Anda di halaman 1dari 30

I.

Memahami dan Menjelaskan Nyeri


1.1.Neuroanatomi Nyeri
JALAN RAYA SENSORIK
Berfungsi membawa informasi sensorik baik extroseptif dan propioseptif dari reseptor
ke pusat sensorik sadar diotak.
Informasi Ekstroseptif meliputi:
Sakit
Suhu (panas atau dingin)
Sentuhan
Tekanan
Informasi Propioseptif meliputi:
Keadaan otot sadar/otot lurik
Keadaan sendi
Keadaan ligamentum
Untuk bisa mencapai pusat sadar pada GYRUS POSTCENTRALIS (area brodmann
3,2,1) maka semua informasi sensorik harus melewati sedikitnya 3 NEURON..
a. neuron orde pertama: terletak pada ganglion radix posterior s.ganglion spinale
(ganglion adalah sel saraf yg terletak diluar susunan saraf pusat) dimana dendrite dari
sel saraf tersebut datang dari reseptor, sedangkan axon-nya pergi memasuki medulla
spinalis untuk bersinapsis pada neuron orde kedua.
b. neuron orde kedua: pada cornu posterius medulla spinalis, axon-nya dapat
menyilang garis tengah atau langsung dalam columna lateralis pada sisi yang sama,
selanjutnya dari medulla spinalis naik ke atas untuk bersinapsis pada neuron orde
ketiga.
c. neuron orde ketiga: pada thalamus, dimana axon-nya akan menuju pusat sensorik
sadar pada gyrus postcentralis (area pusat sensorik-area brodmann 3,2,1)
JALAN RAYA SENSORIK YANG MENGANTARKAN SENSASI SAKIT DAN
SUHU
Nama jalan : TRACTUS SPINOTHALAMICUS LATERALIS
Melewati medulla spinalis medulla oblongata pons mesencephalon
diencephalon korteks cerebri
a. Axon dari neuron orde pertama (ganglion spinale) memasuki ujung cornu posterius
substansia grissea medulla spinalis dan segera bercabang 2:
Serabut yg naik
Serabut yg turun
Setelah masuk ke medulla spinalis, maka akan membentuk Traktus Posterolateral
(Lissauri). Lalu berlanjut ke neuron orde kedua yang terletak pada kelompok sel
substansia gelatinosa pada cornu posterius.
Axon dari orde kedua menyilang garis tengah pada commisura anterior substansia
grissea dan substansia alba, kemudian naik ke atas pada sisi kotralateral sebagai
traktus spinothalamicus lateralis. Traktus tsb berjalan medialis dari traktus
spinocerebrallis anterius. Sewaktu jalan ke atas, serabut syaraf baru terus bertambah
sesuai dengan banyaknya segmen medulla spinalis.
b. saraf berlanjut pada medulla oblongata, yaitu pada dataran lateral antara nucleus
olivarius inferius dengan Nucleus tractus spinalis N. Trigeminus. Dan nantinya
bergabung dengan
1 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

c.
d.
e.

f.

Tractus spinothalamicus anterius


Tractus spinotectalis
Ketiga tractus ini bersama-sama membentuk LEMNISCUS SPINALIS.
berlanjut pada pons. Lemnicus spinalis naik ke atas dibagian belakang PONS.
berlanjut pada mesencephalon, Lemnicus spinalis jalan pada tegmentum , lateralis
dari Lemnicus medialis.
diencephalon, serabut syaraf traktus spino thalamicus lateralis akan bersinapsis
dengan neuron orde ketiga yaitu: Nucleus postlateral dari kelompok ventral thalamus
(bagian dari nucleus lateralis thalamus). DISINILAH TERJADI PENILAIAN
KASAR SENSASI SAKIT DAN SUHU DAN REAKSI EMOSI MULAI TIMBUL.
di Korteks cerebri, axon dari neuron orde ketiga memasuki Crus posterior capsula
interna dan Corona radiata untuk berakhir pad GYRUS POSTCENTRALIS (area
brodmann 3,2,1) dari sini informasi sakit dan suhu akan diteruskan ke area
MOTORIK dan area asosiasi di cortex lobus parietale.

JALAN RAYA YANG MENGATUR SENSASI SENTUHAN RINGAN DAN


TEKANAN
1. Axon dari neuron orde pertama (ganglion spinale) memasuki ujung cornu posterius
substansia grissea medulla spinalis dan segera bercabang 2:
Serabut yg naik
Serabut yg turun
Setelah masuk ke medulla spinalis, maka akan membentuk Traktus Posterolateral
(Lissauri). Lalu berlanjut ke neuron orde kedua yang terletak pada kelompok sel
substansia gelatinosa cornu posterius substansia grissea.
Axon dari orde kedua menyilang garis tengah pada commisura anterior substansia
grissea dan substansia alba, kemudian naik ke atas pada sisi kotralateral sebagai
traktus spinothalamicus anterior. . Traktus tsb berjalan medialis dari traktus
spinocerebrallis anterius. Sewaktu jalan ke atas, serabut syaraf baru terus bertambah
sesuai dengan banyaknya segmen medulla spinalis.
2. saraf berlanjut pada medulla oblongata, traktus spinothalamicus anterior nantinya
bergabung dengan Tractus spinothalamicus lateralis & Tractus spinotectalis. Ketiga
tractus ini bersama-sama membentuk LEMNISCUS SPINALIS.
3. Berlanjut ke PONS, MESENCEPHALON, DAN DIENCEPHALON. Lemniscus
spinalis beriringan dengan Lemnicus Medialis bersinapsis pada neoron orde ketiga
yaitu: Nucleus postlateral dari kelompok ventral thalamus (bagian dari nucleus
lateralis thalamus). DISINILAH TERJADI PENILAIAN KASAR SENTUHAN
DAN TEKANAN MULAI DIINTERPRETASI.
4. Lanjut ke kortkes cerebri, axon dari neuron orde ketiga memasuki Crus posterior
capsula interna dan Corona radiata untuk berakhir pada GYRUS
POSTCENTRALIS (area brodmann 3,2,1) dari sini sensasi sentuhan dan tekanan
disadari.
JALAN RAYA PEMBEDAAN SENSASI DISKRIMINASI SENTUHAN, GETARAN
SENDI/OTOT SADAR
NAMA JALAN : FASCICULUS GRACILIS DAN FASCICULUS CUNEATUS
a. Jalan dalam medula spinalis memasuki cornu posterius substansia alba sisi yang sama.
Untuk segera bercabang 2 :
CABANG TURUN
Jalan melewati beberapa segmen medulla spinalis sambil memberikan beberapa
cabang collateral dan bersinapsis dengan neuron pada cornu posterius dan neuron
2 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

pada cornu anterius pada segmen yang dilewati. Hubungan intersegmental ini
berfungsi dalam refleks intersegmental.
CABANG NAIK
Serabut sarafnya lebih panjang dan sebagian akan bersinapsis dengan neuron orde
kedua pada cornu posterius dan anterius substansia grissea. Hubungan ini
berperan dalam refleks intersegmental. Sebagian besar serabut saraf yang naik
berjalan dalam columna posterius substansia alba sebagai:
o Fasciculus gracilis
o Fasciculus cutaneus
b. Jalan dalam medulla Oblongata
Axon dari neoro orde pertama jalan keatas secara ipsilateral (tidak menyilang garis
tengah) dan bersinapsis dgn neuron orde kedua : nuclei gracilis dan nuclei cuneatus.
Dari orde kedua akan membentuk serabut saraf disebut sebagai : fibra arcuata interna.
Kemudian menyilang garis tengah membentuk decussiatio sensorik. Selanjutnya pergi
kedua tempat
Ke cerebellum melelui pedunculus cerebelli inferior dan membantuk traktus
cuneocerebellaris. Serabutnya sendiri mengelompok membentuk fibra arcuata
eksterna. Fungsinya untuk mengirimkan informasi sensasi otot skelet dan
sensasi ke serebellum
Ke pons
c. Jalan ke pons, ke mesencephalon dan diencephalon.. setelah membentuk decussatio
(pada medulla oblongata saraf jalan ke atas sebagai lemniscus medialis untuk berakhir
pada neuron orde ketiga: nuclei poterolateral dari kelompok ventral thalamus (bagian
dari kelompok nuclei lateralis thalamus).
d. Ke korteks cerebri neuron orde ketiga melewati crus posterius capsula interna dan
corona radiata menuju gyrus postcentralis. DISINI BARU KITA MENYADARI
PEMBEDAAN SENSASI DISKRIMINASI SENTUHAN DAN GETARAN DARI
SENDI ATAU OTOT SADAR.
JALAN RAYA SENSASI OTOT SADAR (OTOT LURIK) DAN SENDI KE
CEREBELLUM
ADA 3 JALAN :
a. TRAKTUS SPINOCEREBELLARIS POSTERIUS
Axon orde pertama memasuki medula spinalis pada collumna posterius substansia
grissea untuk bersinapsis dengan neuron orde kedua: nucleus dorsalis (Clarki) yang
terletak pada basis cornu posterius substansia grissea.
Axon orde kedua memasuki poterolateral substansia alba pada sisi yang sama untuk
naik keatas sebagai : TRAKTUS SPINOCEREBELLARIS POSTERIUS.
Traktus spinocerebellaris posterius masuk ke peduncullus cerebellaris inferior
untuk menuju corteks cerebellum
FUNGSI : membawa informasi dari otot sadar dan sendi, terutama dari reseptor
Muscle spindle dan reseptor yang ada di tendo, ligamentum dan capsula articulare
dari tubuh dan anggota badan.
b. TRAKTUS SPINOCEREBELLARIS ANTERIUS
Jalan dari medulla spinalis, axon Axon orde pertama memasuki medula spinalis pada
collumna posterius substansia grissea untuk bersinapsis dengan neuron orde kedua:
nucleus dorsalis (Clarki) berlanjut menjadi traktus spinocerebellaris posterius dan
masuk ke peduncullus cerebellaris superior dan berakhir pada korteks cerebelli
FUNGSI : MEMBAWA INFORMASI DARI RESEPTOR MUSCLE SPINDLE
DAN TENDO DARI ANGGOTA BADAN ATAS DAN BAWAH
3 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

