Anda di halaman 1dari 32

Presentasi Kasus Pediatri Sosial

SEORANG ANAK LAKI-LAKI USIA 1 TAHUN DENGAN


GLOBAL DEVELOPMENTAL DELAY










Oleh :

Aldila Desy K. G99122012 / F-19-2014
Muvida G99122080 / G-10-2014


Pembimbing:
Dra. Suci Murti Karini, MSi


KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2014
BAB I
STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. AM
Umur : 1 tahun 0 bulan 0 hari
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Tanggal Lahir : 12 Agustus 2013
Alamat : Jagalan Jebres Jawa Tengah
Tanggal Pemeriksaan : 12 Agustus 2014

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis diperoleh dari ibu penderita pada tanggal 12 Agustus 2014,
pukul 09.00 di Poli Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi. Penderita
merupakan anak pertama.

A. Keluhan Utama
Belum bisa mengucap kata

B. Riwayat Penyakit Sekarang (Alloanamnesis)
Orang tua pasien mengeluh anak belum bisa berbicara seperti anak
seusianya. Sampai saat ini, anak tersebut baru bisa mengatakan a-a-a.
Sedangkan menurut ibu pasien teman seusianya sudah bisa berbicara dalam
bentuk kata kata maupun kombinasi kata kata. Selain itu, orang tua juga
mengeluhkan kurangnya respon menoleh pada anak saat dipanggil. Pasien
telah dapat duduk dengan bantuan, namun belum dapat merangkak maupun
berjalan. Pasien dapat makan dan minum dengan bantuan, makanan masih
berupa bubur tim. Kadang tersedak saat makan karena ada celah dari langit-
langit mulut ke hidung.
Demam (-), batuk (-), pilek (-), sesak nafas (-), diare (-), muntah (-),
buang air besar dan buang air kecil tidak ada kelainan, nafsu makan baik. Ibu
pasien merasa anak tersebut selama ini selalu sehat, tidak pernah sakit.

C. Riwayat Penyakit Dahulu.
Riwayat makan/ minum makanan/ minuman yang tidak biasa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat kejang sebelumnya : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
Riwayat gangguan serupa di keluarga : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal

E. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita
Faringitis : disangkal
Bronkitis : disangkal
Pneumonia : disangkal
Morbili : disangkal
Pertusis : disangkal
Meningitis :disangkal



Malaria : disangkal
Polio : disangkal
Demam typoid : disangkal
Disentri : disangkal
Reaksi obat : disangkal
F. Riwayat Imunisasi
Jenis I II III IV
BCG 0 bulan - - -
DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan -
POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Hepatitis B 0 bulan 2 bulan 4 bulan -
Campak 9 bulan - - -
Kesimpulan : imunisasi sesuai jadwal DEPKES.

G. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Senyum : umur 3 bulan
Tengkurap : umur 4 bulan
Merangkak : belum bisa
Mengoceh : belum bisa
Duduk : dengan bantuan
Berdiri : dengan bantuan
Berjalan : belum bisa
Kemampuan motorik kasar : setara dengan usia 6 bulan
Kemampuan bahasa : setara dengan usia 6 bulan
Kemampuan adaptif-motorik halus : setara dengan usia 9 bulan
Kemampuan personal sosial : setara dengan usia 6 bulan
Kesimpulan : keterlambatan pada keempat sektor perkembangan.

H. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ayah : baik
Ibu : baik


I. Riwayat Makan dan Minum Anak
ASI diberikan sejak lahir sampai usia 2 tahun. Frekuensi pemberian 8x/
hari, lama menyusui + 10 menit, bergantian antara payudara kanan dan
kiri, setelah menyusu anak tidak menangis.
Susu formula diberikan sejak usia 6 bulan sampai dengan usia 2 tahun,
frekuensi pemberian 4-6x/ hari, setiap pemberian 80-120 cc, cara
pembuatan 2-4 sendok takar dalam 80-120 cc air matang.
Bubur saring diberikan sejak usia 1 tahun, 3x/ hari
Buah-buahan mulai diberikan sejak usia 1 tahun, macamnya pisang, jeruk,
pepaya; frekuensi pemberian 1-2x/ hari.

J. Pemeliharaan Kehamilan dan Prenatal
Pemeriksaan di : bidan
Frekuensi : Trimester I : 1x/ bulan
Trimester II : 1x/ bulan
Trimester III : 2x/ bulan
Keluhan selama kehamilan : Disangkal
Obat-obatan yang diminum selama kehamilan : vitamin, tablet penambah
darah.

K. Riwayat kelahiran
Lahir spontan di rumah sakit dengan usia kehamilan 37 minggu, berat
badan lahir 3200 gram, panjang badan 51 cm, menangis kencang setelah lahir.

L. Pemeriksaan Postnatal
Pemeriksaan bayi setelah lahir dilakukan di posyandu saat imunisasi.


M. Riwayat Keluarga Berencana :
Disangkal

N. Pohon Keluarga
Generasi I Keterangan:
: Laki-Laki
Generasi II : Perempuan
: Penderita
Generasi III
Anak AM, 1 tahun 0 bulan 0 hari

III. PEMERIKSAAN FISIK (12 Agustus 2014)
A. Keadaan Umum : CM, gizi kesan baik
Berat badan : 11 kg
Tinggi badan : 80 cm
B. Tanda vital
Nadi : 100 x/menit, regular, teraba kuat
Laju Pernapasan : 24 x/menit, reguler
Suhu : 37
0
C
C. Kulit : warna sawo matang, lembab, pucat (-), ikterik (-)
D. Kepala : bentuk mesocephal, LK 42 cm (LK< -2SD)
E. Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), air mata
(+/+), Refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3
mm), bulat, di tengah, mata cekung (-/-)
F. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
G. Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), Palatoschisis
H. Telinga : sekret (-), mastoid pain (-), tragus pain (-)
I. Tenggorok : uvula di tengah, mukosa faring hiperemis (-), tonsil
T
1
T
1

J. Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
K. Thorax
Bentuk : normochest, retraksi (-)
Cor : BJ I BJ II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, retraksi (-)
Palpasi : fremitus raba dada kanan = kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler(+/+),suara tambahan(-/-), wheezing(-/-)
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, hernia umbilikalis (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
turgor kulit baik
M. Ekstremitas :
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -

Sianosis ujung jari Capilary refill time< 2 detik
Arteri dorsalis pedis teraba kuat
- -
- -

N. Status Neurologis
Koordinasi : baik
Sensorik : baik
Motorik : kekuatan +5 +5 tonus N N
+5 +5 N N

O. Perhitungan Status Gizi
1. Secara klinis
Nafsu makan : baik
Kepala : rambut jagung (-), susah dicabut (+)
Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Mulut : bibir kering dan pecah-pecah (-)
Ekstremitas : pitting oedem (-)
Status gizi secara klinis : gizi kesan baik
2. Secara Antropometri
BB = 11 x 100% = 114,58% (WHO 2006) 0 SD < z score < +2 SD
U 9,6
TB = 80 x 100% = 105,26% (WHO 2006) 0 SD < z score < +2 SD
U 76
BB = 11 x 100% = 104,76% (WHO 2006) 0 SD < z score < +1 SD
TB 10,5
Status gizi secara antropometri : gizi kesan cukup

IV. DENVER DEVELOPMENTAL SCREEENING TEST
Kemampuan motorik kasar : setara dengan usia 6 bulan
Kemampuan bahasa : setara dengan usia 6 bulan
Kemampuan adaptif-motorik halus : setara dengan usia 9 bulan
Kemampuan personal sosial : setara dengan usia 6 bulan



V. RESUME
Orang tua pasien mengeluh anak belum bisa berbicara seperti anak
seusianya, belum dapat merangkak maupun berjalan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien CM, gizi kesan
cukup, Nadi : 100 x/ menit isi dan tegangan cukup, RR : 24 x/ menit reguler, t :
37
o
C per aksiler. Pemeriksaan sistem organ yang lain ditemukan Palatoschisis
dan hernia umbilikalis. Dari status gizi antropometri didapatkan gizi kesan
cukup.

VI. DAFTAR MASALAH
1. Kemampuan motorik kasar setara dengan usia 6 bulan
2. Kemampuan bahasa setara dengan usia 6 bulan
3. Kemampuan adaptif-motorik halus setara dengan usia 9 bulan
4. Kemampuan personal sosial setara dengan usia 6 bulan
5. Global developmental delay tsk sindrom Edward
6. Palatoschisis
7. Hernia umbilikalis

VII. DIAGNOSA BANDING
a. Kelainan kromosom
b. Stimulasi kurang

VIII. DIAGNOSIS KERJA
a. Global developmental delay tsk sindrom Edward
b. Palatoschisis
c. Hernia umbilikalis
d. Gizi baik


VIII. PENATALAKSANAAN
1. Tunggu hasil analisa kromosom
2. Konsultasi THT untuk dilakukan tes BERA. Bila hasil negatif, konsul RM
untuk terapi wicara.
3. Konsul bedah plastik
4. Konsul RM untuk fisioterapi dan okupasi terapi
5. Edukasi
- Motivasi keluarga mengenai kondisi pasien
- Konseling

IX. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : malam
Ad fungsionam : malam















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. GLOBAL DEVELOPMENTAL DELAY
1. Latar Belakang
Bayi lahir dalam tahap perkembangannya akan mempelajari beberapa
kemampuan penting (misalnya berbicara, bergaul dengan lingkungannya,
serta berjalan) menurut tahap berkelanjutan yang dapat diperkirakan dengan
peranan motivasi, pengajaran dan dukungan selama pertumbuhannya.
Kemampuan-kemampuan tersebut dikenal sebagai tahapan perkembangan.
Perkembangan yang terlambat (developmental delay) adalah
ketertinggalan secara signifikan pada fisik, kemampuan kognitif, perilaku,
emosi, atau perkembangan sosial seorang anak bila dibandingkan dengan anak
normal seusianya. Seorang anak dengan developmental delay akan tertunda
dalam mencapai satu atau lebih perkembangan kemampuannya. Seorang anak
dengan Global Developmental Delay (GDD) adalah anak yang tertunda dalam
mencapai sebagian besar hingga semua tahapan perkembangan pada usianya.
Prevalensi GDD diperkirakan 5-10 persen dari populasi anak di dunia dan
sebagian besar anak dengan GDD memiliki kelemahan pada semua tahapan
kemampuannya.
Global developmental delay merupakan keadaan yang terjadi pada
masa perkembangan dalam kehidupan anak (lahir hingga usia 18 bulan). Ciri
khas GDD biasanya adalah fungsi intelektual yang lebih rendah daripada anak
seusianya disertai hambatan dalam berkomunikasi yang cukup berarti,
keterbatasan kepedulian terhadap diri sendiri, keterbatasan kemampuan dalam
pekerjaan, akademik, kesehatan dan keamanan dirinya.



2.

Epidemiologi
Sekitar 8 persen dari seluruh anak usia lahir hingga 6 tahun di dunia
memiliki masalah perkembangan dan keterlambatan pada satu atau lebih area
perkembangan.
2
Sekitar 1-3 % anak usia 0-5 tahun di dunia mengalami GDD.
Sementara di Indonesia khususnya di Jakarta, telah dilakukan Stimulasi
Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SSDIDTK). Hasilnya, dari
476 anak yang diberi pelayanan SDIDTK, ditemukan 57 (11,9%) anak dengan
kelainan tumbuh kembang. Adapun lima jenis kelainan tumbuh kembang yang
paling banyak dijumpai adalah, Delayed Development (tumbuh kembang yang
terlambat) sebanyak 22 anak, Global developmental delay sebanyak 4 anak, gizi
kurang sebayak 10 anak, Mikrochepali sebanyak 7 anak dan anak yang tidak
mengalami kenaikan berat badan dalam beberapa bulan terakhir sebanyak 7 anak.
3. Patogenesis
Terdapat beberapa penyebab yang mungkin menyebabkan Global
developmental delay dan beberapa penyebab dapat diterapi. Oleh karena itu,
pengenalan dini dan diagnosis dini merupakan hal yang penting. Beberapa
etiologi yang lain diturunkan secara genetik.
Penyebab yang paling sering adalah abnormalitas kromosom dan
malformasi otak.

