Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN HIV / AIDS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan
penyakit menular dengan angka kematian yang tinggi dan dapat
menjangkiti seluruh lapisan masyarakat dari mulai bayi sampai dewasa
baik laki-laki maupun perempuan. Di Indonesia, sejak tahun 1987
perkembangan jumlah kasus AIDS maupun HIV (+) cenderung
meningkat pada setiap tahunnya. Menurut laporan UNAIDS (2004),
diketahui jumlah penderita HIV di Indonesia sebanyak diperkirakan
110.000 orang, sedangkan menurut harian Galamedia (28 Juli 2005)
sampai Juni 2005 jumlah penderita AIDS di Indonesia tercatat 7098
orang. Secara epidemiologi dikenal fenomena gunung es, artinya bila ada
satu kasus yang tercatat maka diasumsikan terdapat 200 kasus yang
sama yang tidak tercatat.
Sejak pertama kali ditemukan (1987) sampai dengan September
2012, kasus HIV-AIDS tersebar di 341 (71%) dari 497 kabupaten/kota di
seluruh (33) provinsi di Indonesia. Kasus HIV, dari Juli sampai dengan
September 2012 jumlah kasus baru HIV yang dilaporkan sebanyak 5.489
kasus. Kasus AIDS, dari Juli sampai dengan September 2012 jumlah kasus
baru AIDS yang dilaporkan sebanyak 1.317 kasus. Menurut data Komisi
Penanggulangan HIV-AIDS (KPA) Jawa Tengah, 1993 hingga Maret 2012,
tercatat hampir 5.000 kasus HIV/AIDS menempati urutan
keempat. Sedangkan di Kabupaten Blora data terakhir kunjungan ke VCT
RSU Blora dari Januari sampai April 2013 kemarin ada 27 orang yang
berkonsultasi. Dari 27 orang tersebut 14 orang diantaranya dinyatakan
positif HIV. Sedangkan data perkembangan HIV/AIDS di Kabupaten Blora
sejak tahun 2008 ternyata juga menunjukkan peningkatan. Yakni pada
tahun 2008 sebanyakn 4 kasus, 2009 ada 3 kasus, 2010 ada 4 kasus, 2011
naik menjadi ada 11 kasus. Sementara di tahun 2012 lalu ada 11 kasus
juga, sedangkan tahun 2013 sampai bulan April lalu telah ada 14 yang
positif HIV. Hampir 70% dari jumlah penderita HIV telah berubah menjadi
AIDS dan 80% penderita AIDS sudah meninggal dunia. (rs-infoBlora -
Suara Merdeka)
Tenaga keperawatan merupakan tenaga kesehatan terbanyak
di rumah sakit dan memiliki kontak yang paling lama dengan pasien.
Pekerjaan perawat merupakan jenis pekerjaan yang beresiko kontak
dengan darah, cairan tubuh pasien, tertusuk jarum suntik bekas pasien,
dan bahaya-bahaya lain yang dapat menjadi media penularan
penyakit. Menurut laporan situs http://www.avert.org, di Amerika Serikat
pada tahun 2001 terdapat 57 kasus tenaga kesehatan yang terinfeksi
HIV akibat resiko pekerjaan. Dari 57 kasus tersebut, 24 kasus
diantaranya (terbanyak) dialami oleh perawat. Di Indonesia, walaupun
belum ada data yang pasti, namun jika melihat pengendalian infeksi di
rumah sakit yang masih lemah, maka resiko penularan infeksi
termasuk HIV terhadap perawat bisa dikatakan cukup tinggi.


B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi HIV/AIDS
2. Untuk mengetahui etiologi HIV/AIDS
3. Untuk mengetahui patofisiologi HIV/AIDS
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis HIV/AIDS
5. Untuk mengetahui pathway HIV/AIDS
6. Untuk mengetahui pengelolaan kasus dengan HIV/AIDS menurut tinjauan
medis,keperawatan (focus intervensi)
7. Untuk mengetahui tinjauan kritis masalah keperawatan yang muncul pada
klien dengan HIV/AIDS














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV (Human
Immunodeficiency Virus).(Aziz Alimul Hidayat, 2006)
AIDS adalah infeksi oportunistik yang menyerang seseorang
dimana mengalami penurunan sistem imun yang mendasar ( sel T
berjumlah 200 atau kurang ) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV.
(Doenges, 1999)
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus yang ditandai oleh
imunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik,
neoplasma sekunder dan kelainan imunolegik. (Price, 2000 : 241)

B. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (1996), penyebab dari AIDS adalah
suatu agen viral (HIV) dari kelompok virus yang dikenal dengan retrovirus
yang ditularkan oleh darah melalui hubungan seksual dan mempunyai
aktivitas yang kuat terhadap limfosit T yang berperan dalam mekanisme
pertahanan tubuh manusia. HIV merupakan Retrovirus yang menggunakan
RNA sebagai genom. HIV mempunyai kemampuan mengcopy cetakan
materi genetic dirinya ke dalam materi genetic sel-sel yang ditumpanginya.
Sedangkan menurut Long (1996) penyebab AIDS adalah Retrovirus
yang telah terisolasi cairan tubuh orang yang sudah terinfeksi yaitu darah
semen, sekresi vagina, ludah, air mata, air susu ibu (ASI), cairan otak
(cerebrospinal fluid), cairan amnion, dan urin. Darah, semen, sekresi
vagina dan ASI merupakan sarana transmisi HIV yang menimbulkan
AIDS. Cairan transmisi HIV yaitu melalui hubungan darah (transfusi
darah/komponen darah jarum suntik yang di pakai bersama sama tusuk
jarum) seksual (homo bisek/heteroseksual) perinatal (intra plasenta dan
dari ASI)

C. Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50%
orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun
pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS.
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat,
virus HIV menyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi
infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang
disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang
terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya
menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel
virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan
menghancurkannya.
Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein
yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah
sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah
putih manusia, terutama sel-sel limfosit. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4
biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong
berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem
kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang
kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme
asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga
terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi
dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T
penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang
yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada
beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun
sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV
kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam
darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita.
Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus
berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang
rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko
tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit
CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL
darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B
(limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan
produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk
melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak
banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada
AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam
mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama
3-6 bulan sebelum titer antibodi terhadap HIV positif. Fase ini disebut
periode jendela (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti
berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer
antibodinya terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten)
Beberapa tahun kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap
(merupakan sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIV
sampai menjadi AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan
ada yang lebih dari 10 tahun setelah diketahui HIV positif. (Heri : 2012)

D. Gambaran Klinis
Gambaran klinis infeksi HIV dapat disebabkan HIV-nya sendiri
(sindrom retroviral akut, demensia HIV), infeksi ofortunistik, atau kanker
yang terkait AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap
berdasarkan keadaan klinis dan jumlah CD
4.
( Arif Mansjoer, 2000 )

1. Infeksi retroviral akut
Frekuensi gelaja infeksi retroviral akut sekitar 50-90%. Gambaran klinis
menunjukkan demam, pembesaran kelenjar, hepatoplemagali, nyeri
tenggorokan, mialgia, rash seperti morbili, ulkus pada mukokutan, diare,
leukopenia, dan limfosit atipik. Sebagian pasien mengalami gangguan
neorologi seperti mrningitis asepik, sindrom Gillain Barre, atau psikosis
akut. Sindrom ini biasanya sembuh sendiri tanpa pengobatan.
2. Masa asimtomatik
Pada masa ini pasien tidak menunjukkan jegala,tetapi dapat terjadi
limfadenopati umum. Penurunan jumlah CD
4
terjadi bertahap, disebut juga
masa jendela (window period).
3. Masa gejala dini
Pada masa ini julah CD
4
berkisar antar 100-300. Gejala yang timbul adalah
akibat infeksi pneumonia bakterial, kandidosis vagina, sariawan, herped
zoster, leukoplakia, ITP, dan tuberkolosis paru. Masa ini dulu disebut AIDS
Related Complex(ARC)
4. Masa gejala lanjut
Pada masa ini jumlah CD
4
dibawah 200. Penurunan daya tahan ini
menyebabkan risiko tinggi rendahnya infeksi oportunistik berat atau
keganasan.
F. Pengelolaan Kasus
1. Medis
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya
yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang
aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab
sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif
terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik
traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 .
Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency
Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan
menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah :
- Didanosine
- Ribavirin
- Diedoxycytidine
- Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti
interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan
keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang
pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
2. Keperawatan (Fokus Intervensi)
Diagnosa, intervensi dan rasional tindakan keperawatan (Doenges, 1999)
adalah
a. Infeksi, resiko tinggi terhadap pertahanan primer tak efektif, depresi
system imun.
Tujuan
Infeksi klien dapat dicegah atau diperkecil
Kriteria hasil
- Mencapai masa penyembuhan luka.
- Bebas dari pengeluaran/sekresi purulen dari kondisi infeksi
Intervensi
Mandiri
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah seluruh kontak perawatan dilakukan.
Intruksikan orang terdekat klien untuk mencuci tangan sesuai indikasi.
Rasional : Mengurangi resiko kontaminasi silang.
2. Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik.
Rasional : Mengurangi patogen pada system imun.
3. Diskusikan tingkat dan rasional isolasi pencegahan dan mempertahankan
kesehatan pribadi.
Rasional : Meningkatkan kerja sama dengan cara hidup berusaha
mengurangi rasa terisolasi.
4. Pantau tanda-tanda vital, termasuk suhu.
Rasional : Memberikan informasi data dasar, peningkatan suhu secara
berulang-ulang dari demam yang terjadi untuk menunjukan bahwa tubuh
bereaksi terhadap proses infeksi.
5. Kaji frekuensi/kedalaman pernafasan, karateristik sputum (bila ada
sputum.
Rasional : Kongesti/distress pernafasan dapat mengidentifikasi
perkembangan PCP.
6. Periksa kulit/membrane mukosa oral terhadap bercak putih/lesi.
Rasional : Kandidiasis oral atau bercak putih atau lesi adalah penyakit
yang umum terjadi dan memberi efek terhadap membran kulit.
7. Periksa dan catat adanya luka atau lokasi alat invasif, perhatikan tanda-
tanda inflamasi lokal.
Rasional : Identifikasi/perawatan awal dari infeksi sekunder dapat
mencegah terjadinya sepsis.
8. Awasi pembuangan jarum suntik dan mata pisau secara ketat dengan
menggunakan wadah tersendiri.
Rasional :Mencegah kontaminasi tak disengaja dari pemberian
perawatan.