c. TRAKTUS CUNEOCEREBELLARIS
Pusatnya di nucleus cuneatus. Perjalannya mulai dengan memasuki pedunculus
cerebelli inferior menuju corteks cerbelli. Disebut juga fibra arcuata externa posterius.
FUNGSI: MENERUSKAN INFORMASI DARI MUSCLE SPINDLE DAN TENDO
KE CEREBELLUM.
JALAN RAYA NAIK LAINNYA
a. TRAKTUS SPINOTECTALIS
Neuron orde pertama memasuki cornu posterius dan bersinapsis dengan
neuron orde ke2 yang letaknya pada cornu posterius.
Dari neuron orde ke2 jalan menyilang garis tengah kemudian naik ke atas pada
anterolateral substansia alba sebagai traktus spinotektalis.
Beriringan dengan traktus spinothalamicus lateralis et anterius, kemudian
bersama-sama membentuk LEMNISCUS SPINALIS dan menuju ke otak
FUNGSI : MEMBAWA INFORMASI UNTUK REFLEKS SPINOVISUAL
DAN AKAN MENIMBULKAN GERAKAN BOLA MATA DAN KEPALA
YANG MENUNUJUK KE ARAH DATANGNYA SUMBER STIMULI.
b. TRAKTUS SPINORETICULARIS
Neuron orde pertama memasuki cornu posterius dan bersinapsis dengan
neuron orde ke2 yang letaknya pada cornu posterius.
Dari neuron orde ke2 jalan menyilang garis tengah kemudian naik ke atas pada
anterolateral substansia alba dan bercampur dengan traktus spinothalamicus.
Traktus spinoreticularis jalan pada sisi yang sama dan akan bersinapsis dengan
neuron orde ketiga: formatio retikulare dimedulla oblongata, pons, dan
mesencephalon.
FUNGSI MEMBAWA INFORMASI TENTANG TINGKAT-TINGKAT
KESADARAN
c. TRAKTUS SPINOOLIVARIUS
Neuron orde pertama memasuki cornu posterius dan bersinapsis dengan
neuron orde ke2 yang letaknya pada cornu posterius.
Dari neuron orde ke 2 jalan menyilang garis tengah dan naik ke atas antara
cornu anterius dengan cornu laterale substansia alba sebagai TRAKTUS
SPINOOLIVARIUS.
Traktus spinoolivarius bersinapsis dengan neuron ketiga : nuclei olivarius
inferius. Neuron orde ketiga menyilang garis tengah dan memasuki cerebellum
melalui peduncullus cerebelli inferius untuk pergi ke korteks cerebellum.
FUNGSI
:
MEMBAWA
INFORMASI
EXTEROSEPTIF
DAN
PROPRIOSEPTIF KE CEREBELLUM.
JALAN RAYA VISCERAL
Axon orde pertama dari thorax dan abdomen memasuki cornu posterius untuk
bersinapsis dengan neuron orde kedua dalam substansia grissea. Kemudian axon pada
orde kedua bergabung dengan traktus spinothalamicus untuk berakhir pada neuron
orde ketiga : nuclei posterolateral dari kelompok ventral thalami
Axon neuron ketiga diduga pergi ke gyrus postcentralis (area brodmann 3,2,1)
FUNGSI : INFORMASI PRESSORECEPTOR DARI TUNICA MUCOSA RECTUM
DAN VESICA URINARIA UNTUK KEPERLUAN DAFAECATIO DAN MIXTIO.

4 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

1.2.Neurofisiologi Nyeri
Definisi Nyeri
Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin J.E., 1997).
Ketika suatu jaringan mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya
bahan-bahan yang dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium,
bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier
dkk). Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang
menekan pada reseptor nyeri. (Taylor C. dkk., 1997)
Ganong, (1998), mengemukakan proses penghantaran transmisi nyeri yang disalurkan ke
susunan syaraf pusat oleh 2 (dua) sistem serat (serabut) antara lain:
Serabut A-delta (A) Bermielin dengan garis tengah 2-5 (m yang menghantar dengan
kecepatan 12-30 m/detik yang disebut juga nyeri cepat (test pain) dan dirasakan dalam
waktu kurang dari satu detik, serta memiliki lokalisasi yang dijelas dirasakan seperti
ditusuk, tajam berada dekat permukaan kulit.
Serabut C, merupakan serabut yang tidak bermielin dengan garis tengah 0,4-1,2 m/detik
disebut juga nyeri lambat di rasakan selama 1 (satu) detik atau lebih, bersifat nyeri
tumpul, berdenyut atau terbakar.
Transmisi nyeri dibawah oleh serabut A-delta maupun serabut C diteruskan ke korda spinalis,
serabut-serabut syaraf aferen masuk kedalam spinal lewat dorsal root dan sinap dorsal
horn yang terdiri dari lapisan (laminae) yang saling berkaitan II dan III membentuk daerah
substansia gelatinosa (SG). Substansi P sebagai nurotransmitter utama dari impuls nyeri
dilepas oleh sinaps dari substansia gelatinosa. Impuls-impuls nyeri menyebrang sum-sum
tulang belakang diteruskan ke jalur spinalis asendens yang utama adalah spinothalamic traet
(STT) atau spinothalamus dan spinoroticuler traet (SRT) yang menunjukkan sistem
diskriminatif dan membawa informasi mengenai sital dan lokasi dari stimulus ke talamus
kemudian kemudian diteruskan ke korteks untuk diinterprestasikan, sedangkan impuls yangg
melewati SRT, diteruskan ke batang otak mengaktifkan respon outonomik dari limbik
(motivational affektive) effective yang dimotivasi (Long, 1996).
Pada tahun 1979, International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri
sebagai : Suatu pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan, yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan
jaringan. Rasa nyeri selalu merupakan sesuatu yang bersifat subjektif. Setiap individu
mempelajari nyeri melalui pengalaman yang berhubungan langsung dengan luka (injury),
yang terjadi pada masa awal kehidupannya. Secara klinis, nyeri adalah apapun yang
diungkapkan oleh pasien mengonai sesuatu yang dirasakannya sebagai suatu hal yang tidak
menyenangkan / sangat mengganggu.
Fisiologi Nyeri
Diantara terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan hingga timbulnya
pengalaman subyektif mengenai nyeri, terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi
yang kompleks, yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.
Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius diubah menjadi aktivitas elektrik pada
ujung saraf sensorik (reseptor) terkait. Proses berikutnya, yaitu transmisi, dalam proses ini
terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan impuls ke medulla
spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan impuls yang menuju ke atas (ascendens),
dari medulla spinalis ke batang otak dan thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik
antara thalamus dan cortex. Proses ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf yang
bertujuan mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras tertentu telah diternukan di sistem saran
5 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

