Anda di halaman 1dari 24

Lembar Tugas Mahasiswa

Ringkasan Buku MPKT A


Zahra Adiyati
1206257670
Judul: Modul MPKT A Tahun Ajaran 2012/2013
Pengarang: Bagus Takwin
Data Publikasi: Universitas Indonesia
I.

KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER


Pembentukan karakter memang menjadi salah satu kunci dari kemajuan dan

pembangunan bangsa. Jauh-jauh hari Bung Hatta (1932/1988) sudah menekankan pentingnya
pembentukan karakter bersama dengan pembangunan rasa kebangsaan dan peningkatan
pengetahuan serta keterampilan (Hatta, 1988). Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa tujuan
pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka adalah manusia dengan
karakter yang kuat (Dewantara, 2004). Pembentukan karakter juga merupakan isu penting dalam
pendidikan mengingat tujuan pendidikan adalah pembentukan watak atau karakter (Santoso,
1979)
Karakter bukan kepribadian meskipun keduanya berkaitan erat. Perlu dibahas lebih dulu
apa yang dimaksud dengan kepribadian mengingat istilah ini sering dipertukarkan dengan
karakter. Selain itu, penjelasan tentang karakter akan lebih mudah dilakukan dengan
menjelaskan kepribadian terlebih dahulu.
Allport (1937:48) mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi dinamis dari
keseluruhan sistem psiko-fisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang
unik terhadap lingkungannya. Dari definisi itu dapat dipahami bahwa kerpibadian manusia
sebagai hal yang terorganisasitidak acak, dan unsur-unsurnya tidak bekerja sendiri-sendiri.
Kepribadian manusia adalah kesatuan yang teratur dengan unsur-unsur yang berkaitan satu sama
lain. Di sini juga terkandung pengertian bahwa baik faktor internal diri manusia maupun faktor
eksternal (lingkungan)-nya mempengaruhi kepribadian manusia. Manusia memiliki otonomi

dalam dirinya tetapi, di sisi lain, ia juga menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara unik.
Dengan keunikan itu, seorang manusia berbeda dari manusia lainnya.
Allport (1937) mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dievaluasi. Artinya,
karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari, dan disesuaikan dengan nilai
dan norma tertentu. Karakter, dengan demikian, adalah kumpulan sifat mental dan etis yang
menandai seseorang. Kumpulan ini menentukan orang seperti apa pemiliknya. Karakter juga
menentukan apakah seseorang akan mencapai tujuan secara efektif, apakah ia apa adanya dalam
berurusan dengan orang lain, apakah ia akan taat kepada hukum, dan sebagainya.
Karakter diperoleh melalui pengasuhan dan pendidikan meskipun potensialitasnya ada
pada setiap orang. Untuk membentuk karakter yang kuat, orang perlu menjalani serangkaian
proses pemelajaran, pelatihan dan peneladanan. Seperti yang sudah disebutkan di atas,
pendidikan pada intinya merupakan proses pembentukan karakter.
Identifikasi karakter yang merupakan pengenalan terhadap keutamaan tertentu pada diri
seseorang dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap ciri-ciri keutamaaan yang tampil dalam
perilaku khusus dan respons secara umum dari orang itu. Peterson dan Seligman (2004)
mengembangkan klasifikasi keutamaan beserta pendekatan metodik untuk mengidentifikasinya.
Mereka mengatakan bahwa karakter yang kuat adalah karakter yang bercirikan keutamaankeutamaan yang merupakan keunggulan manusia. Di sini keutamaan sebagai kekuatan karakter
dibedakan dari bakat dan kemampuan. Mereka juga menjelaskan kondisi situasional yang dapat
memunculkan atau menyurutkan kekuatan-kekuatan itu, pelatihan atau pembinaan yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan karakter yang kuat, serta hasil-hasil positif yang dapat
diperoleh seseorang yang memiliki keutamaan.
Peterson dan Seligman (2004) mengemukaan tiga level konseptual dari karakter, yaitu
keutamaan, kekuatan dan tema situasional dari karakter. Pembedaan ini berguna untuk
kepentingan pengenalan, pengukuran dan pendidikan karakter. Komponen karakter yang baik
tampil dalam level abstraksi yang berbeda sehingga pengenalannya dalam kenyataan praktis pun
memerlukan pendekatan yang berbeda. Cara mengenali keutamaan berbeda dengan cara
mengenali kekuatan karakter, juga berbeda dengan cara mengenali tema situasional.

Hubungan antara keutamaan, kekuatan dan tema situasional karakter bersifat hierarkis.
Keutamaan berada di level atas, lalu kekuatan di level tengah, dan tema situasional di level
bawah. Dalam keseharian, kita terlebih dahulu mengenali tema situasional dari karakter. Ketika
orang menampilkan serangkaian perilaku dalam situasi tertentu, kita dapat mengenai tema
situasional tertentu dari karakter, tetapi kita belum dapat menyimpulkan bahwa orang itu
memiliki kekuatan tertentu. Kita dapat lebih memastikan kekuatan apa yang dimiliki orang itu
jika kita dapat mengenali bahwa orang itu juga menampilkan perilaku-perilaku sesuai tema
situasional tertentu dalam beberapa situasi. Kemudian, jika dalam berbagai situasi dan dalam
rentang waktu yang relatif lama, seseorang menunjukkan berbagai kekuatan tertentu secara
konsisten, baru kita dapat mengenali keutamaan orang itu.
Keutamaan merupakan karakteristik utama dari karakter (Peterson & Seligman, 2004).
Kekuatan karakter merupakan unsur psikologi, merupakan proses atau mekanisme, yang
mendefinisikan keutamaan. Dengan kata lain, keutamaan dapat dicapai melalui pencapaian
kekuatan karakter. Tema situasional dari karakter adalah kebiasaan khusus yang mengarahkan
orang untuk mewujudkan kekuatan karakter dalam situasi tertentu. Pengenalan rinci terhadap
tema situasional membutuhkan pengenalan terhadap situasi dari satu tempat ke tempat lain.
Peterson dan Seligman (2004) mengemukakan kriteria dari karakter yang kuat sehingga
kita dapat mengenalinya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ialah kriteria dari karakter yang
kuat.
1. Karakter yang ciri-ciri (keutamaan yang dikandung)-nya memberikan sumbangan terhadap
pembentukan kehidupan yang baik untuk diri sendiri dan sekaligus untuk orang lain.
2. Ciri-ciri atau kekuatan yang dikandungnya secara moral bernilai sebagai sesuatu yang baik
bagi diri sendiri dan orang lain, bahkan walaupun tak ada keuntungan langsung yang
dihasilkannya.
3. Penampilan ciri-ciri itu tidak mengganggu, membatasi atau menghambat orang-orang di
sekitarnya.
4. Kekuatan karakter tampil dalam rentang tingkah laku individu yang mencakup pikiran,
perasaan, dan tindakan, serta dapat dikenali, dievaluasi dan diperbandingkan derajat kuatlemahnya.
5. Karakter yang kuat dapat dibedakan dari ciri-ciri yang berlawanan dengannya.

