psikologis, teori sosial dan teori spritual. 1. Teori Biologi a. Teori genetik dan mutasi Menurut teori genetik dan mutasi, menua terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi, sebagai contoh yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsi sel). Terjadi pengumpulan pigmen atau lemak dalam tubuh yang disebut teori akumulasi dari produk sisa, sebagai contoh adalah adanya pigmen lipofusin di sel otot jantung dan sel susunan syaraf pusat pada lansia yang mengakibatkan terganggunya fungsi sel itu sendiri. Pada teori biologi dikenal istilah pemakaian dan perusakan (wear and tear) yang terjadi karena kelebihan usaha dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh menjadi lelah (pemakaian). Pada teori ini juga didapatkan terjadinya peningkatan jumlah kolagen dalam tubuh lansia, tidak ada perlindungan terhadap radiasi, penyakit dan kekurangan gizi. b. Immunology slow theory Menurut teori ini, sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus kedalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh. c. Teori stress Teori ini mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jarigan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh lebih terpakai. d. Teori radikal bebas Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi

e. Teori rantai silang Pada teori ini diungkapka bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua atau usang menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini

menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan, dan hilangnya fungsi sel. 2. Teori psikologis Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang dnegan status sosialnya. Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada suai lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi. 3. Teori sosial Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori interaksi sosial (social exchange theory), teori penarikan diri (disengagement theory), teori aktivitas (activity theory), teori kesinambungan (continuty theory), teori

perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification theory) a. Teori interaksi sosial Teori ini mencoba menjelskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Mauss (1954), Homans (1961), dan Blau (1964) mengemukakan bahwa interaksi sosial terjadi berdasarkan atas hukum pertukaran barang dan jasa. Sedangkan pakar lain, Simons (1945), mengemukakan bahwa kemampuan lansia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status sosialnya atas dasar kemampuannya untuk melakukan tukar-menukar. Pokok-pokok teori interaksi sosial adalah sebagai berikut: Masyarakat terdiri atas aktor-aktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya masing-masing Dalam upaya tersebut terjadi interaksi sosial yang meemrlukan biaya dan waktu

Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang aktor harus mengeluarkan biaya

Aktor senantiasa berusaha mencari keuntungan dan menegah terjadinya kerugian

Hanya interaksi yang ekonomis saja yang dipertahankan olehnya.

b. Teori penarikan diri Teori ini merupakan teori sosial tentang penuaan yang paling awal dan pertama kali diperkenalkan oleh Gumming dan Henry (1961). Kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia secar perlahan menarik diri dari pergualan di sekitarnya. Proses penuaan

mengakibatkan interaksi sosial lania mulai menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pokok-pokok teori menarik diri adalah sebagai berikut: Pada pria, kehilangan peran hidup terutama terjadi pada asa pensiun. Sedangkan wanita terjadi pada masa ketika peran dalam keluarga berkurang, misalnya saat anak menginjak dewasa serta meninggalkan rumah untuk belajar dan menikah Lansia pada masyarakat mampu mengambil manfaat dari hal ini, karena lansia dapat meraskan bahwa tekanan sosial berkurang, sedangkan kaum muda memperoleh kerja yang lebih luas Tiga aspek utama dalam teori ini adalah proses menarik diri yang terjadi sepanjang hidup. Proses ini tidak dapat dihindari serta hal ini harus diterima oleh lansia dan masyarakat. c. Teori aktivitas. Teori aktivitas dikembangkan oleh palmore (1965) dan lemon et al. (1972) yang mengatakan bahwa penuaan yang sukses bergantug dari bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan kegiatan aktivitas serta

mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan. Dari saru sisi aktivitas lansia dapat menurun, akan tetapi dilain sisi dapat dikembangkan, misalnya, peran baru alnsia sebagai relawan, kakek atau nenek, ketua RT, seorang duda atau janda, serta karena ditinggal wafat pasanga hidupnya.

