Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Bahasa adalah fungsi luhur yang paling utama bagi manusia selain fungsi
daya mengingat, persepsi, kognisi dan emosi. Kerusakan atau kelainan di otak
dapat menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa yang disebut afasia.
1

Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan
otak. Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun
biasanya terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya.
2
Afasia dapat memperburuk kualitas hidup pasien karena pada afasia pasien
menjadi kesulitan untuk memahami lingkungan sekitarnya dan pasien tidak dapat
mengekspresikan dirinya, membuat pasien seolah terisolasi dari lingkungannya.
3

Salah satu jenis afasia yaitu afasia motorik (afasia broca). Individu yang
menderita afasia broca memiliki kesulitan dalam berbicara walaupun ia mampu
memahami suatu kalimat.

Afasia motorik merupakan jenis nonfluent aphasia,
dimana terdapat kesulitan dalam mengartikulasi namun relatif baik dalam
pemahaman pendengaran verbal. Pasien berbicara lambat sekali dengan struktur
kata yang sangat sederhana seperti beberapa kata, kalimat pendek dan tata bahasa
yang tidak baik.
4

Di Amerika, afasia banyak dijumpai pada 20% penderita stroke. Namun,
tidak menutup kemungkinan afasia juga dapat terjadi pada mereka yang
mengalami cedera otak, tumor dan terutama pasien neurodegeneratif. Afasia
seringkali masih disalahdiagnosis atau dianggap remeh karena afasia seringkali
1

hanya merupakan penyakit penyerta dari sebuah penyakit yang lebih nyata.
Padahal, diagnosis afasia merupakan hal yang penting karena membutuhkan terapi
yang khusus.
3





















2

BAB II
AFASIA MOTORIK

1. DEFINISI
Sindrom afasia adalah kumpulan gejala gangguan berbahasa akibat
kelainan di hemisferium kiri, tanpa ada kelainan pada organ bicara. Kelainan yang
menimbulkan sindrom afasia terdapat di daerah pusat bicara di hemisfer kiri yang
memantau kemampuan berbicara dan berbahasa.
5
Afasia Motorik merupakan jenis nonfluent aphasia, dimana terdapat
kesulitan dalam mengartikulasi namun relatif baik dalam pemahaman
pendengaran verbal. Pasien berbicara lambat sekali dengan struktur kata yang
sangat sederhana seperti beberapa kata, kalimat pendek dan tata bahasa yang tidak
baik.
6


2. ETIOLOGI
Afasia motorik terjadi karena kerusakan pada belahan otak yang dominan
yang terletak pada lapisan permukaan (lesi kortikal) daerah broca.
4
Area Broca
adalah bagian dari otak manusia yang terletak di girus frontalis superior pada
lobus frontalis korteks otak besar yang berperan pada proses bahasa, serta
kemampuan dan pemahaman berbicara. Area Broca terletak berdampingan
dengan area Wernicke (gambar 1) . Keduanya ditemukan hanya pada salah satu
belahan otak saja, umumnya pada bagian kiri, karena populasi manusia
3

kebanyakan "dominan kiri". Area Broca terletak kira-kira pada area
Brodmann 44 dan kadang-kadang juga mencakup 45.
6








Gambar 1. Area Broca di Lobus Frontal
7

3. PATOFISIOLOGI
Kerusakan dari area 44 kiri pada pasien yang kinan menghasilkan afasia
motorik seperti yang ditunjukkan pertama kali oleh Broca pada tahun 1861.
Pasien bisa mengerti kata-kata yang diucapkan tetapi tidak mampu berbicara,
karena motor engram dari gerakan-gerakan yang diperlukan untuk berbicara tidak
ada. Otot-otot yang diperlukan untuk berbicara tidak mengalami paralisis tetapi
pasien tidak mampu untuk mempersarafi otot-otot tersebut dengan intensitas dan
kelanjutan yang tepat. Jika hanya korteks dari area 4 yang mengalami kerusakan
terjadi afasia motorik kortikal. Jika serat-serat yang menghubungkan area 44
dengan area motorik untuk vokalisasi mengalami gangguan, kondisi yang
diakibatkan disebut afasia motorik subkortikal yaitu afasia motorik murni.
8