6. Kekuatan karakter diwadahi oleh model atau kerangka pikir ideal.


7. Kekuatan karakter dapat dibedakan dari sifat positif yang lain tetapi yang saling terkait
secara erat.
8. Dalam konteks dan ruang lingkup tertentu, kekuatan karakter tertentu menjadi ciri yang
mengagumkan bagi orang-orang yang mempersepsinya.
9. Boleh jadi tidak semua ciri karakter yang kuat muncul pada seseorang, tetapi kebanyakan
dari ciri-ciri karakter yang kuat tampil pada orang itu.
10. Kekuatan karakter memiliki akar psiko-sosial; potensinya ada dalam diri sendiri, dan
aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Peterson (2006) percaya bahwa orang memiliki tanda kekuatan yang sama dengan yang
disebut Allport sebagai personal traits (sifat pribadi) satu dekade lalu. Kekuatan karakter itu
yang dimiliki, dihargai, dan seringkali dilatih orang. Dalam penelitian Peterson, ditemukan
bahwa hampir setiap orang dapat secara cepat mengenali sekumpulan kekuatan yang mereka ia
miliki, sekitar 2 sampai 5 kekuatan pada setiap orang.
Dalam usaha membentuk karakter, diperlukan pemahaman mengenai apa yang saja
keutamaan dan kekuatan karakter yang sejauh ini sudah dikembangkan oleh manusia. Peterson
dan Seligman (2004) berusaha untuk membuat daftar kekuatan karakter pribadi. Berikut ini 24
kekuatan karakter yang tercakup dalam 6 kategori keutamaan.
Tabel 1.1: Kekuatan dan Keutamaan Karakter
No.

Kekuatan

Keutamaan

1.

Kekuatan
Kebijaksanaan
pengetahuan

2.

Kekuatan
interpersonal: cinta kasih, kebaikan hati (murah hati, dermawan,
Kemanusiaan
peduli, sabar, penyayang, menyenangkan dan cinta
altruisitik), serta memiliki kecerdasan sosial.

3.

Kekuatan
Kesatriaan

kognitif: kreativitas, rasa ingin tahu, keterbukaan pikiran,


dan mencintai kegiatan belajar, perspektif (memiliki
gambaran besar mengenai kehidupan).

emosional: keberanian untuk menyatakan kebenaran dan


mengakui kesalahan, teguh dan keras hati, integritas
(otentisitas, jujur), serta bersemangat dan antusias.

4.

Kekuatan kewarganegaraan citizenship (tanggung jawab sosial, kesetiaan, mampu


(Civic): Berkeadilan
bekerjasama), fairness (memperlakukan orang setara
dan adil), serta kepemimpinan.

5.

Kekuatan menghadapi dan pemaaf dan pengampun, kerendahatian, hati-hati dan


mengatasi hal-hal yang tak penuh pertimbangan, serta regulasi-diri.
menyenangkan:
Pengelolaan-diri
(Temperance)

6.

Kekuatan
Transendensi

spiritual: apresiasi keindahan dan kesempurnaan, penuh rasa


terima kasih, harapan (optimis, berorientasi ke masa
depan), spritualitas (religiusitas, keyakinan, tujuan
hidup), serta menikmati hidup dan humor,

Pembentukan karakter erat sekali hubungannya dengan pencapaian kebahagiaan. Pada


akhirnya, orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia, mandiri,
dan memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Peterson dan Seligman (2004)
memaparkan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan keberadaan potensi setiap keutamaan
karakter itu pada diri manusia. Dengan demikian, setiap orang memiliki potensi untuk mencapai
kebahagiaan,

dan

potensi

untuk

menjalani

hidup

yang

baik;

tinggal

bagaimana

mengaktualisasikannya. Seligman (2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu memiliki makna


dari semua tindakan yang dilakukan, mengetahui kekuatan tertinggi, dan menggunakan kekuatan
tertinggi untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal yang lebih besar dari diri sendiri.
Jelaslah bahwa ketiga bentuk kebahagiaan ini berkaitan erat dengan keutamaan dan kekuatan
manusia. Jelas juga bahwa ketiga hal itu merupakan kategori spiritual. Ketiganya dimungkinkan
oleh daya-daya spiritual manusia. Singkatnya, kebahagiaan manusia mensyaratkan pemanfaatan
daya-daya spiritualnya.
II.

DASAR-DASAR FILSAFAT
Filsafat ilmu berkaitan dengan asumsi, fondasi, metode, dan implikasi dari ilmu

pengetahuan. Filsafat ilmu juga mempertimbangkan masalah yang berlaku untuk ilmu tertentu

(misalnya filsafat biologi atau filsafat fisika). Di sisi lain, filsafat ilmu berurusan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan.
Ada tiga bidang kajian filsafat yang dibutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjadi dasar
bagi aktivitas-aktivitasnya mencari pengetahuan.
1. Etika. Ilmuwan dituntut bertindak secara etis, baik dalam aktivitas mencari pengetahuan
maupun dalam penerapan pengetahuan.
2. Epistemologi. Sebagai bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan, epistemologi
diperlukan oleh ilmu pengetahuan untuk memberi dasar bagi perolehan pengetahuan.
3. Logika. Tanpa logika, filsafat dan ilmu pengetahuan tidak dapat memastikan langkahlangkah perolehan pengetahuan yang benar.
Karakter dan filsafat memiliki hubungan yang saling menguatkan. Filsafat memang
mengandalkan pikiran karena untuk mencapai kebenaran diperlukan pikiran. Tetapi berfilsafat
tidak hanya menggunakan pikiran. Berfilsafat berarti juga melibatkan keseluruhan diri untuk
terlibat dalam pencarian kebenaran. Ada syarat-syarat berfilsafat yang melibatkan sifat-sifat baik
manusia.
Dari sini dapat dipahami bahwa berfilsafat membutuhkan kekuatan dan keutamaan
karakter. Filsafat yang berarti cinta kebenaran menuntut orang yang menekuninya memiliki
keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan beserta kekuatan-kekuatan yang tercakup di
dalamnya. Tetapi, berfilsafat juga merupakan sebuah cara untuk membangun karakter. Aktivitas
dalam filsafat mencakup kegiatan berpikir, mencari kemungkinan lain dari situasi, menjaga
kesetiaan, berani mengambil risiko, dan sebagainya merupakan aktivitas yang dapat menguatkan
karakter. Dengan dasar itu, maka filsafat dipelajari beriringan dengan pengembangan karakter.

Filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memahami segala perwujudan
kenyataan secara kritis, radikal dan sistematis. Dari definisi itu dapat disimpulkan bahwa filsafat
adalah usaha. Sebuah usaha adalah sebuah proses, bukan semata produk. Meski produk filsafat
berupa pemikiran filosofis mencerminkan proses pencariannya dan merupakan pelajaran penting,
tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita hanya fokus pada produknya. Padahal, filsafat
semestinya ditujukan kepada siapa saja, kepada semua orang. Filsafat mengupayakan
pengetahuan universal. Lebih penting lagi, filsafat mengupayakan berlangsungnya proses
pencarian pengetahuan universal. Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah
selesai, maka akan terjadi kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat
kritis tidak mungkin merupakan barang yang jadi. Setidaknya, sebagai produk filsafat adalah
pemikiran yang perlu dikaji, direfleksikan dan dikritik lagi.
Istilah kritis dalam pengertian filsafat secara khusus diartikan sebagai terbuka pada
kemungkinan-kemungkinan baru, dialektis (menjajaki kemungkinan perpaduan dua hal yang
bertentangan), tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu
hati-hati dan waspada terhadap berbagai kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga
berpikir kritis. Lebih khusus lagi, yang dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang
dilakukan secara aktif untuk memahami dan mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan
apakah informasi itu diterima, ditolak atau belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum
jelas.
Sifat utama filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang
berarti akar. Radikal berarti mendalam, sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin
diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Sifat radikal pada filsafat

memungkinkannya memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan


yang mendasar.
Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti
keteraturan, tatanan dan saling keterkaitan. Sistematis di sini memiliki pengertian bahwa upaya
memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut dan bertahap, serta
hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertentu pula.
Berdasarkan pengertian filsafat yang sudah dipaparkan di sini, dapat disimpulkan bahwa
berpikir filosofis berarti merenung yang bukan mengkhayal atau melamun. Merenung yang
dimaksudkan adalah berkontemplasi, yaitu berpikir mendalam, kritis, dan universal dengan
konsentrasi tinggi yang terfokus atau menitikberatkan pada segi usaha mengetahui sesuatu.
Ada berbagai cara untuk membagi filsafat menjadi cabang-cabang yang memiliki obyek
kajian khusus. Kita dapat menemukan pembagian filsafat berdasarkan sistematika permasalahan
(Gazalba, 1979) atau area kajian filsafat yang secara garis besar terdiri dari ontologi,
epistemologi dan axiologi.
Seperti yang sudah disebut, filsafat secara sistematis terbagi menjadi 3 bagian besar:
1) Ontologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji
Ontologi
Epistemologi
dlm arti sempit
Metafisika

tentang ada (being) atau tentang apa yang nyata;


2)

1
2

Filsafat Ilmu

Epistemologi

yaitu

bagian

filsafat

yang

mengkaji hakikat dan ruang lingkup pengetahuan;

Metodologi

Etika

3) Axiologi yaitu bidang filsafat yang mengkaji


Estetika

Logika

nilai-nilai yang menentukan apa yang seharusnya


Gambar 1. Diagram pembagian bidang filsafat

dilakukan manusia.

Aliran Filsafat
Dalam perkembangan filsafat, berbagai aliran, berbagai isme bermunculan. Berikut
adalah beberapa aliran yang cukup berpengaruh dalam sejarah perkembangan filsafat:
a. Rasionalisme: aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber
dari akal (rasio), ditegaskan di sini bahwa akal yang mampu mendapatkan pengetahuan
secara jernih (clear) dan lugas/terpilah (distinct) tentang realitas.
b. Empirisme: aliran dalam filsafat yang menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan.
c. Kritisisme: aliran filsafat yang dibangun oleh filsuf besar: Imanuel Kant. Aliran ini pada
dasarnya adalah kritik terhadap rasionalisme dan empirisme yang dianggap terlalu ekstrem
dalam mengkaji pengetahuan manusia.
d. Idealisme: aliran filsafat yang berpendirian bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental
ataupun proses-proses psikologis yang sifatnya subyektif. Materi tidak memiki kedudukan
yang independen melainkan hanya merupakan materialisasi dari pikiran manusia.
e. Vitalisme: aliran filsafat yang memandang hidup tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara
mekanis karena pada hakikatnya manusia berbeda dengan benda mati. Manusia memiliki
kehendak yang mampu mengubah keadaannya yang statis menjadi lebih dinamis.
f. Fenomenologi: aliran filsafat yang mengkaji penampakan (gejala-gejala) dan memandang
gejala dan kesadaran selalu saling terkait.
Alternatif Langkah Belajar Filsafat
Secara umum, filsuf berusaha memperoleh makna istilah-istilah dengan cara melakukan
analisis terhadap istilah-istilah itu berdasarkan pengenalan obyeknya dalam kenyataan. Analisis
didefinisikan sebagai pemilahan bagian-bagian satu satu hal berdasarkan kategori yang relevan.
Analisis terhadap istilah dilakukan dengan memilah-milah bagian makna atau isi pikiran dari

istilah berdasarkan kategori tertentu. Meski pada dasarnya para filsuf memulai filsafat dari
benda-benda dan bukan dari kata atau istilah, pemakaian istilah yang tepat harus dilakukan.
Bahasa adalah medium filsafat dan oleh karena itu istilah dan pernyataan yang merupakan
bagian dari bahasa menjadi penting dalam filsafat. Analisis terhadap istilah merupakan langkah
penting yang harus dilakukan untuk mendapatkan makna yang tepat dan memadai.
Setelah analisis istilah, filsuf berusaha untuk memadukan hasil-hasil penyelidikannya
melalui aktivitas sintesis. Dalam aktivitas sintesis, filsuf membanding-bandingkan bagian-bagian
dari makna istilah yang dihasilkan dari aktivitas analisis. Lalu ia mencari benang merah antarbagian untuk kemudian menemukan kesamaan makna di antara mereka. Dari situ diperoleh satu
makna istilah yang komprehensif yang memayungi semua bagian sekaligus menjelaskan
hubungan antar-bagian istilah.
Penggunaan analisis dan sintesis dalam filsafat ini disebut metode analisis-sintesis.
Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh filsuf. Menganalisis adalah
melakukan pemeriksaan konsepsional terhadap istilah-istilah yang digunakan atau pernyataanpernyataan yang dibuat. Tujuannya adalah untuk memperoleh makna baru yang terkandung
dalam istilah-istilah yang bersangkutan, dan menguji istilah-istilah itu melalui penggunaannya,
atau dengan melakukan pengamatan terhadap contoh-contohnya. Analisis istilah berarti perincian
istilah atau pernyataan ke dalam bagiannya sedemikian rupa sehingga orang dapat melakukan
pemeriksaan terhadap makna yang dikandungnya. Tujuan pemeriksaan ini adalah penentuan
makna apa yang akan diberikan.
Secara umum, disadari atau tidak, filsafat digunakan manusia untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Jika orang menyadarinya, maka lebih banyak lagi manfaat berpikir