pusat yang secara selektif menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Jaras ini
diaktifkan oleh stress atau obat analgetika seperti morfin.
Proses terakhir adalah persepsi, Proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga
menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. bahkan struktur otak
yang menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena nyeri secara
mendasar merupakan pengalaman subyektif sehingga tidak terhindarkan keterbatasan untuk
memahaminya (Dewanto).
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P,
bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu
mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang
terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord
(daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan
ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan
pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi
nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke
spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri
di dacrah yang terluka (Taylor & Le Mone).
Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang terbuka,
impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris
dengan menggaruk secara perlahan di dekat daerah nyeri dapat menutup gerbang sehingga
rnencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya
perasaan sernbuh dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Patricia &
Walker).
Kozier, dkk. (1995) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh meliputi
aspek pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan parasimpatis
respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut nadi,
peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah pucat,
diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat , berakibat tekanan
darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan, kelelahan, dan pucat (Black M.J, dkk)
Pada nyeri yang parah dan serangan yang mendadak merupakan ancaman yang
mempengaruhi manusia sebagai sistem terbuka untuk beradaptasi dari stressor yang
mengancam dan menganggap keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap stimulus nyeri
dari reseptor perifer atau korteks cerebral melalui sistem hipotalamus pituitary dan adrenal
dengan mekanisme medula adrenal hipofise untuk menekan fungsi yang tidak penting bagi
kehidupan sehingga menyebabkan hilangnya situasi menegangkan dan mekanisme kortek
adrenal hopfise untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyediakan
energi kondisi emergency untuk mempercepat penyembuhan (Long C.B.). Apabila
mekanisme ini tidak berhasil mengatasi Stressor (nyeri) dapat menimbulkan respon stress
seperti turunnya sistem imun pada peradangan dan menghambat penyembuhan dan kalau
makin parah dapat terjadi syok ataupun perilaku yang meladaptif (Corwin, J.E.).
Nyeri adalah mekanisme protektif yang dimaksudkan untuk menimbulkan kesadaran
bahwa telah atau akan terjadi kerusakan jaringan. Terdapat tiga kategori reseptor nyeri:
nosiseptor mekanis yang merespon terhadap kerusakan mekanis; nosiseptor termal yang
berespon terhadap suhu yang berlebihan; dan nosiseptor polimodal yang berespon terhadap
semua jenis rangsangan yang merusak, termasuk iritasi zat kimia yang dikeluarkan dari
jaringan yang cedera. Semua nosiseptor dapat disensitisasi oleh adanya prostaglandin.
Prostaglandin ini sangat meningkatkan respons reseptor terhadap rangsangan yang
mengganggu.
Impuls nyeri yang berasal dari nosiseptor disalurkan ke sistem saraf pusat melalui salah
satu dari dua jenis serat aferen. Sinyal-sinyal yang berasal dari nosiseptor mekanis dan termal
6 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

disalurkan melalui serat A-delta yang berukuran besar dan bermielin dengan kecepatan
sampai 30 meter per detik ( jalur nyeri cepat). Impuls dari nosiseptor polimodal diangkut oleh
serat C yang kecil dan tidak bermielin dengan kecepatan 12 meter per detik. Nyeri biasanya
dipersepsikan mula- mula sebagai sensasi tertusuk yang tajam dan singkat yang mudah
ditentukan lokalisasinya. Perasaan ini diikuti oleh sensasi nyeri tumpul yang lokalisasinya
tidak jelas dan menetap lebih lama dan menimbulkan rasa tidak enak. Jalur nyeri lambat ini
diaktifkan aleh zat- zat kimia, terutama bradikinin, suatu zat yang dalam keadaan normal
inaktif dan diaktifkan oleh enzim- enzim yang dikeluarkan oleh jaringan yang rusak.
Serat-serat aferen primer bersinaps dengan neuron ordo kedua di tanduk dorsal korda
spinalis. Salah satu neurotransmitter yang dikeluarkan dari ujung-ujung aferen nyeri ini
adalah substansi P, yang diperkirakan khas untuk serat- serat nyeri. Jalur nyeri asendens
memiliki tujuan yang belum dipahami dengan jelas di korteks somatosensorik, talamus dan
formasio retikularis. Peran korteks dalam persepsi nyeri belum jelas, walaupun korteks
penting paling tidak dalam penentuan lokalisasi nyeri. Nyeri masih dapat dirasakan walaupun
korteks tidak ada, mungkin pada tingkat talamus. Formatio retikularis meningkatkan derajat
kewaspadaan yang berkaitan dengan rangsangan yang menggangu. Hubungan- hubungan
antara talamus dengan formatio retikularis ke hipotalamus dan sistem limbik menghasilkan
respons emosi dan perilaku yang menyertai pengalaman yang menimbulkan nyeri.
(Sherwood, 1996)
1.3.Klasifikasi Nyeri
Menurut Long C.B (1996) mengklasifikasi nyeri berdasarkan jenisnya, meliputi :
Nyeri akut, nyeri yang berlangsung tidak melebihi enam bulan, serangan mendadak dari
sebab yang sudah diketahui dan daerah nyeri biasanya sudah diketahui, nyeri akut
ditandai dengan ketegangan otot, cemas yang keduanya akan meningkatkan persepsi
nyeri.
Nyeri kronis, nyeri yang berlangsung enam bulan atau lebih, sumber nyeri tidak diketahui
dan tidak bisa ditentukan lokasinya. Sifat nyeri hilang dan timbul pada periode tertentu
nyeri menetap.
Corwin J.E (1997) mengklasifikasikan nyeri berdasarkan sumbernya meliputi :
Nyeri kulit, adalah nyeri yang dirasakan dikulit atau jaringan subkutis, misalnya nyeri
ketika tertusuk jarum atau lutut lecet, lokalisasi nyeri jelas disuatu dermatum.
Nyeri somatik adalah nyeri dalam yang berasal dari tulang dan sendi, tendon, otot rangka,
pembuluh darah dan tekanan syaraf dalam, sifat nyeri lambat.
Nyeri Viseral, adalah nyeri dirongga abdomen atau torak terlokalisasi jelas disuatu titik
tapi bisa dirujuk kebagian-bagian tubuh lain dan biasanya parah.
Nyeri Psikogenik, adalah nyeri yang timbul dari pikiran pasien tanpa diketahui adanya
temuan pada fisik (Long, 1989 ; 229).
Nyeri Phantom limb pain, adalah nyeri yang dirasakan oleh individu pada salah satu
ekstremitas yang telah diamputasi (Long, 1996 ; 229).
II. Memahami dan Menjelaskan Nyeri Kepala
2.1. Definisi Nyeri Kepala
Nyeri diartikan sebagai sensasi tidak menyenangkan yang melibatkan emosi dengan atau
tanpa kerusakan jaringan (Sembulingam, 2006). Menurut Oxford Concise Medical
Dictionary, nyeri adalah sensasi tidak menyenangkan yang bervariasi dari nyeri yang ringan
hingga ke nyeri yang berat. Nyeri ini adalah respons terhadap impuls dari nervus perifer dari
7 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

