Anda di halaman 1dari 24

KONSEP DASAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAt

2.1.1 Pasien Gawat Darurat


Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam
nyawanya dan atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya. Bisanya di lambangkan dengan label merah. Misalnya AMI
(Acut Miocart Infac).

2.1.2 Pasien Gawat Tidak Darurat
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat.
Bisanya di lambangkan dengan label Biru. Misalnya pasien dengan Ca stadium akhir.

2.1.3 Pasien Darurat Tidak Gawat
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam nyawa dan
anggota badannya. Bisanya di lambangkan dengan label kuning. Misalnya : pasien
Vulnus Lateratum tanpa pendarahan.

2.1.4 Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat
Pasien yang tidak mengalami kegawatan dan kedaruratan. Bisanya di lambangkan
dengan label hijau. Misalnya : pasien batuk, pilek.

2.1.5 Pasien Meninggal
Label hitam ( Pasien sudah meninggal, merupakan prioritas terakhir. Adapun petugas
triage di lakukan oleh dokter atau perawat senior yang berpengalaman dan petugas
triage juga bertanggung jawab dalam operasi,pengawasan penerimaan pasien dan
daerah ruang tunggu.
Selain dari penjelasan di atas di butuhkan pemahaman dampak atau psikologis pada
saat keadaan gawat darurat.

2.1.6 Aspek Psikologis Pada Situasi Gawat Darurat
Cemas
cemas sering dialami oleh hampir semua manusia. Perasaan tersebut ditandai oleh
rasa ketakutan yang difius, tidak menyenangkan, seringkali disertai oleh gejala
otonomik, seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, gelisah, dan sebagainya.
Kumpulan gejala tertentu yang ditemui selama kecemasan cenderung bervaniasi,
pada setiap orang tidak sama.
Histeris
Dalam penggunaan sehari-hari nya histeria menjelaskan ekses emosi yang tidak
terkendali. Orang yang "histeris" sering kehilangan kontrol diri karena ketakutan
yang luar biasa karena suatu kejadian atau suatu kondisi
Mudah marah
Hal ini terjadi apabila seseorang dalam kondisi gelisah dan tidak tahu apa yang
harus di perbuat

I. Pendekatan Pelayanan keperawatan gawat Darurat

Tepat adalah melakukan tindakan dengan betul dan benar, Cermat adalah melakukan
tindakan dengan penuh minat, perhatian, sabar, tanggap terhadap keadaan pasient,
penuh ketelitian dan berhati-hati dalam bertindak serta hemat sesuai dengan
kebutuhan sedangkan Cepat adalah tindakan segera dalam waktu singkat dapat
menerima dan menolong pasien, cekatan, tangkas serta terampil.
Sementara itu urutan prioritas penanganan kegawatan berdasarkan pada 6-B yaitu :
B -1 = Breath system pernafasan
B -2 = Bleed system peredaran darah ( sirkulasi )
B -3 = Brain system saraf pusat
B -4 = Bladder system urogenitalis
B -5 = Bowl system pencernaan
B -6 = Bone system tulang dan persendian

Kegawatan pada system B-1, B-2, B-3, adalah prioritas utama karena kematian dapat
terjadi sangat cepat, rangkin pertolongan ini disebut Live Saving First Aid yang
meliputi :
Membebaskan jalan napas dari sumbatan
Memberikan napas buatan
Pijat jantung jika jantung berhenti
Menghentikan pendarahan dengan menekan titik perdarahan dan menggunakan
beban
Posisi koma dengan melakukan triple airway menuver, posisi shock dengan tubuh
horizontal, kedua tungkai dinaikan 200 untuk auto tranfusi
Bersikap tenang tapi cekatan dan berfikir sebelum bertindak, jangan panic
Lakukan pengkajian yang cepat terhadap masalah yang mengancam jiwa
Lakukan pengkajian yang siatematik sebelum melakukan tindakan secra
menyeluruh.
Berdasarkan urain diatas dapat disimpulkan segera sesuai dengan standar dan
fasilitas yang tersedia karena faktor waktu dan infornasi terbatas untuk mencegah
kematian dan mencegah kecacatan.

II. PENGERTIAN

A. Pasien Gawat Darurat
Pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan
terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak
mendapat pertolongan secepatnya.

B. Pasien Gawat Tidak Darurat
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat,
misalnya kanker stadium lanjut.

C. Pasien Darurat Tidak Gawat
Pasien akibat musibah yang datag tiba-tiba, tetapi tidak mngancam nyawa dan
anggota badannya, misanya luka sayat dangkal.