Hal lain yang dapat berhubungan dengan penyebab GDD
adalah keadaan ketika perkembangan janin dalam kandungan. Beberapa
penyebab lain adalah infeksi dan kelahiran prematur.
4. Perkembangan Anak dengan GDD
Komponen perkembangan yang diperiksa pada anak dengan GDD:
a) Komponen motorik (kemampuan motorik kasar seperti bangkit berdiri,
berguling, danmotorik halus seperti memilih benda kecil).
b) Kemampuan berbicara dan bahasa(berbisik, meniru kata, menebak suara
yang didengar, berkomunikasi non verbal misalnya gesture, ekspresi wajah,
kontak mata).
c) Kemampuan kognitif (kemampuan untuk mempelajari hal baru, menyaring
dan mengolah informasi, mengingat dan menyebutkan kembali, serta
memberikan alasan).
d) Kemampuan sosial dan emosi (interaksi dengan orang lain dan
perkembangan sifat dan perasaan seseorang).
5. Gejala Klinis
Sebagian besar pemeriksaan pada anak dengan idevelopment delay difokuskan
pada keterlambatan perkembangan kemampuan kognitif, motorik, atau bahasa.

Gejala yang terdapat biasanya:
- Keterlambatan perkembangan sesuai tahap perkembangan pada usianya:
anak terlambat untuk bias duduk, berdiri, berjalan.
- Keterlambatan kemampuan motorik halus/kasar
- Rendahnya kemampuan sosial
- Perilaku agresif
- Masalah dalam berkomunikasi
6. Prognosis
Global Developmental Delay memiliki kemungkinan penyebab yang
beraneka ragam. Keterlambatan perkembangan dapat terjadi pada otak anak saat
otak terbentuk pada masa gestasi. Penyebab yang mungkin antara lain: lahir
premature, kelainan genetic dan herediter, infeksi, tetapi seringkali penyebab
GDD tidak dapat ditentukan. Secara umum, perjalanan penyakit GDD tidak
memburuk seiring dengan waktu pertumbuhan anak.

7. Diagnosis
Beberapa pedoman memberikan rekomendasi diagnosis:
- Pemeriksaan sitogenik
- Pemeriksaan fragile X molecular genetic.
- Pemeriksaan metabolic
- Pemeriksaan neurologis: EEG, MRI

8. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi khusus bagi penderita GDD, tetapi untuk beberapa
keadaan dapat dilakukan penatalaksanaan. Jika ditemukan masalah dalam
pendengaran atau penglihatan, dapat dilakukan koreksi. Perlu mengingat bahwa
penyebab GDD dapat saja tidak diketahui. Kepekaan terhadap keadaan-keadaan
yang dapat membuat keterlambatan perkembangan menolong tenaga medis,
orang tua, maupun guru penderita GDD.