jaringan yang rusak atau berpotensi rusak (Burton, 2007). Otak sendiri adalah tidak sensitif
terhadap nyeri dan bisa dipotong atau dibakar tanpa apa-apapun dirasakan (Matthews, 1975).
Sensasi nyeri dapat dijelaskan dengan banyak cara. Antaranya nyeri yang tajam, pricking,
dull-ache, shooting, cutting dan stabbing. Nyeri dapat dibagi dua yaitu nyeri akut dan nyeri
kronik. Nyeri akut adalah nyeri jangka pendek dengan penyebab yang mudah diidentifikasi.
Biasanya nyeri ini terlokalisasi di area yang kecil sebelum menyebar ke area sekitarnya.
Nyeri kronik adalah nyeri intermitten atau konstan yang berlanjutan untuk jangka waktu yang
panjang. Nyeri ini biasanya sukar ditangani dan memerlukan penanganan yang professional.
Meskipun nyeri ini tidak menyenangkan,ia berfungsi sebagai petanda awal kemungkinan
adanya masalah atau penyakit pada tubuh kita(Sembulingam, 2006).
Nyeri kepala timbul sebagai hasil perangsangan terhadap bagian tubuh di wilayah kepala
dan leher yang peka terhadap nyeri atau bisa dikatakan nyeri atau diskomfortasi antara orbital
dan oksiput yang berawalan dari painsensitive structure (Victor, 2002). Dorlands Pocket
Medical Dictionary (2004) menyatakan bahwa nyeri kepala adalah nyeri di kepala yang
ditandai dengan nyeri unilateral dan bilateral disertai dengan flushing dan mata dan hidung
yang berair.
2.2. Etiologi Nyeri Kepala
Nyeri kepala dapat dibagi kepada tiga kelompok berdasarkan onsetnya iaitu nyeri kepala
akut, subakut dan kronik. Nyeri kepala akut ini biasanya disebabkan oleh subarachnoid
haemorrhage, penyakit-penyakit serebrovaskular, meningitis atau encephalitis dan juga
ocular disease. Selain itu, nyeri kepala ini juga bisa timbul disebabkan kejang, lumbar punksi
dan karena hipertensi ensefalopati.
Bagi nyeri kepala subakut, nyerinya biasa timbul karena giant cell arteritis, massa
intrakranial, neuralgia trigeminal, neuralgia glossofaringeal dan hipertensi.
Nyeri kronik timbul karena migren, nyeri kepala klaster, nyeri kepala tipe-tegang,
cervical spine disease, sinusitis dan dental disease. (Greenberg,2002).
Dalam buku Disease of the Nervous System , dinyatakan bahwa nyeri kepala juga
disebabkan oleh penyakit pada tulang kranium, neuritis dan neuralgia, irritasi meningeal, lesi
di intracranial, trauma dan penurunan tekanan intracranial. Selain itu cough headache dan
psychogenic headache juga dapat menimbulkan nyeri kepala(1969). Nyeri kepala sering
menyertai OSA(Obstructive Sleep Apnea); dibandingkan dengan gangguan tidur yang lain,
sefalgia lebih sering terjadi pada gangguan tidur OSA. (Gaharu, M., dan Prasadja, A., 2009).
2.3.Patofisiologi Nyeri Kepala
Pada nyeri kepala, sensitisasi terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal
sentral. Fenomena pengurangan nilai ambang dari kulit dan kutaneous allodynia didapat pada
penderita yang mendapat serangan migren dan nyeri kepala kronik lain yang disangkakan
sebagai refleksi pemberatan respons dari neuron trigeminal sentral.
Innervasi sensoris sensoris pembuluh darah intrakranial sebahagian besar berasal dari
ganglion terminal dan di dalam serabut sensoris tersebut mengandung neuropeptida dimana
jumlah dan peranannya yang paling besar adalah CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide),
kemudian diikuti oleh SP(substance P), NKA(Neurokinin A), pituitary adenylate cyclase
activating peptide (PACAP), nitric oxide (NO), molekul prostaglandin E2 (PGE2),
bradikinin, serotonin (5-TH) dan edenosin triphosphat (ATP), mengaktivasi atau
mensensitisasi nosiseptor. Khusus untuk nyeri kepala klaster dan chronic paroxysmal
headache ada lagi pelepasan VIP(vasoactive intestine peptide) yang berperanan dalam
timbulnya gejala nasal congestion dan rhinorrhea.
Marker pain sensing nerves lain yang berperan dalam proses nyeri adalah opiod
dynorphin, sensory neuron-specific sodium channel, purinergic reseptors (P2X3), isolectin
B4 (IB4), neuropeptide Y, galanin dan artemin reseptor.
8 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Sistem ascending dan descending pain pathway yang berperan dalam transmisi dan
modulasi nyeri terletak dibatang otak. Batang otak memainkan peranan yang paling penting
sebagai pembawa impuls nosiseptif dan juga sebagai modulator impuls tersebut. Modulasi
transmisi sensoris sebagian besar berpusat di batang otak (misalnya periaquaductal grey
matter, locus coeruleus, nucleus raphe magnus dan formation reticularis), ia mengatur
integrasi nyeri, emosi dan respons otonomik yang melibatkan respons konvergensi kerja dari
korteks somatosensorik, hipotalamus, anterior cyngulate cortex dan struktur system limbik
yang lainnya. Dengan demikian batang otak disebut juga sebagai generator dan modulator
sefalgia.
Stimuli electrod, atau deposisi zat besi ferum yang berlebihan pada periaquaduct grey
(PAG) matter pada midbrain dapat mencetuskan timbulnya nyeri kepala seperti migren. Pada
penelitian MRI (Magnetic Resonance Imaging) terhadap keterlibatan batang otak pada
penderita migren, CDH (Chronic Daily Headahe) dan sampel kontrol yang non sefalgi,
didapat bukti adanya peninggian deposisi ferum di PAG pada penderita migren dan CDH
dibandingkan dengan control.
Patofisiologi CDH belum diketahui dengan jelas. Pada CDH justru yang paling berperan
adalah proses sensitisasi sentral. Keterlibatan aktivasi reseptor NMDA (N- metal-DAspertat), produksi NO dan supersensitivitas akan menaikan produksi neuropeptide sensoris
yang bertahan lama. Kenaikan nitrit likuor serebrospinal ternyata bersamaan dengan kenaikan
kadar cGMP (cytoplasmic Guanosine Mono phosphate) di likuor.
Reseptor opiod didownregulasi oleh penggunaan konsumsi opiod analgetik yang
cenderung menaik setiap harinya. Pada saat serangan akut migren, terjadi disregulasi dari
sistem opiod endogen, akan tetapi dengan adanya analgesic overused maka terjadi
desensitisasi yang berperan dalam perubahan dari migren menjadi CHD. Adanya inflamasi
steril pada nyeri kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai sel.
Makrofag melepaskan sitokin IL1 (Interleukin 1), IL6 dan TNF (Tumor Necrotizing Factor)
dan NGF (Nerve Growth Factor). Mast sel melepasi/mengasingkan metabolit histamin,
serotonin, prostaglandin dan asam arachidonik dengan kemampuan melakukan sensitisasi
terminal sel saraf. Pada saat proses inflamasi, terjadi proses upregulasi beberapa reseptor dan
peptida (Sjahrir, 2004).
2.3. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Nyeri Kepala
Nyeri kepala dapat diklasifikasikan menjadi nyeri kepala primer, nyeri kepala sekunder,
dan neuralgia kranial, nyeri fasial serta sakit kepala lainnya. Berdasarkan klasifikasi IHS
(International Headache Society) tahun 2004, nyeri kepala primer terdiri atas migren, nyeri
kepala tipe-tegang, nyeri kepala klaster dan other trigeminal-autonomic cephalalgias, dan
other primary headaches.
Sakit kepala sekunder dapat dibagi menjadi sakit kepala yang disebabkan oleh karena
trauma pada kepala dan leher, sakit kepala akibat kelainan vaskular kranial dan servikal, sakit
kepala yang bukan disebabkan kelainan vaskular intrakranial, sakit kepala akibat adanya zat
atau withdrawal, sakit kepala akibat infeksi, sakit kepala akibat gangguan homeostasis, sakit
kepala atau nyeri pada wajah akibat kelainan kranium, leher, telinga, hidung, dinud, gigi,
mulut atau struktur lain di kepala dan wajah, sakit kepala akibat kelainan psikiatri
2.3.1. Migren
Migren adalah gangguan periodik yang ditandai oleh nyeri kepala unilateral dan
kadang kadang bilateral yang dapat disertai muntah dan gangguan visual. Kondisi ini
sering terjadi, lebih dari 10% populasi mengalami setidaknya satu serangan migren dalam
hidupnya. Migren dapat terjadi pada semua umur, tetapi umumnya onset terjadi saat
remaja atau usia dua puluhan dengan wanita lebih sering. Terdapat riwayat migren dalam
keluarga pada sebahagian besar pasien.
9 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