D. Pasien Tidak Gawat Tidak Darurat
Misalnya pasien dengan ulcus tropiurn, TBC kulit, dan sebagainya.

E. Kecelakaan (Accident)
Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai factor yang datangnya mendadak,
tidak dikehendaki sehinga menimbulkan cedera (fisik. mental, sosial)



F. Cedera
Masalah kesehatan yang didapat/dialami sebagai akibat kecelakaan.
G. Bencana
Peristiwa atau rangkaian peritiwa yang disebabkan oleh alam dan atau manusia yang
mengakibatkan korban dan penderitaan manusia. kerugian harta benda, kerusakan
Iingkungan, kerusakan sarana dan prasarana umum serta menimbulkan gangguan
terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat dan pembangunan nasional
yang memerlukan pertolongar. dan bantuan.

II. PENANGGULANGAN PENDERITA GAWAT DARURAT (PPGD)

2.1 Tujuan
a. Mencegah kematian dan cacat (to save life and limb) pada periderita gawat
darurat, hingga dapat hidup dan berfungs kembali dalarn masyarakat sebagaimana
mestinya.
b. Merujuk penderita . gawat darurat melalui sistem rujukan untuk memperoleh
penanganan yang Iebih memadai.
c. Menanggulangi korban bencana.

2.2 Prinsip Penanggulangan Penderita Gawat Darurat
Kematian dapat terjadi bila seseorang mengalami kerusakan atau kegagalan dan
salah satu sistem/organ di bawah ini yaitu :
1. Susunan saraf pusat
2. Pernapasan
3. Kardiovaskuler
4. Hati
5. Ginjal
6. Pankreas
Kegagalan (kerusakan) sistem/organ tersebut dapat disebabkan oleh:
1. Trauma/cedera
2. lnfeksi
3. Keracunan (poisoning)
4. Degenerasi (failure)
5. Asfiksi
6. Kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar (excessive loss of wafer and
electrolit)
7.Dan lain-lain.
Kegagalan sistem susunan saraf pusat, kardiovaskuler, pernapasan dan hipoglikemia
dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat (4-6 menit). sedangkan kegagalan
sistem/organ yang lain dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang lebih lama.
Dengan demikian keberhasilan Penanggulangan Pendenta Gawat Darurat (PPGD)
dalam mencegah kematian dan cacat ditentukan oleh:
1. Kecepatan menemukan penderita gawat darurat
2. Kecepatan meminta pertolongan
3. Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan ditempat kejadian, dalam
perjalanan kerumah sakit, dan pertolongan selanjutnya secara mantap di Puskesmas
atau rumah sakit.

III. SISTEM PENANGGULANGAN PENDERITA GAWAT DARURAT

3.1 Tujuan
Tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu bagi
setiap anggota masyarakat yang berada daam keadaan gawat darurat.
Upaya pelayanan kesehatan pada penderita gawat darurat pada dasarnya mencakup
suatu rangkaian kegiatan yang harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu
mencegah kematian atau cacat yang mungkin terjadi.
Cakupan pelayanan kesehatan yang perlu dikembangkan meliputi:
a. Penanggulangan penderita di tempat kejadian
b. Transportasi penderita gawat darurat dan tempat kejadian kesarana kesehatan
yang lebih memadai.
c. Upaya penyediaan sarana komunikasi untuk menunjang kegiatan penanggulangan
penderita gawat darurat.
d. Upaya rujukan ilmu pengetahuan,pasien dan tenaga ahli
e. Upaya penanggulangan penderita gawat darurat di tempat rujukan (Unit Gawat
Darurat dan ICU).
f. Upaya pembiayaan penderita gawat darurat.
2.4.2 Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang
dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.
Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan
istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan
pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh
derajat kesehatan yang optimal (pasal 4).Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa
Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh masyarakat termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang
mampu.6 Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta). Rumah sakit di
Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24
jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat
darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan
pemberian pelayanan.Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan
fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat
untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan
kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24
jam per hari. Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik.
Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7
UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang
spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan
tersebut seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai
instansi di luar sector kesehatan.

2.4.3 Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan Gawat Darurat
Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan yang berkaitan
dengan lingkup kewenangan dalam penanganan keadaan gawat darurat. Pengertian
tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang Kesehatan
sebagai berikut:6 tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa
profesi kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena
tindakan yang dilakukan mengandung risiko yang tidak kecil. Pengaturan tindakan
medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan dapat dilihat dalam
pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau
perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat
dilakukan oleh tenagakesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu. 6 Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan
seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan
pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau membahayakan
terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis yang
mengandung risiko. Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan
tindakan medik diatur dalam pasal 50 UU No.23/ 1992 tentang Kesehatan yang
merumuskan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan
kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga
kesehatan yang bersangkutan.6 Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat
darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki
kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik
dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga
kesehatan maka yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai
dengan situasi (gawat darurat) saat itu.6,10 Pelayanan gawat darurat fase pra-
rumah sakit umumnya tindakan pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakat
awam baik yang tidak terlatih maupu yang terlatih di bidang medis. Dalam hal itu
ketentuan perihal kewenangan untukmelakukan tindakan medis dalam undang-undang
kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat melakukan hal
itu dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu mereka tidak dapat
disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang
kesehatan. Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil
yang telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan
yang memang tugasnya di bidang ini (misalnya petugas 118), maka tanggungjawab
hukumnya tidak berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada
tidaknya kelalaian dilakukan dengan membandingkan keterampilan tindakannya
dengan tenaga yang serupa.