B. EDWARD SYNDROME
Sindrom Edwards pertama kali dideskripsikan oleh John Hilton Edwards
pada tahun 1960. Sindrom yang biasa disebut trisomi 18 ini merupakan suatu
kelainan kromosom yang disebabkan adanya penambahan satu kromosom pada
pasangan kromosom autosomal nomor 18.
Pada umumnya, manusia normal memiliki 46 kromosom, 22 pasang
kromosom somatik (autosom dengan simbol 22AA) dan 1 pasang kromosom
kelamin (gonosom dengan simbol XX untuk perempuan dan XY untuk laki-laki).
Namun, pada beberapa kasus, terdapat variasi jumlah kromosom yang disebabkan
oleh beberapa hal. Hal itu yang disebut aneuploidi. Aneuploidi menyebabkan
adanya variasi jumlah kromosom, ada pasangan kromosom yang kekurangan satu
kromosom, sehingga hanya tersisa satu kromosom (monosomi), ada pula yang
kelebihan satu kromosom, sehingga pasangan kromosom tersebut memiliki tiga
kromosom, disebut trisomi, seperti yang dijumpai pada Sindrom Edwards. Selain
trisomi, terdapat istilah lain seperti tetrasomi (4) dan pentasomi (5) untuk
penambahan jumlah kromosom yang lebih banyak lagi.
Pada beberapa literatur, dituliskan bahwa sindrom ini akan muncul 1 pada
setiap 3000 kelahiran, namun terdapat literatur lain yang menyebutkan
kemungkinan yang lebih yang kecil lagi, yaitu 1 di setiap 6000 kelahiran dan 1 di
setiap 8000 kelahiran. Seperti halnya sindrom Down, sindrom Edwards kerap
terjadi seiring dengan usia ibu yang semakin meningkat. Seperti yang sudah
dijelaskan di atas, penderita sindrom Edwards memiliki tambahan kromosom
pada pasangan kromosom nomor 18 nya, tambahan kromosom inilah yang
menimbulkan masalah bagi penderita. Tambahan jumlah kromosom ini bisa
terdapat di keseluruhan sel somatik tubuh, bisa juga hanya terdapat di sebagian sel
saja yang disebabkan karena translokasi. Efek dari tambahan kromosom ini sangat
bervariasi, tergantung pada riwayat genetik dan kesempatan serta sejauh mana
tambahan kromosom ini berperan.
Sel telur dan sel sperma yang sehat, masing-masing memiliki kromosom
individu yang berkontribusi memberikan 23 pasang kromosom yang dibutuhkan
untuk membentuk sel manusia normal dengan 46 kromosom. Kesalahan numerik
dapat timbul pada salah satu dari dua meiosis dan menyebabkan kegagalan
kromosom untuk berpisah ke dalam sel anak (nondisjunction). Hal ini
menyebabkan kromosom ekstra, membuat jumlah haploid sebanyak 24, bukan 23.
Fertilisasi sel telur atau inseminasi oleh sel sperma yang memliki kromosom
ekstra, akan menghasilkan trisomi, atau tiga salinan kromosom lebih dari dua.
Oleh karena itu, tambahan kromosom biasanya terjadi sebelum konsepsi.
Trisomi 18 terjadi karena nondisjunction/gagal berpisah saat meiosis.
Karena nondisjunction, sebuah gamet (sperma atau sel telur) diproduksi dengan
kromosom tambahan pada kromosom ke 18, jadi gamet itu memiliki 24
kromosom (normal; 23). Saat gamet itu bergabung dengan gamet normal dari
orang tua lain, embrionya memiliki 47 kromosom dengan tiga kromosom pada
kromosom nomor 18. Kariotipe (45A + XX / XY), trisomik pada autosom.
Autosomal kelainan pada kromosom nomor 16,17, atau 18.
Karena sudah pada tahap kromosom, anomali ini akan diteruskan pada
setiap sel yang ada di tubuh penderita. Akibatnya timbul berbagai kelainan dalam
perkembangan janin. Ciri-ciri penderita sindrom Edward :
Kepala kecil (mikrosefali ) disertai dengan bagian belakang menonjol dari
kepala ( tengkuk )
Telinga cacat; abnormal rahang kecil ( micrognathia ); celah bibir / celah
langit-langit ; hidung terbalik;
Sempitnya lipatan kelopak mata ( fisura palpebral ); luasnya mata spasi (
hypertelorism okular ); melorot dari atas kelopak mata ( ptosis ),
Sebuah tulang dada pendek; tangan terkepal; Kista pleksus koroid; jempol
terbelakang dan atau kuku jari-jari tidak ada , anyamandari kedua dan ketiga
jari-jari kaki ; kaki pengkor dan pada laki-laki , testis tidak turun .
Sindrom Edwards sering terdeteksi selama kehamilan dan beberapa orang
tua memilih untuk mengakhiri kehamilannya. Dalam kebanyakan kasus (90%),
tanda-tanda bahwa bayi mungkin memiliki sindrom Edwards ditemui pada usia
kehamilan 18-20 minggu USG anomali janin pemindaian rutin. Tes darah
dikonfirmasi dengan melakukan chorionic villus sampling (CVS) atau
amniosentesis - tes invasif dilakukan selama kehamilan untuk mendeteksi apakah
bayi yang belum lahir bisa berkembang, atau sudah berkembang, suatu kelainan
atau kondisi kesehatan yang serius.
Tidak ada obat untuk sindrom Edwards dan gejala bisa sangat sulit untuk
ditangani. Akan sangat dibutuhkan bantuan dari berbagai profesional kesehatan
yang berbeda. Penderita Sindrom Edward dapat menjalani fisioterapi dan terapi
okupasi, jika kelainan ekstremitas mempengaruhi gerakan mereka. Mereka
mungkin perlu diberi makan melalui feeding tube.