1. Migren dengan aura


Pasien mengalami gejala prodromal yang tidak jelas beberapa jam sebelum serangan
seperti mengantuk, perubahan mood dan rasa lapar. Serangan klasik dimulai dengan
aura. Gejala visual meliputi pandangan gelap yang berupa kilasan gelap yang cepat.
Aura umumnya membaik setelah 15 hingga 20 menit, dimana setelah itu timbul nyeri
kepala. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk dan lebih berat jika batuk, mengejan atau
membungkuk. Nyeri kepala terjadi selama beberapa jam, umumnya antara 4 hingga
72 jam. Pasien lebih suka berbaring di ruangan yang gelap dan tidur. Gejala yang
menyertai adalah fotofobia, mual, muntah, pucat dan dieresis.
2. Migren tanpa aura
Pasien mungkin mengalami gejala prodromal yang tidak jelas. Nyeri kepala dapat
terjadi saat bangun tidur dan gejala yang lain sama dengan migren tipe klasik
(Ginsberg,2005).
Faktor Pencetus Migren
1. Perubahan hormon (65,1%), penurunan konsentrasi esterogen dan progesteron pada
fase luteal siklus menstruasi,
2. Makanan (26,9%), vasodilator (histamin seperti pada anggur merah, natrium nitrat),
vasokonstriktor (tiramin seperti pada keju, coklat, kafein), zat tambahan pada
makanan (natrium nitrit, MSG, aspartam),
3. Stress (79,7%),
4. Rangsangan sensorik seperti sinar yang terang menyilaukan (38,1%) dan bau yang
menyengat baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan (43,7%),
5. Faktor fisik
Aktifitas fisik yang berlebihan seperti aktifitas seksual (27,3%)
Perubahan pola tidur, termasuk terlalu banyak tidur dan terlalu sedikit tidur
(32%), atau gangguan saat tidur (49,8%)
6. Perubahan lingkungan (53,2%)
7. Alkohol (37,8%),
8. Merokok (35,7%).
(Dewanto G, dkk. 2009)
Patofisiologi Migren
Cutaneous allodynia (CA) adalah nafsu nyeri yang ditimibulkan oleh stimulus non
noxious terhadap kulit normal. Saat serangan/migren 79% pasien menunjukkan cutaneus
allodynia (CA) di daerah kepala ipsilateral dan kemudian dapat menyebar ke daerah
kontralateral dan kedua lengan.
Allodynia biasanya terbatas pada daerah ipsilateral kepala, yang menandakan
sensitivitas yang meninggi dari neuron trigeminal sentral(second-order) yang menerima
input secara konvergen. Jika allodynia lebih menyebar lagi, ini disebabkan karena adanya
kenaikan sementara daripada sensitivitas third order neuron yang menerima pemusatan
input dari kulit pada sisi yang berbeda, seperti sama baiknya dengan dari duramater
maupun kulit yang sebelumnya. (Landy SH, 2003; Bolay H, Moskowitz MA. 2002)
Ada 3 hipotesa dalam hal patofisiologi migren yaitu:
Pada migren yang tidak disertai CA, berarti sensitisasi neuron ganglion trigeminal
sensoris yang meng inervasi duramater
Pada migren yang menunjukkan adanya CA hanya pada daerah referred pain,
berarti terjadi sensitisasi perifer dari reseptor meninggal (first order) dan
sensitisasi sentral dari neuron komu dorsalis medula spinalis (second order)
dengan daerah reseptifperiorbital.

10 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Pada migren yang disertai CA yang meluas keluar dari area referred pain, terdiri
atas penumpukan dan pertambahan sensitisasi neuron talamik (third order) yang
meliputi daerah reseptif seluruh tubuh.
Pada penderita migren, disamping terdapat nyeri intrakranial juga disertai peninggian
sensitivitas kulit. Sehingga patofisiologi migren diduga bukan hanya adanya iritasi pain
fiber perifer yang terdapat di pembuluh darah intrakranial, akan tetapi juga terjadi
kenaikan sensitisasi sel saraf sentral terutama pada sistem trigeminal, yang memproses
informasi yang berasal dari struktur intrakranial dan kulit. (Landy SH, 2003)
Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan aura, pada saat paling
awal serangan migren diketemukan adanya penurunan cerebral blood flow (CBF) yang
dimulai pada daerah oksipital dan meluas pelan-pelan ke depan sebagai seperti suatu
gelombang (spreading oligemia; dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-3
mm per menit. hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti proses
hiperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang, kemudian terjadi reaktif
hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital, kejadian depolarisasi sel saraf
menghasilkan gejala scintillating aura, kemudian aktifitas sel saraf menurun
menimbulkan gejala skotoma. Peristiwa kejadian tersebut disebut suatu cortical spreading
depression (CDS). CDS menyebabkan hiperemia yang berlama didalam duramater,
edema neurogenik didalam meningens dan aktivasi neuronal didalam TNC (trigeminal
nucleus caudalis) ipsilateral. Timbulnya CSD dan aura migren tersebut mempunyai
kontribusi pada aktivasi trigeminal, yang akan mencetuskan timbulnya nyeri kepala. Pada
serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway pada sistem trigeminovaskuler,
dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti peninggian Ca sebagai
penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti misalnya 5-HT IB/ID,
bradykinine, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzym NOS. Proses tersebutlah
sebagai penyebab adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hiperalgesia pada penderita
migren. (Landy SH, 2003; Lauritzen M, 2001; Bolay H, et.al 2001)
Fase sentral sensitisasi pada migren, induksi nyeri ditimbulkan oleh komponen
inflamasi yang dilepas dari dura, seperti oleh ion potasium, protons, histamin,
5HT(serotonin), bradikin, prostaglandin E di pembuluh darah serebral, dan serabut safar
yang dapat menimbulkan nyeri kepala. Pengalih komponen inflamasi tersebut terhadap
reseptor C fiber di meningens dapat dihambat dengan obat-obatan NSAIDs (non steroid
anti inflammation drugs) dan 5-HT 1B/1D agonist, yang memblokade reseptor vanilloid
dan reseptor acid-sensittive ion channel yang juga berperan melepaskan unsur protein
inflamator). (Landy SH, 2003)
Fase berikutnya dari sensitisasi sentral dimediasi oleh aktivasi reseptor presinap
NMDA purinergic yang mengikat adenosine triphosphat(reseptor P2X3) dan reseptor 5HT IB/ID pada terminal sentral dari nosiseptor C tiber. Nosiseptor C-fiber memperbanyak
pelepasan transmitter. Jadi obat-obatan yang mengurangi pelepasan transmitter seperti
mu-opiate, adenosine dan 5-HT IB/ID reseptor agonist, dapat mengurangi induksi
daripada sensitisasi sentral.
Proses sensitisasi di reseptor meningeal perivaskuler mengakibatkan hipersensitivitas
intrakranial dengan manifestasi sebagai perasaan nyeri yang ditimbulkan oleh berbatuk,
rasa mengikat dikepala, atau pada saat menolehkan kepala. Sedangkan sensitivitas pada
sentral neuron trigeminal menerangkan proses timbulnya nyeri tekan pada daerah
ektrakranial dan cutaneus allodynia. Sehingga ada pendapat bahwa adanya cutaneus
allodynia (CA) dapat sebagai marker dari adanya sentral sensitisasi pada migren.
Pada pemberian sumaptriptan maka aktivitas batang otak akan stabil dan
menyebabkan gejala migrenpun akan menghilang sesuai dengan pengurangan aktivasi di
cingulate, auditory dan visual association cortical. Hal itu menunjukkan bahwa
11 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