filosofis yang dapat diperoleh. Dengan berpikir filosofis orang dapat berpikir mendalam dan
mendasar. Orang juga dapat memperoleh kemampuan analisis, berpikir kritis dan logis sehingga
ia mampu juga berpikir secara luas dan menyeluruh. Berpikir filosofis juga membuat orang dapat
berpikir sistematis dalam mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin secara tertata. Berpikir
filosofis juga membantu orang untuk menjajaki kemungkinan baru sehingga dapat memperoleh
pengetahuan baru. Orang dapat terus menerus menambah pengetahuannya dengan berpikir
filosofis. Di sisi lain, berpikir filosofis juga memberikan kesadaran kepada orang mengenai
keterbatasan pengetahuannya. Dengan demikian, berpikir filosofis merupakan satu cara untuk
membangun keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan dengan kekuatan-kekuatan yang
dikandungnya.
III.

DASAR-DASAR LOGIKA
Logika dikenal sebagai cabang filsafat, tetapi ada juga ahli yang menempatkannya

sebagai cabang matematika. Logika dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip, hukum,
metode, dan cara berpikir yang benar untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Jika
ditempatkan sebagai cabang filsafat, logika dapat diartikan sebagai cabang dari filsafat yang
mengkaji prinsip, hukum dan metode berpikir yang benar, tepat dan lurus. istilah logika
dipakai oleh Cicero (abad ke-1 M) yang menggunakan kata logika dalam arti seni
berdebat. Aristoteles sendiri menggunakan istilah analitika untuk merujuk kepada
penyelidikan terhadap argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan
yang sudah dipastikan kebenarannya, serta dialektika untuk penyelidikan terhadap
argumentasi-argumentasi yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang belum pasti
kebenarannya (Bertens, 1999).
Logika, di samping etika, dapat dipahami sebagai asas pengaturan alam dan
isinya yang dikembangkan manusia. Secara filosofis, logika adalah kajian tentang berpikir
atau penalaran yang benar. Penalaran adalah proses penarikan kesimpulan berdasarkan
alasan yang relevan. Untuk dapat menjelaskan karakteristik penaralan yang benar serta

mengapa dan bagaimana itu dapat dihasilkan, logika menggunakan pemahaman tentang
standar kebenaran yang diperoleh dari epistemologi yang merupakan cabang filsafat yang
mengkaji hakikat pengetahuan. sebagai bagian dari epistemologi dalam arti luas, logika juga
memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang mencakup segi-segi sumber pengetahuan, batas
pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan pengetahuan. Untuk menentukan benar
atau tidaknya sebuah penalaran sebuah sistem logika perlu didasari oleh syarat-syarat dari
keabsahan pengetahuan. Sebagai kajian tentang penalaran, logika juga berhubungan erat
dengan bahasa alamiah yang sehari-hari dipakai oleh manusia yang juga berkaitan dengan
matematika. Kebenaran logis merupakan satu kebenaran yang diungkapkan dengan
representasi yang secara logis tidak mengikuti asumsi apa pun. Dalam pengertian lain,
kebenaran logis adalah satu pernyataan yang kebenarannya dijamin sejauh makna dari
konstanta logisnya tetap, terlepas dari apa makna bagian lain yang menyertainya.
Manusia berpikir dengan menggunakan kategori untuk mengenali dan
mengelompokkan benda-benda. Dari segi kuantitasnya, setiap pernyataan atau putusan
selalu dapat digolongkan sebagai universal atau partikular. Kuantitas universal atau
partikular dari sebuah pernyataan ditentukan oleh ekstension (keluasan) dari term (istilah)
subjek pernyataan. Dari segi kualitasnya, setiap pernyataan dapat dibedakan apakah itu
afirmatif, negatif atau infinit. Sebuah pernyataan memiliki kualitas afirmatif jika itu
mengafirmasi atau mengiyakan suatu hal. Dari segi relasi, pernyataan-pernyataan yang ada
dapat digolongkan sebagai kategorikal, hipotetikal atau disjunktif. Sebuah pernyataan
termasuk dalam kategori kategorikal jika pernyataan itu dapat langsung dinilai benar
salahnya tanpa tergantung pada kondisi dan situasi tertentu, juga tidak tergantung pada
tempat dan waktu. Dari segi modalitas, setiap pernyataan dapat digolongkan sebagai
pernyataan problematik, asertorik atau apodeiktik. Sebuah pernyataan adalah problematik
jika apa yang diungkap dengan pernyataan itu masih berupa kemungkinan. Dalam
pandangan Kant, kategori-kategori yang sudah diuraikan di atas merupakan ide bawaan dan
terkandung dalam pikiran manusia dan menjadi kerangka bagi rasionalitas manusia. Pada
dasarnya, pemikiran mengenai kategori dari berbagai filsuf memberi pelajaran kepada kita
bahwa dalam mengenali dan memahami benda-benda, kita perlu cermat dan hati-hati. Kita
tidak dapat sembarangan mengartikan satu hal dan tidak dapat mencampuradukan kategori
yang satu dengan kategori yang lain. Kita dapat menggunakan kategori yang kita anggap

