Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN

Transient Ischemic Attack (TIA) didefinisikan sebagai disfungsi neurologis
sementara yang secara umum berlangsung selama 1 jam; diakibatkan oleh fokus
sereberal, medulla spinalis maupun iskemi retinal; dan tidak berkaitan dengan adanya
infark dari jaringan.
1
Sebanyak 200,000-500,000 TIA didiagnosa per tahunnya di Amerika Serikat
(AS).
2,3
Dimana pasien dengan TIA yang datang ke Unit Gawat Darurat (UGD)
diperkirakan sebanyak 1 dari 1000 populasi warga AS.
4
TIA memiliki risiko jangka
pendek yang tinggi untuk stroke, dan diperkirakan sebanyak 15% dari stroke yang
telah terdiagnosa diawali dengan TIA. Secara internasional, kemungkinan terjadinya
TIA ialah sebesar 0.42 per 1000 populasi warga negara maju.
5
Mengingat cukup tingginya angka kejadian TIA, maka penting diketahui
bagaimana pemeriksaan dan tatalaksana awal pada pasien dengan TIA. Selain angka
kejadiannya yang tinggi, pasien dengan TIA juga memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk terjadinya stroke, dimana sekitar 10-15% pasien dengan TIA mengalami
serangan stroke dalam 90 hari setelah onset TIA.
7
Untuk menghindari terjadinya
stroke maka perlu diketahui bagaimana penanganan yang baik untuk pasien dengan
TIA.
Pada tulisan ini penulis akan membandingkan 3 guideline yang dapat
digunakan untuk panduan dalam melakukan pemeriksaan dan tatalaksana awal pada
pasien dengan TIA.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Transient Ischemic Attack
Didefinisikan sebagai disfungsi neurologis sementara yang secara umum
berlangsung selama 1 jam; diakibatkan oleh fokus sereberal, medulla spinalis
maupun iskemi retinal; dan tidak berkaitan dengan adanya infark dari jaringan.
1
Patogenesis dari terjadinya TIA terjadi oleh karena berkurangnya aliran
darah serebral dibawah 20-30 ml 100 g/menit yang mengakibatkan timbulnya
gejala neurologis. Infark dapat terjadi sebagai akibat dari derajat penurunan
aliran darah dan durasi dari berkurangnya aliran darah serebral. Jika aliran
darah dapat kembali kepada area dari otak dengan durasi waktu yang cepat,
maka gejala iskemi dapat kembali menjadi normal.
Penyebab berkurangnya aliran darah serebral dapat diakibatkan oleh
berkurangnya aliran yang mengalir pada pembuluh darah atau karena adanya
hambatan pada pembuluh darah akibat adanya emboli.


Gambar 1. Patogenesis TIA

Gejala-gejala yang diakibatkan oleh TIA dapat diklasifikasikan
berdasarkan lokasi terjadinya. Jika TIA terjadi pada daerah anterior, maka
akan timbul gejala seperti hemiparesis, gangguan hemisensorik, disfasia,
kebutaan monocular (amaurosis fugax). Jika terjadi pada bagian posterior,
maka akan menimbulkan gejala berupa hilangnya kesadaran, gangguan
motorik atau sensorik anggota gerak tubuh, kebutaan binocular, vertigo,
tinnitus, diplopia, ataupun disartria.
6
3

Gambar 2. Gejala TIA berdasarkan sirkulasi yang terlibat

Presentasi dan lokalisasi dari TIA penting untuk diketahui. Penting untuk
membedakan apakah gejala yang dimiliki pasien terjadi karena gangguan dari
distribusi pembuluh darah karotis atau vertebrobasilar.
8


Tabel 1. Distribusi gejala stroke/TIA

2.2. Diagnosis and Initial Management of Transient Ischaemic Attack
9


2.2.1. Mengenali tanda dan gejala, dan mendiagnosa TIA secara cepat dan tepat
Pasien dengan disfungsi neurologis transien sering tidak menyadari
pentingnya gejala yang mereka alami dan menunda mencari pertolongan
medis. Meskipun demikian, sifat transien dari gejala TIA tidak mengurangi
kepentingannya untuk mendapat tatalaksana sesegera mungkin.
Pada pasien dengan gejala neurologis yang timbul mendadak maka dapat
digunakan alat bantu diagnosa yang sudah tervalidasi seperti Face Arm Speech
Test (FAST) untuk skrining diluar rumah sakit agar dapat mengetahui adanya
stroke atau TIA.
4

Tabel 2. Face Arm Speech Test

Pada pasien yang masuk ke UGD dengan suspek stroke atau TIA maka
diagnosa harus dapat ditegakkan secara cepat dengan menggunakan alat bantu
berupa sistem skoring yang sudah tervalidasi seperti Recognition of Stroke in
the Emergency Room (ROSIER).

Gambar 3. Recognition of Stroke in the Emergency Room
5

2.2.2. Pemeriksaan dan tatalaksana awal TIA
TIA merupakan prediktor yang penting untuk mengetahui kemungkinan
adanya stroke. Semua pasien yang pernah atau diperkirakan memiliki riwayat
TIA harus diperiksa sesegera mungkin terhadap risiko terjadinya stroke. Hal
ini dapat dilakukan dengan menggunakan ABCD
2
Scoring System.

Tabel 3. The ABCD
2
Score

Skor 4 menandakan adanya risiko tinggi terjadinya stroke dalam waktu
7 hari kedepan (4% risiko mengalami stroke dalam 7 hari), sementara skor 3
menandakan risiko yang lebih rendah untuk terjadi stroke. Namun, perlu
diperhatikan bahwa sistem skoring seperti ABCD
2
mengeksklusi beberapa
populasi pasien yang mungkin memiliki risiko tinggi seperti TIA berulang,
atau sedang dalam terapi antikoagulan, yang mungkin juga memerlukan
tatalaksana yang segera.
Pasien dengan TIA crescendo ( 2 dalam 1 minggu) harus diberiksan
tatalaksana seperti memiliki risiko tinggi terkena stroke meskipun skor 3.
Pasien dengan riwayat TIA namun datang lebih dari 1 minggu setelah gejala
hilang diberikan tatalaksana seperti memiliki risiko yang rendah untuk terkena
stroke.
Semua pasien dengan suspek TIA harus mendapatkan pengobatan berupa
aspirin 300 mg/hari. Pasien harus mendapatkan assessment dari spesialis dan
dimulai dalam jangka waktu 24 jam pada pasien dengan risiko tinggi terkena
6
stroke, untuk pasien dengan risiko lebih rendah dapat dimulai sesegera
mungkin, sebaiknya dalam jangka waktu 1 minggu setelah timbul gejala.
Untuk tatalaksana akut pada pasien, maka dapat dilakukan langkah
berikut:
Pastikan tidak ada gejala neurologis residual (eksklusi stroke)
Lakukan pemeriksaan gula darah, profil lipif, fungsi ginjal, dan
trombosit. Lakukan pemeriksaan EKG untuk eksklusi adanya fibrilasi
atrium.
Mulailah terapi aspirin (kecuali jika terdapat kontraindikasi)
Pastikan apakah TIA yang dialami pasien memiliki risiko tinggi atau
rendah terhadap terjadinya stroke, hal ini pentin untuk menentukan
apakah pasien butuh pemeriksaan oleh spesialis dalam 24 jam
pertama atau dapat dilakukan dalam 1 minggu kedepan.
Setelah pasien dikonsultasikan kepada spesialis, maka akan dilakukan
pemeriksaan yang meliputi:
Konfirmasi diagnosa
Pemeriksaan faktor risiko, gaya hidup, dan pencegahan sekunder
Tatalaksana farmakologis awal
Tindakan pencitraan baik untuk otak maupun carotid, dan intervensi
karotis dalam 2 minggu.
2.2.3. Pemeriksaan radiologis pada pasien dengan TIA
Tidak semua pasien dengan TIA membutuhkan pemeriksaan radiologis
terhadap otak dengan segera, pasien membutuhkan assessment oleh spesialis
sebelum diputuskan untuk melakukan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan
radiologis direkomendasikan saat:
Daerah vaskular yang terlibat tidak jelas (anterior atau posterior) dan
pasien dipertimbangkan untuk carotid endarterectomy
Patologi penyebab gejala neurologis dari pasien tidak dapat
dipastikan, diagnosa banding dapat meliputi migraine, epilepsi
ataupun tumor otak.
Adanya perdarahan intraserebral perlu untuk dieksklusi, contohnya
pada pasien dengan terapi antikoagulan jangka panjang.
7
Pasien dengan suspek TIA harus diperiksa oleh spesialis sebelum dibuat
keputusan untuk melakukan pemeriksaan radiologis.
MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang dianggap baik untuk
pasien dengan suspek TIA yang memerlukan pemeriksaan radiologis, dan
harus dilakukan:
Pada 24 jam setelah onset gejala, jika skor ABCD
2
4 atau dengan TIA
crescendo
Dalam 1 minggu setelah onset dari gejala, jika skor ABCD
2
3
Jika MRI dikontraindikasikan contohnya pada pasien dengan
pacemaker, aneurysm clips, ataupun katup jantung buatan, maka CT-Scan
dapat digunakan.

2.3. Clinical Guidelines for Stroke and TIA Management: A Quick Guide for
General Practice
10


2.3.1. Pemeriksaan dan tatalaksana awal
Semua pasien dengan suspek TIA harus diperiksa secara lengkap,
meliputi riwayat penyakit secara lengkap, pemeriksaan fisik lengkap,
prognosis. Dapat dilakukan dengan menggunakan skor ABCD
2
dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis,
dan EKG)
Jika pasien dianggap memiliki risiko tinggi (ABCD
2
>3 dan/atau
ditemukan adanya fibrilasi atrial, gejala dari sirkulasi karotis ataupun TIA yang
bersifat crescendo) maka harus dilakukan pemeriksaan radiologis otak secara
cepat, dalam jangka waktu 24 jam. Pemeriksaan karotid juga harus dilakukan
secara cepat jika pasien memiliki gejala sirkulasi anterior yang merupakan
kandidat untuk dilakukan revaskularisasi carotid. Pada kondisi akses yang
terbatas terhadap pemeriksaan ini, maka harus dilakukan rujukan dalam jangka
waktu 24 jam.
Pasien yang dianggap memiliki risiko rendah (skor ABCD
2
<4) tanpa
fibrilasi atrial, atau gangguan sirkulasi carotid yang datang lebih dari 1 minggu
setalah gejala terakhir harus melakukan pemeriksaan radiologis otak dan
karotis secepat mungkin, diusahakan dalam jangka waktu 48 jam.
8
Pemeriksaan penunjang berikut harus dilakukan pada pasien dengan
suspek TIA: pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, laju endap darah, fungsi
ginjal, profil lipid, kadar glukosa, dan EKG.
Pemeriksaan lanjut terhadap otak, jantung dan arteri karotis harus
dilakukan pada pasien yang pada pemeriksaan awal tidak dapat ditentukan
adanya penyebab iskemik, pada pasien dengan riwayat TIA >1 dan pada pasien
yang mungkin melakukan pembedahan karotis.

2.3.2. Pemeriksaan radiologis
Semua pasien dengan suspek stroke harus melakukan pemeriksaan CT
atau MRI secara segera dalam jangka wajtu 24 jam. Pasien yang merupakan
kandidat dari terapi trombolisis harus melakukan imaging otak secara segera.
Semua pasien dengan gejala dari gangguan karotis yang memungkinkan
untuk menjadi kandidat revaskularisasi karotis harus melakukan imaging
karotis.
Pemeriksaan lebih lanjut terhadap jantung ataupun pencitraan daerah
karotis seharusnya dilakukan pada pasien yang pada pemeriksaan awal tidak
diperkirakan mengalami defisit neurologis akibat gangguan iskemik, pasien
dengan riwayat TIA berulang, dan pasien yang memungkinkan untuk
dilakukan operasi karotid.

2.3.3. Investigasi
Pemeriksaan berikut harus dilakukan pada pasien dengan suspek stroke:
pemeriksaan darah lengkap, EKG, elektrolit, fungsi renal, pemeriksaan lipid,
LED dan/atau CRP dan kadar glukosa.
Pada pasien tertentu memungkinkan dilakukan pemeriksaan tambahan
seperti rontgen thorax, skrining vaskulitis, skrining protrombin. Pemeriksaan
berikut harus dilakukan sesegera mungkin sebagai prosedur kegawatdaruratan
medis pada pasien tertentu.
Pada terapi antitrombolitik, aspirin harus diberikan secara segera setelah
onset dari gejala, diusahakan dalam 48 jam pertama jika CT/MRI menunjukan
tidak ada perdarahan. Dosis awal berkisar 150-300 mg. Dosis kemudian dapat
dikurang menjadi 100 mg/hari.

9
2.3.4. Pencegahan sekunder

a. Modifikasi pola hidup
Semua pasien dengan stroke harus diperiksa dan diberikan infromasi
mengenai faktor risiko yang dimiliki terhadap stroke dan juga harus
diberikan informasi mengenai strategi yang dapat dilakukan untuk
memodifikasi faktor risiko yang telah terdeteksi. Hal ini dapat
dilaksanakan dengan cara, melakukan terapi untuk menghentikan
kebiasaan merokok pasien, memperbaiki pola makan pasien dengan diet
rendah lemak dan garam tetapi kaya akan buah-buahan dan sayur-
sayuran, meningkatkan aktivitas (olahraga) secara rutin, dan
menghindari konsumsi alkohol dalam jumlah besar (tidak lebih dari 2
gelas/ hari)

b. Ketaatan dalam mengkonsumsi obat
Pasien harus diberikan informasi yang cukup agar dapat
mengkonsumsi obat sesuai yang telah diresepkan secara teratur. Hal ini
dapat dicapai dengan berbagai cara, misalnya dengan menyarankan
pasien untuk membuat pengingat pribadi, atau diingatkan dengan
bantuan anggota keluarga yang lain.

c. Penurunan tekanan darah
Semua pasien dengan stroke maupun TIA, normotensi ataupun
hipertensi, harus mendapatkan terapi untuk menurukan tekanan darah,
kecuali ada kontraindikasi adanya hipotensi simtomatik.
Terapi penurunan tekanan darah yang baru harus dimulai sebelum
pasien dipulangkan dari rumah sakit.

d. Terapi antiplatelet
Terapi antiplatelet jangka panjang harus diberikan kepada pasien
dengan stroke iskemik atau TIA yang tidak diberikan terapi
antikoagulan.
10
Aspirin dosis rendah dan dipyridamole atau clopidogrel dapat
diberikan pada pasien dengan stroke iskemik atau TIA, dengan melihat
faktor komorbid dari pasien.
Aspirin sebagai terapi tunggal dapat digunakan, terutama pada
pasien yang tidak dapat mentolerir aspirin yang dikombinasikan dengan
dipyridamole atau clopidogrel.
Kombinasi aspirin dan clopidogrel tidak disarankan untuk
pencegahan sekunder penyakit serebrovaskular pada pasien yang tidak
memiliki penyakit jantung koroner atau pemasangangan stent coroner.

e. Terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan sebagai pencegahan sekunder pada pasien
dengan stroke iskemik atau TIA dari penyebab arterial tidak dapat
digunakan secara rutin.
Terapi antikoagulan untuk pencegahan sekunder jangka panjang
sebaiknya digunakan pada pasien dengan stroke atau TIA dengan
fibrilasi atrial atau stroke kardioemboli.
Pada pasien stroke, keputusan untuk memulai terapi antikoagulan
dapat ditunda hingga 2 minggu, namun sebaiknya dilaksakan sebelum
pasien dipulangkan dari rumah sakit.
Pada pasien dengan TIA maka terapi antikoagulasi harus dimulai
setelah CT atau MRI mengekslusi adanya perdarahan intrakranial.
f. Penurunan kadar kolesterol
Terapi dengan golongan statin sebaiknya digunakan pada semua
pasien dengan stroke iskemik atau TIA, dan sebaiknya tidak digunakan
secara rutin pada stroke hemoragik.
g. Terapi bedah carotid
Pasien yang memenuhi kriteria untuk melaksanakan carotid
endarterectomy harus melakukan operasi secepat mungkin, idelanya
dalam 2 minggu setelah onset dari gejala.
h. Terapi diabetes
Pasien dengan penyakit penyerta diabetes sebaiknya diberikan
tatalaksana sesuai dengan guideline yang ada mengenai tatalaksana
diabetes.
11
i. Hormone replacement therapy
HRT sebaiknya dihentikan setelah terjadinya stroke. Keputusan
untuk memulai kembali HRT pada pasien dengan riwayat stroke atau
TIA sebaiknya didiskusikan dengan pasien dan dapat diambil keputusan
dengan menimbang secara keseluruhan kebaikan dan keburukan dari
terapi tersebut.
j. Kontrasepsi oral
Keputusan untuk melanjutkan kontrasepsi oral pada wanita usia
subur dengan riwayat stroke harus didiskusikan mengingat baik dan
buruknya terapi, dan sebaiknya disarankan untuk menggunakan
kontrasepsi non-hormonal.

2.4. Diagnosis and Initial Management of Acute stroke and Transient Ischaemic
Attack
11

2.4.1. Mengenali dan mendiagnosa secara cepat
Pada pasien dengan gejala akut gangguan neurologis, maka alat ukur
seperti FAST (Face Arm Speech Test) harus dilakukan diluar rumah sakit
untuk skrinning diagnosa stroke ataupun TIA)
Hipoglikemi harus segera dieksklusi sebagai penyebab dari gejala
neurologis yang timbul.
Pasien yang datang ke UGD degan suspek stroke atau TIA harus dapat
didiagnosa secara cepat menggunakan ROSIER (Recognition of Stroke in the
Emergency Room)
2.4.2. Pemeriksaan pasien suspek TIA dan identifikasi faktor risiko terhadap stroke
Pasien dengan suspek TIA (tidak ada gejala neurologis saat pemeriksaan
dalam jangka waktu 24 jam) harus segera diperiksa secara cepat akan risiko
serangan stroke lanjut dengan menggunakan sistem skoring ABCD
2
.
Pasien dengan risiko tinggi stroke (skor ABCD
2
>4) harus mendapatkan
terapi:
Aspirin (300 mg/hari) yang dimulai sedini mungkin
Pemeriksaan oleh spesialis dan investigasi gejala dalam 24 jam setelah
onset
12
Pencegahan sekunder harus diperkenalkan sedini mungkin, dengan
mencari faktor risiko
Pasien dengan TIA crescendo (2 atau lebih TIA dalam 1 minggu) harus
mendapatkan tatalaksana seperti pasien dengan risiko tinggi untuk terkena
stroke, meskipun pasien memiliki skor ABCD
2
<3.
Pasien dengan suspek TIA dengan skor ABCD
2
< 3 sebaiknya mendapatkan
terapi:
Aspirin (300 mg/ hari)
Pemeriksaan oleh spesialis dan investigasi gejala secepatnya, dalam
jangka waktu 1 minggu
Pencegahan sekunder seperti mencari dan mengatasi faktor risiko
Pasien dengan TIA namun tidak segera datang ke (> 1 minggu setelah
gejala hilang) harus diberikan tatalaksana seperti pasien memiliki risiko
rendah terhadap stroke.
2.4.3. Pencitraaan pada pasien dengan suspek TIA atau stroke tanpa kecacatan
Semua pasien dengan gejala stroke akut memerlukan pemeriksaan
pencitraan sedini mungkin terhadap otak, namun belum banyak penelitian
yang merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan ini pada pasien
dengan gejala yang telah sembuh pada saat pemeriksaan. Pada bagian ini akan
dibahas rekomendasi pasien suspek TIA mana saja yang memerlukan
pemeriksaan pencitraan dan jenis pencitraan apa yang terbaik.
Pasien suspek TIA yaitu mereka yang tanda dan gejalanya sudah hilang
sempurna dalam waktu 24 jam harus diperiksa oleh spesialis selambat-
lambatnya 1 minggu setelah onset. Pasien dengan suspek TIA yang memiliki
risiko tinggi untuk terkena stroke (skor ABCD
2
>4) atau dengan TIA
crescendo dimana daerah vaskular yang terlibat tidak dapat diketahui secara
pasti harus melakukan pencitraan, dimana pemeriksaan MRI lebih
direkomendasikan.
Pasien dengan suspek TIA namun memiliki risiko terkena stroke yang
relatif rendah (skor ABCD
2
<4) dimana daerah vaskular yang terlibat sulit
ditentukan harus melakukan pencitraan, dimana MRI lebih direkomendasikan.
Pasen dengan suspek TIA yang memerlukan pemeriksaan pencitraan
dengan segera, sebaiknya melakukan pemeriksaan pencitraan menggunakan
13
diffusion-weighted MRI atau jika terdapat kontraindikasi, dapat digunakan CT-
Scan.
Pemeriksaan pencitraan otak sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada
pasien dengan stroke akut jika terdapat kondisi dibawah ini :
Indikasi untuk terapi trombolisis atau antikoagulan
Pasien sedang dalam terapi antikoagulan
Diketahuinya ada kecenderungan terjadinya perdarahan
Penurunan kesadaran (GCS <13)
Gejala yang progresif atau fluktuatif yang sulit ditentukan penyebabnya
Adanya papilledema, kaku kuduk, atau demam
Adanya nyeri kepala berat pada saat onset dari gejala stroke

2.4.4. Terapi farmakologis
a. Terapi antitrombolitik dikombinasikan dengan alteplase
Trombolisis dengan alteplase. Alteplase direkomendasikan untuk
tatalaksana stroke iskemik akut saat digunakan oleh tenaga medis yang
terlatih dan berpengalaman pada tatalaksana stroke akut. Hanya boleh
diberikan pada pusat kesehatan dengan staff yang telah terlatih dan akses
untuk imaging secara cepat.

b. Terapi aspirin dan antikoagulan
Semua pasien dengan stoke akut yang telah mendapat pemeriksaan
radiologis, dan dinyatakan tidak memiliki perdarahan intraserebral,
sebaiknya mendapat terapi berikut sedini mungkin, dalam 24 jam pertama
setelah onset :
Aspirin 300 mg per oral jika pasien tidak memiliki disfagia
Aspirin 300 mg sup atau per NGT jika pasien disfagia
Aspirin 300 mg harus diteruskan selama setidaknya 2 minggu setelah
onset dari gejala stroke, dan pada saat itu pemberian antirombolitik
jangka panjang sebaiknya dimulai. Pada pasien yang telah memenuhi
indikasi untuk pulang kurang dari 2 minggu dapat memulai terapi jangka
panjang lebih dini dari 2 minggu.
14
Jika pasien memiliki riwayat dispepsia, maka obat golongan PPI harus
ditambahkan pada pemberian aspirin. Pasien dengan stroke iskemik akut
yang alergi terhadap aspirin harus diberikan antiplatelet alternatif lainnya.
Terapi antikoagulan sebaiknya tidak digunakan untuk tatalaksana rutin pada
stroke akut.

c. Terapi statin
Pemberian statin tidak disarankan untuk diberikan secara dini, namun
jika pasien dengan stroke telah mendapatkan terapi statin secara rutin, maka
terapi statin sebaiknya tetap diteruskan.

2.4.5. Pemeliharaan dan perbaikan homeostasis
a. Pemberian oksigen
Pasien dengan stroke harus diberikan oksigen tambahan apabila saturasi
oksigen menurun hingga < 95%. Pemberian oksigen secara rutin tidak
direkomendasikan pada pasien dengan stroke akut yang tidak hipoksia.

b. Kontrol gula darah
Pasien dengan stroke akut harus diberikan tatalaksana untuk menjaga
konsentrasi gula darah antara 4 11 mmol/ liter. Pemberian insulin secara
optimal harus diberikan pada semua pasien dewasa dengan diabetes yang
memiliki risiko tinggi infark miokard atau stroke.

c. Pemantauan tekanan darah
Pemberian obat-obatan anti hipertensi hanya direkomendasikan apabila
ada salah satu dari kondisi hipertensi emergensi dibawah ini:
Ensefalopati hipertensi
Nefropati hipertensi
Gagal jantung hipertensi
Diseksi aorta
Pre-eklamsia/eklamsia
Perdarahan intraserebral dengan tekanan darah sistol > 200 mmHg
15
Penurunan darah hingga 185/110 mmHg atau kurang sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien yang menjadi kandidat untuk diberikan terapi
trombolisis.

2.4.6. Nutrisi dan hidrasi
a. Penilaian kemampuan menelan
Pada saat tiba di rumah sakit maka kemampuan menelan harus
diperiksa apakah dapat berfungsi dengan baik sebelum diberikan makanan,
cairan maupun obat-obatan per oral.
Jika ditemukan adanya masalah menelah, maka harus diperiksa oleh
spesialis dalam jangka waktu 24-72 jam.
Pasien dengan suspek aspirasi atau membutuhkan pemasangan NGT
atau modifikasi diet selama 3 hari harus diperiksa ulang dan dikonsultasikan
mengenai dietnya.
Pasien dengan stroke akut yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi dan cairan secara oral harus dipasangkan NGT selambat-lambatnya
setelah 24 jam.
b. Suplementasi nutrisi oral
Semua pasien yang diraway dirumah sakit harus di skrining untuk
adanya malnutrisi dan faktor risiko untuk malnutrisi, dimana skrining
tersebut sebaiknya diulang setiap minggu. Skrining yang dilakukan meliputi,
BMI dan persentase dari unintentional weight loss harus diperiksa, dan dapat
menggunakan alat ukut The Malnutrition Screening Tool (MUST). Saat
skrining, harus diperhatikan adanya disfagia, kondisi kesehatan rongga
mulut, dan kemampuan pasien untuk makan sendiri.
c. Mobilisasi dini dan posisi yang optimal untuk pasien stroke akut
Mobilisasi dini dianggap sebagai elemen yang penting dalam
tatalaksana stroke akut. Posisi duduk dapat membantu menjaga saturasi
oksigen dan mengurangi adanya risiko pneumonia hipostatik.
Pasien dengan stroke akut sebaiknya dimobilisasikan sedini mungkin
setelah kondisi klinis pasien memungkinkan, dan sebaiknya diposisikan
dalam posisi duduk sedini mungkin.
d. Menghindari risiko pneumonia aspirasi
16
Pnemumonia aspirasi ialah komplikasi dari stroke yang dikaitkan
dengan meningkatnya kematian dan prognosis yang buruk. Pada pasien
dengan disfagia, makanan dan cairan harus diberikan dalam bentuk yang
dapat ditelan tanpa menimbulkan aspirasi.

2.5. Perbandingan Guideline
2.5.1. Pemeriksaan dan tatalaksana awal
Pada guideline pertama dan ketiga dicantumkan bagaimana cara
mendeteksi adanya pasien dengan suspek stroke atau TIA, namun pada
guideline kedua tidak dicantumkan.
Pada guideline pertama dan ketiga, diberikan petunjuk bagaimana
untuk melakukan skrining secara cepat akan kemungkinan adanya stroke
atau TIA yaitu dengan menggunakan Face Arm Speech Test (FAST).
Pertanyaan dalam FAST cukup sederhana, sehingga memungkinkan
untuk dilakukan diluar rumah sakit, dan bahkan dapat disosialikan kepada
orang awam. Pertanyaan yang terdapat dalam FAST meliputi,
Apakah orang tersebut dapat tersenyum, apakah terlihat mulut atau
mata yang tampak seperti terjatuh?
Apakah orang tersebut dapat mengangkat kedua tangannya?
Apakah orang tersebut dapat berbicara dengan jelas dan mengerti apa
yang diucapkan orang lain?
Pada guideline pertama dan ketiga juga dijelaskan untuk menggunakan
Recognition of Stroke in the Emergency Room (ROSIER) ketika pasien yang
dicurigai terkena stroke atau TIA tiba di rumah sakit.
Dalam kuesioner tersebut berisi tanggal pemeriksaan, tanggal dari
onset gejala. Kemudian berisi juga skor GCS dari pasien, tekanan darah, dan
kadar gula darah sewaktu. Dilanjutkan dengan pertanyaan seperti apakah
terdapat kehilangan kesdaran? Apakah terdapat kejang?
Setelah itu dilanjukan dengan memeriksa adanya onset akut dari gejala
neurologis seperti:
Kelemahan wajah sesisi
Kelemahan tangan sesisi
Kelemahan tungkai sesisi
17
Gangguan berbicara
Gangguan lapangan pandang
Setiap pertanyaan memiliki skor dan total skor dapat bervariasi mulai
dari -2 hingga +5, pasien dianggap tidak memiliki stroke jika skor < 0.
Setelah dapat dipastikan adanya diagnosa TIA maka perlu dinilai faktor
risiko stroke yang mungkin dimiliki oleh pasien. Ketiga guideline tersebut
merekomendasikan penggunaan skor ABCD
2
untuk memeriksa kemungkinan
pasien mengalami stroke.
Pemeriksaan dengan menggunakan skor ABCD
2
dikalkulasikan
berdasarkan:
Age (Usia) : >60 tahun = 1 poin
Blood pressure at presentation (>140/90 mmHg = 1 poin)
Clinical features : Kelemahan sesisi = 2 poin, Gangguan bicara tanpa
kelemahan = 1 poin
Duration of symptoms : >60 menit = 2 poin, 10-59 menit= 1 poin
Diabetes = 1 poin
Interpretasi dari skor pada ketiga guideline didapatkan sama yaitu, skor
> 4 diartikan bahwa pasien memiliki risiko tinggi untuk stroke, dan skor <4
diartikan sebagai pasien dengan risiko stroke rendah.

2.5.2. Indikasi pemeriksaan radiologis
Guideline 1 menyatakan bahwa tidak semua pasien dengan TIA
memerlukan pemeriksaan radiologis secara segera, dan hanya
direkomendasikan untuk dilakukan secepatnya pada kondisi tertentu, seperti
adanya ketidakjelasan dari daerah yang terlibat (sirkulasi anterior atau
posterior) berdasarkan gejala klinis, atau pada pasien yang dipertimbangkan
untuk dilakukan tindakan carotid endarterectomy.
Pemeriksaan juga direkomendasikan jika penyebab gejala neurologis
pada pasien tidak dapat dipastikan, dengan diagnosa banding meliputi migrain,
epilepsi, atau tumor otak. Pencitraan direkomendasikan jika ingin
mengeksklusi perdarahan intraserebral sebagai penyebab dari gejala
neurologis yang ada. Pasien dengan suspek TIA harus diperiksa oleh spesialis
sebelum dibuat keputusan untuk melakukan pemeriksaan radiologis.
18
Pemeriksaan dengan menggunakan MRI lebih direkomendasikan dan
dianggap sebagai yang terbaik untuk pemeriksaan pada pasien suspek TIA dan
harus dilakukan selambat-lambatnya 24 jam setelah onset gejala, jika skor
ABCD
2
4 atau dengan TIA crescendo, dan selambat-lambatnya dalam 1
minggu setelah onset dari gejala, jika skor ABCD
2
3
Guideline 2 menyatakan bahwa semua pasien dengan suspek stroke
harus melakukan pemeriksaan CT atau MRI secara segera dalam jangka waktu
24 jam. Namun tidak terdapat pernyataan mengenai pemeriksaan pencitraan
pada pasien dengan suspek TIA.
Sementara itu, pasien yang merupakan kandidat dari terapi trombolisis
harus melakukan imaging otak secara segera dan sesuai dengan guideline
pertama, dinyatakan juga bahwa semua pasien dengan gejala dari gangguan
karotis yang memungkinkan untuk menjadi kandidat revaskularisasi karotis
harus melakukan imaging karotis.
Berdasarkan guideline 3, dikatakan bahwa pasien dengan TIA yang
perlu melakukan pemeriksaan pencitraan terhadap otak adalah pasien dengan
suspek TIA yang memiliki risiko tinggi untuk terkena stroke (skor ABCD
2
>4)
atau dengan TIA crescendo ataupu TIA dengan risiko stroke rendah (skor
ABCD
2
<4) dimana daerah vaskular yang terlibat tidak dapat dipastikan secara
klinis.
Pada kondisi ini, pemeriksaan dengan menggunakan MRI lebih
direkomendasikan, namun dapat juga menggunakan pemeriksaan CT-Scan.
Pada pasien dengan kondisi-kondisi diatas, pencitraan dapat dilakukan hingga
maksimal 7 hari setelah onset.

2.5.3. Terapi farmakologis
Berdasarkan ketiga guideline, maka terapi awal untuk pasien dengan TIA
adalah aspirin 300 mg yang dimulai sedini mungkin. Pada guideline 2
dinyatakan dosis dapat berkisar 150-300 mg untuk awalnya, dan dapat
dikurangi menjadi 100 mg/hari.
Guideline 1 dan 3 didapatkan petunjuk lebih spesifik mengenai
tatalaksana awal, dimana tatalaksana yang diberiksan dibedakan berdasarkan
skor ABCD
2
dari pasien.
19
Pasien dengan skor ABCD
2
> 4 dan TIA crescendo sebaiknya
mendapatkan terapi berupa aspirin 300 mg yang dimulai sedini mungkin dan
harus dilakukan pemeriksaan dan investigasi oleh spesialis dalam 24 jam dari
onset gejala, serta lakukan pencegahan sekunder setelah diagnosa dapat
ditegakkan, dan segera lakukan pemeriksaan faktor risiko pada pasien.
Sementara itu untuk pasien dengan skor ABCD
2
<3 atau yang datang
setelah 1 minggu dari onset gejala, dengan gejala yang telah hilang, dapat
memulai terapi aspirin 300mg/hari, namun pemeriksaan lainnya dapat
dilakukan hingga selambat-lambatnya dalam 7 hari.

Guideline 2 selain memaparkan mengenai terapi awal, memaparkan juga
untuk terapi lanjutan yang dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi
risiko terjadinya stroke, meliputi:
a. Penurunan tekanan darah yang harus diberikan pada pasien baik
normotensi atau hipertensi, dan harus sudah dimulai sebelum pasien
dipulangkan dari rumah sakit
b. Terapi antiplatelet
Terapi harus diberikan untuk jangka panjang bagi pasien TIA yang
tidak menerima terapi antikoagulan. Dapat digunakan aspirin saja, atau
aspirin dikombinasikan dengan dipyridamole atau clopidogrel.
c. Terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan untuk pencegahan sekunder jangka panjang
sebaiknya digunakan pada pasien dengan stroke atau TIA dengan
fibrilasi atrial atau stroke kardioemboli. Pada pasien dengan TIA maka
terapi antikoagulan harus dimulai setelah CT atau MRI mengekslusi
adanya perdarahan intrakranial.
d. Penurunan kadar kolesterol
Terapi dengan golongan statin sebaiknya digunakan pada semua pasien
dengan stroke iskemik atau TIA, dan sebaiknya tidak digunakan secara
rutin pada stroke hemoragik.
e. Terapi bedah carotid
Pasien yang memenuhi kriteria untuk melaksanakan carotid
endarterectomy harus melakukan operasi secepat mungkin, idelanya
dalam 2 minggu setelah onset dari gejala.
20
f. Terapi diabetes
Pasien dengan penyakit penyerta diabetes sebaiknya diberikan
tatalaksana sesuai dengan guideline yang ada mengenai tatalaksana
diabetes.


g. Hormone replacement therapy
HRT sebaiknya dihentikan setelah terjadinya stroke. Keputusan untuk
memulai kembali HRT pada pasien dengan riwayat stroke atau TIA
sebaiknya didiskusikan dengan pasien dan dapat diambil keputusan
dengan menimbang secara keseluruhan kebaikan dan keburukan dari
terapi tersebut.
h. Kontrasepsi oral
Keputusan untuk melanjutkan kontrasepsi oral pada wanita usia subur
dengan riwayat stroke harus didiskusikan mengingat baik dan
buruknya terapi, dan sebaiknya disarankan untuk menggunakan
kontrasepsi non-hormonal.

21
BAB III
KESIMPULAN

TIA merupakan disfungsi neurologis sementara yang secara umum
berlangsung selama 1 jam; diakibatkan oleh fokus serebelar, medulla spinalis,
maupun iskemi retinal, dan tidak berkaitan dengan adanya infark dari jaringan.
TIA dapat terjadi oleh karena berkurangnya aliran darah serebral dibawah 20-
30 ml/100g/menit, yang diakibatkan oleh adanya penurunan aliran darah serebral
yang kemudian kembali sebelum ada infark dari jaringan, maupun adanya emboli.
Meskipun TIA memiliki gejala yang bersifat transien, dan tidak menimbulkan
defisit neurologis yang menetap, pasien dengan TIA tetap penting untuk mendapatkan
tatalaksana sesegera mungkin, oleh karena terdapat faktor risiko untuk terjadinya
stroke.
Berdasarkan guideline yang telah dibahas, maka dapat disimpulkan bahwa
tahap pertama untuk mengenali dan mendiagnosa TIA dapat dilakukan dengan
skrining diluar rumah sakit dengan menggunakan metode Face Arm Speech Test
(FAST), kemudian pada UGD dapat digunakan sistem skoring Recognition of Stroke
in the Emergency Room (ROSIER).
Setelah didapatkan diagnosa maka pasien sebaiknya menerima terapi aspirin
sedini mungkin, diikuti dengan pemeriksaan terhadap faktor risiko yang dimiliki
pasien dengan menggunakan sistem skoring ABCD
2
. Setelah mendapat skor, tentukan
apakah pasien memiliki skor yang tinggi atau rendah, segera konsultasikan kepada
spesialis dan lakukan pencitraan terhadap otak maupun daerah carotid dalam 24 jam
pertama jika pasien memiliki skor >4.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien meliputi pemeriksaan
darah lengkap, kadar glukosa, profil lipid, fungsi ginjal, EKG, CT-Scan/MRI sesuai
indikasi. Setelah diagnosa TIA dapat ditegakkan dan faktor risiko untuk pasien telah
diketahui, maka pasien diberikan tatalaksana pencegahan sekunder untuk terjadinya
stroke.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Albers GW, Caplan LR, Easton JD, Fayad PB, Mohr JP, Saver JL, et al.
Transient ishemic attack : proposal for a new definition. N Engl J Med 2002;
347(21): 1713-6.
2. Kleindorfer D, Panagos P, Pancioli A, et al. Incidence and short-term
prognosis of transien ischemic attack in a population-based study. Stroke
2005; 36(4): 720-3.
3. Johston SC, Fayad PB, Gorelick PB, Hanley DF, Shwayder P, VanHusen D, et
al. Prevalence and knowledge of transient ischemic attack among US adults.
Neurology 2003; 60(9): 1429-34.
4. Edlow JA, Kim S, Pelletrier AJ, Camargo CA. National study on emergency
department visits for transient ischemic attack, 1992-2001. Acad Emerg Med
2006; 13(6): 666-72.
5. Truelsen T, Begg S, Mathers C. World Heath Organization. The global burden
of cerebrovascular disease. Global Burden of Disease 2000.
6. Lindsay K, Bone I, Fuller G. Neurology and Neurosurgery Illustrated.3
rd
ed.
Philadelphia: Chucrchill Livingstone; 1997: p.242
7. Johnston SC. Transient ischemic attack: an update. Stroke 2007; 17(2).
8. Weiner WJ, Goetz CG, Shin RK. Neurology for the non-neurologist. 6
th
ed.
Philadelphia: Lippincott; 2010: p.113.
9. PJ Tyrell. Diagnosis and initial management of transient ischemic attack:
concise guidance to good practice series. Royal College of Physicians 2010.
10. Walker R, Hill M, Harley J. Diagnosis and initial management of acute stroke
and transient ischemic attack. National Institute for Health and Clinical
Excellence 2008.
11. Clinical Guideline for Stroke and TIA Management: a quick guide for general
practice. Stroke Foundation 2010.

Anda mungkin juga menyukai