Pokok-pokok teori aktivitas antara lain : - Moral dan kepuasan yang berkaitan dengan interaksi sosial dan keterlibatan sepenuhnya dari lansia di masyarakat. - Kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lansia. - Penerapan teori aktivitas ini sangat positif dalam penyusunan kebijakan terhadap lansia, karena memungkinkan para lansia unuk berinteraksi

sepenuhya di masyarakat. d. Teori kesinambungan. Teori ini dianut oleh banyak pakar sosial. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi lansia. Pada teori kesinambungan merupakan pergerakan dan proses banyak arah, bergantung dari bagaimana penerimaan seseorang terhadap status kehidupannya. Pokok-pokok teori kesinambungan antara lain : Lansia tidak disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif dalam proses penuaan, tetapi berdasarkan pada pengalamannya di masa lalu, lansia harus memilih peran apa yang harus diperhatikan atau dihilangkan Peran lansia yang hilang tak perlu diganti Lansia berkesempatan untuk memilih berbagai macam cara untuk beradaptasi.

e. Teori perkembangan Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh lansia pada saat muda hingga dewasa, dengan demikian perlu dipahai teori Freud,Buhler, Jung, dan Erickson. Sigmund Freud meneliti tentang psikoanalisis serta perubahan psikososial anak dan balita. Erickson (1930), membagi kehidupan menjadi delapan fase : - Lansia yang menerima apa adannya. - Lansia yang takut mati. - Lansia yang merasakan hidup penuh arti. - Lansia yang menyesali diri. - Lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetiaan. - Lansia yang kehidupannya berhasil. - Lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri.

- Lansia yang perlu menentukan integritas diri melawan keputusasaan. Havighurst dan Duvali menguraikan tujuh jenis tugas perkembangan

(developmental tasks) selama hidup yang harus dilaksanakan oleh lansia, antara lain : - Penyesuaian terhadap penurunan kemampuan fisik dan psikis. - Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan - Menemukan makna kehidupan. - Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan - Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga. - Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia. - Menerima dirinya sebagai seorang lansia. Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif atau negatif. Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut. Pokok-pokok dalam teori perkembangan adalah sebagai berikut : - Masa tua merupakan saat lansia merumuskan seluruh masa kehidupannya. - Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan sosial yang baru, yaitu pensiun dan/atau menduda/menjanda. - Lansia yang harus menyesuaikan diri sebagai akibat perannya yang berakhir di dalam keluarga, kehilangan identitas dan hubungan sosialnya akibat pensiun, serta ditinggal mati oleh pasangan hidup dan teman-temannya. f. Teori sratifiksi usia Wiley (1971) menyusun stratifikasi usia berdasarkan usia kronologis yang menggambarkan serta membentuk adanya perbedaan kapasitas, peran, kewajiban, dan hak mereka berdasarkan usia. Dua elemen penting dari model stratifikasi usia tersebut adalah struktur dan prosesnya. Struktur mencakup hal-hal sebagai berikut: bagaimanakah peran dan harapan menurut penggolongn usia; bagaimanakah penilaian strata oleh strata itu sendiri dan strata lainnya; bagaimanakah terjadinya penyebaran peran dan

kekuasaan yang tak merata pada masing-masing strata, yang didasarkan pada pengalaman dan kebijakan lansia. Proses mencakup hal-hal sebagai berikut: bagaimanakah menyesuaikan kedudukan seseorang dengan peran yang ada; bagaimanakah cara mengatur transisi peran secara berurutan dan terus-menerus. Pokok-pokok dari teori stratifikasi usia adalah sebagai berikut. Arti usia dan posisi kelompok usia bagi masyarakat. Terdapatnya transisi yang dialami oleh kelompok. Terdapatnya mekanisme pengalokasian peran di antara penduduk Keunggulan teori stratifikasi usia adalah bahwa pendekatan dilakukan

bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro. Seetiap kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya. Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia secara perorangan, menginggat bahwa stratifikasi sangat kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik. 4. Teori spiritual Komponen spritiual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesa dan persepsi individu tentang arti kehidupan. James fowler mengungkapkan tujuh tahap perkembanngan kepercayaan (Wong, et .al, 1999). Fowler juga meyakini bahwa kepercayaan/demensia spritiual adalah suatu kekuatan yang memberi arti bagi kehidupan seseorang. Fowler menggunakan istilah kepercayaan sebagai suatu bentuk pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir. Menurutnya, kepercayaan adalah suatu fenomena timbal balik, yaitu suatu hubu ggan aktif antara seseorang dengan orang lain dalam menanamkan suatu keyakinan, cinta kasih, dan harapan. Fowler meyaki bahwa kepercayaan antara oran dan lingkunan terjadi karena adanya kombinasi antara nilai-nilai dan pengetahuan. Fowler jiga berpendapat bahwa perkembangan spiritual pada lansia berada pada tahap penjelmaan dari prinsip cinta dan keadilan.