Kolaborasi
Berikan antibiotik antijamur/agen anti mikroba misalnya: trimetropim
(Bactrim septra), nistanin (Mycostatin), ketokonazol, pentamidin atau
AZT/retrovir, dan gansiklovir (cytovene).
Rasional : Menghambat proses infeksi, obat-obat tersebut ditunjukan
untuk menghilangkan enzim yang
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diare berat, pembatasan
pemasukan.
Tujuan
Masukan nutrisi adekuat untuk klien
Kriteria hasil
- Membran mukosa adekuat.
- Turgor kulit baik.
- Tanda-tanda vital stabil
- Haluaran urin adekuat
Intervensi
Mandiri
1. Pantau tanda-tanda vital, termasuk CVP
Rasional : Indikator dari volume cairan sirkulasi.
2. Kaji turgor kulit, membrane mukosa, dan rasa haus.
Rasional : Indikator tidak langsung dari status cairan.
3. Ukur haluaran urine dan berat jenis urine.
Rasional : Peningakatan berat jenis urine/penurunan haluaran urine
menunjukan perubahan perfusi ginjal.
4. Pantau pemasukan oral dan memasukan cairan sedikitnya 2500 ml/hr
Rasional :Mempertahankan keseimbangan cairan, mengurangi rasa haus,
dan melembabkan membran mukosa.
5. Anjurkan untuk tidak memakan makanan yang potensial menyebabkan
diare.
Rasional : Mungkin dapat mengurangi diare.
Kolaborasi
1. Berikan cairan/elektrolit melalui selang pemberi makanan (IV).
Rasional :Mungkin diperlukan untuk mendukung/ memperbesar volume
sirkulasi, terutama jika pemasukan oral tak adekuat.
2. Berikan obat-obatan sesuai indikasi
Antimietik, misalnya: proklorperazin maleat (compazine), trimetrobenzamid
(Tigan).

