Anda di halaman 1dari 13

1

Tonsilofaringitis Difteri
Karina Marcella Widjaja
102011183
Kelompok C7
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat Korespendensi:
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510
Telp: (021) 5694-2061, Fax: 021-5631731, E-mail: karinamarcella25@hotmail.com


PENDAHULUAN
Telinga, hidung, dan tenggorok (THT) harus menjadi kesatuan karena saluran
ketiganya saling berhubungan. Bila ada satu bagian dari organ tersebut terganggu, maka
kedua organ lainnya akan terimbas.
Pada kasus seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dimana ia dibawa ke klinik THT,
anak menangis lemah, suara parau, dan sesak dimana anak tersebut memiliki riwayat
imunisasi yang tidak jelas, suhu subfebril, nadi lambat, anak sedikit gelisah, dan
menimbulkan gejala lain yang berhubungan dengan THT. Oleh karena itu, untuk mengetahui
diagnosis yang tepat diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat.

ANAMNESIS
Sebagai seorang dokter harus menampilkan sikap hormat, sopan, dan bersahabat saat
pasien datang. Pertama-tama memberikan ucapan selamat pagi / siang / sore dan berjabat
tangan, serta mempersilahkan duduk berhadapan dengan posisi duduk sopan. Usahakan
supaya suasana menyenangkan, relaks, bersahabat sehingga pasien tidak merasa takut.
Pertanyaan yang diberikan adalah:
1. Identitas pasien
Nama, tanggal lahir / umur, tempat lahir, pekerjaan, alamat, jenis kelamin, suku
bangsa, agama, dan pendidikan.

2

2. Keluhan utama
Keluhan kelainan di daerah faring dan rongga mulut umumnya adalah 1) nyeri
tenggorok, 2) nyeri menelan (odinofagia), 3) rasa banyak dahak di tenggorokan, 4) sulit
menelan (disfagia), 5) rasa ada yang menyumbat atau mengganjal.
Nyeri tenggorok. Keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri
tenggorok ini disertai dengan demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering.
Apakah pasien merokok dan berapa jumlahnya per hari.
Nyeri menelan (odinofagia) merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu gerakan
menelan. Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai ke telinga.
Dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya inflamasi di
hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, pus, atau bercampur darah.
Dahak ini dapat turun, keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok.
Sulit menelan (disfagia) sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair atau padat.
Apakah juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat, apakah makin
lama makin betambah berat.
Rasa sumbatan di leher (sense of lump in the neck) sudah berapa lama, tempatnya
dimana. Keluhan pasien pada hipofaring dan Laring dapat berupa : 1) suara serak, 2)
batuk, 3) rasa ada sesuatu di leher.
1,2

Suara serak (disfoni) atau tidak keluarnya suara sama sekali (afoni) sudah berapa lama
dan apakah sebelumnya menderita peradangan di hidung atau tenggorokan. Apakah
keluhan ini disertai dengan batuk, rasa nyeri dan penurunan berat badan.
Batuk yang diderita pasien sudah berapa lama, dan apakah ada factor sebagai pencetus
batuk tersebut seperti rokok, udara yang kotor serta kelelahan. Apa yang dibatukkan,
dahak kental, bercampur darah dan jumlahnya. Apakah pasien seorang perokok.
Rasa ada sesuatu di leher merupakan keluhan yang sering dijumpai dan perlu
ditanyakan sudah berapa lama diderita, adakah keluhan lain yang menyertainya serta
hubungannya dengan keletihan mental dan fisik.
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat perjalanan penyakit, perkembangan penyakit yang sejak awal dirasakan
pasien, mulai dari saat gejala masih ringan kemudian menjadi sedang dan akhirnya
menjadi berat, serta usaha pengobatan

4. Riwayat penyakit dahulu
3

Penilaian kesehatan pasien secara keseleruhan sebelum penyakit sekarang ini.
Riwayat ini seperti keadaan kesehatan umum, penyakit yang lalu, cedera, perawatan di
RS, pembedahan, alergi, penyalahgunaan zat, obat yang sedang digunakan.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat kesehatan keluarga meliputi status kesehatan (sehat/sakit/meninggal),
penyakit apa yang diderita/penyebab meninggal
6. Riwayat pribadi, sosial, dan ekonomi
3


PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang dilakukan, antara lain:
1. Tanda-tanda vital
Pemeriksaan tanda-tanda vital berupa tekanan darah, frekuensi suhu, frekuensi denyut
nadi, dan frekuensi pernapasan.
2. Inspeksi, palpasi, dan perkusi
Inspeksi dapat dibagi menjadi inspeksi umum dan lokal. Pada inspeksi umum
pemeriksa melihat perubahan yang terjadi secara umum, sehingga dapat diperoleh kesan
keadaan umum pasien. Pada inspeksi perlu membandingkan kedua sisi tubuh pasien.
3. Pemeriksaan faring dan rongga mulut
Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan bibir, mukosa
rongga mulut, lidah, dan gerakan lidah. Dengan menekan bagian tengah lidah memakai
spatula lidah maka bagian-bagian rongga mulut lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai
dengan melihat keadaan dinding belakang faring serta kelenjar limfanya, uvula, arkus
faring serta gerakannya, tonsil, mukosa pipi, gusi dan gigi geligi.
Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista, dan lain-lain. Apakah
ada rasa nyeri di sendi temporo mandibula ketika membuka mulut.
3

4. Pemeriksaan hipofaring dan laring
Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi. Kaca laring
dihangatkan dengan api lampu spiritus agar tidak terjadi kondensasi uap air pada kaca
waktu dimasukkan ke dalam mulut. Sebelum dimasukkan ke dalam mulut, kaca yang
sudah dihangatkan itu dicoba dulu pada kulit tangan kiri apakah tidak terlalu panas.
Pasien diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya sejauh mungkin, lidah
dipegang dengan tangan kiri memakai kain kasa dan ditarik keluar dengan hati-hati
sehingga pangkal lidah tidak menghalangi pandangan ke arah laring. Kemudian kaca
laring dimasukkan ke dalam mulut dengan arah kaca ke bawah, bersandar pada uvula dan
4

palatum mole. Melalui kaca dapat terlihat hipofaring dan laring. Bila laring belum
terlihat jelas penarikan lidah dapat ditambah sehingga pangkal lidah lebih ke depan dan
epiglotis lebih terangkat.
Untuk menilai gerakan pita suara adduksi pasien diminta mengucapkan iiii,
sedangkan untuk menilai gerakan pita suara abduksi dan melihat daerah subglotik pasien
diminta untuk inspirasi dalam.
Pemeriksaan laring dengan menggunakan kaca laring disebut laringoskopi tidak
langsung. Pemeriksaan laring juga dapat dilakukan dengan menggunakan teleskop dan
monitor video, atau dengan secara langsung memakai alat laringoskop. Bila pasien
sangat sensitive sehingga pemeriksaan ini sulit dilakukan, maka dapat diberikan obat
anestesi silokain yang disemprotkan ke bibir, rongga mulut, dan lidah.
3


PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa tonsilofaringitis
akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :
3,5,6

1. Leukosit : terjadi peningkatan.
2. Hemoglobin : terjadi penurunan.
3. Usap tonsil yang diambil dari permukaan bawah membrane semu untuk pemeriksaan
kultur bakteri dan tes sensitifitas obat. Hasil positif jika didapatkan kuman
Corynebacterium diphteriae.
4. Laringoskopi langsung (untuk anak-anak).

WORKING DIAGNOSIS
Berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan yang ditemukan yang ada di skenario
seperti menangis lemah, suara parau, sesak, riwayat imunisasi tidak jelas, suhu subfebril, nadi
lambat, anak sedikit gelisah, sesak, stridor, ditemukan adanya retraksi suprasternal, infra
clavicula, infrasternal, dan tonsil diliputi selaput putih keabu-abuan, mudah berdarah bila
diangkat, serta adanya bull neck, maka saya menduga bahwa anak tersebut menderita
tonsilofaringitis difteri. Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjar limfa yang terdapat di
dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil facial), tonsil
lingual (tonsil pamgkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlachs
tonsil).
5

Tonsillitis difteri ialah tonsilitis yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas yaitu
hidung, faring, dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi
sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin
sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal
inilah yang dipakai pada tes Schick. Tonsilitis sering ditemukan pada anak berusia kurang
dari 10 tahun. Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi
dan anak.
3


DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Ada beberapa diagnosis banding yang mempunyai beberapa kesamaan gejala dengan
scenario antara lain sebagai berikut:
Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada
penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin C. Gejalanya adalah
demam sampai 39oC, nyeri kepala, badan lemah dan kadang-kadang terdapat gangguan
pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi, dan gusi mudah berdarah. Mukosa
mulut dan faring hiperemis, tampak membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding
faring, gusi serta proses alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar sub
mandibula membesar. Terapinya adalah antibiotika broad spektrum selama 1 minggu.
Memperbaiki higiene mulut. Vitamin C dan vitamin B kompleks.
Tonsilo laryngitis difteri dengan gejala umum seperti kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, dedar (malaise), tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat,
serta keluhan nyeri menelan. Gejala local juga bisa tampak berupa tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk
membrane semu, suara parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika
menelan atau berbicara, serta gejala sumbatan laring. Pada perkembangan penyakit ini
bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya
sehingga leher menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters hals.
Tonsilo laryngitis difteri dengan obstruksi laring stadium 1 : gejalanya sama dengan
tonsillitis difteri ditambah cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor
pada waktu inspirasi dan pasien masih tenang.
Tonsilo laryngitis difteri dengan obstruksi laring stadium 2 : gejalanya sama dengan
tonsillitis difteri ditambah cekungan pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin
6

dalam, ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium. Pasien sudah
mulai gelisah. Stridor terdengar pada waktu inspirasi.
Tonsilo laryngitis difteri dengan obstruksi laring stadium 3 : gejalanya sama dengan
tonsillitis difteri ditambah cekungan selain di daerah suprasternal, epigastrium juga
terdapat di infraklavikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea. Stridor
terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi.
Tonsilo laryngitis difteri dengan obstruksi laring stadium 4 : gejalanya sama dengan
tonsillitis difteri ditambah cekungan cekungan di atas bertambah jelas, pasien sangat
gelisah, tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka
pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pasien
lemah dan tertidur, akhirnya meninggal karena asfiksia.
3,4


ETIOLOGI
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat polimorf,
tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Perwarnaan sediaan langsung dapat dilakukan
dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung
dari lesi.

Sifat Basil
Polimorf, gram positif, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60
0
C selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air, susu, dan
lendir yang telah mengering.
Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil
dapat membentuk :
1. Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan
yang meliputi daerah yang terkena, terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam
diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot
jantung, ginjal, dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmot
dan lebih kurang 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick. Minimum lethal dose (MLD) dari
toksin ini ialah 0,02 ml.
7

Uji Schick adalah suatu pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitioksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permililiter darah cukup
dapat menahan infeksi difteria.
5


EPIDEMIOLOGI
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara mencolok
setelah penggunaan toksoid difteri secara meluas. Umumnya masih tetap terjadi pada
individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi
primer). Serangan difteri yang sering terjadi menyiratkan bahwa penyakit ini terjadi di
kalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat yang berdesakan dan memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum
mendapatkan imunisasi.
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan
frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih mungkin
menderita penyakit ini.

PATOFISIOLOGI
Basil hidup dan berkembang biak pada traktus respiratorius bagian atas terlebih-lebih
bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain. Tetapi walaupun jarang, basil
dapat pula hidup pada daerah vulva, telinga, dan kulit. Pada tempat ini basil membentuk
pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran dapat timbul local atau
kemudian menyebar dari faring atau tonsil ke laring dan seluruh traktus respiratorius bagian
atas sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat. Kelenjar getah bening sekitarnya akan
mengalami hyperplasia dan mengandung toksin.
Eksotoksin dapat mengenai jantung dan menyebabkan miokarditis toksik atau
mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama otot-otot pernafasan. Toksin
juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis
interstitialis (jarang sekali). Kematian terutama disebabkan oleh sumbatan membrane pada
laring dan trakea, gagal jantung, gagal pernafasan atau akibat komplikasi yang sering yaitu
bronkopneumonia.
Penularan umumnya melalui udara berupa infeksi droplet, selain itu dapat pula
melalui tangan, ciuman, benda atau makanan yang terkontaminasi. Dapat terjadi pada semua
umur, terutama pada anak.
5