Maryam RS, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Batubara I. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta. Salemba Medika.2012. hal.46- 55

C. Kelainan Gigi dan Mulut pada Lansia Perubahan yang terjadi pada jaringan rongga mulut lansia adalah penurunan mekanisme adaptasi dan potensi regenerasi jaringan. Rahang, jaringan penyangga gigi, mukosa rongga mulut, lidah, kalenjar saliva, dan bahkan jaringan gigi mengalami perubahan. Reaksi terhadap stress dan proses penyembuhan berubah pada lansia, jaringan lunak mukosa mulut kehilangan toleransi terhadap iritasi, kemampuan adaptasi terutama kemampuan perbaikan. Mukosa kehilangan elsatisitas menjadi lebih rapuh dan mudah terluka, hal ini perlu dipertimbangkan didalam rencana perawata gigi pada lansia. Perubahan pada jaringan yang terjadi meliputi: 1. Perubahan pada gigi dan jaringan penyangga Pada usia lanjut gigi permanen menjadi kering, lebih rapuh, dan brwarna lebih gelap. Permukaan oklusal gigi menjadi datar akibat pergeseran gigi selama proses mastikasi. Kemungkinan menurunnya prevalensi karies pada mahkota gigi usia lanjut karena daerah rentan karies telah dilakukan restorasi dan sebagian gigi telah tanggal (Shafer, 1983). Terjadi atropi pada gingiva dan processus alveolaris menyebabkan akar gigi terbuka sering menimbulkan rasa sakit akibat rangsangan termal di rongga mulut. tulang mengalami osteoporosis diduga akibat gangguan hormonal dan nutrisi. Pada tulang alveolar terjadi resorbsi matriks tulang yang dipercepat oleh tanggalnya gigi, penyakit periodontal dan gigi tiruan yang tidak baik. Terdapat resorbsi alveolar crest terutama pada rahang yang tidak bergigi atau setelah pencabutan gigi. Kemunduran jaringan penyangga gigi ini dapat menyebabkan gigi goyang dan tanggal. 2. Perubahan pada intermaxillary space Perubahan bentuk dentofasial adalah hal biasa pada lansia. Dagu menjadi maju kedepan, keriput meluas dari sudut bibir dan sudut mandibula. Hal ini dapat dicegah dengan restorasi gigi yang baik, penggantian gigi yang hilang dan kontrol gigi tiruan secara periodik. Hilangnya intermaxillary space yang disebabkan karena penggunaan gigi geligi yang berlebihan,dan kegagalan didalam melakukan restorasi

jaringan gigi yang hilang dapat menyebabkan sindroma rasa sakit pada TMJ, nuralgia pada lidah dan kepala. 3. Perubahan pada efisiensi alat kunyah Dengan hilangnya gigi geligi akan mengganggu hubungan oklusi gigi atas dan bawah dan akan mengakibatkan daya kunyah menurun yang semula maksimal dapat mencapai 300 punds per square inch enjadi 50 pounds per square inch. Pada lansia saluran pencernaan tidak dapat mengimbangi ketidaksempurnaan fungsi kunyah sehingga akan mempengaruhi kesehatan umum. Defesiensi ini dapat dikompensasi dengan pengunyahan yang lama atau cara penyajian maknaan disesuaikan dengan kemampuan kunyah. Penggunaan gigi tiruan dibandingkan dengan gigi asli sangat beda, membutuhkan waktu kunyah lebih lama. 4. Perubahan pada mukosa mulut dan lidah Terjadi atropi pada bibir, mukosa mulut, dan lidah. Mukosa nampak tipis dan mengkilat seperti malam (wax)dan hilangnya lapisan yang menutupi dari sel berkeratin, menyebabkan rentan iritasi kimia, mekanik, dan bakteri. Mukosa mulut pada lansia lemah dan mudah terluka oleh makanan kasar atau gigi ituran yang longgar. Epitel mudah terkelupas dan jaringan ikat dibawahnya sembuh lambat. Atropi dari jaringan ikat menyebabkan elastisitas menurun sehingga menyulitkan pembuatan gigi tiruan yang baik. Saliva memegang peranan penting dalam menjaga kesehatan rongga mulut dan kapasitas saliva berubah pada lansia. Aliran saliva menurun menyebabkan mukosa mulut kering dan hal ini mengakibatkan sensasi terbakar dan mengurangi retensi gigi tiruan. Hal ini lebih disebabkan oleh karena efek penyakit kronik dan terapi obat-obatan pada daripada proses penuaan itu sendiri. (MacEntee, 2004). Terjadi atropi papila lidah dan bahian dorsal lidah serta kehilangan tonus otot lidah. Dimensi lidah biasanya membesar akibat kehilangan sebagian besar gigi, lidah bersentuhan dengan pipi waktu mengunyah, menelan , dan berbicara. (Haryanto, 1986)
Tim Penulis Fakultas Kedoteran UI. Geriatri ed. ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 695-7