patogenesis migren sehubungan dengan adanya aktivitas yang imbalance antara brain
stem nuclei regulating antinoception dengan vascular control. Juga diduga bahwa adanya
aktivasi batang otak yang menetap itu berkaitan dengan durasi serangan migren dan
adanya serangan ulang migren sesudah efek obat sumatriptan tersebut menghilang. (Lake
III AE, Saper JR. 2002)
Kruit MC dalam laporan penelitiannya yang dimuat pada The Journal of American
Medical Association Januari 2004 vol 291 mengenai gambaran MRI yang supersensitif
pada 161 pasien migren dibandingkan dengan 141 orang tanpa migren. Temuan ini telah
mengubah pandangan terhadap migren yang selama ini dianggap sebagai suatu episodic
disorder dengan gejala transient menjadi suatu chronic progressive disorder yang
mengakibatkan perubahan permanen dari parenkhim otak. Pada subyek kontrol tanpa
migren didapati 38% adanya tiny brain lesion. Peneliti mendapatkan adanya lesi diotak
yang lebih banyak dan lebih luas pada pasien wanita migren 2 kali banyak dibandingkan
dengan laki2 secara signifikan. Pasien yang lebih sering mendapat serangan migren dan
juga disertai aura lebih banyak menunjukkan lesi infark dibandingkan tanpa aura. (Buzzi
MG, 2003)
2.3.2. Nyeri Kepala Klaster
Sindrom ini berbeda dengan migren, walaupun sama-sama ditandai oleh nyeri kepala
unilateral, dan dapat terjadi bersamaan. Mekanisme histaminergik dan humoral
diperkirakan mendasari gejala otonom yang terjadi bersamaan dengan nyeri kepala ini.
Pasien biasanya laki-laki, onset usia 20 hingga 60 tahun. Pasien merasakan serangan
nyeri hebat di sekitar satu mata(selalu pada sisi yang sama) selama 20 hingga 120 menit,
dapat berulang beberapa kali dalam sehari, dan sering membangunkan pasien lebih dari
satu kali dalam semalam. Alkohol juga dapat mencetuskan serangan. Pola ini berlangsung
selama berhari-hari, berminggu-minggu bahkan bulanan kemudian bebas serangan selam
berhari-hari, berminggu-minggu, bulan bahkan tahunan. Tidak seperti migren, pasien
nyeri kepala klaster seringkali gelisah selama serangan dan tampak kemerahan
(Fauci, 2008).
2.3.3. Nyeri Kepala Tipe-Tegang/ Tension Type Headache (TTH)
Nyeri kepala ini merupakan kondisi yang sering terjadi dengan penyebab belum
diketahui, walaupun telah diterima bahawa kontraksi otot kepala dan leher merupakan
mekanisme penyebab nyeri. Kontraksi otot dapat dipicu oleh faktor-faktor psikogenik
yaitu ansietas atau depresi atau oleh penyakit lokal pada kepala dan leher
Klasifikasi TTH adalah Tension Type Headache episodik dan dan Tension Type
Headache kronik. Tension Type Headache episodik, apabila frekuensi serangan tidak
mencapai 15 hari setiap bulan. Tension Type Headache episodik (ETTH) dapat
berlangsung selama 30 menit 7 hari. Tension Type Headache kronik (CTTH) apabila
frekuensi serangan lebih dari 15 hari setiap bulan dan berlangsung lebih dari 6 bulan.
(Dewanto G, dkk. 2009)
Pasien umumnya pasien akan mengalami nyeri kepala yang sehari-hari yang dapat
menetap selama beberapa bulan atau tahun. Nyeri dapat memburuk pada sore hari dan
umumnya tidak responsif terhadap obat-obatan analgesik sederhana. Nyeri kepala ini juga
besifat bervariasi. Nyeri kepala bervariasi adalah nyeri yang dimulai dari nyeri tumpul di
berbagai tempat hingga sensasi tekanan yang menyeluruh sampai perasaan kepala diikat
ketat. Selain kadang ada mual, tidak ada gejala penyerta lainnya dan pemeriksaan
neurologis adalah normal. (Kaufman, 1985).
Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH)
Etiologi dan Faktor Resiko Tension Type Headache (TTH) adalah stress, depresi, bekerja
dalam posisi yang menetap dalam waktu lama, kelelahan mata, kontraksi otot yang
12 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

berlebihan, berkurangnya aliran darah, dan ketidakseimbangan neurotransmitter seperti


dopamin, serotonin, noerpinefrin, dan enkephalin.
Patofisiologi Tension Type Headache (TTH)
Pada penderita Tension type headache didapati gejala yang menonjol yaitu nyeri
tekan yang bertambah pada palpasi jaringan miofascial perikranial. Impuls nosiseptif dari
otot perikranial yang menjalar kekepala mengakibatkan timbulnya nyeri kepala dan nyeri
yang bertambah pada daerah otot maupun tendon tempat insersinya.
TTH adalah kondisi stress mental, non-physiological motor stress, dan miofasial lokal
yang melepaskan zat iritatif ataupun kombinasi dari ke tiganya yang menstimuli perifer
kemudian berlanjut mengaktivasi struktur persepsi supraspinal pain, kemudian berlanjut
lagi ke sentral modulasi yang masing-masing individu mempunyai sifat self limiting yang
berbeda bedaa dalam hal intensitas nyeri kepalanya.
Pengukuran tekanan palpasi terhadap otot perikranial dilakukan dengan alat
palporneter (yang diketernukan oleh Atkins, 1992) sehingga dapat mendapatkan skor
nyeritekan terhadap otot tersebut. Langemark & Olesen tahun 1987 (yang dikutip oleh
Bendtsen) telah menernukan metode palpasi manual untuk penelitian nyeri kepala dengan
cara palpasi secara cepat bilateral dengan cara memutar jari ke2 dan ke 3 ke otot yang
diperiksa, nyeri tekan yang terinduksi dinilai dengan skor Total Tenderness Scoring
system. Yaitu suatu sistem skor dengan 4 point penilaian kombinasi antara reaksi
behaviour dengan reaksi verbal dari penderita:
Pada penelitian Bendtsen tabun 1996 terhadap penderita chronic tension type
headache (yang dikutip oleh Bendtsew) teryata otot yang mempunyai nilai Local
tenderness score tertinggi adalah otot Trapezeus, insersi otot leher dan otot
sternocleidomastoid. Nyeri tekan otot perikranial secara signifikan berkorelasi dengan
intensitas maupun frekwensi serangan tension type headache kronik. Belum diketahui
secara jelas apakah nyeri tekan otot tersebut mendahului atau sebab akibat daripada nyeri
kepala, atau nyeri kepala yang timbul dahulu baru timbul nyeri tekan otot. Pada migren
dapat juga terjadi nyeri tekan otot, akan tetapi tidak selalu berkorelasi dengan intensitas
maupun frekwensi serangan migren.
Nyeri miofascial adalah suatu nyeri pada otot bergaris termasuk juga struktur fascia
dan tendonnya. Dalam keadaan normal nyeri miofascial di mediasi oleh serabut kecil
bermyelin (Aoc) dan serabut tak bermyelin (C), sedangkan serabut tebal yang bermyelin
(A dan AB) dalam keadaan normal mengantarkan sensasi yang ringan/ tidak merusak
(inocuous). Pada rangsang noxious dan inocuous event, seperti misalnya proses iskemik,
stimuli mekanik, maka mediator kimiawi terangsang dan timbul proses sensitisasi serabut
Aa dan serabut C yang berperan menambah rasa nyeri tekan pada tension type headache.
Pada zaman dekade sebelum ini dianggap bahwa kontraksi dari otot kepala dan leher
yang dapat menimbulkan iskemik otot sangatlah berperan penting dalam tension type
headache sehingga pada masa itu sering juga disebut muscle contraction headache. Akan
tetapi pada akhir-akhir ini pada beberapa penelitian2 yang menggunakan EMG
(elektromiografi) pada penderita tension type headache ternyata hanya menunjukkan
sedikit sekali terjadi aktifitas otot, yang tidak mengakibatkan iskemik otot,jika meskipun
terjadi kenaikan aktifitas otot maka akan terjadi pula adaptasi protektif terhadap nyeri.
Peninggian aktifitas otot itupun bisa juga terjadi tanpa adanya nyeri kepala.
Nyeri myofascial dapat di dideteksi dengan EMG jarum pada miofascial trigger point
yang berukuran kecil beberapa milimeter saja (tidak terdapat pada semua otot). Mediator
kimiawi substansi endogen seperti serotonin (dilepas dari platelet), bradikinin (dilepas
dari belahan precursor plasma molekul kallin) dan Kalium (yang dilepas dari sel otot), SP
dan CGRP dari aferens otot berperan sebagai stimulan sensitisasi terhadap nosiseptor otot

