Anda di halaman 1dari 17

1

LAPORAN TETAP
PRAKTIKUM TEKNOLOGI BIOPROSES
IDENTITAS PRAKTIKAN
Nama : Septyana Asih Prastiwi
Nim : 03111003041
Kelompok : VI (enam) / Selasa Siang
I. JUDUL PERCOBAAN : Pembuatan Chitosan
II. TUJUAN PERCOBAAN
1. Membuat chitosan dari kulit udang sebagai bahan pengawet
2. Memanfaatkan limbah kulit udang agar menjadi bahan yang bernilai ekonomis
3. Mengetahui proses pembuatan chitosan dari limbah kulit udang
III. DASAR TEORI
3.1. Udang
Udang merupakan komoditi ekspor yang menarik minat banyak pihak untuk
mengolahnya. Adapun hal yang mendorong pembudidayaan udang antara lain
harga yang cukup tinggi dan peluang pasar yang cukup baik, terutama diluar negeri.
Udang di Indonesia diekspor dalam bentuk bekuan dan telah mengalami proses
pemisahan kepala dan kulit. Proses pemisahan ini akan menimbulkan dampak yang
tidak diinginkan yaitu berupa limbah padat yang lama-kelamaan jumlahnya akan
semakin besar sehingga akan mengakibatkan pencemaran lingkungan berupa bau
yang tidak sedap dan merusak estetika lingkungan. Pada perkembangan lebih lanjut
kulit dan kepala udang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kitin dan kitosan
(chitosan).
Dalam industri pembekuan udang ada dua jenis limbah. Pertama adalah
limbah padat yang berupa kepala udang. Limbah cair jika didiamkan akan
menimbulkan bau tidak sedap dan akan mencemari sungai atau areal persawahan
yang ada di dekatnya. Begitu juga limbah padat yang sarat akan bakteri jika
didiamkan merupakan smber kontaminan yang mengganggu lingkungan. Limbah
yang berbentuk cair sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi sehingga penanganan yang
terbaik adalah menggunakan waste water treatment. Lain halnya dengan limbah
padat. Limbah ini masih bisa dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai


2

nilai ekonomis tinggi, misalnya kitin, tepung ikan untuk pakan ternak, dan perasa
udang. Limbah udang merupakan sumber yang ka
ya akan kitin, yaitu kurang lebih 30% dari berat kering (Purwaningsih,1995).
Limbah padat crustacea (kulit, kepala, kaki) merupakan salah satu masalah yang
harus dihadapi oleh pabrik pengolahan krustacea. Selama ini limbah tersebut
dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau pupuk denagn nilai yang
rendah. Mengolahnya menjadi kitin atau chitosan akan memberikan nilai tambah
yang cukup tinggi.
Sebagian besar rajungan diekspor dalam bentuk rajungan beku tanpa kepala
dan kulit. Produksi rajungan yang diekspor pada tahun 1993 sebanyak 422,724 ton
dalam bentuk tanpa kepala dan kulit, sedangkan yang dikonsumsi dalam negeri
diperkirakan lebih banyak. Dengan demikian, jumlah hasila samping produksi yang
berupa kepala, kulit, ekor, maupun kaki rajungan yang umumnya 25-50% dari
berat, sangat berlimpah. Hasil samping ini, di Indonesia belum banyak digunakan
sehibngga hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan, terutama pengaruh
pada bau yang tidak sedap dan pencemaran air (kandungan BOD5, COD, dan TSS
perairan di sekitar pabrik cukup tinggi). Melalui pendekatan teknologi yang tepat,
potensi limbah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi polisakarida (polisaccharide),
di mana di dalamnya termasuk chitin [(C
8
H
13
NO
5
)n], chitin ini dapat diolah lebih
lanjut menjadi chitosan [(999C
6
H
11
NO
4
)] dan glukosamine (C
6
H
13
NO
5
). Ketiga
produksi ini mempunyai sifat mudah terurai dan tidak mempunyai Chitin &
Chitosan.
Secara umum, cangkang kulit udang mengandung protein 34,9 %, mineral
CaCO
3
27,6 %, chitin 18,1 %, dan komponen lain seperti zat terlarut, lemak dan
protein tercerna sebesar 19,4 % (Suhardi, 1992). Chitin merupakan polisakarida
yang bersifat non toxic(tidak beracun) dan biodegradable sehingga chitin banyak
dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Lebih lanjut chitin dapat mengalami proses
deasetilasi menghasilkan chitosan.
Formalin merupakan bahan kimia beracun yang selama ini banyak
digunakan sebagai pengawet pada bahan makanan. Diperlukan suatu pengawet
alami yang tidak beracun, tidak berbahaya bagi kesehatan, dan mudah terurai
(biodegradable). Selama ini limbah kulit udang hanya dimanfaatkan untuk pakan


