manfaat penggabungan. Hal ini terkait belum adanya kerangka hukum yang akan
dipakai sebagai landasan kerja kementerian baru ini. Ketiadaan landasan hukum
menyebabkan kementerian baru bekerja dengan dua landasan hukum (dualisme)
berbeda, yakni UU Kehutanan serta UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Oleh karena itu, menteri yang baru harus menyatupadukan fokus utama
kementerian baru ini. Para aktivis lingkungan sangat khawatir kementerian ini tidak
melakukan merger, tetapi akuisisi atau mengambil alih.
Sangat ditakutkan jika Kemenhut mengakuisisi KLH karena baik dari segi
kelembagaan maupun SDM, Kemenhut secara tradisional dianggap lebih kuat
dibandingkan dengan KLH. Ketakutan itu cukup beralasan karena selama ini
kejahatan-kejahatan di sektor kehutanan hampir tidak pernah dapat disentuh oleh
KLH, bahkan oleh kepolisian sekalipun.
Kekhawatiran berikutnya, soal struktur dan postur kementerian yang baru karena tak
mungkin mempertahankan postur kementerian dan pembagian direktorat yang ada
sekarang sehingga menteri yang baru saja dilantik langsung dihadapkan pada
permasalahan strukturisasi kementerian dibandingkan dengan menangani isu-isu
penting yang dihadapi pada dua kementerian sebelumnya. Kondisi ini dipastikan akan
memakan waktu lama sebelum sang menteri bisa berlari cepat sebagaimana
dikehendaki Presiden Jokowi. Para pengamat juga khawatir karena menteri baru
hampir tak pernah bersentuhan langsung dengan kedua kementerian sehingga butuh
waktu untuk memahami semak belukar dua kementerian yang baru kawin paksa
ini.
Hanya sedikit negara di dunia yang menggabungkan KLH dan Kemenhut karena
pertimbangan fokus dan portofolio yang berbeda tadi. Dalam usulan postur kabinet
JKW-JK, yang banyak diusulkan civil society organisations (CSO) adalah
pembentukan kementerian koordinator lingkungan dan sumber daya alam (SDA),
yang membawahkan kementerian lingkungan, kehutanan, pertanian, energi dan
sumber daya mineral, serta kelautan dan perikanan. Sejumlah pihak mengusulkan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam sebagaimana dikenal di
Filipina dan Kenya. Usulan-usulan itu dilandasi pemikiran bahwa perlindungan
lingkungan dan pengelolaan SDA harus dilihat secara holistik sehingga kebijakan dan
kementeriannya pun harus terintegrasi dengan baik. Perkawinan KLH-Kemenhut
banyak dianggap sebagai perkawinan setengah hati karena dianggap tak akan
menyelesaikan permasalahan lingkungan dan SDA di Indonesia.
Sinkronisasi dan perbaikan
Mengingat kawin paksa telah terjadi, menteri sebaiknya segera melakukan hal
berikut pada 100 hari kepemimpinannya: (i) Menentukan filosofi dasar dan visi-misi
kementerian. Ini seharusnya tak sulit karena tinggal menyinkronkan titik taut kedua
kementerian. Sesuai namanya, kementerian ini harus mengedepankan perlindungan
lingkungan dibandingkan dengan pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya hutan.
Pesan harus jelas: eksploitasi sumber daya hutan hanya bisa dilakukan jika tak
merusak/merugikan kelangsungan ekosistem hutan dan lingkungan.
(ii) Filosofi dasar itu kemudian diterjemahkan dalam struktur kementerian dengan
titik fokus yang seimbang antara fungsi perlindungan dan fungsi pemanfaatan agar
kedua belah pihak merasa tak dianaktirikan dalam struktur yang baru. Struktur baru
ini harus mengikuti fungsi dan tak dibuat hanya untuk mengakomodasi para pejabat
dari Kemenhut dan KLH. Struktur diharapkan solid dan ramping agar lebih efektif
dalam bergerak.
(iii) Menata kembali sistem perizinan dan pengelolaan uang yang masuk dari
pemanfaatan sumber daya hutan yang menurut KPK jadi sarang korupsi dan
manipulasi yang mengakar. Sistem baru harus dibuat untuk mencegah kebocoran dan
transparan agar dapat dipantau semua pemangku kepentingan. Kriteria perizinan
pemanfaatan sumber daya hutan harus memperhatikan kriteria lingkungan yang ketat
agar kerusakan hutan bisa ditekan semaksimal mungkin.
(iv) Menata dan memperbaiki hubungan dengan kementerian dan lembaga, khususnya
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN yang baru saja dibentuk, karena
pihak-pihak ini akan banyak bersinggungan, khususnya dalam penentuan status dan
fungsi kawasan. Menteri yang baru harus segera membuka komunikasi dengan
provinsi dan kabupaten/kota agar hubungan yang kurang harmonis selama ini bisa
diperbaiki sedikit demi sedikit.
(vi) Meningkatkan upaya penegakan hukum yang saksama dan tanpa pandang bulu
bagi pelaku kejahatan lingkungan dan kehutanan, khususnya bagi pembakar hutan
gambut. Ini bisa dilakukan dengan menyatukan divisi penegak hukum di dua
kementerian agar solid dan efektif dalam memberantas kejahatan lingkungan dan
kehutanan. Semua upaya itu tak dapat dikerjakan sendiri oleh kementerian ini, tanpa
melibatkan pemangku kepentingan lain, khususnya CSO dan pelaku usaha sektor
kehutanan dan lingkungan. Menteri harus membuka hati dan pintu kementeriannya
agar mendapat masukan yang berarti bagi perlindungan lingkungan hidup dan
pengelolaan sumber daya hutan yang lestari pada masa mendatang.
Laode M Syarif
Senior Adviser on Justice and Environmental Governance di Kemitraan