sesuai dengan kebutuhan kita dalam mencari pengetahuan, tetapi kita harus konsisten dan
koheren dalam menggunakannya.
Untuk menyamakan pengertian dan menghindari kesalahan penafsiran terhadap
term diperlukan definisi. Definisi adalah pernyataan yang menerangkan hakikat suatu hal.
Keterbatasan pengetahuan sering menghasilkan definisi yang terlalu luas. Keterbatasan term
memungkinkan penggunaan term yang sama untuk mewakili hal yang berbeda. ada dua jenis
definisi, yakni definisi nominal (definisi sinonim) dan definisi real (definisi analitik).
Definisi nominal ialah definisi yang menerangkan makna kata seperti yang dimuat dalam
kamus, misalnya introspeksi berarti menilai diri sendiri, inspeksi memeriksa, dan kursi
tempat duduk. Definisi real adalah definisi yang menerangkan arti hal itu sendiri.
Pembuatannya menuntut dilakukannya analisis terhadap hal yang akan didefinisikan terlebih
dahulu. Sebagai contoh, sikap adalah kecenderung memberikan tanggapan secara positif
atau negatif terhadap objek tertentu dan HP adalah daya gerak yang ada dalam mesin yang
dinyatakan dengan daya gerak seekor kuda. Definisi real dibedakan atas dua, yakni definisi
esensial dan definisi deskriptif. Definisi esensial menerangkan inti (esensi) dari suatu hal
dengan menyebutkan genus dan diferentia-nya. Definisi deskriptif mengemukakan segi-segi
yang positif tetapi belum tentu esensial mengenai suatu hal. Definisi deskriptif dibedakan
atas empat, yakni definisi distingtif (menunjukkan properti), definisi genetik (proses
terjadinya suatu hal), definisi kausal (penyebab atau akibat), dan definisi aksidental (tidak
mengandung hal-hal yang esensial). Pembuatan definisi yang memadai untuk digunakan
dalam pemikiran logis harus mengikuti aturan-aturan berikut ini. Pertama, definisi harus
lebih jelas dari yang didefinisikan; jika tidak, maka definisi akan kehilangan fungsinya.
Kedua, definisi tidak boleh mengandung ide atau term dari yang didefinisikan. Ketiga,
definisi dan yang didefinisikan harus dapat dibolak-balik dengan pas. Selain dapat dijelaskan
apa artinya, term juga dapat diuraikan dengan kriteria tertentu menjadi bagian-bagian.
Penguraian term itu biasa disebut divisi. Divisi adalah uraian suatu keseluruhan ke dalam
bagian-bagian berdasarkan satu kesamaan karakteristik tertentu. Pembagian dalam bentuk
divisi merupakan upaya lain untuk menjelaskan term.
Berikut ialah tiga hal yang menjadi konsekuensi dari definisi kalimat, pernyataan
dan proposisi tersebut. Pertama, kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak

mengungkapkan proposisi apa pun. Kedua, pernyataan atau kalimat yang berbeda dapat
mengungkapkan proposisi yang sama. Ketiga, kalimat atau pernyataan yang sama dapat
mengungkapkan proposisi yang berbeda. berdasarkan proposisi yang dikandung, ada dua
jenis pernyataan, yaitu pernyataan sederhana dan pernyataan kompleks. Pernyataan
sederhana adalah pernyataan yang hanya mengandung satu proposisi. Pernyataan kompleks
adalah pernyaataan yang mengandung lebih dari satu proposisi. Proposisi yang dikandung
oleh suatu pernyataan juga disebut komponen logika dari pernyataan. Komponen logika
adalah komponen yang turut menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan.
Berdasarkan hubungan di antara proposisi-proposisi yang terkandung dalam
pernyataan kompleks, ada empat jenis pernyataan kompleks, yaitu:
1) Negasi (bukan P), negasi dari suatu pernyataan sederhana adalah pengingkaran atas
pernyataan itu.
2) Konjungsi (P dan Q), merupakan pernyataan kompleks yang komponen logikanya
dihubungkan dengan kata dan.
3) Disjungsi (P atau Q), merupakan pernyataan kompleks yang komponen logikanya
dihubungkan dengan kata atau.
4) Kondisional (Jika P maka Q), merupakan pernyataan kompleks yang komponen
logikanya dihubungkan dengan jika, maka .
Ada pengetahuan tertentu yang dapat langsung disimpulkan dari suatu pernyataan.
Oleh para ahli logika, ini disebut hubungan langsung. Ada beberapa jenis hubungan seperti
itu yang masing-masing diterapkan berikut ini. Pernyataan kategorikal adalah pernyataan
yang terdiri dari subjek dan predikat yang membenarkan atau menidakkan bahwa individu
adalah anggota suatu kelompok. Dengan A (semua S adalah P)(Universal-afirmatif), E (
tidak ada S yang P) (Universal-negatif), I (beberapa S adalah P)(Partikular-afirmatif),
dan O (beberapa S bukan P)(Partikular-negatif).
Dua pernyataan disebut inkonsisten jika, dan hanya jika keduanya tidak mungkin
benar pada saat yang bersamaan. Berikut ini contohnya,
Pernyataan
Ada anyelir

Konsisten
Ada anggrek.

Inkonsisten
Tidak ada anyelir.

Dia harus belajar.


Dia harus belajar logik.
Dia tidak boleh belajar.
Dia X dan Y.
Dia X.
Dia bukan Y.
Jika A maka B.
Jika B maka A.
A dan bukan-B.
Tiga jenis hubungan antar-pernyataan adalah implikasi, ekuivalensi dan
independensi logis. Ketiga jenis hubungan ini sering muncul dalam keseharian kita dan
sering pula dipertukarkan pengertiannya; tidak jarang orang memperlakukan hubungan yang
satu sebagai hubungan yang lain.
Penalaran adalah penarikan kesimpulan berdasarkan alasan-asalan yang relevan.
Alasan-alasan itu dapat berupa bukti, data, informasi akurat, atau penjelasan tentang
hubungan antara beberapa hal. Penalaran berlangsung dalam pikiran. Ungkapan verbal dari
penalaran adalah argumentasi.tida
Fungsi akal manusia adalah mencapai kebenaran. Proses pencapaian kebenaran
dimulai dari pengenalan terhadap gejala dan pembentukan ide itu sendiri. Tetapi kebenaran
tidak terdapat dalam Ide. Kebenaran terdapat dalam putusan (judgement). Untuk dapat
memperoleh pengetahuan yang benar tentang hal-hal yang tidak dapat dibuktikan dengan
penyimpulan langsung atau indera, kita perlu membandingkan ide-ide. Penyimpulan melalui
perbandingan ide-ide adalah penyimpulan tak langsung. Ada dua jenis penaralan, yaitu
deduksi atau penalaran deduktif (proses penalaran yang dengannya kita membuat suatu
kesimpulan dari suatu hukum, dalil, atau prinsip yang umum kepada suatu keadaan yang
khusus yang tercakup dalam suatu hal tersebut) dan induksi atau penalaran induktif (proses
penalaran yang dengannya kita menyimpulkan hukum, dalil, atau prinsip umum dari kasuskasus khusus <individual>). Manusia tidak jarang memperoleh pengetahuan yang tidak
benar karena adanya kesalahan dalam proses penyimpulan. Kesalahan penyimpulan
digolongkan atas dua, yakni kesalahan material (kesalahan putusan yang digunakan sebagai
pertimbangan yang seharusnya memberikan fakta atau kebenaran) dan kesalahan formal
(kesalahan yang berasal dari urutan penyimpulan yang tidak konsisten).
Deduksi adalah bentuk argumen yang kesimpulannya niscaya mengikuti premispremisnya. Lazimnya deduksi juga dipahami sebagai pembuatan pernyataan khusus
berdasarkan pernyataan-pernyataan yang lebih umum. Pernyataan khusus itu disebut
kesimpulan dan pernyataan-pernyataan yang lebih umum disebut premis. Dalam deduksi

kesimpulan diturunkan dari premis-premisnya. Menerima premis tetapi menolak kesimpulan


