Anda di halaman 1dari 53

Laporan Kasus

DEMAM TYPHOID




Oleh :

M. Farid Rakhman, S.Ked
NIM. I1A008039




Pembimbing :

DR. dr. Edi Hartoyo, Sp.A (K)










BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FK UNLAM RSUD ULIN
BANJARMASIN

April, 2014
ii

DAFTAR ISI



Halaman
HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II LAPORAN KASUS 2
A. Identitas 1
B. Anamnesis ....................................................................................... 2
C. Pemeriksaan Fisik ........................................................................... 6
D. Resume ............................................................................................ 12
E. Pemeriksaan Laboratorium ............................................................. 13
F. Diagnosa .......................................................................................... 14
G. Usulan Pemeriksaan ........................................................................ 15
H. Penatalaksanaan .............................................................................. 15
I. Prognosis ......................................................................................... 15
J. Follow up ......................................................................................... 16
K. Hasil Pemeriksaan Laboratorium .................................................... 21
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 23
A. Defenisi .......................................................................................... 23
B. Etiologi ............................................................................................ 23
C. Epidemiologi ................................................................................... 25
D. Patogenesis ...................................................................................... 25
iii

E. Gambaran Klinis ............................................................................. 28
F. Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 30
G. Diagnosis ......................................................................................... 32
H. Diagnosis Banding .......................................................................... 32
I. Penatalaksanaan .............................................................................. 33
J. Prognosis ......................................................................................... 35
BAB IV DISKUSI 36
BAB V PENUTUP 41
DAFTAR PUSTAKA








1

BAB I

PENDAHULUAN



Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus. Sinonim demam
tifoid adalah typhoid fever, enteric fever.
1
Enteric fever (demam enterik) adalah sindrom
klinis sistemik yang dihasilkan oleh organisme Salmonella enterica serotype typhi (S.
typhi) atau Salmonella enteric serovar paratyphi.
2

Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung
pada keadaan iklim. Pada tahun 2004, diperkirakan 21,7 juta terinfeksi dan menyebabkan
217.000 kematian diseluruh dunia.
3
Insidensi lebih banyak dijumpai di negara-negara
sedang berkembang di daerah tropis. Di negara yang sedang berkembang, S.typhi sering
merupakan isolat Salmonella yang paling sering dengan insiden yang dapat mencapai
500 per 100.000 (0,5%) dan angka mortalitas tinggi.
2

Di Indonesia insidensi demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan cukup
tinggi (lebih dari 100 kasus per 100.000 populasi per tahun). Insidensi pada anak
tertinggi terjadi pada usia 3-6 tahun dengan 1.037 kasus per 100.000 populasi dan 1.172
kasus pada usia 7-19 tahun. Ini merupakan salah satu masalah kesehatan dan
menyebabkan tingginya angka kematian baik pada orang dewasa maupun anak-anak
meskipun pada orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan
menjadi kebal.
1,4

Oleh karena itu diperlukan proses diagnosa yang tepat dan penatalaksanaan yang
adekuat untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Berikut akan dilaporkan sebuah
2

kasus demam tifoid pada seorang anak berumur 9 bulan yang dirawat di Ruang Anak
Tulip RSUD Ulin Banjarmasin.
3

BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
1. Identitas penderita :
Nama penderita : An. Ahmad Rido
Jenis Kelamin : laki-laki
Umur : 9 bulan
RMK : 110 14 25
2. Identitas Orang tua/wali
AYAH : Nama : Tn. A
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Pekapuran
IBU : Nama : Ny. NA
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Pekapuran

B. ANAMNESIS
Kiriman Dari : Datang Sendiri
Diagnosa : -
Aloanamnesis dengan : Ibu kandung penderita
Tanggal : 26 Maret 2014
4

Keluhan Utama : Demam
1. Riwayat penyakit sekarang :
Kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit, anak mengalami demam.
Demam muncul medadak, dirasakan terus-menerus, tidak mengigil, tidak turun
diberi obat penurun panas. Ibu tidak mengukur suhu anak.
BAB cair sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit sebanyak 4x, sekali
BAB kurang lebih gelas, warna kuning kehijauan, berlendir, ampas tidak ada,
darah tidak ada. Muntah 12x, berisi makanan, lendir tidak ada, darah tidak ada,
kurang lebih 1/8 gelas
Selama sakit, frekuensi menyusu normal, jika menangis air mata ada.
Kejang tidak ada, batuk pilek tidak ada, sesak nafas tidak ada, keluar darah dari
hidung tidak ada, bintik kemerahan dikulit tidak ada.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Anak tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya. Anak tidak
pernah masuk RS sebelumnya.
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Saudara kandung penderita meninggal akibat leukemia.
4. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Riwayat Antenatal :
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilan ke puskesmas setiap bulan
selama hamil. Selama hamil ibu mendapat pil penambah darah, suntikan TT
sebanyak 2 kali, tidak pernah sakit, maupun menderita keputihan.
Kesimpulan : Riwayat antenatal anak baik
5

Riwayat Natal :
Spontan/tidak spontan : Spontan
Nilai APGAR : Lahir langsung menangis, kulit kemerahan
Berat badan lahir : 2600 gr
Panjang badan lahir : Ibu tidak tahu
Lingkar kepala : Ibu tidak tahu
Penolong : Bidan
Tempat : Di rumah
Kesimpulan : Riwayat natal anak baik
Riwayat Neonatal :
Gerakan anak aktif, menagis kuat, tidak pernah kuning, dan tidak pernah
menderita penyakit berat.
Kesimpulan : Riwayat neonatal anak baik
5. Riwayat Perkembangan
Tiarap : - bulan
Merangkak : - bulan
Duduk : - bulan
Berdiri : - bulan
Berjalan : - bulan
Saat ini : Anak dapat duduk, merangkak meraih mainan,
memindahkan benda ke tangan yang lain, melempar
benda, dan mengeluarkan kata ma ba
Kesimpulan : Riwayat perkembangan anak sesuai umur
6