3

ternak atau untuk industri makanan seperti pembuatan kerupuk udang. Limbah kulit
udang dapat diolah untuk pembuatan chitin yang dapat diproses lebih lanjut
menghasilkan chitosan yang memiliki banyak manfaat dalam bidang industri,
antara lain adalah sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (non toksid)
pengganti formalin. Chitosan adalah bahan alami yang direkomendasikan untuk
digunakan sebagai pengawet makanan karena tidak beracun dan aman bagi
kesehatan.
3.2 Chitosan
Khitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan
kopopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau kuning, tidak berbau.
Chitosan merupakan produk diasetilasi kitin melalui proses kimia menggunakan
enzim kitin diacetilase (Rismana,2001). Chitosan (CS), derivat deasetilasi dari
chitin terdiri atas satuan-satuan glukosamine yang terpolimerisasi oleh rantai -1,4-
glikosidic (Simunek et al,2006). Chitosan (poli--1,4-glucosamine) disiapkan
secara komersial dengan deasetilase basa kitin yang didapat dari eksoskeleton
crustacea laut, chitosan mempunyai nilai pKa kiira-kira 6,3 pada nilai pH lebih
rendah, molekulnya bersifat kation karena protonasi dari grup amino. Laporan
selanjutnya, terindikasikan bahwa ketika chitosan dilarutkan dalam garam, air
suling, atau media labolatorium, menunjukkan aktivitas antimikrobial melawan
strain-strain berfilamen dari fungi, yeast, bakteri (Rhoades and Roller,2000).
Chitosan (poly--1,4-glucosamine) adalah serat alami yang dibuat dari kulit
udang/rajungan dengan struktur molekul menyerupai selulosa (serat pada sayuran
dan buah-buahan) bedanya terletak pada gugus rantai C-2, dimana gugus hidroksi
(OH) pada C-2 digantikan oleh gugus amina (NH
2
).

Gambar 3.1. Struktur Molekul Chitosan
Chitosan adalah produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida
chitin. Pada chitosan terdapat gugus aktif yang berikatan dengan mikroba, sehingga
chitosan mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Chitosan juga dapat


4

digunakan sebagai pengawet alami yang dapat melapisi (coating) agar kandungan
bahan makanan tidak keluar. Chitosan yaitu chitin yang telah dihilangkan gugus
asetilnya dengan menggunakan basa pekat sehingga bahan ini merupakan polimer
D-glukosamin yang mampu berikatan dengan protein. Pemberian chitosan yang
tinggi meningkatkan kadar protein di dalam bahan, hal ini disebabkan oleh
kemampuan chitosan berikatan dengan asam amino sehingga terjadi perubahaan
pada strukrur asam amino itu sendiri. Naiknya kadar protein disebabkan karena
molekul chitosan memiliki gugus N yang sama dengan protein sehingga chitosan
mampu berikatan dan membentuk senyawa asam amino yang banyak. Kemampuan
chitosan yang dapat mengabsorbsi air, sehingga kadar air menurun yang dapat
meningkatkan pengawetan bahan. Pengikatan air mengakibatkan menurunnya
aktivitas mikroba karena mikroba tidak dapat menggunakan air pada bahan
makanan sehingga pertumbuhannya terhambat. Pemberian chitosin pada bahan
pangan dapat meningkatakna kadar protein, kadar lemak sebaliknya kadar air
mengalami penurunan.
Menurut Hardjito (2001) bahwa karena memiliki gugus aktif yang akan
berikatan denagn mikroba, maka chitosan juga mampu menghambat pertmbuhan
mikroba. Menurut Rismana (2001) multiguna chitosan tidak terlepas dari sifat
alaminya, sifat alami tersebut dapat dibagi menjadi dua sifat besar, yaitu sifat kimia
dan sifat biologi.
Sifat kimia chitosan sama dengan kitin tetapi yang khas antara lain :
1) Merupakan polimer poliamin berbentuk linier.
2) Mempunyai gugus amino aktif.
3) Mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam.
4) Mempunyai sifat beracun, sehingga sangat ramah terhadap lingkungan (Sopiah
dan Prayitno,2002).
Sifat biologi chitosan antara lain :
1) Bersifat biokompatibel, artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak
mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah
diuraikan oleh mikroba (biodegradable).
2) Dapat berikatan dengan sel mamalia dan sel mikroba secara agresif.
3) Mampu meningkatkan pembentkan tulang.