c. Kekurangan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan ketidak mampuan
untuk mencerna.
Tujuan
Nutrisi adekuat dan masukan cairan terpelihara.
Kriteria hasil
- Kemampuan pemasukan nutrisi adekuat.
- Menunjukan peningkatan berat badan mencapai rentang yang diharapkan.
- Menyiapkan pola diet dengan masukan kalori adekuat.
- Mual muntah berkurang.
- Selera makan meningkat.
Intervensi
Mandiri
1. Kaji kemampuan untuk mengunyah dan menelan.
Rasional : Untuk mengetahui kemampuan klien mengunyah makanan,
lesi pada mulut, tenggorokan dan esophagus dapat menyebabkan disfagia.
2. Auskultasi bising usus.
Rasional : Hipermotilitas saluran itenstinal umum terjadi dan
dihubungkan dengan muntah dan diare.
3. Timbang berat badan sesuai dengan kebutuhan. Evaluasi berat badan yang
tidak sesuai.
Rasional : Indikator kebutuhan nutrisi?pemasukan yang adekuat.
4. Rencanakan diet dengan orang terdekat; jika memungkinkan, sarankan
makanan dari rumah. Sediakan makanan yang sedikit tapi sering, berupa
makanan yang padat akan nutrisi.
Rasional : Melibatkan pasien dalam rencana memberikan perasaan
control lingkungan dan mungkin meningkatkan pemasukan.
Kolaborasi
1. Pertahankan status puasa
Rasional : Mungkin diperlukan untuk menurunkan muntah.
2. Pasang/pertahankan selang NGT sesuai petunjuk dengan hati-hati.
Rasional : Mungkin diperlukan mengurangi mual muntah untuk
pemberian makanan per selang.
3. Konsultasikan dengan tim pendukung ahli gizi.
Rasional : Menyediakan diet berdasarkan kebutuhan tubuh dengan rute
yang tepat.
4. Berikan obat yang sesuai indikasi.
Antiemetic, misalnya metoklopramid (Reglan), suplemen vitamin.

d. Nyeri berhubungan dengan inflamasi/ kerusakan jaringan.
Tujuan
Rasa sakit/tidak nyaman dikurangi
Kriteria hasil.
- Keluhan hilangnya/terkontrolnya rasa sakit.
- Menunjukan posisi/wajah rileks.
- Dapat tidur/istrahat adekuat.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
Mandiri
Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi,
intensitas, frekuensi dan waktu.
Tandai gejala nonverbal misalnya

Mengindikasikan kebutuhan untuk
intervensi dan juga tanda-tanda
perkembangan komplikasi.
gelisah, takikardia, meringis.
Instruksikan pasien untuk
menggunakan visualisasi atau
imajinasi, relaksasi progresif, teknik
nafas dalam.
Meningkatkan relaksasi dan perasaan
sehat.
Dorong pengungkapan perasaan Dapat mengurangi ansietas dan rasa
sakit, sehingga persepsi akan intensitas
rasa sakit.
Lakukan tindakan paliatif misal
pengubahan posisi, masase, rentang
gerak pada sendi yang sakit.
Meningkatkan relaksasi atau
menurunkan tegangan otot.
Kolaborasi
Berikan analgesik atau antipiretik
narkotik. Gunakan ADP (analgesic
yang dikontrol pasien) untuk
memberikan analgesia 24 jam.

Memberikan penurunan nyeri/tidak
nyaman, mengurangi demam. Obat yang
dikontrol pasien berdasar waktu 24 jam
dapat mempertahankan kadar analgesia
darah tetap stabil, mencegah
kekurangan atau kelebihan obat-obatan.
e. Integritas kulit, kerusakan berhubungan dengan deficit imunologis.
Tujuan.
Integritas kulit dapat diatasi.
Kriteria hasil
- Menunjukan kemajuan pada luka/penyembuhan lesi
- Menunjukan tingkah laku /tekhnik mencegah kerusakan kulit.
Intervensi
Mandiri
1. Kaji kulit setiap hari.
Rasional : Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan dilakukan intervensi yang tepat.
2. Intruksikan atau pertahankan hygiene kulit. Misalnya membasuh dan
mengeringkanya dengan hati-hati.
Rasional : Memperthankan kebersihan karena kulit yang kering dapat
menjadi barier infeksi.
3. Pertahankan seprei bersih, dan kering.
Rasional : Friksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang
menyebabkan iritasi pada kulit.
4. Dorong untuk ambulansi/turun dari tempat tidur jika memungkinkan.
Rasional : Menurunkan tekanan pada kulit dari istrahat lama di tempat
tidur.
5. Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barier
protektif.
Rasional : Dapat mengurangi konataminasi bakteri, dan meningkatkan
proses penyembuhan.
Kolaborasi
1. Berikan matras atau tempat tidur busa.
Rasional : Menurunkan atau mengurangi tekanan pada kulit atau
jaringan.
2. Gunakan/berikan obat-obatan topika/sistemik sesuai indikasi. Misalnya
Telfa.
Rasional : Digunakan pada perawatan lesi kulit, perawatan harus
dilakukan untuk menghindari kontaminasi silang.
f. Ansietas berhubungan dengan ancaman konsep pribadi, penularan
penyakit pada orang lain.
Tujuan.
Klien dapat berhadapan dengan situasi sekarang secara realistis.
Kriteria hasil.
- Menyatakan kesadaran tentang perasaan dan cara sehat untuk
menghadapinya.
- Menunjukan rentang normal dari perasaan atau berkurangnya rasa takut.
Intervensi
Mandiri
1. Jamin pasien tentang kerahasiaan dalam batasan situasi tertentu.
Rasional : Memberikan penentraman hati lebih lanjut dan kesempatan
bagi pasien untuk memecahlan masalah pada situasi yang diantisipasi.
2. Pertahankan hubungan yang sering dengan pasien.
Rasional : Menjamin bahwa pasien tidak akan sendiri dan ditelantarkan.
3. Waspada terhadap tanda-tanda penolakan/depresi.
Rasional : Pasien mungkin akan menggunakan mekanisme bertahan
dengan penolakan dan terus berharap bahwa diagnose tidak akurat.
4. Izinkan pasien untuk mengekspresikan rasa marah, takut, putus asa tanpa
konfirmasi.
Rasional : Penerimaan perasaan akan membuat pasien dapat menerima
situasi.