6. Riwayat Imunisasi :
Nama Dasar
(umur dalam bulan)
Ulangan
(umur dalam bulan)
BCG 1 -
Polio 0 2 4 6 -
Hepatitis B 2 4 6 -
DPT 2 4 6 -
Campak - -

Kesimpulan : Riwayat imunisasi anak lengkap
6. Makanan
0 - 6 bulan : ASI ekslusif, jadwal sesuai kemauan anak. Lama
menyusu 10 15 menit.
6 sekarang : ASI, PASI, bubur tam, jadwal sesuai kemauan anak.
Kesimpulan : Kualitas dan kuantitas makanan anak cukup
8. Riwayat Keluarga
Ikhtisar keturunan :
Garis Ayah Garis Ibu






Ket :
: Perempuan : Laki-laki
: Pasien : Meninggal





7


Susunan keluarga :
No. Nama Umur L/P Keterangan
1. Tn A 29 th L Sehat
2. Ny NA 29 th P Sehat
3. An. SA 4 th P Meninggal
4. An. AR 9 bln L Sakit

Kesimpulan : Dalam keluarga tidak ada riwayat mederita penyakit sama
9. Riwayat Sosial Lingkungan
Anak tinggal bersama kedua orang tua dirumah kayu berukuran 4 x 7 m
2
,
terdiri dari 1 kamar tidur, 1 dapur, dan 1 kamar mandi beserta WC. Terdapat 2
pintu dan 6 jendela yang sering dibuka. Sumber air minum dari air galon,
sedangkan untuk mandi dan cuci menggunakan air sungai. Sampah rumah
tangga dikumpulkan di depan rumah.
Kesimpulan : Sosial lingkugan anak kurang bersih

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
GCS : 4 5 6
2. Pengukuran
Tanda vital : Tensi : tdl
Nadi : 84 x/menit, reguler, kuat angkat
Suhu : 38,2 C
Respirasi : 32 x/menit
8

Berat badan : 6400 gr
Panjang/tinggi badan : 64 cm
Lingkar Lengan Atas (LLA) : 13 cm
Lingkar Kepala : 45 cm
3. Kulit : Warna : Sawo matang
Sianosis : Tidak ada
Hemangiom : Tidak ada
Turgor : Cepat kembali
Kelembaban : Cukup
Pucat : (-)
4. Kepala : Bentuk : Mesosefali
UUB : Belum menutup, datar
UUK : Belum menutup, datar
Lain-lain : Tidak ada
- Rambut : Warna : Hitam
Tebal/tipis : Tebal
Distribusi : Merata
- Mata : Palpebra : Edema (-)
Alis dan bulu mata : Tidak mudah rontok
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : Tidak ikterik
Produksi air mata : Cukup
Pupil : Diameter : 3 mm/ 3mm
9

Simetris : Isokor
Reflek cahaya : (+/+)
Kornea : Jernih
- Telinga : Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : Minimal
Nyeri : Tidak ada Lokasi : -
- Hidung : Bentuk : Simetris
Pernafasan cuping hidung : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
- Mulut : Bentuk : Simetris
Bibir : Mukosa bibir kering
Gusi : Tidak mudah berdarah, tidak bengkak
Gigi-geligi : Belum lengkap
- Lidah : Bentuk : Simetris
Pucat/tidak
Tremor/tidak
Kotor/tidak
Warna : Merah muda
- Faring : Hiperemi : Tidak ada
Edem : Tidak ada
Membran/pseudomembran : tidak ada
10

- Tonsil : Warna : Merah muda
Pembesaran : Tidak ada
Abses : Tidak ada
Membran/pseudomembran : Tidak ada
5. Leher :
- Vena Jugularis : Pulsasi : Tidak terlihat
Tekanan : Tidak meningkat
- Pembesaran kelenjar leher : Tidak ada
- Kaku kuduk : Tidak ada
- Massa : Tidak ada
- Tortikolis : Tidak ada
6. Toraks :
a. Dinding dada/paru
Inspeksi : - Bentuk : Simetris
- Retraksi : tidak ada Lokasi : -
- Dispnea : Tidak ada
- Pernafasan : Thorakoabdominal
Palpasi : Fremitus fokal : Sulit dievaluasi
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara Napas Dasar : Bronkovesikuler
Suara Tambahan : Tidak ada
b. Jantung :
Inspeksi : Iktus : Tidak terlihat
11

Palpasi : Apeks : Tidak teraba Lokasi : -
Thrill + / - : Tidak ada
Perkusi : Batas kanan : ICS II IV LPS Kanan
Batas kiri : ICS II LPS kiri - ICS V LMC Kiri
Batas atas : ICS II LPS Kanan
ICS II LPS Kiri
Auskultasi : Frekuensi : 84 X/menit, Irama : Reguler
Suara Dasar : S1 > S2 Tunggal
Bising : Tidak ada Derajat : -
Lokasi : -
Punctum max : -
Penyebaran : -
7. Abdomen :
Inspeksi : Bentuk : Datar
Lain-lain : Tidak ada
Auskultasi : Bising usus positif normal
Perkusi : Timpani/pekak : Timpani
Asites : Tidak ada
Palpasi : - Hati : Tidak teraba
- Lien : Tidak teraba
- Ginjal : Tidak teraba
- Massa : Tidak teraba

12

8. Ekstremitas :
- Umum : Akral hangat
Edema
Parese

- Neurologis

8. Susunan Saraf : N I XII sulit dievaluasi
9. Genitalia : laki-laki, dalam batas normal
10. Anus : Positif, tidak ada kelainan





Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Bebas aktif Bebas aktif Bebas aktif Bebas aktif
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi
Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Reflek fisiologis BPR(+)
TPR(+)

BPR(+)
TPR(+)

KPR (+)
APR (+)

KPR (+)
APR (+)

