Anda di halaman 1dari 3

Sinergi Lingkungan-Kehutanan

SALAH satu kementerian Kabinet Kerja yang banyak disorot masyarakat


adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kementerian ini merupakan penggabungan dari Kementerian Kehutanan dan
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). By design, kedua kementerian memiliki
portofolio berbeda. Kewenangan Kemenhut sebagaimana tercantum dalam UU No
41/1999 tentang Kehutanan: (i) mengatur hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (ii)
menetapkan status kawasan hutan, dan (iii) menetapkan hubungan hukum antara
orang dan hutan (Pasal 4). Sementara portofolio utama KLH tercantum dalam Pasal 4
UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, meliputi:
(i) perencanaan, (ii) pemanfaatan, (iii) pengendalian, (iv) pemeliharaan, (v)
pengawasan, serta (vi) penegakan hukum dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Berdasarkan portofolio dan desain awal kedua kementerian, gaya dan tata kerja kedua
kementerian selalu tak sama karena fokus mereka berbeda. Kemenhut dominan
mengatur pemanfaatan hutan, sedangkan KLH lebih fokus pada perlindungan dan
pelestarian lingkungan hidup. Cakupan Kemenhut juga terbatas pada isu hutan dan
kegiatan yang dilakukan dalam hutan, sedangkan cakupan KLH lebih luas,
menjangkau hutan, tambang, laut, sungai, udara, bahkan industri dan seluruh
pencemaran yang timbul dari kegiatan manusia. Perbedaan ini jika dianalogikan
dengan motor, Kemenhut adalah gas, sedangkan KLH setir dan rem yang
menetapkan arah dan rambu-rambu yang tak dapat dilanggar. Oleh karena itu, banyak
pengamat dan praktisi berpendapat kedua kementerian ini tidak dapat disatukan.
Namun, tak berarti keduanya tak memiliki titik taut satu sama lain. Kemenhut sejak
awal juga dibentuk untuk memastikan bahwa dalam pemanfaatan hutan dan hasil
hutan harus memperhatikan aneka fungsi hutan, seperti fungsi konservasi, fungsi
lindung, dan fungsi produksi, untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya,
dan ekonomi, yang seimbang dan lestari. Semua itu sangat erat korelasinya dengan
fungsi yang dikerjakan oleh KLH walaupun konteksnya melampaui isu hutan (beyond
forestry).
Titik taut lain adalah dalam memastikan penaatan (compliance) atas aturan dan
standar lingkungan yang telah ditetapkan dalam regulasi. Kemenhut berkewajiban
memastikan semua pemegang izin usaha sektor kehutanan menjalankan semua
persyaratan izin serta wajib melakukan penegakan hukum pada pemegang izin dan
masyarakat yang merusak kawasan hutan. Kewenangan ini juga dimiliki KLH,
bahkan Kemenhut dan KLH dalam kerangka hukum yang ada sekarang dapat bekerja
sama dalam penegakan hukum kehutanan dan lingkungan. Contoh, dalam kasus
pembakaran hutan dan penebangan liar, kedua instansi seharusnya bekerja sama
dalam penegakan hukumnya meski selama ini tak akur dalam menjalankan fungsi
penegakan hukum ini.
Titik taut ini dapat jadi modal awal bekerja sama dalam format kabinet sekarang.
Penggabungan diharapkan juga bisa menghilangkan ego sektoral yang selama ini
banyak dikeluhkan, sekaligus mengefektifkan pengawasan perizinan dan penegakan
hukum di Kemenhut.
Kekhawatiran
Terlepas dari adanya titik taut, banyak pengamat dan praktisi mengkhawatirkan