C. PALATOSCHISIS
(Cleft Lips) Celah Bibir dan (Cleft Palate) Celah Langit-langit adalah
suatu kelainan bawaan yang terjadi pada bibir bagian atas serta langit-langit lunak
dan langit-langit keras mulut. Celah bibir (biasa disebut secara Bibir sumbing)
adalah suatu ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir bagian atas, yang
biasanya berlokasi tepat dibawah hidung. Cleft palate atau palatoschisis
merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana atap/langitan dari mulut yaitu
palatum tidak berkembang secara normal selama masa kehamilan, mengakibatkan
terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis,
sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut.
1. PENDAHULUAN
Kepala dan leher dibentuk oleh beberapa tonjolan dan lengkungan,
antara lain processus frontonasalis, processus nasalis medialis dan lateralis,
processus maxillaries, dan processus mandibularis. Kegagalan penyatuan
processus maxilla dan processus nasalis medial akan menimbulkan celah pada
bibir (labioschisis) yang terjadi unilateral atau bilateral. Bila processus nasalis
medialis, bagian yang membentuk dua segmen antara maxilla, gagal menyatu
maka terjadi celah pada atap mulut atau langitan yang disebut palatoschisis.
Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah
dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara
normal selama masa kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum
yang tidak menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat
hubungan antara rongga hidung dan mulut. Oleh karena itu, pada
palatoschisis, anak biasanya pada waktu minum sering tersedak dan suaranya
sengau. Cleft palate dapat terjadi pada bagian apa saja dari palatum, termasuk
bagian depan dari langitan mulut yaitu hard palate atau bagian belakang dari
langitan mulut yang lunak yaitu soft palate.
Cleft palate mempunyai banyak sekali implikasi fungsional dan
estetika bagi pasien dalam interaksi social mereka terutama kemampuan
mereka untuk berkomunikasi secara efektif dan penampilan wajah mereka.
Koreksi sebaiknya sebelum anak mulai bicara untuk mencegah terganggunya
perkembangan bicara. Penyuluhan bagi ibu si anak sangat penting, terutama
tentang cara memberikan minum agar gizi anak memadai saat anak akan
menjalani bedah rekonstruksi. Kelainan bawaan ini sebaiknya ditangani oleh
tim ahli yang antara lain terdiri atas ahli bedah, dokter spesialis anak, ahli
ortodonsi yang akan mengikuti perkembangan rahang dengan giginya, dan
ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing kemampuan bicara.
2. EMBRIOLOGI
Jaringan-jaringan wajah, termasuk didalamnya bibir dan palatum
berasal dari migrasi, penetrasi, dan penyatuan mesenkimal dari sel-sel
cranioneural kepala. Ketiga penonjolan utama pada wajah (hidung, bibir,
palatum) secara embriologi berasal dari penyatuan processus fasialis bilateral.
Embriogenesis palatum dapat dibagi dalam dua fase terpisah yaitu
pembentukan palatum primer yang akan diikuti dengan pembentukan palatum
sekunder. Pertumbuhan palatum dimulai kira-kira pada hari ke-35 kehamilan
atau minggu ke-4 kehamilan yang ditandai dengan pembentukan processus
fasialis. Penyatuan processus nasalis medialis dengan processus maxillaries,
dilanjutkan dengan penyatuan processus nasalis lateralis dengan processus
nasalis medialis, menyempurnakan pembentukan palatum primer. Kegagalan
atau kerusakan yang terjadi pada proses penyatuan processus ini
menyebabkan terbentuknya celah pada palatum primer.
Pembentukan palatum sekunder dimulai setelah palatum primer
terbentuk sempurna, kira-kira minggu ke-9 kehamilan. Palatum sekunder
terbentuk dari sisi bilateral yang berkembang dari bagian medial dari
processsus maxillaries. Kemudian kedua sisi ini akan bertemu di midline
dengan terangkatnya sisi ini. Ketika sisi tersebut berkembang kearah superior,
proses penyatuan dimulai. Kegagalan penyatuan ini akan menyebabkan
terbentuknya celah pada palatum sekunder.
3. ANATOMI
Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle (velum) yang
bersama-sama membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung.
Processus palatine os maxilla dan lamina horizontal dari os palatine
membentuk palatum durum. Palatum molle merupakan suatu jaringan
fibromuskuler yang dibentuk oleh beberapa otot yang melekat pada bagian
posterior palatum durum. Terdapat enam otot yang melekat pada palatum
durum yaitu m. levator veli palatine, m. constrictor pharyngeus superior,
m.uvula, m.palatopharyngeus, m.palatoglosus dan m.tensor veli palatini.
Ketiga otot yang mempunyai konstribusi terbesar terhadap fungsi
velopharyngeal adalah m.uvula, m.levator veli palatine, dan m.constriktor
pharyngeus superior. M.uvula berperan dalam mengangkat bagian terbesar
velum selama konstraksi otot ini. M.levator veli palatine mendorong velum
kearah superior dan posterior untuk melekatkan velum kedinding faring
posterior. Pergerakan dinding faring ke medial, dilakukan oleh m.constriktor
pharyngeus superior yang membentuk velum kearah dinding posterior faring
untuk membentuk sfingter yang kuat. M.palatopharyngeus berfungsi
menggerakkan palatum kearah bawah dan kearah medial. M.palatoglossus
terutama sebagai depressor palatum, yang berperan dalam pembentukan
venom nasal dengan membiarkan aliran udara yang terkontrol melalui rongga
hidung. Otot yang terakhir adalah m.tensor veli palatine. Otot ini tidak
berperan dalam pergerakan palatum. Fungsi utama otot ini menyerupai fungsi
m.tensor timpani yaitu menjamin ventilasi dan drainase dari tuba auditiva.
Suplai darahnya terutama berasal dari a.palatina mayor yang masuk
melalui foramen palatine mayor. Sedangkan a.palatina minor dan m.palatina
minor lewat melalui foramen palatine minor. Innervasi palatum berasal dari
n.trigeminus cabang maxilla yang membentuk pleksus yang menginervasi
otot-otot palatum. Selain itu, palatum juga mendapat innervasi dari nervus
cranial VII dan IX yang berjalan disebelah posterior dari pleksus.
4. INSIDEN
Insidens dari berbagai tipe cleft di laporkan oleh Veau. Insidens secara
keseluruhan dari cleft di laporkan oleh Fogh Andersen yakni 1 dari 655
kelahiran dan oleh Ivy yakni 1 dari 762 kelahiran, dimana lebih sering
dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan. Peningkatan resiko
palatoschisis bertambah seiring dengan meningkatnya usia maternal dan
adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit bawaan yang sama. Faktor
etnik juga mempengaruhi angaka kejadian palatoschisis. Palatoschisis paling
sering ditemukan pada ras Asia dibandingkan ras Afrika. Insiden palatoschisis
pada ras Asia sekitar 2,1/1000, 1/1000 pada ras kulit putih, dan 0,41/1000
pada ras kulit hitam. Menurut data tahun 2004, di Indonesia ditemukan sekitar
5.009 kasus cleft palate dari total seluruh penduduk . Palatoschisis yang tanpa
labioschisis memiliki rasio yang relatif konstan yaitu 0,45-0,5/1000 kelahiran.
Tipe yang paling sering adalah uvula bifida dengan insiden sekitar 2% dari
populasi. Setelah itu diikuti oleh palatoschisis komplit unilateral kiri.
5. ETIOLOGI
Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi
palatoschisis bersifat multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum
berhubungan dengan faktor herediter dan faktor lingkungan yang terlibat
dalam pertumbuhan dan perkembangan processus.
a. Faktor herediter
Sekitar 25% pasien yang menderita palatoschisis memiliki riwayat
keluarga yang menderita penyakit yang sama. Orang tua dengan
palatoschisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk memiliki anak
dengan palatoschisis. Jika hanya salah satu orang tua yang menderita
palatoschisis, maka kemungkinan anaknya menderita palatoschisis
adalah sekitar 4%. Jika kedua orangtuanya tidak menderita
palatoschisis, tetapi memiliki anak tunggal dengan palatoschisis maka
resiko generasi berikutnya menderita penyakit yang sama juga sekitar
4%. Dugaan mengenai hal ini ditunjang kenyataan, telah berhasil
diisolasi suatu X-linked gen, yaitu Xq13-21 pada lokus 6p24.3 pada
pasien sumbing bibir dan langitan. Kenyataan lain yang menunjang,
bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai celah bibir dan
langitan (khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal,
maupun defek lahir lainnya.