Reflek patologis
H/T(-/-) H/T(-/-)
Babb (-)
Chadd (-)
Babb (-)
Chadd (-)
Sensibilitas Normal Normal Normal Normal
Tanda meningeal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
+ +
+ +
- -
- -
- -
-
-
-
13

D. RESUME
Nama : An. Ahmad Rido
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 9 bulan
Berat badan : 6400 gram
Keluhan Utama : Demam
Uraian : + 2 hari SMRS febris timbul mendadak, terus-
menerus, tidak turun dengan obat. 1 hari
kemudian BAB cair 4x, gelas tiap BAB,
kuning kehijauan, lendir, darah (-), vomitus 12x,
berisi makanan, 1/8 gelas tiap muntah. Air mata
(+), minum seperti biasa.
Pemeriksaaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis GCS : 4 - 5 - 6
Tensi : tidak dilakukan
Nadi : 84 kali/menit, reguler cepat, kuat angkat
Pernafasan : 32 kali/menit
Suhu : 38,2 C
Kulit : Pucat (-)
Kepala : Mesosefali, UUB dan UUK datar belum menutup
Mata : Anemis (+/+)
Telinga : Simetris, sekret (-)
14

Mulut : Kering (-)
Toraks/Paru : Simetris, retraksi (-)
Jantung : S1 > S2 tunggal, bising (-)
Abdomen : Datar, BU (+) N, H/L/M tidak teraba, timpani
Ekstremitas : hangat, tidak edem dan tidak parese.
Susunan saraf : N I N XII sulit dievaluasi
Genitalia : laki-laki, dalam batas normal
Anus : dalam batas normal

E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM




Jenis pemeriksaan Satuan Nilai Normal 26 Maret 2014
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
RDW-CV
gr/dl
ribu /u l
juta /u l
vol%
ribu /u l
%
9.5 14.0
4.0 10.5
3.50 5.20
29 43
150 450
11.5 14.7
9.4
20.2
4.29
29
505
15.9
MCV
MCH
MCHC
fl
pg
%
80.0 97.0
27 32
32.0 38.0
67.7
21.9
32.4
Gran %
Limfosit %
MID %
neutrofil #
Limfosit #
MID #
%
%
%
ribu/ul
ribu/ul
ribu/ul
50.0-70.0
25.0 40.0
4.0 11.0
2.50-7.00
1.25 4.00
71.4
21.7
6.9
14.40
4.4
1.4
15

F. DIAGNOSIS
1. Diagnosis banding :
1). Observasi febris H2 ec GEA tanpa dehidrasi
Observasi febris H2 ec susp. Demam tifoid
2). Anemia mikrositik hipokromik et causa inflamasi
Anemia mikrositik hipokromik et causa defisiensi Fe
Anemia mikrositik hipokromik et causa thalasemia mayor
2. Diagnosa Kerja : Observasi febris H2 ec GEA tanpa dehidrasi +
anemia mikrositik hipokromik ec inflamasi
3. Status Gizi :
NCHS : BB/U = -3<SD<-2 (kurang)
PB/U = SD<-3 (sangat pendek)
BB/TB = -1<SD<0 (normal)
CDC 2000 = 6.4/7 x 100%=91.4% (Normal)

G. USULAN PEMERIKSAAN
Cek MDT, serum iron, feritin serum, dan TIBC
Feses lengkap
Biakan darah
Widal test/tubex test

H. PENATALAKSANAAN
IVFD D5 NS 6 tpm
Injeksi ceftriaxon 2x250 mg
16

Zink 1x20 mg
PO ibuprofen 4x1/2 Cth

I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

17

J. FOLLOW UP

27 Maret 2014 28 Maret 2014 29 Maret 2014 30 Maret 2014 31 Maret 2014 1 April 2014 2 April 2014
SUBJEKTIF
Demam + + + + + + +
Muntah + 5x + 1x + 2x + 1x + 1x + 1x + 1x
BAB cair + 4x - + 3x + 3x 1x, ampas +, cair < 1x, ampas +, cair < 1x, ampas <
Minum + + + < < + +
Makan - + + - < + +
BAK + + + < 1000 cc + +
Irritable + + +
OBJEKTIF
Tanda vital
N (x/mnt) 102 102 132 130 135 132 120
RR (x/mnt) 42 42 42 28 45 54 43
T (
0
C) 38.8 38.3 38 38 38 38 38,2
Sa O2 (%) Tdl Tdl Tdl Tdl 95 94 97
Pemeriksaan Fisik
Kulit
Pucat - - - - - - -
Purpura - - - - - - +
Turgor Cepat kembali Cepat kembali Cepat kembali lambat kembali lambat kembali cepat kembali cepat kembali
Mata
Anemis +/+ +/+ -/- -/- -/- -/- -/-
Ikterik -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/-
Hidung PCH (-) PCH (-) PCH (-) PCH (-) PCH (-) PCH (-) PCH (-)
Mulut
Mukosa bibir Lembab Lembab Lembab Kering Kering lembab lembab
Sianosis - - - - - - -
Leher P> KGB +/- +/- +/- - - - -
Thorax Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn
Abdomen Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn
Ekstremitas
Akral Hangat Hangat Hangat Hangat Hangat Hangat Hangat
Edema + - - - - - -
18

Parese - - - - - - -
ASSESMENT Diare akut +
anemia
Diare akut + anemia
hipokromik
mikrositik
Diare akut + anemia
hipokromik
mikrositik
Diare akut dehidrasi
ringan sedang +
anemia hipokromik
mikrositik
Diare akut dehidrasi
ringan sedang +
anemia hipokromik
mikrositik
Diare akut + anemia
hipokromik
mikrositik
Observasi febris H9
+ vomitus + anemia
hipokromik
mikrositik
PLANNING - IVFD D5 NS
15 tpm mikro
stop
- PO paracetamol
syr 3x Cth
- Lacto B 2x1
- Trolit bila BAB
- Zink 20 mg 1x1
- Pro MDT
- PO paracetamol
syr 3x Cth
- Lacto B 2x1
- Trolit bila BAB
- Zink 20 mg 1x1
- MDT (+)
- Co. Hematologi
divisi