8

GEJALA KLINIS
Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan dan
apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa
inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, walaupun dapat singkat hanya satu hari dan lama 8 hari
bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya
sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8
o
C 38,9
o
C. Pada
mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membran
putih/keabu-abuan.
Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula.
Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam
tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran
mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk
diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak
ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi
akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.
Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan menghilang. Dan
perubahan ini akan lebih cepat bila diberikan antitoksin. Difteri berat akan lebih berat pada
anak yang lebih muda. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri.
Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat dan membran menyebar secrara cepat
menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat pula timbul.
Kadang-kadang udema disertai nekrosis. Pembengkakan kelenjer leher, infiltrat ke dalam
jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga yang lain. Dan mengisi dibawah mandibula
sehingga memberi gambaran bullneck.
Gambaran klinis dibagi dalam tiga golongan yaitu :
1. Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri
menelan.
2. Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu. Membrane ini dapat
meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea, dan bronkus yang dapat
menyumbat slauran napas. Membrane semu ini melekat erat pada dasarnya, sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeesters hals.
9

3. Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, mengenai saraf cranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan
otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
Paling sering dijumpai (+ 75%). Gejala mungkin ringan hanya berupa radang pada
selaput lendir dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas
dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada
penderita. Pada penderita yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan
suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pseudomembran yang mula-mula hanya
berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas
berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi
(bull neck). Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun
belum terjadi sumbatan laring. Hal ini disebabkan oleh paresis palatum mole. Pada
pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangkan pada urin
mungkin dapat ditemukan albuminuria ringan.
3


Tonsilo Laringitis Difteri
Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa infeksi ini dapat menjalar sampai ke
laring sehingga menyebabkan peradangan pada daerah laring, sehingga terjadi tonsilo
laryngitis difteri, yang mempunyai gejala seperti demam, dedar (malaise), serta gejala local,
seperti suara parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika menelan atau
berbicara, serta gejala sumbatan laring.

Sumbatan Laring
Tonsilo laringitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu menjalar ke laring
dan menyebabkan gejala sumbatan jalan napas yaitu laring. Sumbatan laring dapat
disebabkan oleh 1) radang akut dan radang kronis, 2) benda asing, 3) trauma akibat
kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan senjata tajam, 4) trauma akibat
tindakan medic, 5) tumor laring, baik berupa tumor jinak atau pun tumor ganas, 6)
kelumpuhan nervus rekuren bilateral.
Gejala dan tanda sumbatan laring ialah :
1. Suara serak (disfoni) sampai afoni.
2. Sesak napas (dispnea).
10

3. Stridor (napas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium, supraklavikula,
dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari otot-otot pernapasan untuk
mendapatkan oksigen yang adekuat.
5. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
3


KOMPLIKASI
Tonsilitis difteri dapat berlangsung cepat, membrane semu menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan jalan napas yang membutuhkan trakeostomi. Makin muda usia
pasien makin cepat timbul komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau decompensatio cordis.
Kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring serta otot laring
sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan kelumpuhan otot-otot pernapasan.
Albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal. Proses peradangan juga dapat menyebar ke
telinga, menyebabkan otitis media, atau ke paru-paru, menyebabkan pneumonia.
3


PENATALAKSANAAN
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur, dengan
dosis 20.000- 100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit. Antibiotika penisilin
atau eritromisin 25 - 50 mg per kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.
Kortikosteroid 1,2 mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena
penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama
2 - 3 minggu, serta pemberian cairan serta diet yang adekuat.
Untuk laringitisnya, istirahatkan berbicara dan bersuara selama 2-3 hari. Menghirup
udara lembab. Menghindari iritasi pada faring dan laring, misalnya merokok, makanan pedas
atau minum es. Antibiotika diberikan juga pada peradangan yang berasal dari paru.
Penanganan sumbatan laring akan diuraikan lebih lanjut dibawah ini.
3