4

4. DIAGNOSIS
Ada berbagai jenis sindrom afasia yang menentukan kemungkinan letak
lesinya. Jenis sindrom ini ditentukan menurut kemampuan berbagai modalitas
bahasa berikut ini:
5

Berbicara spontan
Pengertian bahasa
Pengulangan
Penamaan benda
Membaca
Menulis
Dengan menganalisis modalitas tersebut ditentukan jenis afasia berikut ini:
5

Sindrom afasia Broca
Sindrom afasia Wernicke
Sindrom afasia Global
Sindrom afasia Konduksi
Sindrom afasia anomik
Dengan menentukan jenis sindrom dapat di tentukan letak lesinya. Pada garis
besarnya dapat dibagi 4 golongan;
5

Sindrom afasia perisylvian
Sindrom afasia perbatasan
Sindrom afasia subkortikal
Sindrom afasia tak terlokalisasikan

5

Tabel 1. Keadaan Modalitas Bahasa Sindrom Afasia
5








Sindrom afasia motorik disebabkan oleh lesi dibagian posterior daerah
girus ketiga frontal dari hemisfer dominan kiri. Gejala utamanya adalah berbicara
spontan yang tidak lancar, nonfluent, terbata-bata. Tata bahasanya kurang
sempurna. Pada keadaan yang berat bisa terjadi mutisme. Kemampuan modalitas
bahasa lainnya jelek. Biasanya sindrom ini disertai hemiparesis kanan.
5
Bentuk afasia motorik ditandai oleh bicara yang tidak lancar dan disartria
serta tampak melakukan upaya bila berbicara. Pasien sering atau paling banyak
mengucapkan kata-kata benda dan kata kerja. Bicaranya bergaya telegram atau
tanpa tata bahasa. Pemahaman auditif dan pemahaman membaca tampaknya tidak
terganggu namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks sering
terganggu, namun pemahaman kalimat dengan bahasa yang kompleks sering
terganggu.
9

Ciri klinik afasia motorik :
9

Bicara tidak lancar
Tampak sulit memulai bicara
Kalimatnya pendek (5 kata atau kurang perkalimat)
6

Pengulangan (repetisi buruk)
Kemampuan menamai buruk
Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan pemahaman
kalimat yang kompleks)
Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
Irama kalimat dan irama bicara terganggu

5. DIAGNOSIS BANDING
- Afasia transkortikal. Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan
yang baik (terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Pasien dengan
afasia motorik transkortikal mampu mengulang (repetisi), memahami dan
membaca. Namun dalam bicara spontan terbatas, seperti pasien dengan afasia
Broca.
9
Ciri klinik afasia motorik transkortikal:
9
Keluaran tidak lancar (nonfluent)
Pemahaman (komprehensi) baik
Repetisi baik
Inisiasi output terlambat
Ungkapan-ungkapan singkat
Parafasia semantik
Ekholalia
7

- Disartria. Disartria adalah gangguan artikulasi yang disebabkan oleh
gangguan sistem saraf pusat yang secara langsung mengontrol aktivitas otototot
yang berperan dalam proses artikulasi dalam pembentukan suara pengucapan.
10

Gejala klinik disartria:
Gangguan pengucapan kata secara jelas dan tegas
Bicara pelo, cadel
Kesulitan menggerakkan palatum, kidah dan bibir sewaktu artikulasi
Gramatika (tata bahasa), komprehensi dan pemilihan kata tidak
terganggu
9

- Mutisme. Mutisme merupakan gangguan jiwa berupa tiba-tiba tidak bisa
berbicara. Ada dua macam mutisme, yaitu tidak dapat bicara dengan keras dan
tidak dapat berbicara sama sekali. Mutisme bukan disebabkan oleh kerusakan alat
percakapan seperti pita suara atau tenggorokan, tetapi biasanya akibat dari
tekanan.
11

Gejala klinik mutisme:
Apatis
Ketidakmampuan berbicara dalam situasi tertentu
Kecemasan
Perasaan malu
Penarikan diri dari lingkungan sosial
Kurang responsif
Kekakuan
Sensitivitas terhadap suara keras
8