2.4.4 Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan
hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat.
Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege
tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat.
Menurut The American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat
adalah: An emergency is any condition that in the opinion of the patient, his family,
or whoever assumes the responsibility of bringing the patient to the hospital-
require immediate medical attention. This condition continuesuntil a determination
has been made by a health care professional that the patients life or well-being is
not threatened.Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat
darurat walaupun sebenarnya tidak demikian.Sehubungan dengan hal itu perlu
dibedakan antara false emergency dengan true emergency yang pengertiannya
adalah: A true emergency is any condition clinically determined to require
immediate medical care. Such conditions range from those requiring extensive
immediate care and admission to the hospital to those that are diagnostic problems
and may or may not require admission after work-up and observation.Untuk menilai
dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi pasien
diselenggarakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal
adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh
perawat melalui standing order yang disusun rumah sakit. Selain itu perlu pula
dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan
fase di rumah sakit.4 Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda,
di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang
awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga
kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab
tenaga kesehatan dan orang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan
dan ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas
pasien.

2.4.5 Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-
undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama
diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara
sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat.3,5
Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan
lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan
yang harus dipenuhi adalah :
1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan
atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun.
Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut
tidak berlaku.
2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang
dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan
trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong. Dalam hal
pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena
diduga terdapatkekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka
pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi
penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause).5 Bila tuduhan kelalaian tersebut
dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi
dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi.2 Jadi, tepat atau tidaknya tindakan
tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi
sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula. Setiap tindakan medis harus
mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur
sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan
Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.
Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada
pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari
siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal
persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar
persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.
Kegawatdaruratan gigi

Bab I
Pendahuluan
Definisi
Kegawatdaruratan gigi adalah suatu keadaan dimana terdapat trauma terhadap
mulut yang melibatkan gigi yang tercabut, rahang yang bergeser dan trauma wajah
atau fraktur. Sebagai tambahan adalah perlukaan soft tissue seperti bibir, gusi,
atau pipi. Perlukaan pada mulut sering menimbulkan sakit yang cukup hebat dan
harus dirawat oleh dokter gigi sesegera mungkin.
Latar Belakang
Kegawatdaruratan ini menyangkut rasa sakit, perdarahan, infeksi dan estetika
dimana ada keadaan-keadan tertentu yang irreversible bila tidak ditangani dengan
cepat.
Batasan Masalah
Pada makalah ini hanya dibahas mengenai sakit gigi, perdarahan, komplikasi operasi,
gigi yang patah, gigi yang tercabut, trauma pada wajah,

Bab II
Pembahasan
A. Sakit gigi
Nyeri pulpa adalah nyeri yang spontan, kuat, sering berdenyut dan dipicu oleh
suhu, dan masih terasa beberapa saat setelah penyebabnya dihilangkan.
Lokalisasinya pada tempat yang buruk dan nyeri cenderung menjalar ke telinga,
pelipis, atau pipi. Nyeri ini dapat hilang spontan, namun pasien tetap harus diarahkan
untuk menemui dokter gigi, karena dapat terjadi nekrosis pulpa dan dapat terjadi
periodontitis apikalis akut (abses gigi). Perawatan endodontik (perawatan saluran
akar) atau pencabutan gigi mungkin dibutuhkan.

Nyeri periodontitis apikalis berupa nyeri yang spontan dan hebat,
berlangsung selama beberapa jam terlokalisir dengan baik dan ditimbulkan oleh
proses pengunyahan. Gusi dari gigi yang bersangkutan sering teraba lunak. Absesnya
dapat berbentuk (gumboil atau abses subperiosteal pada gusi) kadang dengan
pembengkakan wajah, demam dan sakit. Infeksi pada rongga wajah dapat
membahayakan saluran nafas dan harus dikonsulkan ke spesialis, untungnya hal ini
jarang terjadi.

Terapi terbaiknya adalah menginsisi absesnya, memberikan antimikroba
(Amoksisilin) dan analgesik. Situasi yang akut ini biasanya menyembuh tetapi
absesnya dapat timbul lagi apabila pulpa yang nekrotik tersebut terinfeksi kembali,
kecuali dilakukan perawatan endodontik atau pencabutan gigi. Hipersekresi sinus
yang asimtomatik dapat merupakan gejala dari adanya abses kronik. Abses ini
jarang terbuka sampai ke kulit.
B. Perdarahan
Perdarahan pada mulut sebagian besar disebabkan oleh gingivitis atau trauma,
namun apabila berkepanjangan perlu dipertimbangkan adanya kecenderungan
perdarahan.