D. Etiologi Penyakit Pada Pasien Lansia Sebab penyakit pada orang lanjut usia ini pada umumnya lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini umpamanya disebabkan karena menurunnya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menjadi tua. Sel-sel parenkim bnayak diganti dengan sel-sel penyagga (jaringan fibrotik), produksi hormon yang menurun, produksi enzim menurun dan sebagainya. Dalam rangka ini juga produksi zat-zat untuk daya tahan tubuh seorang tua akan mundur. Maka dari itu faktor penyebab infeksi (eksogen) akan lebih mudah hinggap. Di negara-negara maju karena fato rinfeksi ini secara keseluruhan telah jarang ditemui , penyakit infeksi pada penderita lanjut usia pun jarang sekali dijumpai. Di negara-negara sedang berkembang justru masih banyak penyakit infeksi pada golongan anak-anak dan lanjut usia. Selain daripada itu etiologi pennyakit pada lanjut usia ini seringkali tersembunyi (occult), sehingga perlu dicari secara sadar dan aktif. Seringkali untuk menegakkan diagnosis kita memerlukan observasi penderita agak alama sambil mengamati dengan cermat tanda-tanda dan gejala-gejala penyakitnya, yang juga memang seringkali tidak nyata. Dalam hali ini alloanamnesis dari pihak keluarga perlu digali secara sadar. Seringkali sebab penyakit tadi juga bersifat ganda (multiple) dan kumulatif, terlepas satu sama lain ataupun saling mempengaruhi timbunya.
Tim Penulis Fakultas Kedoteran UI. Geriatri ed. ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 47-8

E. Hubungan Infeksi Rongga Mulut dengan Penyakit Sistemik pada Lansia Upaya pencegahan dan perawatan penyakit rongga mulut 50 tahun terakhir ini memberikan peningkatan jumlah gigi asli yang ada pada rongga mulut dan lama bertahannya. Namun banyak gigi yang sudah dilakukan penambalan rawan pecah dan merupakan faktor risiko terjadinya penyait periodontal (periodontitis), yaitu suatu penyakit infeksi kronis biasanya tanpa keluhan yang dapat menjadi sumber infeksi dan inflamasi ynag menambah beban penyakit dan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Sisa fragmen akar gigi yang asih tertinggal atau sisa daerah infeksi yang ada, merupakan sumber infeksi yang tersembunyi pada lansia yang terlewatkan pada peeriksaan,

sehingga perlu dilakukan pemeriksaan radiologis walaupun lansia tanpa gigi (edentolous). (Burket, 1971)

Konsep infeksi fokal yang didefinisikan sebagai penyebaran bakteri atau hasil produknya dapat menyebabkan sejumlah peyakit sistemik mulai dibicarakan lagi. Sesuai data yang disampaikan dari hasil penelitian di Finlandia tahun 1980, infeksi gigi ditemukan secara statistik berhubungan dengan penyakit jantung dan stroke (Meurman, 2006). Penelitian-penelitian lain menunjukkan adanya hubungan antara infeksi periodontal dengan penyakit-penyakit kronis seperti atherosklerosis, pneumonia, rheumatoid arthritis, osteoporosis bahkan dapat menyebabkan kematian pada lansia. Penyakit periodontal kronik merupakan infeksi kronik yang menonnjol diantara penyakit infeksi pada manusia. (Rautema dkk., 2007)
Tim Penulis Fakultas Kedoteran UI. Geriatri ed. ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 704

F. Pelayanan Kesehatan untuk Pasien Lansia Mengingat sifat penyakit dan perubahan fungsi organ karena proses menua pada usia lanjut yang sangat khusus tersebut, maka dalam ilmu geriatri terdapat beberapa tatacara yang merupakan keharusan untuk dilakukan agar upaya kesehatan bagi usia lanjut tersebut dapat dilaksanakan secara optimal. Tatacara tersebut adalah yang disebut sebagai asesmen geriatri yang bekerja secara tim. Asesmen geriatri adalah suatu proses diagnostik multidisiplin (banyak disiplin ilmu kesehatan) yang biasanya dilaksanakan secara interdisipliner (dengan satu tujuan) oleh seorang dokter/geriatris dan atau suatu tim interdisiplin geriatrik untuk menentukan masalah dan kapabilitas medis, psikososial dan fungsional guna merencanakan terapi menyeluruh serta pemantauan kesehatan yang berkesinambungan bagi seorang penderita usia lanjut Prinsip pelayanan kesehatan usia lanjut yang menyeluruh yang diinginkan untuk dilaksanakan di Indonesia dapat dibagi atas 3 bentuk, yaitu : 1. Pelayanan kesehatan usia lanjut berbasis rumah sakit (hospital based geriatric services), karena pada dasarnya RS merupakan pusat/tempat rujukan dari pelayanan kesehatan dasar usia lanjut. Oleh karenanya pelayanan di rumah sakit ini seyogyanya menyelenggarakan/ menyediakan semua jenis upaya pelayanan kesehatan, mulai dari promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, dengan sarana dan sumberdaya manusia yang lengkap. Tentu saja tergantung dari kelas rumah sakit, berbagai pelayanan tersebut bisa dilaksanakan tergantung dari kemampuan serta dana yang tersedia.

2. Pelayanan kesehatan usia lanjut oleh masyarakat berbasis rumah sakit (hospital based community geriatric services), di mana pusat-pusat pelayanan kesehatan usia lanjut di RS bertindak sebagai konsultan terhadap pelayanan usia lanjut di masyarakat, dan dengan penuh tanggung jawab mengikuti keadaan usia lanjut yang sebelumnya dirawat atau mendapat pelayanan di RS tersebut. Termasuk dalam upaya kesehatan usia lanjut ini adalah pelayanan di luar rumah sakit, berupa pembinaan oleh institusi yang lebih tinggi terhadap institusi yang lebih rendah di wilayah kerjanya dalam kegiatan rujukan timbal balik 3. Pelayanan kesehatan usia lanjut berbasis masyarakat (community based geriatric services), yaitu pelayanan dari masyarakat untuk masyarakat, sehingga masyarakat sendiri diikutsertakan dalam pelayanan kesehatan usia lanjut, tentu saja setelah diberi tambahan pengetahuan secukupnya. Ketiga sistem pelayanan kesehatan usia lanjut tersebut di atas haruslah berkesinambungan serta saling mendukung, sehingga pada akhirnya setiap orang usia lanjut dapat memperoleh pelayanan sesuai dengan jenis dan derajat penyakit yang dideritanya.
Pranarka K. 2006. Penerapan geriatrik kedokteran menuju usia lanjut yang sehat. J Universa Medicina. Semarang; 25(4): p. 193

G. Pencegahan Penyakit pada Lansia Strategi pencegahan berdasarkan upaya prevensi primer, sekunder, dan tersier yang diterapkan secara individual pada usia lanjut merupakan hl yang sangat penting. 1. Pencegahan Primer Upaya ini merupakan pencegahan yang sesungguhnya, karena merupakan pencegahan agar penyakit tidak terjadi. Secara umum upaya pencegahan primer ini tidak banyak berbeda dengan upaya yang dilakukan sebelum memasuki usia lanjut. Perbedaan hanya terletak pada jenis dan intensitas pelaksanaannya. Dalam kategori ini termasuk tindakan-tindakan sebagai berikut: a. Menghentikan merokok b. Latihan/olahraga teratur c. Imunisasi/suntikan pencegahan infeksi d. Penapisan dan pengobatan faktor risiko penyakit

2. Pencegahan sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya deteksi dini penyakit sehingga memberi kesempatan untuk kesembuhan yang lebih besar dari progresivitas lebih lanjut. Upaya ini tentunya memerlukan keterampilan diagnosis yang memadai bagi penderita lansia yang gejala dan perjalanan penyakitnya tidak serupa dnegan populasi golongan umur lain, oleh karena itu semua dokter, baik dokter umum maupun spesialis harus mengenali tata cara diagnosis yang disebut assesment geriatric, bagi penyakit-penyakit usia lanjut. 3. Pencegahan tersier Denga pencegahan tersier dimaksudkan upaya deteksi penyakit dan atau disabilitas yang sudah terjadi pada penderita yang belum/tidak mendapatkan pengobatan atau dukungan yang memadai. Upaya tersebut diharapkan mengurangi resiko atau percepatan memburuknya penyakit, kekambuhan atau kompliasi dari penyakit tersebut (Williamson, 1985).
Tim Penulis Fakultas Kedoteran UI. Geriatri ed. ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010. p. 96-9

Anda mungkin juga menyukai