6. PENATALAKSANAAN
Terapi wicara merupakan terapi utama dalam afasia. Waktu dan teknik
pelaksanaan intervensi pada pasien afasia bervariasi luas karena penelitian yang
dilakukan sangat minim. Namun dalam beberapa penelitian telah terbukti bahwa
terapi berbicara dan berbahasa dapat meningkatkan prognosis pasien afasia.
Dalam menangani kasus afasia motorik terapi wicara menggunakan
metode stimulasi multimodal (memanfaatkan beberapa modalitas yang ada) dan
pelatihan kognitif (mengungkapkan ide-ide). Kesulitan yang dialami pasien dalam
menjalani terapi ini sangat beragam karena berbeda dari individu ke individu.
Terapi farmakologi pada afasia masih bersifat eksperimental, namun penggunaan
terapi farmakologi sebagai pendamping dari terapi berbicara telah menunjukkan
hasil yang baik.
12,13

6. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien afasia sangat bergantung pada penyebab dan ukuran
lesi serta umur dan keadaan umum pasien. Secara umum pasien dengan tanda
klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia
motorik secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
dengan afasia sensorik.
2




9

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Afasia motorik disebabkan oleh lesi dibagian posterior daerah girus ketiga
frontal dari hemisfer dominan kiri. Bentuk afasia motorik ditandai oleh bicara
yang tidak lancar dan disartria serta tampak melakukan upaya bila berbicara.
Pasien bisa mengerti kata-kata yang diucapkan tetapi kesulitan bahkan tidak
mampu berbicara.
Diagnosis dini dari afasia sangat penting untuk memulai terapi afasia baik
bagi pasien maupun pendamping pasien agar defisit yang dialami tidak makin
berat. Untuk itu, seorang dokter harus dapat mendiagnosa afasia dengan tepat,
baik dari segi pembuatan diagnosis afasia maupun dari segi mengklasifikasikan
afasia tersebut karena setiap jenis afasia dapat membutuhkan penatalaksanaan
yang berbeda. Sebelum itu, seorang dokter harus dapat melakukan pemeriksaan
diagnosis afasia dengan tepat, yakni meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang untuk melihat penyebab dan lokasi lesi afasia.
Terapi utama dari afasia motorik adalah terapi wicara dan biasa dilakukan
oleh tenaga rehabilitasi medik dan dipantau oleh ahli saraf. Tingkat keberhasilan
dari terapi ini sangat bergantung kepada penyebab dari afasia itu sendiri. Afasia
tidak boleh dibiarkan serta tidak boleh diterapi tunggal melainkan biasanya
digunakan terapi kombinasi.
10

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidiarto L, Kusumoputro S. Afasia Sebagai Gangguan Komunikasi Pada
Kelainan Otak. Cermin Dunia Kedokteran No. 34. Jakarta: Penerbit PT.
Kalbe Farina;1984.h:3.

2. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialities: Aphasia.
2009. [Update 25 Agustus 2013, cited: 2 November 2013]. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1135944-print.

3. Guyton, Arthur C & Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi
11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.h:704.

4. Richard LS, William FB. The Mental Status Examination of Neurology.
4th Edition. Philadelphia: F.A Davis Company;2005.p:59.

5. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: UGM; 2006.h:36.

6. Campbell, William W. DeJongs The Neurologic Examination. 6th
edition. Lippincott Williams & Wilkins;2005.p:84.

7. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Edisi 4. Jakarta : Gramedia Pustaka;
2010.Hal:145.

8. Frotscher M, Baehr M. Diagnosis Topik Neurologi Duus. Jakarta: EGC;
1996.h:249-53.

9. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik : Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.h:171,174.

10. Travis LE. Handbook of Speech Pathology and Audiology. New York:
Appleton Century Crofts Educational Division Meredith Corporation;
1971.p:11

11. Vorvick JL. eMedline Plus. Selective Mutism. 2012. [Update 2 November
2012, cited: 2 November 2013]. Avalable at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001546.htm.
12. Mohr JP. Gangguan Bicara dan Bahasa. Dalam : Isselbacher KJ,
Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, editor.
Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Jakarta :
EGC;1996.h.186.

13. Weiner HL, Levitt LP. Buku Saku Neurologi. Edisi 5. Jakarta:
EGC;2001.h.18.

Anda mungkin juga menyukai