Trauma
Setelah sebuah gigi dicabut atau diekstraksi, soket gigi tersebut mengeluarkan
darah secara normal selama beberapa menit, kemudian akan membeku/membentuk
clot.
Perawatan darurat untuk perdarahan post ekstraksi adalah menyuruh pasien untuk
menggigit kapas selama 15-30 menit
Perdarahan menetap mungkin memerlukan penutupan soket dengan bahan
haemostatic atau penjahitan. Namun biasanya dilakukan pada pasien kecenderungan
perdarahan
Indikasi perawatan gigi yang harus segera dirujuk ke rumah sakit, misalnya:
a. Trauma
- Fraktur wajah bagian sepertiga tengah atas.
- Fraktur mandibula, kecuali jenis yang sederhana atau hanya dislokasi
- Fraktur zigomatis, dimana terdapat bahaya kerusakan bola mata
b. Lesi Inflamasi dan Infeksi
- Infeksi pada leher atau rongga wajah
- Infeksi oral dimana pasien keracunan atau mengalami gangguan imunitas hebat
- Tuberkulosis
- Infeksi virus hebat
- Kelainan vesikobulosa yang hebat (Pemvigus), Sindroma Stevens Johnson, Nekrolisis
Epidermis yang toksis
c. Kehilangan Darah
Perdarahan yang menetap atau hebat (biasanya pada pasien dengan kecenderungan
perdarahan)
d. Lain lain
Diabetes yang tidak terkontrol
C. Komplikasi Bedah
a. Nyeri Pasca Pencabutan Gigi / Post Extraction
Beberapa kasus nyeri dan bengkak setelah ekstraksi gigi adalah biasa terjadi
namun akan hilang setelah beberapa jam. Parasetamol biasanya memberikan efek
analgesik yang cukup. Nyeri dari tindakan ekstraksi yang rumit mungkin bertahan
lebih lama dan harus dikontrol secara teratur dengan analgesik. Jika nyeri menetap
atau bertambah pasien harus kembali ke dokter gigi untuk mencari penyebabnya
(seperti dry socket atau fraktur rahang).
b. Infeksi
Osteitis lokalisata (dry socket) biasanya disebabkan oleh pencabutan gigi,
khususnya ekstraksi molar bawah. Setelah 2 - 4 hari, dapat terjadi nyeri yang
meningkat, halitosis, rasa tidak enak, rongga gigi yang kosong (empty socket), dan
terasa lunak. Infeksi ini dirawat dengan irigasi dengan air garam hangat (50C) atau
cairan chlorhexidine, kemudian menutup socket (dengan campuran yang sudah
tersedia) dan berikan analgesik dan antimikroba (metronidazol). Perawatan ini tidak
dapat dilakukan bila ada akar yang tertinggal, benda asing, fraktur rahang,
osteomielitis, atau penyebab lain khususnya bila ada demam, nyeri yang menetap
atau gangguan neurologis lain seperti rasa baal pada bibir.
Nyeri yang terus meningkat bisa menandakan adanya fraktur atau infeksi.

Aktinomikosis merupakan komplikasi jangka panjang yang jarang dari
ekstraksi atau fraktur rahang. Dan biasanya tampak sebagai pembengkakan kronis
yang keunguan. Hal ini mungkin mengindikasikan adanya penggunaan penicillin selama
3 minggu.

c. Komplikasi Antral
Bila terjadi masuknya gigi ke dalam antrum, beri antimikroba dan dekongestan
hidung dan cari gigi tersebut dengan radiografi. Terapi selanjutnya memerlukan
tindakan bedah.
d. Fistula Oroantral

Pasien sebaiknya tidak menghembuskan nafas kuat-kuat. Antimikroba dan
dekongestan hidung dapat menolong. Jika didiagnosa lebih awal, dapat dilakukan
penutupan secara primer, namun pada kasus lain perlu dikonsul ke spesialis untuk
dilakukan penutupan dengan flap.

Fistula oroantral terjadi setelah pencabutan gigi molar atas. Dasar antrum sering
berbatasan dengan akar dari molar dan premolar rahang atas.
D. Fraktur Gigi
Trauma pada gigi susu mungkin tidak memerlukan perawatan darurat gigi.
Tetapi cidera yang tampaknya ringan dapat merusak gigi pengganti yang akan
menjadi gigi tetap. 30% kerusakan pada gigi permanen terjadi pada usia 15 tahun.
Fraktur pada enamel tidak memerlukan perawatan darurat. Tetapi tetap
memerlukan pengawasan. Kebanyakan cedera berat pada dentin harus dirawat
dengan segera karena dapat menimbulkan infeksi pulpa. Perawatan darurat seperti
menambal dengan material khusus pada dentin yang patah dan perawatan secara
cepat oleh dokter gigi harus dilakukan pada waktu yang bersaman atau paling lambat
pada keesokan harinya.
E. Gigi Avulsi
Avulsi pada gigi tetap anterior dapat ditanam kembali pada anak-anak,
khususnya apabila apex pada akar belum terbentuk dengan sempurna (dibawah 16
Tahun). Avulsi pada gigi susu tidak perlu ditanam kembali. Semakin muda usia anak,
maka penanaman kembali semakin cepat yaitu 15 menit dan lebih baik yaitu 98%
dapat kembali normal dengan perawatan berkala.

