Anda di halaman 1dari 5

PENATALAKSANAAN HEPATITIS B KRONIK

Pada saat ini dikenal 2 kelompok terapi untuk hepatitib B kronik, yaitu :
1. Kelompok imunomodulasi
a. Interferon
b. Timosin alfa 1
c. Vaksinasi terapi
2. Kelompok anti virus
a. Lamivudin
b. Adefovir Dipivoksil
Tujuan pengobatan hepatitis B kronik adalah mencegah atau menghentikan progesi jejas
hati ( liver injury ) dengan cara menekan replikasi virus dan menghilangkan injeksi.
Dalam pengobatan hepatitis B kronik, titik akhir yang sering dipakai adalah hilangnya
petanda replikasi virus yang aktif secara menetap (HBeAg dan DNA VHB). Pada umumnya
serokonversi dari HBeAg menjadi anti-HBe disertai dengan hilangnya DNA VHB dalam serum
dan meredanya penyakit hati. Pada kelompok pasien hepatitis B kronik HBeAg negative,
serokonversi HBeAg tidak dapat dipakai sebagai titik akhir terapi dan respon terapi hanya dapat
dinilai dengan pemeriksaan DNA VHB
Terapi dengan Imunomodulator
1. Interferon (IFN) alfa
Interferon (IFN) alfa adalah kelompok intraprotein intraselular yang normal ada dalam
tubuh dan diproduksi oleh berbagai macam sel. IFN alfa diproduksi oleh limfosit B, IFN beta
diproduksi oleh monosit fibroepiteleal, dan IFN gama diproduksi oleh sel limfosit T. produksi
IFN dirangsang oleh berbagai macam stimulasi terutama infeksi virus.
Bebearapa khasiat IFN adalah khasiat antivirus, imunomedulator, anti proliferatif, anti
fibrotik. Dalam proses terjadinya aktivitas antivirus, IFN mengadakan interaksi dengan reseptor
IFN yang terdapat pada membrane sitoplasma sel hatiyang diikuti dengan diproduksinya protein
efektor. Salah satu protein yang terbentuk adalah 2,5- olygoadenylate synthetase (OAS) yang
merupaakn suatu enzim yang berfungsi dalam terbentuknya aktivitas antivirus.
Khasiat IFN pada hepatitis B kronik terutama disebabkan oleh khasiat imunomodulator.
Penelitian menunjukan bahwa pada pasien hepatitis B kronik didapatkan penurunan produksi
IFN. Sebagai salah satu akibatnya terjadi gangguan penampilan molekul HLA kelas I pada
membrane hepatosit yang sangat diperlukan agar sel T sitotoksik dapat mengenali sel-sel
hepatosit yang terkena infeksi VHB. Sel-sel tersebut menampilkan antigen sasaran (target
antigen) VHB pada membrane hepatosit.
IFN adalah salah satu pilihan dalam pengobatan hepatitis B kronik dengan HBeAg
positif, dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang, yang belum mengalami sirosis.
PEngaruh pengobatan IFN dalam menurunkan replikasi virus telah banyak dilaporkan dari
berbagai laporan penelitian yang menggunakan follow up jangka panjang.
Beberapa factor yang dapat meramalkan keberhasilan IFN :
1. Konsentrasi ALT yang tinggi
a. Konsentrasi DNA VHB yang rendah
b. Timbulnya flare-up selama terapi
c. IgM anti-HBC yang positif
2. Efek samping IFN :
a. Gejala seperti flu
b. Tanda-tanda supresi sumsum tulang
c. Flare-up
d. Depresi
e. Rambut rontok
f. Berat badan turun
g. Gangguan fungsi tiroid
Sebagai kesimpulan IFN merupakan suatu pilihan untun pasien hepatitis B kronik
nonsirotik dengan HBeAg positef dengan aktivitas penyakit ringan sampai sedang.
Dosis IFN yang dianjurkan untuk hepatitis B kronik dengan HBeAg positif adalah 5-10
MU 3x selama 16- 24 minggu. Penelitian menunjukan bahwa terapi IFN untuk hepatitis B kronik
HBeAg negative sebaiknya diberikan sedikitnya selama 12 bulan.
Kontraindikasi terapi IFN adalah sirosis dekompensata, depresi atau riwayat depresi di
waktu yang lalu, dan adanya penyakit jantung berat
Saat ini sudah terdapat pengobatan deng PEG Interferon. Penambahan glikol (PEG)
menimbulkan senyawa IFN dengan umur paruh yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan IFN
biasa. Dalam suatu penelitian yang membandingkan pemakaian PEG IFN Alfa 2a dengan dosis
90,180, atau 270 mikrogram tiap minggu selama 24 minggu menimbulkan penurunan DNA VHB
yang lebih cepat dibandingkan dengan IFN biasa yang diberikan 4,5 MU 3x seminggu.
Serokonversi HBeAg pada kelompok PEG IFN pada masing-masing dosis adalah 27, 33,37%
dan pada kelompok IFN biasa sebesar 25%.
2. Timosin alfa 1
Timosin adalah suatu jenis sitotoksin yang dala keadaan alami ada dalam ekstrak pinus.
Obat ini sudah dapat dipakai untuk terapi baik sebagai sediaan parenteral maupun oral. Timosin
alfa 1 merangsang fungsi sel limfosit. Pemberian Timosin alfa 1 pada pasien hepatitis B kronik
dapat menurunkan replikasi VHB dena menurunkan konsentrasi atau menghilangkan DNA
VHB. Keunggulan obat ini adalah tidak adanya efek samping seperti IFN. Dengan kombinasi
IFN, obat ini meningkatkan efektifitas IFN.
3. Vaksinasi
Salah satu langkah maju dalam bidang vaksinasi hepatitis B adalah kemungkinan penggunaan
vaksin hepatitis B untuk pengobatan infeksi VHB. Prinsip dasar vaksinasi terapi adalah fakta
bahwa penderita VHB tidak memberikan respon terhadap vaksin hepatitis B konvensional
yang mengandung HBsAg karena individu-individu tersebut mengalami imunotoleransi
terhadap HBsAg. Salah satu dasar terapi untuk hepatitis B adalah penggunaan vaksin yang
menyertakan epitop yang mampu merangsang sel T sitotoksik yang bersifat human leucocyte
antigen (HLA)-restricted,diharapkan sel T sitotoksik tersebut dapat menghancurkan sel-sell
hati yang terinfeksi VHB. Salah satu strategi adalah penggunaan vaksin yang mengandung
protein pre-S. Strategi kedua adalah menyertakan antigen kapsid yang spesifik untuk sel
limfosit T sitotoksik (CTL). Strategi ketiga adalah vaksinasi DNA.