- PO paracetamol
syr 3x Cth
- Lacto B 2x1
- Trolit bila BAB
- Zink 20 mg 1x1
- R/ rontgen paru


- PO paracetamol
syr 3x Cth
- Lacto B 2x1
- Trolit bila BAB
- Zink 20 mg 1x1
- Co. Dr. Nurul,
Sp.A tentang
dehidrasi advice
pasang infus
maintenance
- IVFD D5 NS
26 tpm mikro
- Rontgen Paru
Normal
- PO paracetamol
syr 3x Cth
- Lacto B 2x1
- Trolit bila BAB
- Zink 20 mg 1x1
- IVFD D5 NS
26 tpm mikro
- PO paracetamol
syr 3x Cth
- Lacto B 2x1
- Trolit bila BAB
- Zink 20 mg 1x1
- IVFD D5 NS
26 tpm mikro
- PO ibuprofen syr
4x 1 Cth
- IVFD D5 NS
26 tpm mikro















19





3 April 2014 4 April 2014 5 April 2014 6 April 2014 7 April 2014 8 April 2014 9 April 2014
SUBJEKTIF
Demam + + - - + -
Muntah - - - - - -
BAB cair - - - - - -
Minum + + + + + +
Makan + + + + + +
BAK + + + + + +
Irritable - - - - - -
OBJEKTIF
Tanda vital
N (x/mnt) 117 110 96 108 108 122
RR (x/mnt) 40 38 28 28 28 36
T (
0
C) 38,3 38,3 37 36.8 37.6 37.2
Sa O2 (%) tdl tdl tdl tdl tdl tdl
Pemeriksaan Fisik
Kulit
Pucat - - - - - -
Purpura + + - - - -
Turgor cepat kembali cepat kembali cepat kembali cepat kembali cepat kembali cepat kembali
Mata
Anemis -/- -/- -/- -/- -/- -/-
Ikterik -/- -/- -/- -/- -/- -/-
Hidung PCH (-) PCH (-) PCH (-) PCH (-) PCH (-) PCH (-)
Mulut
Mukosa bibir lembab lembab lembab lembab lembab lembab
Sianosis - - - - - -
Leher P> KGB - - - - - -
Thorax Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn
Abdomen Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn Dbn
20

Ekstremitas
Akral/Genu Hangat Hangat Hangat Hangat Hangat Hangat
Edema - - - - - -
Parese - - - - - -
ASSESMENT Demam tifoid +
anemia mikrositik
hipokromik
Demam tifoid +
anemia mikrositik
hipokromik
Demam tifoid +
anemia mikrositik
hipokromik
Demam tifoid +
anemia mikrositik
hipokromik
Demam tifoid +
anemia mikrositik
hipokromik
Demam tifoid +
anemia mikrositik
hipokromik

PLANNING - PO ibuprofen syr
4x1 Cth
- IVFD D5 NS
6 tpm K/P
- Saran PK :
retikulosit, LDH,
bilirubin, SI
TIBC, Feritin
- Co dr. Hasni
advice : lakukan
cek lab sesuai PK
ditambah widal
test
- R/ co divisi
infeksi
- PO ibuprofen syr
4x1 Cth
- IVFD D5 NS
6 tpm K/P
- Cefotaxime inj.
2x250 mg
- Hasil retikulosit,
LDH, bilirubin,
widal (+)
- R/ Cek urinalisa
- Alih rawat divisi
infeksi
- PO ibuprofen syr
4x1 Cth
- IVFD D5 NS
6 tpm K/P
- Cefotaxime
3x250 mg
- Urinalisa (+)
- PO ibuprofen syr
4x1 Cth
- IVFD D5 NS
6 tpm K/P
- Cefotaxime
3x250 mg
- PO ibuprofen syr
4x1 Cth KP
- IVFD D5 NS
6 tpm K/P
- Cefotaxime
3x250 mg
- PO ibuprofen syr
4x1 Cth KP
- IVFD D5 NS
6 tpm K/P
- Cefotaxime
3x250 mg
- BLPL
Beri antibiotik
Amoxycillin syr
3x1 cth
-

21
K. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Jenis pemeriksaan Satuan Nilai Normal
28 Mar
2014
3 Apr
2014
5 Apr 2014
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
RDW-CV
gr/dl
ribu /u l
juta /u l
vol%
ribu /u l
%
9.5 14.0
4.0 10.5
3.50 5.20
37 47
150 450
11.5 14.7
9.3
11.9
4.14
28.1
310
16.3

MCV
MCH
MCHC
fl
pg
%
80.0 97.0
27 32
32.0 38.0
68.0
22.4
33.0

Gran %
Limfosit %
MID %
Gran #
Limfosit #
MID #
%
%
%
ribu/ul
ribu/ul
ribu/ul
50.0-70.0
25.0 40.0
4.0 11.0
2.50-7.00
1.25 4.00
44.4
46.1
9.5
5.30
5.5
1.1

LDH U/l 225-450 837
Bilirubin total mg/dl 0.2-1.2 0.66
Bilirubin direk mg/dl 0-0.4 0.26
Bilirubin indirek mg/dl 0.2-0.6 0.4
Salmonela Typhi O Negative Negative
Salmonela Typhi H Negative Negative
Salmonela Paratyphi AO Negative Negative
Salmonela Paratyphi AH Negative 1/40
Salmonela Paratyphi BO Negative Negative
Salmonela Paratyphi BH Negative 1/40
Salmonela Paratyphi CO Negative Negative
Salmonela Paratyphi CH Negative 1/40
Urinalisa
Kekeruhan Kuning jernih Kuning keruh
BJ 1.005-1.030 1.005
pH 5-6.5 6.5
Keton Negative Negative