Fraktur gigi pada kecelakaan olahraga
Penanaman yang segera memberikan hasil yang terbaik. Jika gigi tersebut
terkontaminasi, cucilah dengan larutan air garam steril, dan apabila soket terisi
bekuan darah, hilangkan dengan irigasi larutan garam. Tanam kembali gigi dengan
benar sesuai permukaannya (pastikan bagian labial (cembung) menghadap kedepan)
dan secara manual tekan soketnya dan balut giginya. Anak tersebut harus menemui
dokter gigi dalam waktu 72 jam setelah kejadian.
Jika penanaman kembali tidak dapat dilakukan segera, taruh gigi pada larutan
isotonic seperti susu segar dingin yang terpasteurisasi, larutan garam atau larutan
lensa kontak. Atau bila anak cukup kooperatif, letakkan gigi pada sulcus buccalis dan
bawa ke dokter gigi dalam waktu 30 menit. Cairan yang tidak sesuai dan merusak
adalah air (terjadi karena pemaparan yang lama dan mengakibatkan kerusakan
keseimbangan isotonis), desinfektan, pemutih, dan jus buah. Penggunaan larutan
minyak doxycilin sebelum penanaman kembali oleh dokter gigi dapat membantu
pencegahan resorpsi akar di kemudian hari.
Balut gigi selama 7-10 hari, tidak boleh menggigit pada gigi yang dibalut., diet harus
lunak dan lakukan perawatan kebersihan mulut yang baik
F. Trauma Maxillofacial
a. Dislokasi atau subluksasi pada mandibula.
Ini biasanya disebabkan oleh pembukaan rahang yang terlalu lebar. Condylus
bergeser ke depan atas, anterior dari eminensia dan mulut pasien terbuka terus.
Proses pengembalian posisi dapat dilakukan dengan menghadap wajah pasien
dan meletakkan ibu jari tangan kanan dan kiri yang sudah dibalut perban pada gigi
molar bawah dan lakukan tekanan ke arah bawah secara bersaman dengan jari
lainnya dibawah dagu, dorong dari bawah ke atas.
Apabila otot-otot mengalami spasme, dapat diberikan midazolam i.v. Apabila posisi
rahang sudah kembali, hindari pembukaan rahang yang lebar. Dislokasi yang berulang
dapat menunjukkan adanya sindrom Ehlers-Danlos dan Sindroma Marfan
b. Fraktur Rahang
Umumnya terjadi karena trauma dengan kecepatan tinggi seperti kecelakaan
lalulintas dan kecelakaan lainnya. Tindakan yang terutama adalah membebaskan jalan
nafas. Bebaskan semua trauma pada pasien sepanjang jalan nafas dengan pedoman
ATLS. Masalah lain yang mengancam kehidupan seperti pendarahan intracranial,
pendarahan hebat dari organ lain dan kerusakan tulang leher harus segera
ditangani. Dalam pengamatan selanjutnya, perhatikan robekan pada kepala dan
adanya kebocoran cairan serebrospinal.

Oklusi yang tampak bertingkat mengarah akan adanya fraktur mandibula
Pendarahan yang berhubungan dengan fraktur rahang dapat mempengaruhi
jalan nafas. Fraktur rahang sendiri jarang menyebabkan pendarahan yang hebat,
kecuali berhubungan dengan palatum yang terpisah atau luka tembak.
Pendarahan dari pecahnya arteri inferior gigi biasanya berhenti dengan
sendirinya. Tetapi timbul kembali pada traksi mandibula. Pendarahan maxillofacial
yang hebat dapat ditamponade dengan fiksasi craniofacial,. Pendarahan dapat
timbul dari fraktur tulang hidung, dimana dibutuhkan fiksasi pada hidung. Jika
pendarahan berulang, pembuluh darah yang rusak harus dijahit.
Penatalaksanaan fraktur, walaupun terjadi kerusakan wajah yang parah,
bukan merupakan prioritas yang utama. Namun serpihan seperti gigi yang patah,
darah, atau air liur harus dibersihkan dari mulut. Dan diperlukan pembebasan jalan
nafas orofaringeal.
Intubasi mungkin diperlukan pada cedera kepala, cricotiroidotomy dapat
dilakukan apabila intubasi tidak dapat dilakukan, atau keadaan kontraindikasi dari
intubasi nasotrakheal. Diagnosa frakturnya dari anamnesa yaitu nyeri, bengkak,
memar, pendarahan (biasanya dalam mulut), adanya fragmen yang bergeser (adanya
krepitasi), oklusi yang tidak rata, paresthesia dan anesthesia dari saraf yang
bersangkutan dan tanda-tanda fraktur pada radiografi.
c. Fraktur Mandibula
Hal ini biasanya tidak berhubungan dengan luka atau pendarahan lain yang serius.
Jika sympysis mengalami remuk, lidah dapat terdorong ke belakang dan menyumbat
jalan nafas, dan ini perlu dicegah. Fraktur sederhana yang tidak bergeser dapat
dirawat secara konservatif dengan diet lunak apabila gigi tidak rusak. Jika fragmen
bergeser, nyeri cenderung terjadi dan fiksasi dini merupakan penatalaksanaan
terbaik. Umumnya fraktur dapat ditangani dengan pembedahan dan fiksasi dengan
mini plate.
d. Fraktur tengkorak bagian sepertiga tengah atas.
Ini biasanya ditimbulkan oleh trauma yang parah. Biasanya kecelakaan lalu lintas dan
diklasifikasikan menurut garis fraktur Le Fort (Fraktur horizontal pada bilateral
maksila).
Klasifikasi Fraktur Le Fort :
Le Fort I bagian bawah dasar hidung segmentasi / horizontal dari processus
alveolaris (pembengkakan bibir bagian bawah)
Le Fort II unilateral atau bilateral maksila (subzygomaticus), menyebabkan
pembengkakan wajah yang masif (ballooning) dan (Panda Facies)
Le Fort III Seluruh maksila (suprazygomatic) dan satu atau lebih tulang
wajah
terpisah dari kerangka craniofacial (terjadi pembengkakan wajah masif
dan kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung).