5

4) Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol.
5) Bersifat sebagai depresan pada sistem syaraf pusat.
Berdasarkan kedua sifat tersebut maka chitosan mempunyai sifat fisik khas, yaitu
mudah dibentk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran, dan serat yang sangat
bermanfaat dalam aplikasinya.
3.3. Prinsip dan Proses Pembuatan Chitosan
Chitosan merupakan turunan dari chitin yang dideasetilasi dapat larut dalam
larutan asam seperti asam asetat atau asam format. Isolasi secara tradisional chitin
dari limbah udang melewati tiga tahapan yaitu demineralisasi, deproteinase dan
dekolorisasi. Tiga tahapan tersebut merupakan standard prosedur pada pembuatan
chitosan. Aplikasi chitosan sudah dilakukan di berbagai bidang, mulai dari
manajemen limbah, pembuatan makanan, obat-obatan dan bioteknologi. Dan
chitosan juga dapat diaplikasikan pada industri farmasi dan kosmetika karena sifat
biodegradabilitas dan biocompabilitas serta kemampuan toksik atau racun rendah.
Proses pembuatan chitosan biasanya melalui beberapa tahapan yakni
pengeringan bahan baku mentah chitosan (ranjungan), pengilingan, penyaringan,
deproteinasi, pencucian dan penyaringan, deminarisasi (penghilangan mineral Ca),
pencucian, deasilitilisasi, pengeringan dan akhirnya terbentuklah produk akhir
berupa chitosan.
Pada tahap persiapan, limbah kulit udang dicuci dengan air lalu dikeringkan
di dalam oven dengan temperatur 65
o
C selama 4 jam. Setelah kering, kulit udang
dihancurkan di dalam grinder dan diayak untuk mendapatkan bubuk dengan ukuran
mesh 50. Kulit udang yang ukurannya melebihi mesh 50 akan dimasukkan kembali
ke dalam grinder.
Ekstraksi kitin umumnya melalui tahapan penggilingan, deproteinasi,
demineralisasi, pengeringan, dan pembubukan, sedangkan chitosan diperoleh
dengan penbambahan alkali kuat terhadap kitin pada suhu tinggi.
Adapun teknologi pengolahan kitin dan chitosan dilakukan melalui beberapa tahap,
yaitu :
1. Demineralisasi
Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan di
bawah sinar matahari sampaikering, kemudian dicuci di dalam air panas dua kali


6

lalu direbus selama 10 menit. Tiriskan dan keringkan. Bahan yang sudah kering lalu
digiling samapi menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh. Kemudian dicampur asam
klorida 1N (HCl 1N) denagn perbandingan 10:1 untuk pelarut dibandingkan dengan
kulit udang, lalu diaduk merata sekitar 1 jam. Biarkan sebentar, kemudian panaskan
pada suhu 90oC selama 1 jam. Residu berupa padatan dicuci denagn air sampai pH
netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80
o
C selama 24 jam atau
dijemur sampai kering.
2. Deproteinasi
Limbah udang yang telah dimineralisasi dicampur denagn larutan sodium
hidroksida 3,5% (NaOH 3,5%) dengan perbandingna antara pelarut dan cangkang
udang 6:1. Aduk sampai merata sekitar 1 jam. Selanjutnya biarkan sebentar, lalu
dipanaskan pada suhu 90
o
C selama 1jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan
sehinggadiperoleh residu padatan yang kemudian dicuci denagn air samapai pH
netral dan dikeringkan pada suhu 80
o
C selama 24 jam atau dijemur sampai kering.
3. Deasetilasi kitin menjadi chitosan.
Chitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (NaOH) 50%
denagn perbandingan 20:1 (pelarut dibanding kitin). Aduk sampai merata selama 1
jam dan biarkan sekitar 30 menit, lalu dipanaskan selama 90 menit denagn suhu
140
o
C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu
dilakukan pencucian denagn air sampai pH netral, kemudian dikeringkan denagn
oven suhu 70
o
C selama 24jam atau dijemur sampai kering. Bentuk akhir chitosan
bisa berbentuk serbuk maupun serpihan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum pembuatan Chitosan
diperoleh pada konsentrasi NaOH 4%, suhu 70
0
C, dan waktu 100 menit (proses
deproteinasi), dan konsentrasi 3,5 N, suhu kamar, dan waktu 30 menit (proses
demineralisasi). Hasil larutan chitosan yang diperoleh bagus untuk digunakan pada
pengawetan bakso, mie, dan tahu (tahan 3 hari), sedangkan untuk pengawetan ikan
kurang baik (tahan 8-9 jam).
3.4. Kelebihan dan Kekurangan Chitosan.
Berdasarkan sifat-sifat biologi dan kimianya, maka khitosan mempunyai sifat
fisik khas, yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran, dan
serat yang sangat bermanfaat aplikasinya. Tidak seperti serat lam lain, chitosan