13 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

skelet. Jadi dianggap yang lebih sahih pada saat ini adalah peran miofascial terhadap
timbulnya tension type headache.
Untuk jenis TTH episodik biasanya terjadi sensitisasi perifer terhadap nosiseptor,
sedang yang jenis kronik berlaku sensitisasi sentral. Proses kontraksi otot sefalik secara
involunter, berkurangnya supraspinal descending pain inhibitory activity, dan
hipersensitivitas supraspinal terhadap stimuli nosiseptif amat berperan terhadap timbulnya
nyeri pada Tension type Headache. Semua nilai ambang pressure pain detection, thermal
& electrical detection stimuli akan menurun di sefalik maupun ekstrasefalik
Stress dan depresi pada umumnya berperan sebagai faktor pencetus (87%), exacerbasi
maupun mempertahankan lamanya nyeri kepala. Prevalensi life time depresi pada
penduduk adalah sekitar 17%. Pada penderita depresi dijumpai adanya defisit kadar
serotonin dan noradrenalin di otaknya.
Pada suatu penelitian dengan PET Scan, ternyata membuktikan bahwa kecepatan
biosintesa serotonin pada pria jauh lebih cepat 52% dibandingkan dengan wanita. Dengan
bukti tersebut di asumsikan bahwa memang terbukti bahwa angka kejadian depresi pada
wanita lebih tinggi 2- 3 kali dari pria.
(Sjahrir H, 2004)
2.4. Penatalaksanaan Nyeri Kepala
Bagi migren, pasien akan merasa lebih nyaman berbaring di ruangan gelap dan tidur.
Analgesik sederhana seperti parasetamol atau aspirin diberikan dengan kombinasi antiemetic.
Episode yang tidak responsive dengan terapi di atas dapat diberikan ergotamin, suatu
vasokonstriktor poten atau sumatriptan, agonis reseptor selektif 5-HT yang dapat diberikan
subkutan, intranasal atau oral. Kedua obat tersebut memiliki kelemahan. Alkaloid ergot dapat
menimbulkan keracunan akut dengan gejala muntah, nyeri dan kelemahan otot
(Katzung,1998)
Terapi bagi nyeri kepala klaster meliputi penggunaan ergotamin , sumatriptan atau
kortikosteroid selama 2 minggu dengan dosis diturunkan bertahap. Terapi jangka panjang
untuk pencegahan rekurensi meliputi penggunaan metisergid,verapamil atau pizotifen. Litium
dapat membantu jika nyeri menjadi kronik tetapi kadarnya dalam darah harus dipantau
(Tripathi,2003).
Terapi biasanya tidak memuaskan untuk nyeri kepala tipe tegang. Beberapa pasien mungkin
merasa lebih baik jika diyakinkan tidak ada penyakit dasar, tetapi hal ini kurang membantu
jika pola perilaku telah menjadi selama beberapa bulan atau tahunan. Terutama jika
kemungkinan besar didasari oleh keadaan psikogenik, maka terapi trisiklik atau komponen
lain selama 3-6 bulan dapat membantu (Syarif,2007). Pasien yang lain mungkin merasa lebih
baik dengan bantuan ahli fisioterapi (Brain dan Walton, 1969).
Obat-obatan yang sering dipakai & mekanismenya :
1. Acetaminophen: inhibisi sintesa prostaglandin di CNS, inhibisi aktifitas nosiseptif via
reseptor 5HT
2. Aspirin: inhibisi sintesa prostaglandin dan leukotriene
3. NSAIDs : inhibisi sintesa cyclooxygenase, prostaglandin, lipoxygenase & leukotriene,
prostaglandin receptor antagonism
4. Caffeine: Stimulasi reseptor adenosine, enhanced analgesia, memperbesar potensi
absorbsi gastrointestinal
5. Ergots(ergotarnine tartrate, dihydroergotamine) : suatu selektif arterial konstriktor yang
kuat dan mempunyai daya ikat kuat melalui otot dinding arteri.
6. Opioids: stimulasi reseptor opioid endogen
7. Triptans : berikatan dengan reseptor 5HT1B, 5HT1D, 5HT1F, menginhibisi neuronal
dengan cara blokade aferen sensoris pada n.trigeminal, memblokade pelepasan vasoactive
14 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

peptide dan juga proses inflamasi neurovaskuler di dura maupun meningens. Juga
mempunyai efek vasokonstruksi dari pembuluh darah serebral dan dural yang
mengakibatkan pengaruhnya terhadap cerebral blood flow.
8. steroids: anti inflamasi terhadap neurogenik inflamasi steril, mengurangi edema
vasogenik, inhibisi terhadap dorsal raphe nuclei.
9. Betabloker : Inhibisi pelepasan NE dengan cara blokade pre junctional beta receptors,
memperlambat reduksi dari aktivitas tyropsine hydroxylase dalam hal sintesa NE, efek
agonis pada 5HT1 reseptor, efek antagonis pada 5HT2
10. Ca Channel antagonis : mempengaruhi Ca influx dalam mencegah vasokonstruksi dan
pelepasan SP
11. Cyproheptadine: Potent 5HT1 & 5HT2 antagonist
12. Pizotifen : 5HT2 antagonist
13. SSRI antidepresan: Selective serotonin reuptake inhibitor
(Headache Council Philippine Neurological Association, 2000)
Pengobatan non farmakologik untuk nyeri kepala primer.
Pengobatan Alternatif
Zanchin G, dkk (2001) meneliti penggunaan self-manipulasi penanggulangan nyeri
kepala primer pada sekitar 400 penderita di dua kota Padua dan Parma Headache Centres,
Italy. Ternyata 65% (258 orang) menggunakan beberapa 21 jenis self manipulasi terhadap
beberapa letak di kepalanya untuk mengatasi nyeri kepalanya tersebut. Yaitu 30%
melakukan kompresi/penekanan, 27% kompres dingin, 25% massage/pijit, 8% kompres
panas terhadap daerah kepalanya yang dirasa sakit. Dari self manipulasi tersebut ternyata
hanya dapat mengurangi nyerinya secara temporer sekitar 8% saja. Kelihatan disini
bahwa manipulasi kompresi/penekanan lebih bermanfaat dibandingkan dengan
manipulasi lainnya. Kompresi/penekanan dilakukan dengan tangan, jari atau benda yang
padat ataupun dengan diikat dengan saputangan. Kompres dingin dengan cara handuk
dingin atau dengan ice bag. Massage/pijit dengan self massage, pijit sendiri atau di pijit
oleh orang lain. Kompres panas dengan cara, handuk panas, hair dryer atau dengan hot
shower.
Botulinum toxin A (BTX A)
Terapi nyeri kepala dengan botulinum toxin A adalaq relatif baru.Bagaimana mekanisme
BTX A dapat mengurangi nyeri kepala yang tepat belum lab diketahui. Diduga BTX A
mempunyai target menurunkan CGRP maupun SP, dan sebagai muscle relaxant. (Ondo
WG, 2004)
2.5. Pencegahan Sakit Kepala
Pencegahan sakit kepala adalah dengan mengubah pola hidup yaitu mengatur pola tidur yang
sam setiap hari, berolahraga secara rutin, makan makanan sehat dan teratur, kurangi stress,
menghindari pemicu sakit kepala yang telah diketahui.
2.6. Prognosis dan Indikasi Rujuk Sakit Kepala
Prognosis dari sakit kepala bergantung pada jenis sakit kepalanya sedangkan indikasi
merujuk adalahsebagai berikut: (1) sakit kepala yang tiba tiba dan timbul kekakuan di leher,
(2) sakit kepala dengan demam dan kehilangan kesadaran, (3) sakit kepala setelah terkena
trauma mekanik pada kepala, (4) sakit kepala disertai sakit pada bagian mata dan telinga, (5)
sakit kepala yang menetap pada pasien yang sebelumnya tidak pernah mengalami serangan,
(6) sakit kepala yang rekuren pada anak.

15 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

III. Memahami dan Menjelaskan Gangguan Somatoform


3.1. Definisi
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik
(sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien
untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu
penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah
tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan (Pardamean E, 2007).
Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala fisik, dimana
tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut terdapat bukti
positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor psikologis
atau konflik. Karena gejala tak spesifik dari beberapa sistem organ dapat terjadi pada
penderita anxietas maupun penderita somatoform disorder, diagnosis anxietas sering
disalahdiagnosiskan menjadi somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya
somatoform disorder, tidak menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang. Pada DSM-IV
ada 4 kategori penting dari somatoform disorder, yaitu hipokhondriasis, gangguan somatisasi,
gangguan konversi dan gangguan nyeri somatoform (Iskandar Y, 2009).
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima
bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang
lebih lanjut. (PPDGJ III, 1993).
3.2. Etiologi
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang mempunyai
tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam transmisi gangguan ini.
Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme)
suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non dominan (Kapita Selekta, 2001). Secara
garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut (Nevid, dkk, 2005):
1. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis (biasanya pada gangguan
somatisasi).
2. Faktor Lingkungan Sosial
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti peran sakit yang
dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
3. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang
tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder).
Adanya perhatian untuk menampilkan peran sakit
Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan
dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang diasosiasikan
dengan keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatan atau kerusakan fisik yang
dipersepsikan.
4. Faktor Emosi dan Kognitif
Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab ganda
yang terlibat adalah sebagai berikut:
16 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simptom fisik sebagai tanda dari adanya
penyakit serius (hipokondriasis).
Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impuls-impuls
yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam simptom fisik (gangguan konversi).
Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan suatu
strategi self-handicaping (hipokondriasis).