Klasifikasi fraktur Le Fort
(Scully et al. Oxford Handbook of Dental
Patient Care. Oxford University Press,
1998)
Mungkin terdapat pula penyumbatan jalan nafas, cedera kepala, cedera dada,
robekan organ visceralis, fraktur tulang belakang dan tulang panjang. Sebagian
besar fraktur sepertiga tengah dirawat dengan pembedahan dan fiksasi dengan mini
plate.
e. Fraktur Zygomatic (Malar)
Sering mengenai organ-organ orbital termasuk depresi pada pipi, pendarahan
subkonjungtiva lateralis, deformitas wajah, pergerakan mata yang terbatas,
perubahan daya penglihatan, variasi besar dan reaksi pupil serta enophthalmus atau
exophthalmus.
Fraktur yang tidak bergeser dan tidak mengalami komplikasi tidak perlu dirawat,
tetapi harus diamati kembali dalam waktu 2 minggu.
Prioritas utama penanganan pasien dengan fraktur maxillofacial adalah
membebaskan jalan nafasnya.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Pada umumnya, kegawatdaruratan gigi berhubungan dengan nyeri, pendarahan,
trauma pada orofacial, dan harus ditangani oleh dokter gigi. Namun bila tidak
terdapat dokter gigi, dokter umum pun harus dapat menangani kedaruratannya dan
pasien harus segera diarahkan untuk menemui dokter gigi.
Saran
1. Setiap calon dokter umum harus diajarkan mengenai kegawatdaruratan gigi dan
cara
pertolongan pertamanya.
2. Sediakan selalu peralatan kegawatdaruratan gigi seperti :
a. Nomor telepon dokter gigi terdekat (rumah dan kantor).
b. Larutan garam steril
c. Bulatan kapas/ gauze
d. kain dan kassa steril
e. Analgesik dan anti inflamasi seperti :
Ibuprofen Anti inflamasi yang mempunyai efek analgesik (Hindarkan pemberian
Aspirin, karena Aspirin juga mempunyai efek antikoagulan, dimana
dapat memperparah pendarahan.
3. Setelah dilakukan pertolongan pertama, segera rujuk ke dokter gigi atau rumah
sakit
terdekat.
Bab IV
Daftar Pustaka
1. Andreasen JO, Andreasen FM. Textbook and colour atlas of traumatic injuries to
the teeth. Copenhagen: Munksgaard, 1994.
2. Bishop BG, Donnelly JC. Proposed criteria for classifying potential dental
emergencies in Department of Defence military personnel. Mil Med 1997;162:130-
5.
3. Gilthorpe MS, Wilson RC, Moles DR, Bedi R. Variations in admissions to hospital for
head injury and assault to the head. Part 1: Age and gender. Br J Oral Maxillofac
Surg 1999;37:294-300.
4. Nelson LP, Shusterman S. Emergency management of oral trauma in children. Curr
Opin Pediatr 1997;9:242-5.
5. Roberts G, Longhurst P. Oral and dental trauma in children and adolescents. Oxford:
Oxford University Press, 1996.
Kegawatdaruratan Medis di Bidang Kedokteran Gigi Anak