b. Faktor lingkungan
Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin,
retinoid (golongan vitamin A), dan steroid beresiko menimbulkan
palatoschisis pada bayi. Infeksi selama kehamilan semester pertama
seperti infeksi rubella dan cytomegalovirus, dihubungkan dengan
terbentuknya celah. Alkohol, keadaan yang menyebabkan hipoksia,
merokok, dan defisiensi makanan (seperti defisiensi asam folat) dapat
menyebabkan palatoschisis.
6. PATOFISIOLOGI
Pasien dengan palatoschisis mengalami gangguan perkembangan
wajah, inkompetensi velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal,
dan gangguan fungsi tuba eustachi. Kesemuanya memberikan gejala patologis
mencakup kesulitan dalam intake makanan dan nutrisi, infeksi telinga tengah
yang rekuren, ketulian, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan
pada pertumbuhan wajah. Adanya hubungan antara rongga mulut dan hidung
menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi.
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak
sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang rekuren
telah dihubungkan dengan timbulnya ketulian yang memperburuk cara bicara
pada pasien dengan palatoschisis. Mekanisme velopharyngeal yang utuh
penting dalam menghasilkan suara non nasal dan sebagai modulator aliran
udara dalam pembentukan fonem lainnya yang membutuhkan nasal coupling.
(Manipulasi anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme ini, jika tidak
sukses dilakukan pada awal perkembangan bicara, dapat menyebabkan
berkurangnya pengucapan normal).
7. KLASIFIKASI
Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoschisis tanpa labioschisis
atau disertai dengan labioschisis. Palatoschisis sendiri dapat diklasifikasikan
lebih jauh sebagai celah hanya pada palatum molle, atau hanya berupa celah
pada submukosa. Celah pada keseluruhan palatum terbagi atas dua yaitu
komplit (total), yang mencakup palatum durum dan palatum molle, dimulai
dari foramen insisivum ke posterior, dan inkomplit (subtotal). Palatoschisis
juga dapat bersifat unilateral atau bilateral.
Veau membagi cleft menjadi 4 kategori yaitu
1. Cleft palatum molle
2. Cleft palatum molle dan palatum durum
3. Cleft lip dan palatum unilateral komplit
4. Cleft lip dan palatum bilateral komplit
Klasifikasi Jalur-Y untuk cleft lip dan palate berdasarkan modifikasi
Millard dari Kernohan. Lingkaran kecil mengindikasikan foramen insisivum;
segitiga mengidikasikan ujung nasal dan dasar nasal.
8. PENATALAKSANAAN
Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah
sederhana, melibatkan berbagai unsur antara lain, ahli Bedah Plastik, ahli
ortodonti, ahli THT untuk mencegah menangani timbulnya otitis media dan
kontrol pendengaran, dan anestesiologis. Speech therapist untuk fungsi bicara.
Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-tindih tapi saling saling
melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna.