Kolaborasi
1. Rujuk pada konseling psikiatri (psikiater)
Rasional : mungkin dibutuhlkan bantuan lebih lanjut dengan diagnose.







HIV - AIDS

A. PENGERTIAN
1. HIV
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk
dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya dan
DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang
panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang
(klinik laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV
menyebabkan beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini
terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri.
Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam
2007).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe
HIV ini bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di
seluruh dunia, dan HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV
diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini
adalah RNA, yang mereplikasi dengan menggunakan enzim reverse
transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, Jeffries dan Anderson,
2007 ).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu
jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih
tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda
yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada
orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang
yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA, 2007).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini
secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse
transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan
menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-
1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-
masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup
tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh
dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau
media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS,
apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya
berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini
yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).
2. AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang
tanpa adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya
defisiensi, tersebut seperti keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang
sudah dikenal dan sebagainya (Laurentz, 2005).
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan
menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya
sistem kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV (Brooks, 2009). Virus HIV
ini akan menyerang sel-sel sistem imun manusia, yaitu sel T dan sel CD4 yang
berperan dalam melawan infeksi dan penyakit dalam tubuh manusia. Virus HIV akan
menginvasi sel-sel ini, dan menggunakan mereka untuk mereplikasi lalu
menghancurkannya. Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia tidak dapat lagi
mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap berbagai jenis
penyakit lain. Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem pertahanan
tubuh terlalu lemah untuk melawan infeksi, di mana infeksi HIV pada tahap lanjut
(AVERT, 2011).

B. ETIOLOGI
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas
morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam
virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus
yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang
penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu
protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam
aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien
untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi
protein struktural virus. Revmembantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari
nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat
menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).

C. PATOFISIOLOGI
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-
sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV )
menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus
yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam
respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain
dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga
dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan
sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan
melakukan pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk
membuat double-stranded DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4
sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah
yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali virus HIV sebagai antigen.
Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan oleh sel T4 helper.
Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel T4
helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang
memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan
mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan
memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah
secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya
fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-
tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml
darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah
infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster
dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya
penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang
parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200
sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia
AIDS.


D. TANDA DAN GEJALA
Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala
yaitu gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
1. Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER)
(2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak
mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang
lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,
penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.


3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS. Gejala Minor
Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat
dibagikan mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas
infeksi primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis,
limpadenopati, sakit kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat
badan, mual, muntah, diare, meningitis, ensefalitis, periferal neuropati,
myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan erythematous maculopapular rash.
Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan plasma viremia. Tetapi demam,
ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu diinfeksi melalui
jarum suntik narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu gejala-
gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70%
dari penderita HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh
sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan
bereplikasi secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara
langsung berkorelasi dengan tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA
virus HIV yang tinggi lebih cepat akan masuk ke fase simptomatik daripada pasien
dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.