adalah tidak konsisten. Penalaran deduktifyang sering digunakan untuk menulis esai
argumentatifdiawali dengan generalisasi yang dianggap benar (self-evident) yang
menghasilkan premis-premis, lalu dari situ diturunkan kesimpulan yang koheren dengan
premis-premisnya. Premis dan kesimpulan harus berkesesuaian dan tertata dalam bentuk
argumentasi tertentu. Bentuk deduksi yang paling umum digunakan adalah silogisme yang
terdiri atas premis mayor, premis minor, dan kesimpulan.
Silogisme adalah jenis argumen logis yang kesimpulannya diturunkan dari dua
proposisi umum (premis) yang berbentuk prosisi kategoris. Dilihat dari bentuknya, penilaian
terhadap silogisme adalah sahih (valid) atau tidak sahih (invalid). Silogisme sahih jika
kesimpulannya dibuat berdasarkan premis-premisnya dengan bentuk-bentuk yang tepat.
Sedangkan penilaian benar (true) diberikan jika silogisme valid dan klaimnya akurat
(informasinya sesuai dengan fakta). Bentuk dasar silogisme kategoris ialah: Jika A adalah
bagian dari C maka B adalah bagian dari C (Adan B adalah anggota dari C). Silogisme
kategoris ini mengikuti hukum Semua atau Tidak Sama Sekali (All or None atau Dictum
de Omni et Nullo); artinya, berlaku untuk seluruh anggota kelas, atau tidak sama sekali.
Silogisme tunduk kepada delapan hukum yang masing-masing diterapkan berikut ini.
Hukum 1 : Silogisme hanya mengandung tiga term.
Hukum 2 : Term mayor atau term minor tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan
jika dalam premis hanya bersifat pertikular.
Hukum 3 : Term tengah tidak boleh muncul dalam kesimpulan.
Hukum 4 : Term tengah harus digunakan sebagai proposisi universal dalam premispremis, setidak-tidaknya satu kali.
Hukum 5 : Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan juga afirmatif.
Hukum 6 : Tidak boleh kedua premis negatif, setidaknya salah satu harus afirmatif.
Hukum 7 : Kalau salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif. Kalau salah satu
premis partikular, kesimpulan harus partikular.

Hukum 8 : Tidak boleh kedua premis partikular, setidaknya salah satu harus universal.

Istilah argumen induktif atau induksi biasanya mencakup proses-proses inferensial


dalam mendukung atau memperluas keyakinan kita pada kondisi yang mengandung risiko
atau ketidakpastian. Argumen induktif dapat dipahami sebagai hipotesis yang mengandung
risiko dan ketidakpastian. Ketidakpastian dalam argumen induktif muncul dalam dua area
yang berhubungan, yaitu dalam premis-premis argumen dan dalam asumsi-asumsi
inferensial argumen. Mari kita ambil sebuah contoh kasus: Jono mati tertembak. Argumen
berikut ini merupakan argumen deduktif yang sahih yang dapat diberikan untuk mendukung
pernyataan bahwa Andi membunuh Jono.
Sesat pikir menurut logika tradisional adalah kekeliruan dalam penalaran berupa
penarikan kesimpulan-kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah, yang disebabkan
oleh dilanggarnya kaidah-kaidah logika. Dalam deduksi, penalaran ditentukan oleh
bentuknya. Jika sebuah penalaran bentuknya tidak sesuai dengan bentuk deduksi yang baku,
maka penalaran itu tidak sahih dan tergolong sesat pikir.
Berikut ini adalah beberapa jenis sesat pikir formal. Empat Term, sesat pikir jenis
empat term terjadi jika ada empat term yang diikutsertakan dalam silogisme padahal
silogisme yang sahih hanya mempunyai tiga term. Term tengah yang tidak terdistribusikan,
silogisme kategoris yang term tengahnya tidak memadai menghubungkan term mayor dan
term minor. Proses ilisit adalah perubahan tidak sahih dari term mayor atau term minor.
Premis-premis afirmatif tetapi kesimpulannya negatif terjadi jika dalam premis digunakan
proposisi afirmatif (pernyataan yang menyatakan sesuatu secara positif) tetapi dalam
kesimpulan digunakan proposisi negatif (pernyataan yang menegasi sesuatu). Dua premis
negatif terjadi jika dalam silogisme kedua premis yang digunakan adalah proposisi negatif.
Mengafirmasi konsekuensi adalah pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari pernyataan
yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi diperlakukan
seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan. Menolak anteseden juga merupakan pembuatan
kesimpulan yang diturunkan dari pernyataan yang hubungan antara anteseden dan
konsekuensinya tidak niscaya tetapi diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu

keniscayaan. Mengiyakan suatu pilihan dalam suatu susunan argumentasi disjungsi


subkontrer (atau) terjadi jika hubungan atau di antara dua hal diperlakukan sebagai
pengingkaran oleh hal yang satu terhadap hal yang lain. Atau belum tentu menunjukkan
suatu pengingkaran. Mengingkari suatu pilihan dalam suatu disjungsi yang kontrer
(dan)terjadi jika dua hal yang dihubungkan dengan kata dan diperlakukan seolah-olah nilai
kebenaran (benar atau tidak benar) dari gabungan keduanya sama dengan nilai kebenaran
dari setiap hal yang digabungkan, atau nilai tidak benar dari gabungan dari dua hal itu
seolah-olah disebabkan oleh salah satunya.
Kesalahan Umum Dalam Penalaran Induktif , kesalahan itu sering disebut dengan
nama yang cukup umum dalam percakapan sehari-hari mengenai argumen induktif dan
statistik. Dari semua pengetahuan yang kita miliki, sebagian besar kita peroleh dari
pengalaman dan dokumentasi mengenai pengalaman orang lain. Tanpa pengetahuan empiris,
kita tidak mungkin bertahan hidup. Pada akhirnya, kita mendasarkan pengetahuan empiris
kita pada penalaran induktif. Deduksi memungkinkan kita memastikan kebenaran
pengetahuan kita hanya jika kita yakin akan kebenaran premis-premisnya. Kesalahan
Generalisasi yang Terburu-buru merupakan kesalahan yang sering dilakukan. Kita
seringkali senang merapikan dunia dengan memasukkannya dalam kategori-kategori dan
menggeneralisasi pengalaman kita. Kesalahan Kecelakaan, kesalahan ini muncul ketika
suatu prinsip umum salah diterapkan pada contoh atau situasi yang sebenarnya tidak
termasuk dalam prinsip umum tersebut. Si pembicara menerapkan generalisasi atau aturan
secara salah supaya kesimpulannya yang kurang tepat dapat diterima, atau untuk
memaksakan kepatuhan pada aturan itu. Kesimpulan Yang Tidak Relevan muncul ketika
orang menarik kesimpulan yang salah dari bukti yang ada. Biasanya bukti yang ada itu dapat
digunakan untuk mendukung kesimpulan yang berhubungan atau mirip, sehingga kesalahan
ini sulit dilacak. Kesalahan Bukti yang Ditahan, terjadi ketika pembicara menarik
kesimpulan yang tidak tepat dengan mengabaikan, menahan, atau meminimalkan derajat
pentingnya suatu bukti yang bertentangan dengan kesimpulan. Kesalahan ini tidak hanya
mencakup disembunyikannya suatu bukti secara sengaja supaya kesimpulannya diterima,
tetapi juga yang tidak disengaja. Kesalahan statistikal, sering muncul dalam argumen seharihari, yaitu yang mengambil kesimpulan secara terburu-buru dari pengalaman pribadi saja.
Dalam usaha kita untuk memahami dunia, kita sering kali kurang teliti. Dua kesalahan