a. Terapi Non-bedah
Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak
ada terapi medis khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi
dari palatoschisis yakni permasalahan dari intake makanan, obstruksi
jalan nafas, dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih
dahulu sebelum diperbaiki.
Perawatan Umum Pada Cleft Palatum
Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam pengobatan
pada bayi dengan cleft palate yakni:
1) Intake makanan
Intake makanan pada anak-anak dengan cleft palate biasanya
mengalami kesulitan karena ketidakmampuan untuk menghisap,
meskipun bayi tersebut dapat melakukan gerakan menghisap.
Kemampuan menelan seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang
adekuat mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan lunak jika
lewat bagian posterior dari cavum oris. pada bayi yang masih
disusui, sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot khusus
yang tidak perlu dihisap oleh bayi, dimana ketika dibalik susu
dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal
artinya tidak terlalu besar sehingga membuat pasien menjadi
tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan nutrisi
menjadi tidak cukup. Botol susu dibuatkan lubang yang besar
sehingga susu dapat mengalir ke dalam bagian belakang mulut dan
mencegah regurgitasi ke hidung. Pada usia 1-2 minggu dapat
dipasangkan obturator untuk menutup celah pada palatum, agar
dapat menghisap susu, atau dengan sendok dengan posisi setengah
duduk untuk mencegah susu melewati langit-langit yang terbelah
atau memakai dot lubang kearah bawah ataupun dengan memakai
dot yang memiliki selang yang panjang untuk mencegah aspirasi.
2) Pemeliharaan jalan nafas
Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama
jika dagu dengan retroposisi (dagu pendek, mikrognatik, rahang
rendah (undershot jaw), fungsi muskulus genioglossus hilang dan
lidah jatuh kebelakang, sehingga menyebabkan obstruksi parsial
atau total saat inspirasi (The Pierre Robin Sindrom)
3) Gangguan telinga tengah
Otitis media merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada cleft
palate dan sering terjadi pada anak-anak yang tidak dioperasi,
sehingga otitis supuratif rekuren sering menjadi masalah.
Komplikasi primer dari efusi telinga tengah yang menetap adalah
hilangnya pendengaran. Masalah ini harus mendapat perhatian
yang serius sehingga komplikasi hilangnya pendengaran tidak
terjadi, terutama pada anak yang mempunyai resiko mengalami
gangguan bicara karena cleft palatum. Pengobatan yang paling
utama adalah insisi untuk ventilasi dari telinga tengah sehingga
masalah gangguan bicara karena tuli konduktif dapat dicegah.
b. Terapi bedah
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan
suatu kasus emergensi, dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada
usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena
memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada
proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara
dengan demikian soft palate dapat berfungsi dengan baik.
Speech terapi mulai diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada
usia 2-4 tahun untuk melatih bicara benar dan miminimalkan timbulnya
suara sengau karena setelah operasi suara sengau masih dapat terjadi suara
sengau karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada
mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila
setelah palatoplasty dan speech terapi masih didapatkan suara sengau maka
dilakukan pharyngoplasty untuk memperkecil suara nasal (nasal escape)
biasanya dilakukan pada usia 4-6 tahun. Pada usia anak 8-9 tahun ahli
ortodonti memperbaiki lengkung alveolus sebagai persiapan tindakan
alveolar bone graft dan usia 9-10 tahun spesialis bedah plastic melakukan
operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring pertumbuhan gigi
caninus.
Perawatan setelah dilakukan operasi, segera setelah sadar penderita
diperbolehkan minum dan makanan cair sampai tiga minggu dan selanjutnya
dianjurkan makan makanan biasa. Jaga hygiene oral bila anak sudah
mengerti. Bila anak yang masih kecil, biasakan setelah makan makanan cair
dilanjutkan dengan minum air putih. Berikan antibiotik selama tiga hari.
Pada orangtua pasien juga bisa diberikan edukasi berupa, posisi tidur pasien
harusnya dimiringkan/tengkurap untuk mencegah aspirasi bila terjadi
perdarahan, tidak boleh makan/minum yang terlalu panas ataupun terlalu
dingin yang akan menyebabkan vasodilatasi dan tidak boleh menghisap
/menyedot selama satu bulan post operasi untuk menghindari jebolnya
daerah post operasi.
9. KOMPLIKASI
Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis
media, tuli, gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat
menyebabkan gangguan psikososial. Komplikasi post operatif yang biasa
timbul yakni:
a. Obstruksi jalan nafas
Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas post operatif
merupakan komplikasi yang paling penting pada periode segera setelah
dilakukan operasi. Keadaan ini timbul sebagai hasil dari prolaps dari lidah
ke orofaring saat pasien masih ditidurkan oleh ahli anastesi. Penempatan
Intraoperatif dari traksi sutura lidah membantu dalam menangani kondisi
ini. Obstruksi jalan nafas bisa juga menjadi masalah yang berlarut-larut
karena perubahan pada dinamika jalan nafas, terutama pada anak-anak
dengan madibula yang kecil. Pada beberapa instansi, pembuatan dan
pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai perbaikan palatum telah
sempurna.
b. Perdarahan
Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensil terjadi.
Karena kayanya darah yang diberikan pada paltum, Intraoperative
hemorrhage is a potential complication. Because of the rich blood supply
to the palate, perdarahan yang berarti mengharukan untuk dilakukannya
transfuse. Hal ini bisa berbahaya pada bayi, yakni pada meraka yang total
volume darahnya rendah. Penilaian preoperative dari jumlah hemoglobin
dan hitung trombosit sangat penting. Injeksi epinefrin sebelum di lakukan
insisi dan penggunaa intraoperatif dari oxymetazoline hydrochloride
capat mengurangi kehilangan darah yang bisa terjadi. Untuk menjaga dari
kehilangan darah post operatif, area palatum yang mengandung mucosa
seharusnya diberikan avitene atau agen hemostatik lainnya.
c. Fistel palatum
Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera setelah
dilakukan operasi, atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang
tertunda. Suatu fistel pada palatum dapat timbul dimanapun sepanjang sisi
cleft. Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni sebanyak 34%, dan
berat-ringannya cleft telah dikemukanan bahwa hal tersebut berhubungan
dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post operatif bisa
ditangani dengan dua cara. Pada pasien yang tanpa disertai dengan gejala,
prosthesis gigi bisa digunakan untuk menutup defek yang ada dengan
hasil yang baik. Pasien dengan gejala diharuskan untuk terapi
pembedahan. Sedikitnya supply darah, terutama supply ke anterior
merupakan alasan utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena itu,
penutupan fistula anterior maupun posterior yang persisten seharusnya di
coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika supply darah telah
memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya. Saat ini, banyak
centre menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10 tahun)
sebelum mencoba untuk memperbaiki fistula. Jika metode penutupan
sederhana gagal, flap jaringan seperti flap lidah anterior bisa dibutuhkan
untuk melakukan penutupan.
d. Midface abnormalities
Penanganan Cleft palate pada beberapa instansi telah fokus pada
intervensi pembedahan terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah
retriksi dari pertumbuhan maksilla pada beberapa persen pasien. Palatum
yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan berkurangnya demensi
anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau tingginya
yang abnormal. Kontrofersi yang cukup besar ada pada topik ini karena
penyebab dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan
ataupun efek dari cleft tersebut pada pertumbuhan primer dan sekunder
pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien dengan cleft palate
unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah
orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki
hipoplasia midface yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas
dagu.
e. Wound expansion
Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih.
Bila hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari
rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut
dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.
f. Wound infection
Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena
wajah memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi
akibat kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak
yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi,
dan inflamasi lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
g. Malposisi Premaksilar
Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat
terjadi setelah operasi.
h. Whistle deformity
Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin
berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat
dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.
i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir
Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari
jarak anatomis yang penting lengkung.
10. PROGNOSIS
Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita
gangguan bicara sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh
disekolah, tetapi jika anak berbicara lambat atau hati-hati maka akan terdengar
seperti anak normal.

D. HERNIA UMBILIKALIS
Merupakan hernia kongenital pada umbilikus yang hanya tertutup
peritoneum dan kulit. Hernia ini terdapat pada kira-kira 20 % bayi dan angka
ini lebih tinggi lagi padabayi prematur. Tidak ada perbedaan angka kejadian antara
bayi lelaki dan perempuan.
Umbilikalis adalah tempat umum hemiasi. Hernia umbilikalis terjadi
lebih sering pada wanita. Kegemukan dengan kehamilan berulang-ulang
merupakan prekursor yang umum. Asites selalu mengeksaserbasi masalah ini.
Strangulasi kolon dan omentum umum terjadi. Ruptura terjadi dalam sirosis asitik
kronis, suatu kasus dimana diperlukan segera dekompresi portal atau pintas nevus
peritoneal secara darurat.