E. CARA PENULARAN
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA,
2007).
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)
1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua
cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama
senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama
berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua
individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari
individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada
pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan
prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja)
bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan
karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan
sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
6. Penularan dari ibu ke anak
7. Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan
dan sesudah lahir melalui ASI.
8. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas
laboratorium.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu
pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam (Fauci,
2000).
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan
infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada
pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV
(Fauci, 2000). Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak
dapat ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas dengan
udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan pasien
tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan
kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
Dari keringat, ludah, air mata, pakaian, telepon, kursi toilet atau melalui hal-hal sehari-
hari seperti berbagi makanan, tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
2. Memakai milik penderita
Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan
kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat
tetap sehat lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang lain
dengan mencegah transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan protein
yang menghasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan virus. Protein ini yang
dikenal sebagai antibodi, biasanya tidak terdeteksi sampai sekitar 3-6 minggu
setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3 hingga 6 minggu selepas paparan
akan memberi hasil tes yang negatif (Swierzewski, 2010).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzyme-
linked immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum dilakukan
untuk menentukan apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif pada infeksi HIV.
kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, maka
hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu setelah infeksi. Walaupun hasil
tes negatif pada waktu jendela, seseorang itu mempunyai risiko yang tinggi dalam
menularkan infeksi. Jika hasil tes positif, akan dilakukan tes Western blot sebagai
konfirmasi. Tes Western blot adalah diagnosa definitif dalam mendiagnosa HIV. Di
mana protein virus ditampilkan oleh acrylamide gel electrophoresis, dipindahkan ke
kertas nitroselulosa, dan ia bereaksi dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi,
maka ia akan berikatan dengan protein virus terutama dengan protein gp41 dan p24.
Kemudian ditambahkan antibodi yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG
manusia. Reaksi warna mengungkapkan adanya antibodi HIV dalam serum pasien
yang telah terinfeksi (Shaw dan Mahoney, 2003) Tes OraQuick adalah tes lain yang
menggunakan sampel darah untuk mendiagnosis infeksi HIV. Hasil tes ini dapat
diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus dikonfirmasi dengan
tes Western blot (MacCann, 2008).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus,
manakalapolymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini dapat
mendeteksi HIV bahkan pada orang yang saat ini tidak memproduksi antibodi
terhadap virus. Secara khusus, PCR mendeteksi proviral DNA. HIV terdiri dari
bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA adalah salinan DNA dari RNA virus.
PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran HIV ketika ELISA danWestern
blot negatif; dalam beberapa minggu pertama setelah infeksi, sebelum antibodi
dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak tentu dan pada bayi baru lahir dimana
antibodi ibunya merumitkan tes lain (Swierzewski, 2010).

E. KOMPLIKASI
Komplikasi primer :
MCMD (Minor Cognitive Motor Disorder
Neurobiologi (meningitis, mylopati, neuropati )
Infeksi (toxoplasmosis, ensefalitis, cytomegalovirus/CMV
Leikoencepalopati multifoksl progresif (neoplasma dan delirium)

F. PENCEGAHAN
Menurut The National Womens Health Information Center (2009), tiga cara
untuk pencegahan HIV/AIDS secara seksual adalah abstinence (A), artinya tidak
melakukan hubungan seks, be faithful (B), artinya dalam hubungan seksual setia
pada satu pasang yang juga setia padanya, penggunaan kondom (C) pada setiap
melakukan hubungan seks. Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan ABC.
Terdapat cara-cara yang efektif untuk motivasikan masyarakat dalam
mengamalkan hubungan seks aman termasuk pemasaran sosial, pendidikan dan
konseling kelompok kecil. Pendidikan seks untuk remaja dapat mengajarkan mereka
tentang hubungan seksual yang aman, dan seks aman. Pemakaian kondom yang
konsisten dan betul dapat mencegah transmisi HIV (UNAIDS, 2000).
Bagi pengguna narkoba harus mengambil langkah-langkah tertentu untuk
mengurangi risiko tertular HIV, yaitu beralih dari NAPZA yang harus disuntikkan ke
yang dapat diminum secara oral, jangan gunakan atau secara bergantian
menggunakan semprit, air atau alat untuk menyiapkan NAPZA, selalu gunakan
jarum suntik atau semprit baru yang sekali pakai atau jarum yang secara tepat
disterilkan sebelum digunakan kembali, ketika mempersiapkan NAPZA, gunakan air
yang steril atau air bersih dan gunakan kapas pembersih beralkohol untuk bersihkan
tempat suntik sebelum disuntik (Watters dan Guydish, 1994).
Bagi seorang ibu yang terinfeksi HIV bisa menularkan virus tersebut kepada
bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. Seorang ibu
dapat mengambil pengobatan antiviral ketika trimester III yang dapat menghambat
transmisi virus dari ibu ke bayi. Seterusnya ketika melahirkan, obat antiviral diberi
kepada ibu dan anak untuk mengurangkan risiko transmisi HIV yang bisa berlaku
ketika proses partus. Selain itu, seorang ibu dengan HIV akan direkomendasikan
untuk memberi susu formula karena virus ini dapat ditransmisi melalui ASI ( The
Nemours Foundation, 1995).
Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Kewaspadaan Universal
(Universal Precaution) yang meliputi, cara penanganan dan pembuangan barang-
barang tajam , mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
dilakukannya semua prosedur, menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan,
celemek, jubah, masker dan kacamata pelindung (goggles) saat harus bersentuhan
langsung dengan darah dan cairan tubuh lainnya, melakukan desinfeksi instrumen
kerja dan peralatan yang terkontaminasi dan penanganan seprei kotor/bernoda
secara tepat.Selain itu, darah dan cairan tubuh lain dari semua orang harus
dianggap telah terinfeksi dengan HIV, tanpa memandang apakah status orang
tersebut baru diduga atau sudah diketahui status HIV-nya (Komisi Penanggulangan
AIDS, 2010-2011).