pertama dari tiga yang akan kita bahas sering disebut kesalahan pemercontohan (sampling
error). Kesalahan Kausal terjadi jika terdapat hubungan kausal di antara dua kejadian X dan
Y, ada tiga kasus yang mungkin, yaitu (1) X menyebabkan Y; (2) Y menyebabkan X; dan
(3) X dan Y sama-sama disebabkan oleh Z. Kesalahan analogi terjadi ketika orang
menggunakan analogi yang tidak tepat atau yang menyesatkan dalam argumennya. Dari
sudut pandang logika, argumen analogi bukanlah argumen yang paling baik. Analogi dapat
merupakan cara pandang yang original, kreatif, dan menohok pikiran. Namun analogi tidak
dapat menggantikan argumentasi langsung mengenai suatu sudut pandang.
VI. ETIKA
Etika dan moralitas memang dua kata berhubungan erat dan seringkali orang

mengunakan dua kata tersebut secara bergantian, tetapi tidak tepat (Graham, 2010, 1). Etika
merupakan refleksi filosofis atas moral, sedangkan moralitas merupakan kepercayaan atau
perilaku tentag baik dan buruk.
Dalam pengertian yang terakhir ini, etika adalah cabang ilmu filsafat yang
menyelidiki suatu sistem prinsip moral. Tidak heran jika etika disebut juga filsafat atas
moral. Etika punya fokus tentang bagaimana kita mendefinisikan sesuatu itu baik atau tidak.
Lain halnya dengan moralitas berasal dari kata Latin "moralis" yang berarti "tata cara",
"karakter", atau "perilaku yang tepat" (Pritchard, 2012, 1). Secara terminologis moralitas
sering kali dirujuk sebagai diferensiasi dari keputusan dan tindakan antara yang baik atau
yang tidak baik. Moralitas lebih dipahami sebagai suatu keyakinan untuk menjalani hidup
yang baik. Karena itu sistem moralitas seringkali sangat bergantung dengan komutitasnya.
Moralitas sangat berhubungan dengan etika karena hal itu adalah objek kajiannya.
Etika adalah suatu abstraksi dalam memahami atau mendefinisikan moral dengan melakukan
refleksi atasnya. Etika membahas persoalan moral pada situasi tertentu dengan pendekatan
tertentu pula. Sedang moralitas tergantung pada pilihan individu, keyakinan atau agama
dalam menentukan hal yang benar atau salah, baik atau buruk.

Etika bisa dibagi menjadi berberapa bidang sebagai berikut :

Etika
Deontologi
Utilitarianisme
Etika Teleologis
Teori-Teori
Etika

Etika Egoisme
Etika Kebajikan

Dan Lain-Lain

Etika Normatif

Etika

Etika

Etika Bisnis

Etika
Kedokteran

Etika Terapan

Etika Profesi

Etika Kepolisian

Etika

Etika
Lingkungan

Dan Lain-Lain

Deskriptif

Non-Normatif
Metaetika

Etika normatif adalah sebuah studi tindakan atau keputusan etis yang berfokus pada
prinsip-prinsip yang seharusnya dari tindakan yang baik. Dalam etika normatif ini muncul
teori-teori etika, misalnya etika utilitarianisme, etika deontologis, etika kebajikan dan lainlain. Dalam pengajukan kriteria norma tersebut, teori etika akan memberikan semacam
pernyataan yang secara normatif mengandung makna seperti "Fulan seharusnya melakukan
X" atau "Fulan seharusnya tidak melakukan X".
Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik kepada
topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang, hak-hak
binatang, hukuman mati dan lain-lain. Etika terapan ini bisa dibagi menjadi etika profesi,
etika bisnis dan etika lingkungan. Dapat dimengerti bahwa istilah etika terapan digunakan
untuk menggambarkan upaya untuk menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apa
saja yang benar secara moral terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang kehidupan
manusia.
Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap 'etis' oleh individu atau
masyarakat. Etika deskriptif hanya melakukan observasi terhdapap apa yang dianggap baik
oleh individu atau masyarakat. Tujuan dari etika deskriptif adalah untuk menggambarkan

tentang apa yang dianggap oleh seseorang atau masyarakat sebagai bernilai etis serta apa
kriteria etis yang digunakan untuk menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000,
3).
Metaetika berhubungan dengan sifat penilaian moral. Fokus dari metaetika adala arti atau
makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam etika. Dengan kata lain, metaetika
merupakan kajian tingkat kedua dari etika. Metaetika juga bisa dimengerti sebagai sebuah
cara untuk melihat fungsi-fungsi pernyataan-pernyataan etika, dalam arti bagaimana kita
mengerti apa yang dirujuk dari pernyataan-pernyataan tersebut dan bagaimana pernyataan
itu didemonstrasikan sebagai sesuatu yang bermakna.
Gagasan realisme etis berpusat pada manusia menemukan kebenaran etis yang
memiliki eksistensi independen di luar dirinya. Konsekuensinya, realisme etis ini
mengajarkan bahwa kualitas etis atau tidak ada secara independen dari manusia dan
pernyataan etis memberikan pengetahuan tentang dunia objektif. Dengan kata lain, properti
etis terlepas dari apa yang orang pikirkan atau rasakan. Artinya, jika seseorang mengatakan
bahwa tindakan tertentu salah, maka hal itu adalah kualitasnya yang salah dan itu harus ada
di sana dan bersifat independen.
Gagasan utama dari nonrealisme etis adalah manusia yang menciptakan kebenaran
etis (Callcut, 2009, 46). Nonrealisme etis ini sangat terkait dengan relativisme etis.
Relativisme menghormati keragaman budaya dan tindakan manusia yang berbeda pula
dalam cara merespon situasi yang berbeda. Akan tetapi, ada persoalan juga di dalam
relativisme etis. Diantaranya adalah kita merasa bahwa aturan etis memiliki nilai kualitas
yang lebih tinggi daripada sekedar kesepekatan umum dari sekelompok orang. Dengan kata
lain, relativisme menghormati keragaman budaya dan tindakan manusia yang berbeda pula
dalam cara merespon situasi yang berbeda.
Pengkajian terhadap permasalahan etis pada dasarnya bisa dilakukan dengan
mengajukan pertanyaan sebagai berikut: Ketika seseorang mengatakan "pembunuhan itu
tidak baik" apa yang dimaksudkannya sesungguhnya? Kita dapat menunjukkan beberapa hal
yang berbeda ketika Anda mengatakan 'pembunuhan adalah tidak baik' dengan menulis
ulang pernyataan tersebut untuk menunjukkan apa yang benar-benar dimaksud. Pernyataan