Gejala klinis Hernia Umbilikalis
Hernia umbilikalis merupakan penonjolan yang mengandung isi rongga
perut yang masuk melalui cincin umbilikus akibat peninggian tekanan
intraabdomen, biasanya ketika bayi menangis. Hernia umumnya tidak menimbulkan
nyeri dan sangat jarang terjadi inkarserasi.
Tata laksana Hernia Umbilikalis
Bila cincin hernia kurang dari 2 cm; umumnya regresi spontan akan terjadi
sebelum bayi berumur 6 bulan; kadang cincin baru tertutup setelah satu tahun.
Usaha untuk mempercepat penutupan dapat dikerjakan dengan mendekatkan tepi
kiri dan kanan, kemudian memancangnya dengan pita perekat (plester) untuk 2-3
minggu. Dapat pula digunakan uang logam yang dipancangkan di umbilikus untuk
mencegah penonjolan isi rongga perut. Bila sampai usia satu setengah tahun hernia
masih menonjol, umumnya diperlukan koreksi operasi. Pada cincin hernia yang
melebihi 2 cm jarang terjadi regresi spontan dan lebih sukar diperoleh pentupan
dengan tindakan konservatif.
Hernia umbilikalis umum pada bayi dan menutup secara spontan tanpa terapi
khusus jika defek aponeurosis berukuran 1,5 cm atau kurang. Perbaikan di-
indikasikan dalam bayi dengan defek hernia yang diameternya lebih besar dari 2,0
cm, dan dalam semua anak dengan hernia umbilikalis yang masih tetap ada pada
usia 3 atau 4 tahun.
Perbaikan klasik untuk hernia umbilikalis adalah hernioplasti Mayo. Operasi
terdiri dari imbrikasi vest-over-pants dari segmen aponeurosis superior dan inferior.
Hernia umbilikalis besar, lebih suka ditangani dengan prostesis yang mirip dengan
perbaikan prostesis untuk hernia insisional.
Hernia umbilikalis pada orang dewasa merupakan lanjutan hernia
umbilikalis pada anak. Peninggian tekanan karena kehamilan, obesitas, atau asites
merupakan faktor predisposisi. Perbandingan antara lelaki dan perempuan kira-kira
1:3. Diagnosis mudah dibuat seperti halnya pada anak-anak. Inkarserasi lebih sering
terjadi dibandingkan dengan anak-anak. Terapi hernia umbilkalis pada orang
dewasa hanya operatif.












DAFTAR PUSTAKA

Beaty TH, Ruczinski I, Murray JC, et al. (May 2011). Evidence for gene-
environment interaction in a genome wide study of isolated, non-
syndromic cleft palate. Genet Epidemiol 35 (6): 46978.
Costello BJ, Edwards SP, Clemens M (October 2008). Fetal diagnosis and treatment
of craniomaxillofacial anomalies. J. Oral Maxillofac. Surg. 66 (10):
198595.
Donna L. Wong . Wongs essential of pediatric nursing. Ed 6. 2001. Mosby inc.
Dudas M, Li WY, Kim J, Yang A, Kaartinen V (2007). Palatal fusion where do
the midline cells go? A review on cleft palate, a major human birth
defect. Acta Histochem. 109 (1): 114.
Gunarsa,S. 2006. Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: PT. Gunung mulia.
Hasan rosepno, Hussein alatas. Ilmu kesehatan anak jilid II: global development
delay. Jakarta, 1985: 884-888.
Henry MM, Thompson JN , 2005, Principles of Surgery, 2
nd
edition, Elsevier
Saunders, page 431-445.
Jacoby, D. 2009. Pustaka Kesehatan Populer (Psikologi). PT. Buana Ilmu Populer.
Kim EK, Khang SK, Lee TJ, Kim TG (May 2010). Clinical features of the
microform cleft lip and the ultrastructural characteristics of the orbicularis
oris muscle. Cleft Palate Craniofac. J. 47 (3): 297302.
Menkes JH. Textbook of Child Neurology. 4th. ed. Philadelphia: Lea & Febiger
1990; 306-311
Nefid Jerrrey. 2002. Psikologi Abnormal jilid 1 dan 2.Jakarta : Erlangga.
NHS. 2014. Edwards Syndrome. http://www.nhs.uk/conditions/edwards-
syndrome/Pages/Introduction.aspx
Diakses pada 14 Agustus 2014
Sabiston, Buku Ajar Ilmu Bedah, bagian I, cetakan ke-dua, EGC, Jakarta, 1995. Hal :
228, 243.
Schwartz, Shires, Spencer, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6, EGC, Jakarta,
Hal : 509 517.
Sloan GM (2000). Posterior pharyngeal flap and sphincter pharyngoplasty: the state
of the art. Cleft Palate Craniofac. J. 37(2): 11222.
Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak; editor: IG.N. Gde Ranuh. Jakarta.
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta, EGC,
Hal: 523-537
Tessier P (June 1976). Anatomical classification facial, cranio-facial and latero-
facial clefts. J Maxillofac Surg 4 (2): 6992
Tollefson TT, Humphrey CD, Larrabee WF, Adelson RT, Karimi K, Kriet JD
(2011). The spectrum of isolated congenital nasal deformities
resembling the cleft lip nasal morphology.Arch Facial Plast Surg 13 (3):
15260.
Tosun Z, Honuter M, Sentrk S, Savaci N (2003). Reconstruction of microform
cleft lip. Scand J Plast Reconstr Surg Hand Surg 37 (4): 2325.
Widjaja, H, Anatomi abdomen, Jakarta, EGC, 2007, Hal : 21-25.
Yuzuriha S, Mulliken JB (November 2008). Minor-form, microform, and mini-
microform cleft lip: anatomical features, operative techniques, and
revisions. Plast. Reconstr. Surg.122 (5): 148593.

Anda mungkin juga menyukai