7

mempunyai sifat unik, karena memberikan daya pengikat lemak yang sanagt tinggi.
Pada kondisi normal chitosan mampu menyerap 4 - 5 kali lemak dibandingkan serat
lain (Rismana,2001). Menurut Prasetiyo (2006) dari segi ekonomi, pemanfaatan
khitin dari limbah cangkang udang untuk bahan utama dan bahan pendukung dalam
berbagai bidang dan industri sangat menguntungkan karena bahan bakunya berupa
limbah berasal dari sumber daya lokal (local content).
Khitosan merupakan polisakarida yang unik dan telah secara luas digunakan
dalam bermacam aplikasi biomedis disebabkan kemudah cocokannya dengan unsur
makhluk hidup, toxicitasnya rendah, mudah diuraikan, tidak bersifat imunogenik,
dan sifatnya non-karsinogenik (Irawan,2007). Kelebihan dan kekurangan khitosan
menurut Kusumawati (2006) bahwa karena sifatnya yang dapat menarik lemak,
chitosan banyak dibuat untuk tablet/pil penurun berat badan. Chitosan dapat
menyyerap lemak dalam tubuh dengan cukup baik. Dalam kondisi optimal, chitosan
dapat menyerap lemak sejumlah 4-5 kali berat chitosan. Beberapa penelitian telah
berhasil membuktikan bahwa chitosan dapat menurunkan kolesterol tanpa
menimbulkan efek samping. Hanya satu saja yang harus diperhatikan, konsumsi
chitosan harus tetap terkontrol, karena chitosan juga dapat menyerap mineral
kalsium dan vitamin yang ada di dalam tubuh. Selain itu, orang yang biasanya
mengalami alergi terhadap makanan laut sebaiknya menghindari dari
mengkonsumsi tablet/pil chitosan.
Namun, sebaik-baiknya produk buatan manusia, pasti masih ada
kekurangannya. Menurut ibu Dr. Endang Sri Heruwati yang juga seorang peneliti
dari FPIK-IPB, chitosan kurang efektif untuk mengawetkan ikan segar. Selain itu,
chitosan tidak memiliki fungsi mengenyalkan, seperti yang dimiliki oleh formalin.
Tapi tidak perlu berpikir untuk kembali pada formalin, karena masalah ini juga ada
jalan keluar yang lebih aman dan ekonomis. Untuk mengawetkan ikan segar,
sebaiknya digunakan buah picung. Dari hasil penelitian, buah picung dapat
mengawetkan ikan segar selama enam hari tanpa mengurangi mutunya. Sedangkan
untuk mengenyalkan, ada lagi produk bernama karagenan yang terbuat dari rumput
laut, yang banyak dibudidayakan di Indonesia.
Maka, dapat disimpulkan bahwa chitosan merupakan bahan pengawet alami
penolong bagi kelangsungan industri kecil di Indonesia, sekaligus bermanfaat untuk


8

keamanan pangan Indonesia. Munculnya fenomena penggunaan pengawet mayat
ini seharusnya membuat kita sama-sama sadar, inilah dampak dari kebobrokan
ekonomi dan mental bangsa kita. Sekarang baru penggunaan formalin yang terkuak,
padahal masih banyak penggunaan bahan berbahaya lainnya dalam makanan yang
belum terungkap, seperti penggunaan pewarna, perasa, dan lain-lain.
3.5 Manfaat Chitosan
Chitosan mempunyai kegunaan yang sangat luas, tercatat sekitar 200 jenis
penggunaannya, dari industri pangan, bioteknologi, farmasi, dan kedokteran, serta
lingkungan. Di industri penjernihan air, kitin telah banyak dikenal sebagai bahan
penjernih. Kitin juga banyak digunakan di dunia farmasi dan kosmetik, misalnya
sebagai penurun kadar kolesterol darah, mempercepat penyembuhan luka, dan
pelindung kulit dari kelembaban.
Sifat chitosan sebagai polimer alami mempunyai sifat menghambat absorbsi
lemak, penurun kolesterol, pelangsing tubuh, atau pencegahan penyakit lainnya.
Chitosan bersifat tidak dapat dicernakan dan tidak diabsorbsi tubuh, sehinga lemak
dan kolesterol makanan terikat menjadi bentuk non absorbsi yang tak berkalori.
Sifat khas chitosan yang lain adalah kemampuannya untuk menurunkan kandungan
LDL kolesterol sekaligus mendorong meningkatkan HDL kolesterol dalam serm
darah. Peneliti Jepang menjuluki chitosan sebagai suatu senyawa yang
menunjukkan zat hipokolesterolmik yang sanagt efektif. Dengan kata lain, chitosan
mampu menurunkan tingkat kolesterol dalam serum denagn efektif dan tanpa
menimbulkan efek samping (Rismana,2001).
Beberapa tahun yang lalu, chitosan dan beberapa tipe modifikasinya
dilaporkan penggunaannya untuk aplikasi biomedis, seperti artificial skin,
penembuh luka, anti koagulan, jahitan pada luka (suuture), obat-obatan, bahan
vaksin, dan dietary fiber. Baru-baru ini, penggunaan chitosan dan derivatnya telah
diterima banyak perhatian sebagai tempat penggantungan sementara untuk proses
mineralisai, atau pembentukan tulang stimulin endokrin (Irawan,2007).
Pada penelitian yang dilakukan Handayani (2004) menunjukkan bahwa chitin
dan chitosan dapat digunakan sebagai bahan koagulasi pada sari buah tomat. Untuk
penggunaan chitin dan chitosan sebagai bahan koagulasi pada sari buah tomat
menunjukkan bahwa chitin dan chitosan dapat digunakan sebagai bahan koagulasi,


9

ditandai dengan uji vitamin C, viskositas, pH, dan TPT yang menunjukkan hasil
yang tidak berbeda jauh dengan bahan koagulasi yang umum digunakan pada sari
buah tomat. Chitosan choating telah terbukti meminimalisasi oksidasi, ditunjukkan
oleh angka peroksida, perubahan warna, dan jumlah mikroba pada sampel
(Yingyuad et al, 2006).
1. Manfaat Chitosan pada Bidang Makanan
Chitosan dapat meningkatkan daya awet berbagai produk pangan seperti bakso,
sosis, nuget, jus buah/sayur, tahu, ikan asin, mi basah, produk olahan ikan, buah-
buahan, mayonise, dodol, dll karena memiliki aktifitas antimikroba dan antioksidan
serta penggunaan chitosan pada produk pangan dapat menghindarkan konsumen
dari kemungkinan terjangkit penyakit typhus, karena chitosan dapat menghambat
pertumbuhan berbagai mikroba patogen penyebab penyakit typhus
seperti Salmonella enterica, S. enterica var. Paratyphi-A dan S. enterica var.
Paratyphi-B
2. Manfaat Chitosan pada Bidang Kesehatan
Chitosan pada kesehatan juga dapat digunakan sebagai;
a) Penghambat perbanyakan sel kanker lambung manusia dan meningkatkan daya
tahan tubuh.
b) Chitosan dapat mengikat lemak dan menghambat penyerapan lemak oleh tubuh
dan mengurangi ldl yang dikenal oleh masyarakat sebagai kolesterol jahat
sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol darah secara efektif dan aman,
tanpa efek samping. Hal ini disebabkan karena chitosan dapat menjerat lemak
(fat absorber) dan mengeluarkannya bersama kotoran karena chitosan sebagai
serat tidak dapat dicerna oleh tubuh, sehingga penggunaan chitosan akan
mengurangi resiko terkena kolesterol tinggi.
c) Chitosan dapat mengurangi beban kerja liver (hati) dan mengurangi tekanan
kerja organ tubuh lain akibat adanya lemak yang berlebihan juga membantu
mengontrol tingkat asam urat sehingga terhindar dari penyakit encok dan batu
ginjal.
d) Chitosan dapat juga digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka dan
kerusakan tulang.