"pembunuhan itu adalah salah" adalah realisme moral yang didasarkan pada gagasan bahwa
ada fakta-fakta nyata dan objektif terkait masalah etis di alam semesta. Pernyataan "saya
tidak menyetujui pembunuhan" adalah subjektivisme yang mengajarkan bahwa penilaian
etis tidak lebih dari pernyataan perasaan atau sikap seseorang. Pernyataan "tidak ada
kompromi dengan pembunuhan" adalah emotivisme yang merupakan pandangan bahwa
klaim moral adalah tidak lebih dari ekspresi persetujuan atau ketidaksetujuan. Pernyataan
"jangan melakukan pembunuhan adalah preskriptivisme yang berfokus pada pernyataan
etis adalah petunjuk atau rekomendasi.
Etika menyediakan alat-alat analisis untuk berpikir tentang isu-isu moral. Dalam
konteks ini etika dapat menyediakan sebuah gambaran utuh dan lebih mengedepankan
rasionalitas ketika berhadapan dengan isu-isu tersebut. Di sinilah peran etika, yaitu
menawarkan suatu prinsip-prinsip yang memungkinkan kita untuk mengambil pandangan
yang lebih jernih dalam melihat isu-isu moral. Dengan kata lain, etika memberikan sebuah
peta moral atau kerangka berpikir yang bisa digunakan untuk menemukan jalan keluar dari
masalah-masalah moral yang sulit. Dengan kata lain etika sangat memperhitungkan bukan
hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain. Dalam konteks ini, etika berkaitan dengan
kepentingan orang lain secara lebih luas.
Prinsip moral dapat muncul dari berbagai sumber, diserap dari nilai-nilai agama,
kaidah norma masyarakat, maupun dari hukum yang dibuat oleh negara. Hal-hal ini dapat
menjadi referensi bagaimana seseorang bertingkah laku dan membedakan manakah baik dan
buruk. Kant mempopulerkan filsafatnya, ia selalu berkata Sapere Aude! (beranilah berpikir
secara mandiri), semangat ini tercermin juga didalam filsafatnya. Pengertian Kant
mendorong individu bahkan dalam urusan bersikap etis, individu harus dapat memikirkan
dan bertindak atas kehendaknya sendiri. Dimana pemahamannya ini mewajibkannya untuk
bersikap etis, dan melakukan tindakan etis tanpa melibatkan perasaan atau memikirkan
tentang hasilnya saja, tetapi tegas untuk mematuhi suatu prinsip moral.
Teori moral dalam filsafat dapat dipahami menjadi dua aliran besar, yang pertama
adalah deontologis, seperti yang telah dibahas pada bagian Immanuel Kant, yang kedua
adalah kaum konsekuensialis. Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala
tindakan dianggap bernilai secara moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan

tersebut. Adapula tokoh yang mengembangkan paham etis utilitarian adalah John Stuart
Mill. Utilitarianisme, dari akar kata utility, yang berarti kegunaan, menganggap bahwa
dorongan utama bagi seseorang untuk bersikap etis adalah untuk mencapai kebahagiaan,
Kredo yang menerima prinsip moral utility, atau kebahagiaan sebagai fondasi moral
meyakini bahwa tindakan dianggap sebagai suatu kebenaran sejauh tindakan itu
memproduksi serta mempromosikan kebahagiaan, akan menjadi kesalahan bila berlaku
terbalik dari kebahagiaan itu. Tetapi seringkali pernyataan kaum utilitarian disalahartikan
menjadi pandangan yang secara general memperbolehkan apapun untuk mencapai
kebahagian, inilah kritik terutama bagi kaum utilitarian.
Pandangan moral intuitif dari seorang etikus bernama W.D Ross, ia menggunakan
penjelasan intuisi. Ross berargumen bahwa seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan
apa yang bernilai baik maupun buruk. Ia mengkritik pandangan utilitarian yang terlalu
menekankan pada konsep kebahagiaan, bahkan mensejajarkan kebahagiaan sebagai
kebaikan. Bagi Ross, kebahagiaan tidak dapat secara mudah disamakan dengan kebaikan,
justru kebaikan adalah bentuk nilai moral yang lebih tinggi. Jadi tujuan moral adalah
mencapai kebaikan bukan kebahagiaan. Senada dengan Kant, Ross adalah seorang filosof
moral yang menekankan bahwa tindakan etis haruslah terlepas dari kepentingan individual.
Bila dalam argumen utilitarian ditekankan bahwa motif merupakan hal yang mendasar, bagi
Ross, motif menunjukan bahwa seseorang bertindak etis bukan karena tindakan itu benar
secara prinsipil, tapi tindakan itu menguntungkan baginya. Ross menyebutkan tentang
berbagai macam kewajiban yang membutuhkan pertimbangan individu dalam kejadiankejadian aktual, ia menyusunya sebagai berikut; 1) Fidelitas atau yang menyangkut perihal
bagaimana seseorang memegang janji atau komitmennya, 2) Kewajiban atas rasa
terimakasih, ketika kita berkewajiban atas jasa yang sudah ditunjukan oleh orang lain, 3)
Kewajiban berdasarkan keadilan, hal ini menyangkut perihal pembagian yang merata yang
berhubungan dengan kebaikan orang banyak, 4) Kewajiban beneficence, atau bersikap
dermawan, dan menolong orang lain sebagai tanggung jawab sosial, 5) Kewajiban untuk
merawat dan menjaga diri sendiri, 6) Kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain.
Enam tipe dari Prima Facie yang dijelaskan oleh Ross menunjukan bahwa dalam
kondisi-kondisi tertentu kita kerap terbentur untuk memutuskan diantara pilihan-pilihan

moral. Pertimbangan intuitif ini bagi Ross sangat vital, karena intuisi bukanlah
pertimbangan yang serampangan, tetapi pertimbangan yang menggunakan segala aspek
kecerdasan dan sensibilitas individu tersebut. Dengan demikian maka ia dapat
menghindarkan dirinya dari pilihan yang menyebabkan keburukan untuk dirinya maupun
terhadap orang disekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai