Rongga mulut adalah bagian yang sangat mudah terpapar efek rokok, karena
merupakan tempat terjadinya penyerapan zat hasil pembakaran rokok yang utama.
Komponen toksik dalam rokok dapat mengiritasi jaringan lunak rongga mulut, dan
menyebabkan terjadinya infeksi mukosa, dry socket, memperlambat penyembuhan luka,
memperlemah kemampuan fagositosis, menekan proliferasi osteoblast, serta dapat
mengurangi asupan aliran darah ke gingiva.
Pada perokok yang mengalami perlukaan pada gusi akibat peradangan(Gusi mudah
berdarah) akan lebih lambat proses penyembuhannya.Bahan kimia dan gas-gas yang ada
dalam asap rokok termasuk ammonia, arsenic, hydrogen sianida, timah, nikotin, pestisida,
radioaktif polonium, dan lain-lain; mengiritasi gusi atau infeksi jaringan lunak mulut dan
menghambat penyembuhan luka.
Bukti yang nyata juga dapat dilihat dari hasil pengobatan pada perokok.
Kemungkinan mencapai hasil pengobatan yang sukses, misalnya dalam mereduksi > 50%
prevalensi deep pocket; pada pasien perokok angka keberhasilannya hanya 50% sedangkan
pada pasien bukan perokok 85%. Sejalan dengan ini banyak peneliti lain juga melaporkan
bahwa pasien refractory periodontitis lebih banyak dijumpai pada perokok yaitu sekitar
86%-90%. Setelah suatu kemajuan awal diperoleh pada terapi periodontal, pada perokok
menunjukkan rekurensi periodonitis pada tingkat bermakna, misalnya: tampak dengan
adanya pendalaman pocket periodontal, hilangnya gingival attachment, dan perkembangan
penyakit lebih buruk ke arah horisontal yaitu pada tempat-tempat furkasi akar.
Pada follow-up selama 7 tahun, kondisi jaringan periodontal pasien-pasien bukan
perokok tetap stabil dibanding pasien perokok. Yang menarik adalah efek negatif yang
bersifat dose dependent artinya jumlah rokok yang dikonsumsi berpengaruh besar pada
hilangnya/tanggalnya gigi-geligi. Hal ini dapat dilihat pada perokok berat (>20 batang
rokok/hari) yang telah merokok lebih dari 10 tahun, ternyata pada masa program terapi
periodontal tampak prevalensi tooth loss dan jumlah gigi yang hilang lebih tinggi. Selain
itu, prognosis gigi secara individual setelah dilakukan terapi periodontal juga sangat
dipengaruhi oleh status perokok dan bukan perokok; ternyata setelah lebih 5 tahun terapi
periodontal, suatu gigi pada perokok menunjukkan prognosisnya bertambah buruk sebesar
2 kali dibanding bukan perokok.
Demikian pula keberhasilan dalam terapi bedah osseointegrated implant mengalami
penurunan secara bermakna pada mereka yang merokok. (28) Dari data-data tersebut di
atas dapat diambil kesimpulan bahwa kemajuan klinis dari terapi perodontal pada mereka
yang merokok menjadi tidak optimal dan manfaatnya yang diperoleh juga hanya untuk
waktu yang pendek.