22


Hasil MDT (28 Maret 2014)
Eritrosit : Mikrositik hipokrom anisopoikilositosis, fragmentosit (+)
Leukosit : Kesan jumlah meningkat, morfologi normal, sel muda (-) diff count
0/0/2/50/43/5
Trombosit : Kesan jumlah dan morfologi normal
Kesan : Anemia hipokromik mikrositik anisopoikilositosis dengan linfositosis
DD hemolitik, defisiensi besi.
Saran : Retikulosit, LDH, bilirubin total/direk/indirek, SI TIBC feritin
Albumin Negative Negative
Glukosa Negative Negative
Bilirubin Negative Negative
Darah samar Negative Negative
Nitrit Negative Positif
Urobilinogen 0.1-1.0 0.1
Leukosit Negative Negative
Sedimen urin
Leukosit 0-3 2-3
Eritrosit 0-2 1-2
Silinder Negative Negative
Epitel +1 +1
Bakteri Negative +4
Kristal Negative Negative

23
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam UU No. 6 tahun 1962 tentang wabah. Di
Indonesia, demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat
sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu
kasus pada orang-orang serumah.
1

Penularan penyakit demam tifoid adalah secara faecal-oral, dan banyak
terdapat di masyarakat dengan higiene dan sanitasi yang kurang baik. Di daerah
endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh
carier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah nonendemik
1,5

B. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B
(S. schott-mulleri), S. paratyphi C (S. hidsch feldri). Salmonella termasuk dalam
famili Enterobacteriaceae yang memiliki lebih dari 2300 serotipe. Salmonella typhi
merupakan salah satu Salmonellae yang termasuk dalam jenis gram negatif, memiliki
flagel, tidak berkapsul, tidak bersporulasi, termasuk dalam basil anaerobik fakultatif
dalam fermentasi glukosa, mereduksi nitrat menjadi nitrit.
1,5
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di
dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu
600C) selama 15 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella

24
typhi mempunyai 3 macam antigen, ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam
tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim
disebut agglutinin, yaitu :
6

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.

C. Epidemiologi
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang
nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Menurut penelitian Simanjuntak,
C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid pada
umur 3 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9
per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 3 tahun sebesar 263 per 100.000
penduduk.
6
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam
tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per
100.000 penduduk.
6
Di Indonesia insidensi demam tifoid dapat ditemukan sepanjang

25
tahun dan cukup tinggi (lebih dari 100 kasus per 100.000 populasi per tahun).
Insidensi tertinggi terjadi pada anak usia 3-6 tahun dengan 1.037 per 100.000
populasi dan 1.172 pada usia 7-19 tahun. Ini merupakan salah satu masalah kesehatan
dan menyebabkan tingginya angka kematian baik pada orang dewasa maupun anak-
anak meskipun pada orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh
sendiri dan menjadi kebal.
1,4

Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya
penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar
oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama
dengan tinja atau urine. Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi.
Jumlah kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 10
5
10
9
kuman
yang tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar
jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit
demam tifoid. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di
daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai
dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat
terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber
air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
6


D. Patogenesis

Masuknya bakteri ke dalam tubuh
7,8,9

Bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh lewat mulut melalui makanan
atau minuman yang terkontaminasi. Dibutuhkan jumlah bakteri 10
5
-10
9
untuk
dapat menimbulkan infeksi. Sebagian bakteri akan mati oleh asam lambung.

26
Bakteri yang tetap hidup akan melewati lambung melewati usus halus (ileum
dan jejunum), bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik
maka kuman akan menembus dinding usus dan selanjutnya ke lamina propia.
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawah ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke
seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-
organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak
di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah
lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-
tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kantung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke
dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,
gangguan mental, dan koagulasi.

27
Di dalam plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque Peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga
ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin
9

Kuman melepaskan endotoksin yang merangsang terbentuknya pirogen
endogen. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan
akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
pernapasan, dan gangguan organik lainnya. Endotoksin juga mempengeruhi
pusat pengaturan suhu di hipotalamus dan menimbulkan gejala demam.
Walaupun dapat difagositosis, kuman dapat berkembang biak di dalam
makrofag karena adanya hambatan metabolisme oksidatif. Kuman dapat
menetap atau bersembunyi pada satu tempat dalam tubuh penderita, dan hal
ini dapat mengakibatkan terjadinya relaps atau pengidap (pembawa).

28

Gambar 1. Patogenesis Demam tifoid.
7



E. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam
tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas
disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik
berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
10

Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari
menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus

29
atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam
tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat
timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam
tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus
sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut
kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul
gambaran peritonitis akibat perforasi usus.
10

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan
diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah
mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa
memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala
klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut
(49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah
kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).
10
Hal
ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit
(15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual
(42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).
9
Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi
relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan

30
neurologis fokal.
3
Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati
(11%), syok (10%), karditis (0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%),
ikterus (0.7%).
10

Menurut Djatnika, 2005. Gejala/keluhan pada pasien demam tifoid usia < 5
tahun meskipun banyak perbedaan dengan usia > 5 tahun, namun tidak berbeda
bermakna kecuali keluhan nyeri kepala. Oleh karena pada kelompok anak yang lebih
kecil akan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan keluhan nyeri kepala. Hasil
penelitian Setiabudi dkk, yang melaporkan frekuensi diare lebih sering ditemukan
pada anak < 5 tahun dibandingkan dengan obstipasi. Stephen dan Levine (2002)14
juga mengemukakan bahwa obstipasi lebih sering ditemukan pada anak yang lebih
tua dan dewasa, sedangkan diare (green pea-soup like stool) lebih sering pada usia
lebih muda.
11

Dari pemeriksaan fisik umumnya tidak ada perbedaan yang bermakna antara
anak < 5 tahun dengan anak > 5 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sinha dkk,
bahwa morbiditas pada anak < 5 tahun serupa dalam hal lamanya demam, gejala dan
hasil pemeriksaan fisik. Meskipun demikian pada anak < 5 tahun memperlihatkan
kejadian yang lebih kecil dalam pemeriksaan fisik seperti bradikardi relatif, lidah
tifoid, dan hepatomegali. Bradikardi relatif yang sebelumnya jarang ditemukan atau
tidak diperiksa ternyata merupakan yang paling banyak ditemukan (28,7%).
Hepatomegali dan splenomegali ditemukan sebesar 20,4% dan 0,9%.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2)

31
pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4)
pemeriksaan kuman secara molekuler.
10
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi
adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.
10

Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya
mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%),
leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).
10

2. Identifikasi kuman dengan isolasi/biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana

32
dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi
dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
10

Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan
antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media
kultur yang dipakai.

Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama
(10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine
positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-
95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada
fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah
pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.

Prosedur
terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
10

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas
yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)
serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis
dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan
penderita.
10

3. Identifikasi kuman dengan serologi
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
(1) uji Widal; (2) tes TUBEX

; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode


enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
10


33

3.1 UJI WIDAL
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien
menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji Widal akan meningkat pada
pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari
6
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan
tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,
kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh, aglutinin O
masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama
antara 9-12 bulan.
6

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40. Di Indonesia
pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan memakai uji widal slide
aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %, apabila negatif tidak
menyingkirkan. Menurut beberapa pendapat ahli bahwa apabila aglutini O sekali
periksa 1/320 atau titer antibodi H 1/640 dengan gambaran klinis yang khas atau
pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali selama 2-3 minggu maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H diakitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi
masa lampau, sedangkan Vi aglutinin dipakai untuk deteksi karier. Pada beberapa
pasien, uji Widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang, walaupun biakan darah
positif.
6
Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan

34
positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan
spesifisitas sebesar 76-83%.
10

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan.
10

3.2 TES TUBEX


Tes TUBEX

merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit). Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit. Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi
IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam (sensitivitas >
95%).
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX

ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian
mendapatkan hasil sensitivitas 95% dan spesifisitas 93%. Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena
cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.


35

4. Identifikasi kuman dengan cara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain
reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar
100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya
dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.

Penelitian lain oleh Massi dkk
(2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah
(13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur
teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih
belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih
terbatas dalam laboratorium penelitian.

G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan
gastrointestinal, dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran dan

36
pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dapat ditegakkan melalui isolasi S. Typhi
dengan biakan spesimen empedu yang hasilnya cukup memuaskan.
7,8

H. Diagnosis Banding
13
Demam dengue
Malaria
Ensefalitis
ISK
Influensa

I. Penatalaksanaan
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksaan demam tifoid, yaitu
pemberian antibiotik, tirah baring, diet lunak dan terapi suportif:
1,13

1. Pemberian antibiotik;
Hal ini ditujukan untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman.
Antibiotik yang dapat digunakan antara lain :
7,14

Kloramfenikol; Kloramfenikol menjadi obat pilihan untuk demam enterik
hingga muncul resistensi pada tahun 1970. Tingginya angka kekambuhan (10-
25%) dibeberapa negara berkembang menjadi perhatian terhadap
kloramfenikol. Penurunan demam terjadi rata-rata 5 hari.
Tiamfenikol; dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol namun efek
kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol. Penurunan demam terjadi rata-rata 6 hari.

37
Ampisilin/amoksisilin; diberikan sampai 7 hari bebas demam atau biasanya
selama 2 minggu.
Kotrimoksazol; diberikan selama dua minggu. Pemberian ampisilin dan
kotrimoksazol disebabkan karena meningkatnya mortalitas akibat resistensi
kloramfenikol. Munculnya strain MDRT S.typhi telah mengurangi efektifitas
obat ini.
Fluorokuinolon. Golongan ini memiliki aktivitas tinggi terhadap Salmonella
diantara antibiotik yang lain dengan efektifitas penetrasi ke dalam makrofag
dan mampu mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu. Demam
umumnya turun pada hari ke 3 dan 4. Tidak direkomendasikan untuk usia <
14 tahun.
Sefalosporin generasi III. Pemberian seftriakson berhasil mengatasi demam
tifoid dengan baik. Demam pada umumnya mengalami mereda pada hari ke-3
atau menjelang hari ke-4. Obat ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten
quinolon.
Azitromycin. Antibiotik makrolida baru diberikan juga bermanfaat untuk
pengobatan demam tifoid. Keuntungan lainnya obat ini dapat digunakan pada
anak, ibu hamil, dan ibu menyusui.
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi
setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik
(kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat
2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok
kloramfenikol, ampisilin, dan trimetoprim sulfametoksazol (kelompok MDR) dan

38
resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Terapi antibiotik yang diberikan untuk
demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan Modified WHO tahun 2003 dapat dilihat
pada tabel 1.
7,15



Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau
kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut
diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan

39
pada demam tifoid berat menurut Modified WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2.
7,15



Kombinasi dua antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik,
ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain Salmonella.
Kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid yang mengalami syok septik.
1,13



40


Tabel 3. Obat-obatan yang Diberikan pada Komplikasi Penderita Tifoid
7

Keadaan toksik
Prednison : 1 2 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/ oral atau
Deksametason : 0.5 mg/kg BB/ hari dibagi 3 dosis/ iv, oral atau
Hidrokortison : 10 15 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis/im
Perdarahan : Transfusi darah
Perforasi : Rujuk bagian bedah


Tabel 4. Pola sensitivitas antibiotik terhadap pengobatan demam tifoid di
Banjarmasin Diberikan pada Komplikasi Penderita Tifoid
16



2. Istirahat dan perawatan profesional
Istirahat dan perawatan bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Pasien harus tirah baring sampai minimal 7 hari bebas demam atau
kurang lebih selama 14 hari.
1,13

3. Diet lunak atau diet rendah selulosa.

41
Diet dan terapi penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam proses
penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses
penyembuhan akan menjadi lama. Pemberian diet tahap awal pada penderita
demam tifoid harus mengutamakan unsur lunak, mudah dicerna, tidak
merangsang, bebas serat dan tidak menimbulkan gas. Pemberian makanan
diberikan dalam porsi kecil dan sering. Biasanya disajikan dalam bentuk bubur
saring yang halus.
1,13