10

e) Chitosan dapat menghindarkan konsumen dari kemungkinan terjangkit penyakit
typhus, karena chitosan dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroba
patogen penyebab penyakit typhus seperti salmonella enterica, S. enterica var.
Paratyphi-A dan S. enterica var. Paratyphi-B.
3. Manfaat Chitosan pada Bidang Kecantikan
Chitosan pada bidang kosmetika juga dimanfaatkan sebagai pelembab, antioksidan,
tabir surya pada produk kosmetik.
Chitosan telah mendapatkan persetujuan dari BPOM No. HK.00.05.52.6581
untuk digunakan dalam produk pangan. Di Amerika chitosan telah mendapat
pengesahan sebagai produk GRAS (Generally Recognised As Safe) oleh FDA.
Selain aman chitosan yang diproduksi oleh PT. Araminta Sidhakarya juga telah
mendapatkan sertifikat halal dari LPPOM-MUI No. 00170043490307 (sebagai
pengawet) dan 00170043510307 (sebagai pelapis). Chitosan mempunyai sifat
antimikrobia melawan jamur lebih kuat dari kitin. Jika chitosan ditambahkan pada
tanah, maka akan menstimulir pertumbuhan mikrobia mikrobia yang dapat
mengurai jamur. Selain itu chitosan juga dapat disemprotkan langsung pada
tanaman. Sifat kitin dan chitosan dapat mengikatair dan lemak. Karena sifatnya
yang dapat bereaksi dengan asam-asam seperti polifenol, maka chitosan sangat
cocok untuk menurunkan kadar asam pada buah-buahan, sayuran dan ekstrak kopi.
Chitosan mempunyai sifat polikationik, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai
agensia penggumpal.
3.6 Pekembangan Chitosan di Indonesia
Indonesia merupakan negara maritim dengan dua per tiga wilayahnya terdiri
dari perairan. Dengan luas seperti itu, Indonesia sebagai negara maritim sangat
berpotensi menghasilkan devisa. Salah satu devisa terbesar negara ini adalah udang
dan hingga saat ini devisa terbesar di Indonesia adalah udang. Udang memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Sebagai salah satu contohnya adalah chitosan.
Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penerapan teknologi pembuatan
chitosan di Indonesia adalah melakukan penelitian optimasi proses
deproteinasi dan demineralisasi untuk memperoleh produk intermediate kitin yang
murni, sehingga dihasilkan produk chitosan dengan kuantitas dan kualitas produk


11

yang memenuhi standart internasional, menyusun prosedur / langkah baku untuk
operasi / proses.






IV. ALAT DAN BAHAN
4.1. Alat
1. Water bath
2. Neraca analitis
3. Corong dan kertas saring
4. Beker gelas
5. pH meter
6. Pipet tetes
7. Oven
8. Spatula
4.2. Bahan
1. Kulit udang
2. HCl
3. NaOH
4. Aquadest
V. PROSEDUR PERCOBAAN
1. Pisahkan udang dan kulitnya kemudian cuci bersih dan keringkan.
2. Gerus sampai halus kulit udang yang telah dikeringkan tadi hingga menjadi
bubuk atau powder.
3. Timbang bubuk kulit udang sebanyak 5 gr, dicampur dengan 300 ml aquadest.
4. Kemudian masukkan HCl sebanyak 3 tetes, selanjutnya larutan kulit udang tadi
dipanaskan selama 2 menit, diamkan sebentar.


12

5. Larutan tadi disaring dengan kertas saring, slurry kulit udang dimasukkan dalam
beker gelas kemudian dicuci serta disaring kembali.
6. Hasil saringan ini dicampur kembali dengan 300 aquadest, direbus selama 2
menit, kemudian saring kembali.
7. Hasil saringan ditetesi NaOH sebanyak 3 tetes, selanjutnya diukur pH dengan
menggunakan pH meter.
8. Langkah terakhir larutan disaring kembali dan dikeringkan.