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Obatobatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi
cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang
kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis
direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah
200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih
ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat
aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:
a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan
pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari
viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
b. Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim
viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan
materi turunan kedalam selsel. Obatobatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan
dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang
mengidap HIV(+) dapatmenularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan,
persalinan dan masa menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan,
kemungkinan bahwa bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi
kirakira 25%35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan
HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obatobatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 1428
minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan
angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan
terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek
dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki
pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan
satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 23 hari. Diperkirakan bahwa dosis
tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya
digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan
tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
3. Postexposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat
antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk
mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui
serangan seksual maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan
permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk
menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu
diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obatobatan, keperluan
untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan
memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP
termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah
memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP
yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi
yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam,
sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai
pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak
merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini
tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan
mendorong perilaku seksual yang tidak aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk
mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan
pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi
pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel
yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit
karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan
tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer
(Brooks, 2005).
5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman
untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus
dipertahankan bagi pasien di lingkungan perawatan kritis
H. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Riwayat : Tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi,
menggunakan obat-obat.
2. Penampilan umum : pucat dan kelaparan
3. Gejala Subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil,
keringat malam hari berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun,
nyeri, dan sulit tidur.
4. Kepala: Sakit kepala, edem muka, ulser pada bibir atau mulut, mulut
kering, suara berubah, epsitaksis.
5. Neurologis :gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo,
ketidakseimbangan , kaku kuduk, kejang, paraplegia.
6. Muskuloskletal : focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan
ADL.
7. Kardiovaskuler ; takikardi, sianosis, hipotensi.
8. Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, menggunakan otot bantu
pernapasan, batuk produktif atau non produktif.
9. GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun,
diare, inkontinensia, perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
10. Genital : lesi atau eksudat pada genital.
11. Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.


II. Diagnosa keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola
hidup yang beresiko.
2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya
infeksi nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen,
malnutrisi, kelelahan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
kurang, meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
5. Diare berhubungan dengan infeksi GI
6. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang
orang dicintai.