J. Pencegahan
Tifoid dapat dicegah dengan memberikan edukasi tentang cara penularan
penyakit ini. Salah satu contoh yang dapat diberikan adalah memakan makanan yang
disiapkan diluar rumah, makanan yang dipajang dipinggir jalan, minum minuman
yang terkontaminasi, kontak erat dengan penderita tifoid, rendahnya kebersihan
lingkungan sekitar dan perorangan.
7,8,9,14

Vaksin
Hingga saat ini dikenal tiga macam vaksin untuk demam tifoid, yaitu dari
kuman Salmonella typhi yang dimatikan diberikan secara subkutan, kuman hidup
yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan secara oral dengan perlindungan diatas 2 tahun
dan komponen Vi diberikan secara intramuskular dengan perlindungan 3 tahun.
17

Oral typhoid vaccine (Ty21a) mengurangi insidens penyakit sekitar 60-77%.
Vaksin ini direkomendasikan untuk dewasa dan anak-anak yang berumur diatas 6

42
tahun yang akan mengadakan perjalanan ke daerah yang tinggi insidensnya atau
untuk mereka yang kontak erat dengan karier.
17

Vaksin tifoid tidak dapat melindungi 100%, sehingga orang yang telah
divaksin tetap dapat terkena infeksi bila kuman yang masuk dalam jumlah yang
besar. Jadi pencegahan yang paling baik adalah sanitasi yang baik secara perorangan
atau lingkungan.
17

K. Prognosis
Umumnya baik bila pasien cepat berobat. Prognosis demam tifoid tergantung
dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella,
serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak sebesar 2,6%,
dan pada orang dewasa 7,4%, dengan rata-rata 5,7%. Prognosis kurang baik bila
terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia (febris kontinua), penurunan
kesadaran, dehidrasi, asidosis, perforasi usus, atau pada keadaan gizi buruk.
1,13







43
BAB IV
DISKUSI

Pada kasus ini, seorang anak laki-laki berumur 9 bulan dengan berat badan
6400 gram mendapatkan perawatan di RSUD ULIN Banjarmasin. Anak dirawat
mulai tanggal 26 Maret 8 April 2014 dengan keluhan utama demam sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang, anak didiagnosis awal dengan GEA tanpa dehidrasi dengan
anemia hipokromik mikrositik. Setelah perawatan hari ketujuh, anak didiagnosis
kembali menjadi demam tifoid dengan anemia mikrositik hiprokromik mikrositik.
Diagnosis awal, GEA tanpa dehidrasi, didapatkan dari anamnesis dengan
tanda klinis demam 2 hari sebelum masuk rumah sakit, muncul mendadak, terus-
menerus tidak turun dengan obat panas, tidak ada menggigil. Sehari kemudian anak
mulai BAB cair sebanyak 4x, sekali BAB kurang lebih gelas, warna kuning
kehijauan, berlendir, ampas tidak ada, darah tidak ada. Muntah 12x, berisi makanan,
lendir tidak ada, darah tidak ada, kurang lebih 1/8 gelas. Air mata ada jika menangis,
BAK dan minum normal. Selain anamnesis, pada pemeriksaan fisik terlihat turgor
kulit cepat kembali, mukosa bibir lembab.
Hasil laboratorium didapatkan : Hb 9.4 gr/dl, MCV 67.7 fl, MCH 21.9, dan
MCHC 32.9. Hal ini menunjukkan bahwa anak juga menderita anemia mikrositik
hipokromik yang dapat memperberat kondisi. Selain itu, dari hitung leukosit
didapatkan leukositosis 20.2 ribu/ul dan trombositosis 505 ribu/ul. Adanya kelainan
hematologi diatas disertai adanya riwayat saudara kandung meninggal akibat

44
leukemia, pasien kemudian di konsulkan ke bagian hematologi dan disarankan
dilakukan pemeriksaan MDT dan rontgen thorax untuk memastikan penyebab lain.
Pada hari kedua perawatan, didapatkan gambaran MDT dengan kesan eritrosit
mikrositik hipokrom anisopoikilositosis, leukosit jumlah meningkat, morfologi
normal, sel muda (-), dan trombosit jumlah dan morfologi normal. Dengan demikian
dapat diambil kesimpulan bahwa penyebab leukositosis akibat leukemia dapat
disingkirkan pada kasus ini. Untuk mengetahui penyebab anemia mikrositik
hipokromik dilakukan pemeriksaan Retikulosit, LDH, bilirubin total/direk/indirek, SI
TIBC feritin. Dari hasil laboratorium didapatkan jumlah retikulosit normal, bilirubin
normal, dan LDH meningkat. Peningkatan LDH ini dapat disebabkan karena adanya
infeksi. Tidak adanya hasil SI TIBC dan feritin serum menyebabkan etiologi anemia
pada kasus tidak dapat dijelaskan.
Perubahan diagnosis menjadi demam tifoid pada kasus ini, disebabkan
melihat tanda-tanda klinis berupa demam yang terus berlanjut hingga hari ke 9, masih
adanya gejala gastrointestinal beruba BAB cair dan muntah pada pasien ini meskipun
telah mendapatkan obat-obatan seperti lacto B, zink, dan antipiretik. Selain itu,
ditambah dengan munculnya rash purpura yang kemudian menghilang 3 hari disertai
hasil laboratorium widal dengan hasil titer Salmonella paratyphi AH/BH/CH sebesar
1/40.
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam
tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas
disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik

45
berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
10

Berdasarkan kasus, didapatkan keluhan dan gejala klinis berupa demam,
gejala gastrointestinal berupa diare dan muntah. Hal ini sesuai dengan tinjauan
pustaka dimana penderita mengalami panas (100%), muntah (46%), dan diare (31%).
Hasil penelitian Setiabudi dkk, yang melaporkan frekuensi diare lebih sering
ditemukan pada anak < 5 tahun dibandingkan dengan obstipasi. Stephen dan Levine
(2002)14 juga mengemukakan bahwa obstipasi lebih sering ditemukan pada anak
yang lebih tua dan dewasa, sedangkan diare (green pea-soup like stool) lebih sering
pada usia lebih muda.
11
Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan tanda-tanda penurunan kesadaran,
bradikardi relatif, lidah tifoid, hepatomegali, dan splenomegali. Pada anak < 5 tahun
memperlihatkan kejadian yang lebih kecil dalam pemeriksaan fisik seperti bradikardi
relatif, lidah tifoid, dan hepatomegali.
11
Pada hari ke 9 didapatkan dari pemeriksaan
fisik berupa rash di kulit dan menghilang sempurna 3 hari kemudian. Menurut
pustaka, ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung
3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita
golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok,
timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan
memucat bila ditekan.
12


46
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi
adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.
10
Pada kasus didapatkan anemia dan leukositosis dengan pergeseran ke kiri.
Pada kasus dilakukan uji serologi widal dan didapatkan hasil titer Salmonella
paratyphi O 1/40. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu
keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Penelitian pada anak oleh Choo
dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89%
pada titer O atau H >1/40. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40
dengan memakai uji widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %,
apabila negatif tidak menyingkirkan.

Pada infeksi yang aktif, titer uji Widal akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari
6
Menurut beberapa pendapat ahli bahwa apabila aglutini O sekali periksa
1/320 atau titer antibodi H 1/640 dengan gambaran klinis yang khas atau pada titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali selama 2-3 minggu maka diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil

47
biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan
spesifisitas sebesar 76-83%.
10

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan.
10

Pada kasus diberikan pilihan antibiotik cefotaxim injeksi. Pemilihan antibiotik
tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat. Menurut WHO
2003, cefotaxime diberikan pada kondisi demam tifoid yang hebat dengan kriteria
muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun. Pada
kasus didapatkan muntah yang menetap dengan diare ringan sedang.
15

Pada kasus ini pasien dipulangkan dari RS setelah perawatan selama 13 hari
dengan alasan secara klinis membaik setelah mendapat terapi antibiotik.










48




BAB V
PENUTUP


Telah dilaporkan kasus demam tifoid pada seorang anak laki-laki berusia 9
bulan yang dirawat di ruang anak Tulip RSUD Ulin Banjarmasin. Pasien datang
dengan keluhan demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis,
tanda klinis, fisik dan laboratorium pasien didiagnosis awal dengan GEA tanpa
dehidrasi dengan anemia hipokromik mikrositik. Pada hari ke 9 perawatan pasien
kemudian didiagnosis dengan demam tifoid dengan anemia hipokromik mikrositik.
Penatalaksanaan pasien selama perawatan di Rumah Sakit Ulin Banjarmasin,
adalah tirah baring, terapi cairan, pemberian antipiretik, dan antibiotik. Pasien
dipulangkan dari RS setelah perawatan selama 13 hari dengan alasan keadaan secara
klinis membaik.


DAFTAR PUSTAKA
1. Juwono R. Demam Tifoid dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Ed.3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 2006

2. Cleary TG, Sha A. Infeksi Salmonella dalam: Nelson WE. Ilmu Kesehatan
Anak Edisi 15 vol. 2. Jakarta: EGC, 2000.

3. Alam A. Pola resistensi salmonella enterica serotype typhi, departemen ilmu
kesehatan anak RSHS, tahun 2006-2010. Sari Pediatri 2011; 12(5):296-301.

4. Handoyo Y. Pengobatan penderita demam tifoid dengan seftriakson atau
kloramfenikol di rumah sakit swasta tanggerang. Bina Widya 2011;
22(4):200-204.

5. Corales R. Typhoid fever. Department of infectious disease and tropical
medicine. Birmingham Heartlands Hospital; 2006 (online). Available from:
URL: http://www.emedicine.com/med/topic2331.htm, diakses 27 November
2012
6. Harahap N. Demam Tifoid. Respirotory USU. Medan : 2011

7. Behrman, Jenson, Kliegman. (2004), Salmonella Infection in Nelson
Textbook of Pediatrics, edisi ketujuhbelas, Saunders, Philadelphia.

8. Soedarmo, S.S., et al, 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan
Penyakit Tropis, edisi 1, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

9. NN. Background Typhoid Fever. NEJM. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/ medlineplus/ency/imagepages/1048.htm

10. Prasetyo RV, Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak.
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR Surabaya, Tanpa Tahun.

11. Setiabudi D, Madiapermana K. Demam tifoid pada anak usia di bawah 5
tahun di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Hasan Sadikin Bandung. Sari
Pediatri 2005; 7(1): 9-14

12. Inawati. Demam Tifoid. Departemen Patologi Anatomi FK Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya, Tanpa Tahun.

13. Mansjoer, Arif; Suprohaita; Wardhani, Wahyu; Setiowulan, Wiwiek. (2000).
Tifus Abdominalis. Dalam Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 2.
Penerbit Media Aesculapius. Jakarta : halaman 432-433


14. K.S. Tatang, dkk, 2000, Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak RS Sumber
Waras, UPT. Penerbitan Universitas Tarumanagara, Jakarta.

15. Nelwan RHH. Tatalaksana terkini demam tifoid. CDK-192 2012; 39(4):247-
250.

16. Hartono E, Yunanto A, Budiarti L. 3rd Congrest of Pediatric Infectius
Disease. Philipine, Cebu city, 2006.

17. Public Health. (last update : October 27th, 2003). Oral Thypoid Vaccine
(Ty21a). Communicable Disease and Epidemiology. Seattle and King
Country. Available at : http://:www.metrokc.mht (last login : February, 5th,
2007)

Anda mungkin juga menyukai