VI. HASIL PENGAMATAN
Pembuatan chitosan ini menggunakan bahan baku berupa kulit udang yang
sudah dihaluskan terlebih dahulu. Berat kulit udang halus yang digunakan sebanyak
5 gram lalu ditambah aquadest sebanyak 300 ml. Campuran ini ditambahkan zat
kimia berupa HCl dan kemudian dipanaskan selama 2 menit. Setelah dilakukan
penyaringan, produk dikeringkan dalam oven selama 24 jam. Massa chitosan yang
diperoleh pada percobaan ini adalah 3,8 gram.
Massa Kulit
Udang
Massa awal: 5 gram Massa akhir: 3.8 gram
Warna
Larutan
Saat ditetesi HCl:
Keruh
Saat dicampurkan NaOH:
Lebih bening dari
sebelumnya
Warna
Sampel
Sebelum Proses:
Orange
Setelah Proses:
Putih Pucat
pH Slurry Setelah dicampur HCl:
pH = 7
Setelah dicampur NaOH:
pH = 8
Gambar Sebelum diproses:

Setelah diproses:



13










VII. PEMBAHASAN
Percobaan pembuatan chitosan kali ini menggunakan bahan baku berupa kulit
udang yang telah dikeringkan. Tujuan pengeringan ini adalah untuk mengurangi
bau amis dari kulit udah tersebut dan mempermudah dalam proses pembuatan
chitosan tersebut. Pemilihan kulit udang sebagai bahan baku karena kulit udang
mudah didapat dibandingkan dengan kulit kepiting yang juga mengandung kitin.
Bagian kulit ini dipilih karena kandungan kitin lebih banyak dibandingkan dengan
bagian tubuh yang lainnya. Kulit udang yang akan diproses dihaluskan terlebih
dahulu. Tujuannya adalah agar kitin dalam kulit udang dapat dengan mudah
bereaksi dengan zat kimia yang digunakan (praktikum kali ini menggunakan HCl
dan NaOH), dengan dilakukannya penghalusan, maka permukaan kulit udang akan
lebih kecil sehingga memudahkan zat kitin untuk larut bersama HCl dan NaOH.
Kulit udang sebanyak 5 gram ditambahkan aquadest sebanyak 300 ml. Meskipun
dicampurkan, kedua bahan ini tidak saling melarut. Pelarutan chitin sebenarnya
tergantung dari konsentrasi asam mineral dan temperatur. Karena itulah, pada saat
proses pemanasan temperaturnya tidak terlalu tinggi dan campuran tidak boleh
diaduk terlalu sering karena dikhawatirkan akan membuat kandungan chitin terlarut
dalam aquadest. Pemanasan pun hanya dilakukan selama 2 menit. Setelah
dipanaskan, larutan ini disaring. Slurry kulit udang kemudian diukur pH-nya. Dari
pengukuran pH slurry didapatlah pH sebesar 7. Slurry ini seharusnya ditambah
aqudest, dipanaskan lagi, dan disaring. Kemudian slurry kulit udang diukur pH-nya
agar menjadi basa dengan ditambah NaOH hingga pH-nya menjadi basa. Lalu
perlakuan selanjutnya sama dengan perlakuan sebelumnya. Terakhir, setelah