Penanggulangan Sumbatan Laring
Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab sumbatan
dengan cepat atau membuat jalan napas baru yang dapat menjamin ventilasi sehingga jalan
napas lancar kembali. Tindakan konservatif dengan pemberian anti inflamasi, anti alergi,
antibiotika, serta pemberian oksigen intermitten dilakukan pada sumbatan laring stadium 1
11

yang disebabkan peradangan. Tindakan operatif atau resusitasi untuk membebaskan saluran
napas ini dapat dengan cara memasukkan pipa endotrakea melalui mulut (intubasi orotrakea)
atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma atau melakukan
krikotirotomi.
Intubasi endotrakea dan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring
stadium 2 dan 3, sedangkan krikotirotomi dilakukan pada sumbatan laring stadium 4.
Tindakan operatif atau resusitasi dapat dilakukan berdasarkan analisis gas darah
(pemeriksaan Astrup). Bila fasilitas tersedia, maka intubasi endotrakea merupakan pilihan
pertama, sedangkan jika ruangan perawatan intensif tidak tersedia, sebaiknya dilakukan
trakeostomi.

Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/ anterior trakea
untuk bernapas. Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan letak yang tinggi dan letak yang
rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan
tindakan maka trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan
sarana sangat kurang dan 2) trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat
dilakukan secara baik (lege artis).
Indikasi trakkeostomi yaitu :
1. Mengatasi obstruksi laring.
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah, dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen
yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi
itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya
berkurang.
3. Mempermudah pengisapan secret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan secret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.
4. Untuk memasang respirator (alat babtu pernapasan).
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas untuk
bronkoskopi.
3


PENCEGAHAN
Secara umum kita dapat mencegah melalui kebersihan dan pengetahuan tentang
bahaya penyakit ini bagi anak- anak. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri,
12

kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
Pencegahan khusus terdiri dari imunisasi DPT yang lengkap. Imunisasi aktif dilakukan
dengan menyuntikkan toksoid. Imunisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakukan 3 kali
berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan. Biasanya diberikan bersama-sama dengan
toksoid tetanus dan basil B. pertussis yang telah dimatikan sehingga disebut tripel vaksin
DPT dan diberikan dengan dosis 0,5 ml subkutan dalam atau intramuscular. Vaksinasi
ulangan dilakukan 1 tahun sesudah suntikan terakhir dari imunisasi dasar atau kira-kira pada
umur 1
1
/
2
- 2 tahun dan pada umur 5 tahun. Selanjutnya setiap 5 tahun sampai dengan usia 15
tahun hanya diberikan vaksin difteri dan tetanus (DT) atau bila ada kontak dengan penderita
difteri.
5


PROGNOSIS
Tonsilitis difteri ini sebenarnya bukanlah penyakit yang berbahaya asal ditangani dan
diketahui sejak awal. Penyakit ini dapat menimbulkan banyak sekali komplikasinya seperti
menjalar ke laring bahkan sampai menimbulkan obstruksi laring. Jika setelah timbul
obstruksi laring dan tidak ditangani dengan baik, maka ini menjadi sangat buruk, karena
dapat menyebabkan kematian.

KESIMPULAN
Tonsillitis difteri ialah tonsilitis yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphteriae, kuman yang termasuk gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas yaitu
hidung, faring, dan laring. Tonsilitis difteri ini sering ditemukan pada anak berusia kurang
dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang dewasa masih
mungkin menderita penyakit ini. Penyaki ini tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit
ini menurun secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluas. Gambaran
klinis penyakit ini adalah kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat, keluhan nyeri menelan, tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas, adanya bull neck, dan lain sebagainya.
Terkadang juga sering menyebabkan laryngitis dan obstruksi laring pula.





13

DAFTAR PUSTAKA
1. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi ke-8. Jakarta :
EGC, 2009.h.349-60.
2. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta : EGC, 2009.h.95-106.
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorokan kepala & leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2011.h.212-53.
4. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Boies : buku ajar penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta :
EGC, 2012.h.3-23.
5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
ajar ilmu kesehatan anak. Jilid 2. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2007.h.1-9, 550-6.
6. Behrman RE, Kliegman RM. Esensi pediatric Nelson. Edisi ke-4. Jakarta : EGC,
2010.h.428-9.

Anda mungkin juga menyukai