Terapi Antivirus
1. Lamivudin
Lamivudian adalah suatu enantiomer (-) dari 3 tiasitidin yang merupakan suatu analog
nukleosid. Nukleosid berfungsi sebagai bahan pembentuk pregenom, sehingga analog
nukleosid bersaing dengan nikleosid asli. Lamivudin berkhasiat menghambat enzim reserve
transcriptase yang berfungsi dalam transkip balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam
replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan mencegah infeksi hepatosi
sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi karena
pada sel-sel yang telah terinfeksi DNA VHB ada dalam keadaan convalent closed circuler
(cccDNA). Lamivudin adalah analog nukloesid oral dengan aktivitas antivirus yang kuat.
Kalau diberikan dalam dosis 100 mg tiap hari, lamivudin akan menurunkan konsentrasi DNA
VHB sebesar 95% atau lebih dalam waktu seminggu
Menurut penelitian, dalam waktu 1 tahun serokonversi HBeAg menjadi anti HBe terjadi
pada 16-18% pasien yang mendapat lamivudin. Beberapa penelitian menunjukan bahawa
setelah pengobatan lamivudin selama 1 tahun telah terjadi perbaikan derajat nekroinflamasi
serta penurunan progersi fibrosis yang bermakna. Di samping khasiat lamivudin untuk
menghambat fibrosis, Peek dan kawan-kawan telah membuktikan pada hewan percobaan yang
terinfeksi VHB, bahwa pemberian lamivudin sedini mungkin dapat mencageah terjadinya
hepatoselluler.
Pada penggunaan lamivudin terdapat keuntungan dan kerugian. Salah satu keuntungan
utama dari lamivudin adalah keamanan, toleransi pasien, serta harganya yang relative murah.
Kerugiannya adalah seringnya timbul kekebalan. Dalam penggunaan lamivudn juga dapat
mengalami kekambuhan akut (flare up) seteleha penghentia terapi lamivudin. Sekitar 16%
hepatitis B kronik yang mendapatkan pengobatan lama lamivudin mengalami kenailkan
konsentrasi ALT 8-24 minggu setelah lamivudin dihentikan. Pada umumnya reaktivasi infeksi
VHB tersebut tidak disertai ikterus dan kebanyakan akan hilang sendiri. Pada sebagian kecil
kasus dapat terjadi gejala-gejala hepatitis akut bahkan gagal hati. Keadaan ini disebabkan
karena terjadinya reinfeksi sejumlah sel-sel hati yang sehat akibat dihentikannya lamivudin
yang diikuti dengan respon imun yang mirip hepatitis B akut. Karena itu pada semua pasien
hepatitis B kronik yang mendapatkan terapi lamivudin perlu dilakukan monitoring dengan
seksama setelah pengobatan dihentikan,

2. Adefovir dipivoksil
Adefovir dipivoksil adalah suatu nuklosid oral yang menghambat enzim reserve
transkcriptase. Mekanisme khasiat adefovir hamper sama dengan lamivudin. Walaupun
adefovir dapat juga dipakai untuk terapi tunggal primer, namun karena alasan ekonomik dan
efek adefovir, maka pada saat ini adefovir baru dipakai pada kasus-kasus yang kebal terhadap
lamivudin. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg tiap hari. Sampai sekarang kekebalan
terhadap adefovir belum pernah dilaporkan. Salah satu hambatan utama dalam pemakaian
adefovir adalah toksisitas pada ginjal yang sering dijumpai pada dosis 30 mg atau lebih.
Keuntungan penggunaan adefovir adalaha jarangnya terjadi kekebalan. Dengan begini
obat ini merupakan obat yang ideal untuk pengobatan hepatitis B kronik dengan penyakit hati
yang parah. Kerugiannya adalah harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai
khasiat dan keamanan dalam jangka yang sangat panjang.

Sumber : Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2009. h. 653-660

Anda mungkin juga menyukai