14

disaring chitosan yang diperoleh dikeringkan dalam oven. Namun, karena waktu
praktikum yang kurang karena penggilingan kulit udang yang memakan waktu
lama, maka proses penambahan NaOH tidak kami lakukan.
Chitosan dalam bentuk powder telah diperoleh, namun apakah bubuk kering
itu murni chitosan atau masih terkandung zat lainnya selain chitosan, hal itu masih
diragukan. Karena dalam percobaan pembuatan chitosan ini tidak diketahui
parameter kimia zat chitosan. Chitosan kering yang kami peroleh yaitu sebanyak
3,8 gram. Padahal bahan baku yang kami gunakan sebanyak 5 gram. Artinya,
terdapat sebanyak 2,2 gram sampel awal yang telah hilang atau terbuang.
Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa faktor seperti: adanya kulit
udang yang larut dalam aquadest dan proses pencucian yang tidak bersih. Bisa juga
dikarenakan banyak serbuk kulit udang yang terbawa pada saat pencucian maupun
penyaringan menggunakan kertas saring. Hal ini bisa dilihat pada kertas saring
dimana masih begitu banyak slurry udang yang tak bisa diambil dan masih
tertinggal.
Sebagaimana kita ketahui, ada tiga proses utama dalam pembuatan Chitosan
dari Chitin. Yaitu demineralisasi, deproteinasi dan terakhir adalah de-asetilasi.
Bahan-bahan tadi kemudian dihilangkan mineralnya (demineralisasi) dengan cara
dimasak pada pH asam. Karena Organisme laut itu sangat kaya akan mineral
makanya harus dihilangkan terlebih dahulu kandungan mineralnya. Untuk itulah
pada praktikum ini kita tambahkan senyawa asam pekat berupa asam klorida (HCl).
Mengapa harus digunakan HCl pada proses ini, karena HCl adalah asam kuat yang
tergolong asam mineral. Sehingga akan lebih mudah menyerap kandungan mineral
yang terdapat pada kulit udang. Selain itu akan terjadi reaksi ionik antara mineral
seperti Ca dan ion Cl
-
pada HCl.
Proses selanjutnya ialah dihilangkan proteinnya (deproteinasi) dengan
dimasak pada tempat yang sama pada pH basa. Untuk itulah pada praktikum ini kita
tambahkan senyawa basa kuat berupa Natrium Hidroksida (NaOH). Hasilnya,
diperoleh bahan yang disebut dengan chitin murni yang nanti akan dimanfaatkan
untuk proses selanjutnya.
Proses berikutnya (terakhir) adalah deasetilasi. Proses ini diperlukan karena
di dalam struktur chitin, terdapat gugus asetil. Gugus ini harus dibuang dan


15

digantikan dengan gugus NH
2
, juga pada proses basa, tapi jauh lebih kuat dari basa
pada proses penghilangan protein. Setelah deasetilasi, jadilah chitosan dalam
bentuk bubur. Bubur ini tinggal dicuci dan dikeringkan dalam oven selama sehari
semalam. Tujuannya agar chitosan yang didapat benar-benar murni dan tidak
terkandung lagi air serta impurities lainnya. Tahapantahapan seperti inilah yang
bisanya dilakukan dalam proses pengolahan chitosan. Chitosan sangat berpotensi
untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim dan
gugus aminopolysacharida yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba.
Chitosan yang diperoleh berupa bubuk yang dapat langsung digunakan sebagai
pengawet alami.

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
1. Dipilih kulit udang sebagai bahan baku pembuatan chitosan, karena banyak
terkandung senyawa chitin didalamnya daripada bahan baku lain.
2. Ada tiga proses utama pembuatan chitosan dari chitin, yaitu tahap demineralisasi
(penghilangan mineral), deproteinasi (penghilangan protein), dan penghilang
gugus asetil (deasetilasi).
3. Selama proses pencampuran kulit udang dengan aquadest, perlu diperhatikan
konsentrasi asam mineral yang digunakan serta temperatur pemanasan. Hal ini
penting agar kulit udang tidak larut dalam aquadest.
4. Sebaiknya pada saat pemanasan, larutan chitosan jangan terlalu lama diaduk
Karena dikhawatirkan bisa melarutkan chitosan di dalam air sehingga
mengurangi jumlah produk akhir.
5. Pembuatan chitosan selanjutnya sebaiknya memperhatikan ukuran sampel awal
(harus dalam bentuk powder), temperature pemanasan yang tidak lebih dari 100
o
C, lama pemanasan yang tidak lebih dari 5 menit, banyaknya HCl dan NaOH
yang ditambahkan, dan ketepatan dalam penyaringan dan pengeringan produk.
6. Dipilih HCl dalam proses demineralisasi karena merupakan asam kuat yang
tergolong asam mineral, sehingga mempermudah dalam proses penghilangan
kadar mineral.
8.2. Saran


16

Pada praktikum ini sebaiknya diperlukan efisiensi waktu karena dibutuhkan
waktu pengolahan yang cukup lama. Ketelitian dalam penambahan HCl pada
proses demineralisasi sangat diperlukan karena HCl yang kami tambahkan pada
larutan mungkin terlalu banyak, sehingga Ph yang seharusnya dikondisikan asam,
tetapi yang kami dapat netral.






Lampiran Gambar

Neraca Hot Plate


Kertas Saring Beker Gelas Corong Plastik




17


Erlenmeyer pH Indikator

Anda mungkin juga menyukai