III.Perencanaan keperawatan.
Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan criteria
hasil Intervensi Rasional
Resiko tinggi
infeksi
berhubungan
dengan
imunosupresi,
malnutrisi dan pola
hidup yang
beresiko.
Pasien akan bebas
infeksi oportunistik
dan komplikasinya
dengan kriteria tak ada
tanda-tanda infeksi
baru, lab tidak ada
infeksi oportunis,
tanda vital dalam batas
normal, tidak ada luka
atau eksudat.
1. Monitor tanda-tanda
infeksi baru.
2. gunakan teknik aseptik
pada setiap tindakan
invasif. Cuci tangan
sebelum meberikan
tindakan.
3. Anjurkan pasien metoda
mencegah terpapar
terhadap lingkungan yang
patogen.
4. Kumpulkan spesimen
untuk tes lab sesuai order.
5. Atur pemberian antiinfeksi
sesuai order
Untuk pengobatan dini
Mencegah pasien terpapar oleh
kuman patogen yang diperoleh
di rumah sakit.
Mencegah bertambahnya infeksi
Meyakinkan diagnosis akurat
dan pengobatan
Mempertahankan kadar darah
yang terapeutik
Resiko tinggi
infeksi (kontak
pasien)
berhubungan
dengan infeksi
HIV, adanya
infeksi
nonopportunisitik
yang dapat
ditransmisikan.
Infeksi HIV tidak
ditransmisikan, tim
kesehatan
memperhatikan
universal precautions
dengan kriteriaa
kontak pasien dan tim
kesehatan tidak
terpapar HIV, tidak
terinfeksi patogen lain
seperti TBC.
1. Anjurkan pasien atau
orang penting lainnya
metode mencegah
transmisi HIV dan kuman
patogen lainnya.
2. Gunakan darah dan cairan
tubuh precaution bial
merawat pasien. Gunakan
masker bila perlu.
Pasien dan keluarga mau dan
memerlukan informasikan ini
Mencegah transimisi infeksi HIV
ke orang lain
Intolerans aktivitas
berhubungan
dengan kelemahan,
pertukaran
oksigen,
malnutrisi,
kelelahan.
Pasien berpartisipasi
dalam kegiatan,
dengan kriteria bebas
dyspnea dan takikardi
selama aktivitas.
1. Monitor respon fisiologis
terhadap aktivitas
2. Berikan bantuan
perawatan yang pasien
sendiri tidak mampu
3. Jadwalkan perawatan
pasien sehingga tidak
mengganggu isitirahat.
Respon bervariasi dari hari ke
hari
Mengurangi kebutuhan energi
Ekstra istirahat perlu jika
karena meningkatkan kebutuhan
metabolik
Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan
dengan intake yang
kurang,
meningkatnya
kebutuhan
metabolic, dan
menurunnya
absorbsi zat gizi.
Pasien mempunyai
intake kalori dan
protein yang adekuat
untuk memenuhi
kebutuhan
metaboliknya dengan
kriteria mual dan
muntah dikontrol,
pasien makan TKTP,
serum albumin dan
protein dalam batas n
ormal, BB mendekati
seperti sebelum sakit.
1. Monitor kemampuan
mengunyah dan menelan.
2. Monitor BB, intake dan
ouput
3. Atur antiemetik sesuai
order
4. Rencanakan diet dengan
pasien dan orang penting
lainnya.
Intake menurun dihubungkan
dengan nyeri tenggorokan dan
mulut
Menentukan data dasar
Mengurangi muntah
Meyakinkan bahwa makanan
sesuai dengan keinginan pasien
Diare berhubungan
dengan infeksi GI
Pasien merasa nyaman
dan mengnontrol
diare, komplikasi
minimal dengan
kriteria perut lunak,
tidak tegang, feses
lunak dan warna
normal, kram perut
1. Kaji konsistensi dan
frekuensi feses dan adanya
darah.
2. Auskultasi bunyi usus
3. Atur agen antimotilitas
dan psilium (Metamucil)
sesuai order
4. Berikan ointment A dan
Mendeteksi adanya darah dalam
feses
Hipermotiliti mumnya dengan
diare
Mengurangi motilitas usus,
yang pelan, emperburuk
perforasi pada intestinal
Untuk menghilangkan distensi
hilang, D, vaselin atau zinc oside
Tidak efektif
koping keluarga
berhubungan
dengan cemas
tentang keadaan
yang orang
dicintai.
Keluarga atau orang
penting lain
mempertahankan
suport sistem dan
adaptasi terhadap
perubahan akan
kebutuhannya dengan
kriteria pasien dan
keluarga berinteraksi
dengan cara yang
konstruktif
1. Kaji koping keluarga
terhadap sakit pasein dan
perawatannya
2. Biarkan keluarga
mengungkapkana perasaan
secara verbal
3. Ajarkan kepada keluaraga
tentang penyakit dan
transmisinya.
Memulai suatu hubungan dalam
bekerja secara konstruktif
dengan keluarga.
Mereka tak menyadari bahwa
mereka berbicara secara bebas
Menghilangkan kecemasan
tentang transmisi melalui kontak
sederhana.

Daftar Pustaka
Grimes, E.D, Grimes, R.M, and Hamelik, M, 1991, Infectious Diseases, Mosby Year Book,
Toronto.
Christine L. Mudge-Grout, 1992, Immunologic Disorders, Mosby Year Book, St. Louis.
Rampengan dan Laurentz, 1995, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, cetakan kedua, EGC,
Jakarta.
Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical
Practice, 4
th
edition, Mosby Year Book, Toronto
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih bahasa : I
Made Kariasa dan Ni Made S, EGC, Jakarta
I Putu Juniartha Semara Putra

Anda mungkin juga menyukai