Kegawatdaruratan di bidang kedokteran gigi anak adalah kasus-kasus kegawatdaruratan
yang terjadi pada anak saat dilakukan perawatan gigi. Kejadian kegawatdaruratan
merupakan kasus yang jarang terjadi di tempat praktek namun kejadian ini sangat tidak
diharapkan terjadi. Beberapa kasus kegawatdaruratan terjadi pada dewasa namun ternyata
dapat pula terjadi pada anak-anak (Riyanti, 2008).
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Committee for the Prevention of Systematic
Complications During Dental Treatment of The Japanesse Dental Society antara tahun
1980-1984 di Jepang menunjukkan sekitar 19-44% dokter gigi mendapatkan kasus
kegawatdaruratan setiap tahun. Sekitar 90% merupakan kasus ringan namun sekitar 8%
merupakan kasus yang cukup berat (Haas, 2006). Kasus kegawatdaruratan paling sering
didapatkan adalah saat dan setelah dilakukan anestesi lokal, dimana lebih dari 60% adalah
kasus sinkop dan 7% disertai hiperventilasi (Melamed, 2003).
Kegawatdaruratan pasien anak merupakan hal yang jarang dalam perawatan kedokteran gigi
tetapi jika hal ini terjadi maka dapat mengancam nyawa. Kegawatdaruratan dapat terjadi
sehubungan dengan berbagai penyebab (Melamed, 2003). Dokter gigi secara umum harus
siap untuk menangani secara menyeluruh dan efektif jika kegawatdaruratan ini terjadi.
Penanganan Dasar pada Kegawadaruratan
Di dalam merawat pasien, dokter gigi akan berhadapan dengan pasien dengan populasi dan
variasi status kesehatan pasien yang berbeda-beda. Oleh karena itu, persiapan dalam
menghadapi pasien-pasien dengan status kesehatan medically compromised patient
merupakan hal utama yang harus dilakukan. Anamnesa lengkap sebelum tindakan harus
dilakukan oleh setiap dokter gigi. Anamnesa tidak hanya mengenai gigi yang menjadi keluhan
utama, namun kesehatan umum dan riwayat perawatan gigi terdahulu juga merupakan hal
yang perlu mendapat perhatian khusus. Orang tua kadang tidak menyadari kelainan sistemik
yang dialami oleh anaknya, oleh karena itu dokter gigi harus dapat mengarahkan pertanyaan
yang diberikan agar segala kelainan sistemik yang dialami anak dapat terungkap saat
perawatan gigi akan dilakukan (Riyanti, 2008).
Beberapa pertanyaan awal di bawah ini sangat membantu saat akan merawat pasien yaitu,
apakah ada efek samping dan jika ada bagaimana perawatan umumnya, apakah efek
perawatan gigi akan menyebabkan penyakit secara umum, dan bagaimana reaksi obat yang
akan timbul serta interaksinya dan bagaimana mengantisipasinya. Tindakan yang dilakukan
seorang dokter gigi harus mengacu pula pada clinical risk management yaitu proses
sistematik untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengontrol kejadian ataupun reaksi
yang akan muncul setelah tindakan medis (Field & Longman, 2004).
Sebagai seorang dokter gigi, kita harus memiliki ilmu dan keterampilan dalam menghadapi
keadaan gawat darurat tersebut. Pada pasien anak, keadaan kegawatdruratan yang paling
umum terjadi adalah biasanya sehubungan dengan pemberian obat-obatan, yang paling
sering adalah anestesi lokal dan/atau penggunaan depresan sistem saraf pusat sebagai
sedasi, selain itu juga disebabkan oleh adanya riwayat penyakit sistemik dari anak tersebut.
Sebelum melakukan perawatan, maka seorang dokter gigi harus bias mendapatkan informasi
riwayat kesehatan pasien tersebut, sehingga dokter gigi dapat memberikan perawatan yang
sesuai dan bertindak hati-hati terhadap adanya kemungkinan dari kondisi sistemik pasien
tersebut.
Tindakan yang cepat dan benar merupakan kunci utama penatalaksanaan kegawatdaruratan.
Kecekatan operator di dalam mengambil tindakan harus dilatih dengan benar, agar
kesalahan pengambilan keputusan dapat dihindari. Perlu pula ditentukan apakah pasien
dalam keadaan sadar atau tidak, bila pasien tidak sadar maka tidak ada respons terhadap
stimulasi. Penatalaksanaan dasar dalam kegawatdaruratan yaitu position, airway, breathing,
circulation, dan definitive care (pada basic life support biasa disebut dengan defibrillation)
(Gambar 1) (Melamed, 2003; Frush et al., 2008).
Peran Perawat Gigi Dalam Kegawatdaruratan di Praktek Dokter Gigi