manfaat penggabungan. Hal ini terkait belum adanya kerangka hukum yang akan
dipakai sebagai landasan kerja kementerian baru ini. Ketiadaan landasan hukum
menyebabkan kementerian baru bekerja dengan dua landasan hukum (dualisme)
berbeda, yakni UU Kehutanan serta UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Oleh karena itu, menteri yang baru harus menyatupadukan fokus utama
kementerian baru ini. Para aktivis lingkungan sangat khawatir kementerian ini tidak
melakukan merger, tetapi akuisisi atau mengambil alih.
Sangat ditakutkan jika Kemenhut mengakuisisi KLH karena baik dari segi
kelembagaan maupun SDM, Kemenhut secara tradisional dianggap lebih kuat
dibandingkan dengan KLH. Ketakutan itu cukup beralasan karena selama ini
kejahatan-kejahatan di sektor kehutanan hampir tidak pernah dapat disentuh oleh
KLH, bahkan oleh kepolisian sekalipun.
Kekhawatiran berikutnya, soal struktur dan postur kementerian yang baru karena tak
mungkin mempertahankan postur kementerian dan pembagian direktorat yang ada
sekarang sehingga menteri yang baru saja dilantik langsung dihadapkan pada
permasalahan strukturisasi kementerian dibandingkan dengan menangani isu-isu
penting yang dihadapi pada dua kementerian sebelumnya. Kondisi ini dipastikan akan
memakan waktu lama sebelum sang menteri bisa berlari cepat sebagaimana
dikehendaki Presiden Jokowi. Para pengamat juga khawatir karena menteri baru
hampir tak pernah bersentuhan langsung dengan kedua kementerian sehingga butuh
waktu untuk memahami semak belukar dua kementerian yang baru kawin paksa
ini.
Hanya sedikit negara di dunia yang menggabungkan KLH dan Kemenhut karena
pertimbangan fokus dan portofolio yang berbeda tadi. Dalam usulan postur kabinet
JKW-JK, yang banyak diusulkan civil society organisations (CSO) adalah
pembentukan kementerian koordinator lingkungan dan sumber daya alam (SDA),
yang membawahkan kementerian lingkungan, kehutanan, pertanian, energi dan
sumber daya mineral, serta kelautan dan perikanan. Sejumlah pihak mengusulkan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam sebagaimana dikenal di
Filipina dan Kenya. Usulan-usulan itu dilandasi pemikiran bahwa perlindungan
lingkungan dan pengelolaan SDA harus dilihat secara holistik sehingga kebijakan dan
kementeriannya pun harus terintegrasi dengan baik. Perkawinan KLH-Kemenhut
banyak dianggap sebagai perkawinan setengah hati karena dianggap tak akan
menyelesaikan permasalahan lingkungan dan SDA di Indonesia.
Sinkronisasi dan perbaikan
Mengingat kawin paksa telah terjadi, menteri sebaiknya segera melakukan hal
berikut pada 100 hari kepemimpinannya: (i) Menentukan filosofi dasar dan visi-misi
kementerian. Ini seharusnya tak sulit karena tinggal menyinkronkan titik taut kedua
kementerian. Sesuai namanya, kementerian ini harus mengedepankan perlindungan
lingkungan dibandingkan dengan pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya hutan.
Pesan harus jelas: eksploitasi sumber daya hutan hanya bisa dilakukan jika tak
merusak/merugikan kelangsungan ekosistem hutan dan lingkungan.
(ii) Filosofi dasar itu kemudian diterjemahkan dalam struktur kementerian dengan
titik fokus yang seimbang antara fungsi perlindungan dan fungsi pemanfaatan agar
kedua belah pihak merasa tak dianaktirikan dalam struktur yang baru. Struktur baru
ini harus mengikuti fungsi dan tak dibuat hanya untuk mengakomodasi para pejabat
dari Kemenhut dan KLH. Struktur diharapkan solid dan ramping agar lebih efektif
dalam bergerak.
(iii) Menata kembali sistem perizinan dan pengelolaan uang yang masuk dari
pemanfaatan sumber daya hutan yang menurut KPK jadi sarang korupsi dan

manipulasi yang mengakar. Sistem baru harus dibuat untuk mencegah kebocoran dan
transparan agar dapat dipantau semua pemangku kepentingan. Kriteria perizinan
pemanfaatan sumber daya hutan harus memperhatikan kriteria lingkungan yang ketat
agar kerusakan hutan bisa ditekan semaksimal mungkin.
(iv) Menata dan memperbaiki hubungan dengan kementerian dan lembaga, khususnya
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN yang baru saja dibentuk, karena
pihak-pihak ini akan banyak bersinggungan, khususnya dalam penentuan status dan
fungsi kawasan. Menteri yang baru harus segera membuka komunikasi dengan
provinsi dan kabupaten/kota agar hubungan yang kurang harmonis selama ini bisa
diperbaiki sedikit demi sedikit.
(vi) Meningkatkan upaya penegakan hukum yang saksama dan tanpa pandang bulu
bagi pelaku kejahatan lingkungan dan kehutanan, khususnya bagi pembakar hutan
gambut. Ini bisa dilakukan dengan menyatukan divisi penegak hukum di dua
kementerian agar solid dan efektif dalam memberantas kejahatan lingkungan dan
kehutanan. Semua upaya itu tak dapat dikerjakan sendiri oleh kementerian ini, tanpa
melibatkan pemangku kepentingan lain, khususnya CSO dan pelaku usaha sektor
kehutanan dan lingkungan. Menteri harus membuka hati dan pintu kementeriannya
agar mendapat masukan yang berarti bagi perlindungan lingkungan hidup dan
pengelolaan sumber daya hutan yang lestari pada masa mendatang.
Laode M Syarif
Senior Adviser on Justice and Environmental Governance di Kemitraan

Sumber: Kompas | 09 November 2014

Anda mungkin juga menyukai