Kedokteran gawat darurat
Mencakup diagnosis dan tindakan terhadap semua pasien yang memerlukan perawatan
yang tidak direncanakan dan mendadak
Pelaksana kegawatdaruratan adalah dokter dan perawat yang telah mendapat pelatihan
di pusat-pusat pelatihan kegawatdaruratan
Tingkatan kesadaran
Ada 5 yaitu :
1. Compos mentis : pasien dengan kesadaran penuh.
2. Delirium : pasien mulai agak mengantuk, tapi bisa diajak bicara.
3. Somnolen : pasien mengantuk,dan bereaksi bila diberi rangsang
4. Sopour : pasien mengantuk lebih dalam, dan baru bereaksi bila diberi
rangsang nyeri
5. Comatous : pasien tertidur, dan tidak bereaksi terhadap rangsang nyeri
Tanda tanda klinis syok
Gangguan perfusi perifer
Raba telapak tangan Hangat, kering merah : Normal
Dingin, basah, pucat : Syok

Tekan ujung kuku/ telapak tangan kembali < 2 s : Normal
> 2 s : Syok
Tanda tanda klinis syok
Nadi meningkat
raba nadi radialis Nadi < 100/mnt : Normal
Nadi > 100/mnt : Syok
Tekanan darah menurun
Sistolik > 100 mmhg : Normal
Sistolik < 100 mmhg : Syok
Tata laksana mengatasi perdarahan hebat
Airway
Breathing
Circulation and kontrol perdarahan
(posisi syok, mengganti kehilangan darah dan menghentikan/mengurangi proses
perdarahan)
Minta bantuan
Basic Life Support
Airway : Chin lift and head tilt
tehnik Head tilt chin lift
a. Letakkan tangan pada dahi pasien/korban
b. Tekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan penolong.
c. Letakkan ujung jari tangan lainnya dibawah bagian ujung tulang rahang
pasien/korban
d. Tengadahkan kepala dan tahan/tekan dahi pasien/korban secara bersamaan sampai
kepala pasien/korban pada posisi ekstensi


Basic Life Support
Breathing : Look, Listen and Feel
Circulation
Place the heel of hand in the centre of the chest
Place other hand on top
Interlock the finger
Compres the chest
Chest Compression
If a carotis pulse (-)
At the centre of the chest
Rescue breaths
Pinch the nose
Take a normal breath
Place lips over mouth
Blow until the chest rises
Take about 1 s
Allow chest to fall

Gambar 1. Diagram penatalaksanaan kegawadaruratan medis. Sumber: Melamed,
2008
Pada saat terjadi kegawadaruratan media pasien anak di dalam ruang praktek, maka
tindakan penanganannya adalah mengacu pada penatalaksanaan dasar dalam
kegawatdaruratan yaitu position, airway, breathing, circulation, dan definitive care.
Position
Penyebab utama hilangnya kesadaran adalah hipotensi. Segera letakkan pasien tidak sadar
pada tempat yang rata dengan posisi supine dimana kaki lebih tinggi daripada badan. Posisi
ini akan menghasilkan peningkatan aliran darah di daerah kepala dengan sedikit hambatan
dalam sistem respirasi. Pada pasien dengan penyebab acute respiratory distress seperti
acute asthmatic bronchospasm maka posisi yang paling nyaman adalah tegak lurus agar
ventilasi dapat meningkat (Melamed, 2003; Melamed 2007; Frush et al., 2008).
Airway and Breathing
Tindakan airway dan breathing pada pasien sadar dilakukan dengan heimlich maneuver dan
pasien tidak sadar dilakukan dengan menerapkan posisi tilt-chin lift maneuver (Gambar 2)
kemudian diikuti dengan pemeriksaan ventilasi melalui look, listen, feel. Perhatikan dan
pastikan apakah penderita dapat bernafas spontan ataukah penderita mencoba untuk dapat
bernafas. Cara ini dilakukan dengan mendengarkan dan merasakan pertukaran udara yang
keluar melalui mulut ataupun hidung. Apabila tidak ada usaha respirasi spontan yang
ditandai dengan tidak ada pergerakan pundak maka kontrol ventilasi harus menggunakan
bantuan nafas (Melamed, 2003; Melamed 2007).

Gambar 2. Teknik chin lift-head tilt (kiri). Mouth-to-mask ventilation (kanan).
Sumber: Melamed, 2003
Penggunaan full face mask dan positive pressure oxygen bagi pasien di atas usia delapan
tahun yaitu dengan memberikan ventilasi kira-kira satu hembusan nafas untuk setiap lima
detik, dan satu kali nafas tiap tiga detik untuk bayi dan anak (Frush et al., 2008). Apabila
ventilasi spontan sudah terjadi yaitu ditandai dengan adanya gerakan spontan pada dada
maka tindakan ventilasi harus dihentikan oleh karena dapat mengakibatkan gastric
distension dan regurgitation (Melamed, 2003; Melamed 2007).
Definitive Care
Tindakan definitive care dilakukan sesuai dengan diagnosis yang telah ditegakkan. Tentukan
dengan benar diagnosis penyebab terjadinya kegawatdaruratan agar tindakan definitive
care bisa berhasil (Melamed, 2003; Melamed 2007).


Diposkan oleh Thamiiaaa di 03.54
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar

Anda mungkin juga menyukai