3.3. Patofisiologi
The pathophysiology of somatization and somatization disorder is unknown. Primary
somatoform disorders may be associated with a heightened awareness of normal bodily
sensations. This heightened awareness may be paired with a cognitive bias to interpret any
physical symptom as indicative of medical illness. Autonomic arousal may be high in some
patients with somatization. This autonomic arousal may be associated with physiologic
effects of endogenous noradrenergic compounds such as tachycardia or gastric hypermotility.
Heightened arousal also may induce muscle tension and pain associated with muscular
hyperactivity, as is seen with muscle tension headaches.
http://emedicine.medscape.com/article/294908-overview#a0104
3.4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang
disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif
dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya
(Kapita Selekta, 2001). Beberapa orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau
menelan, atau ada yang menekan di dalam tenggorokan. Masalah-masalah seperti ini dapat
merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf otonomik, yang
dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah simptom muncul dalam
bentuk yang lebih tidak biasa, seperti kelumpuhan pada tangan atau kaki yang tidak
konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus-kasus lain, juga dapat ditemukan
manifestasi dimana seseorang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit
yang serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan (Nevid, dkk,
2005).
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima
bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang
lebih lanjut (PPDGJ III, 1993). Dalam kasus-kasus lain, orang berfokus pada keyakinan
bahwa mereka menderita penyakit serius, namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang
dapat ditemukan.
Gambaran keluhan gejala somatoform:
Neuropsikiatri:
Kedua bagian dari otak saya tidak dapat berfungsi dengan baik ;
Saya tidak dapat menyebutkan benda di sekitar rumah ketika ditanya
Kardiopulmonal:
Jantung saya terasa berdebar debar. Saya kira saya akan mati
Gastrointestinal:
Saya pernah dirawat karena sakit maag dan kandung empedu dan belum ada dokter yang
dapat menyembuhkannya
Genitourinaria:
Saya mengalami kesulitan dalam mengontrol BAK, sudah dilakukan pemeriksaan
namun tidak di temukan apa-apa
Musculoskeletal
17 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Saya telah belajar untuk hidup dalam kelemahan dan kelelahan sepanjang waktu
Sensoris:
Pandangan saya kabur seperti berkabut, tetapi dokter mengatakan kacamata tidak akan
membantu
Beberapa tipe utama dari gangguan somatoform adalah gangguan konversi, hipokondriasis,
gangguan dismorfik tubuh, dan gangguan somatisasi.
Klasifikasi dan Diagnosis
Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi :
F.45.0 gangguan somatisasi
F.45.1 gangguan somatoform tak terperinci
F.45.2 gangguan hipokondriasis
F.45.3 disfungsi otonomik somatoform
F.45.4 gangguan nyeri somatoform menetap
F.45.5 gangguan somatoform lainnya
F.45.6 gangguan somayoform YTT
DSM-IV, ada tujuh kelompok, lima sama dengan klasifikasi awal dari PPDGJ ditambah
dengan gangguan konversi, dan gangguan dismorfik tubuh. Pada bagian psikiatri, gangguan
yang sering ditemukan di klinik adalah gangguan somatisasi dan hipokondriasis.

18 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

F. 45.0 Gangguan Somatisasi


Definisi
Gangguan somatisasi (somatization disorder) dicirikan dengan keluhan somatik yang
beragam dan berulang yang bermula sebelum usia 30 tahun (namun biasanya pada usia
remaja), bertahan paling tidak selama beberapa tahun, dan berakibat antara menuntut
perhatian medis atau mengalami hendaya yang berarti dalam memenuhi peran sosial atau
pekerjaan.
Keluhan-keluhan yang diutarakan biasanya mencakup sistim-sistim organ yang
berbeda seperti nyeri yang samar dan tidak dapat didefinisikan, problem menstruasi/seksual,
orgasme terhambat, penyakit-penyakit neurologik, gastrointestinal, genitourinaria,
kardiopulmonar, pergantian status kesadaran yang sulit ditandai dan lain sebagainya. Jarang
dalam setahun berlalu tanpa munculnya beberapa keluhan fisik yang mengawali kunjungan
ke dokter. Orang dengan gangguan somatisasi adalah orang yang sangat sering
memanfaatkan pelayanan medis. Keluhan-keluhannya tidak dapat dijelaskan oleh penyebab
fisik atau melebihi apa yang dapat diharapkan dari suatu masalah fisik yang diketahui.
Keluhan tersebut juga tampak meragukan atau dibesar-besarkan, dan orang itu sering kali
menerima perawatan medis dari sejumlah dokter, terkadang pada saat yang sama.
Etiologi
Belum diketahui. Teori yang ada yaitu teori belajar, terjadi karena individu belajar
untuk mensomatisasikan dirinya untuk mengekspresikan keinginan dan kebutuhan akan
perhatian dari keluarga dan orang lain
Epidemiologi
- Wanita : pria = 10 :1, bermula pada masa remaja atau dewasa muda
- Rasio tertinggi usia 20- 30 tahun
- Pasien dengan riwayat keluarga pernah menderita gangguan somatoform (berisiko 1020 kali lebih besar dibanding yang tidak ada riwayat).

19 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi


Untuk gangguan somatisasi, diagnosis pasti memerlukan semua hal berikut:
Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun
Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya.
Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.
atau:
Keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun, terjadi selama periode beberapa tahun
Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan,
- 4 gejala nyeri: sekurangnya empat tempat atau fungsi yang berlainan (misalnya kepala,
perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama
hubungan seksual, atau selama miksi)
- 2 gejala gastrointestinal: sekurangnya dua gejala selain nyeri (misalnya mual, kembung,
muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis
makanan)
- 1 gejala seksual: sekurangnya satu gejala selain dari nyeri (misalnya indiferensi
seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi
berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).
- 1 gejala pseudoneurologis: sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan pada
kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis, sulit menelan, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau
nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif seperti amnesia;
atau hilangnya kesadaran selain pingsan).
Salah satu (1) atau (2):
- Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dan
suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
- Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan
yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dari riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau
pura-pura).
Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial:
Aksis I: Gangguan somatoform, somatisasi
Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III: tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV: masalah dengan keluarga
Aksis V: GAF Scale 51-60: gejala sedang, disabilitas sedang
Tatalaksana
Tujuan pengobatan
1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan
bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment,
dan obat-obatan yang tidak perlu
3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2. Buat jadwal regular ddengan interval waktu kedatangan yang memadai
20 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3. Anti anxietas dan antidepressan
Prognosis
Dubia et malam. Pasien susah sembuh walau sudah mengikuti pedoman pengobatan.
Sering kali pada pasien wanita berakhir pada percobaan bunuh diri.

F.45.1 Gangguan Somatoform Tak Terperinci


Etiologi
Tidak diketahui
Epidemiologi
Bervariasi, di USA 10%-12% terjadi pada usia dewasa dan 20 % menyerang wanita.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang tak terperinci
Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan tetapi gambaran
klinis yang khas dan lengkap dari gangguan somatisasi tidak terpenuhi
Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum jelas, akan tetapi
tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-keluhannya.
atau :
- Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)
- Salah satu (1) atau (2)
Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi
medis umum yang diketahui atau oleh efek langsung dari suatu zat (misalnya efek
cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan
sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan
menurut riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
- Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. Durasi gangguan sekurangnya
enam bulan.
- Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya
gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan,
gangguan tidur, atau gangguan psikotik).
- Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau berpura-pura)
Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial
Aksis I: Gangguan somatoform Tak Terperinci
Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III: tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV:
Aksis V: GAF Scale 61-70
Tatalaksana
Tujuan pengobatan
1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan
bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment,
dan obat-obatan yang tidak perlu
21 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)


Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3. Anti anxietas dan antidepressant (kalau perlu)
Prognosis
Bervariasi, sulit diprediksi karena prognosisnya bergantung pada gejala yang lebih
dominan.
F.45.2 Gangguan Hipokondriasis
Definisi
Hipokondriasis adalah keterpakuan (preokupasi) pada ketakutan menderita, atau
keyakinan bahwa seseorang memiliki penyakit medis yang serius, meski tidak ada dasar
medis untuk keluhan yang dapat ditemukan. Berbeda dengan gangguan somatisasi dimana
pasien biasanya meminta pengobatan terhadap penyakitnya yang seringkali menyebabkan
terjadinya penyalahgunaan obat, maka pada gangguan hipokondrik pasien malah takut untuk
makan obat karena dikira dapat menambah keparahan dari sakitnya.
Ciri utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa simptom fisik yang
dialami seseorang merupakan akibat dari suatu penyakit serius yang mendasarinya, seperti
kanker atau masalah jantung. Rasa takut tetap ada meskipun telah diyakinkan secara medis
bahwa ketakutan itu tidak berdasar. Gangguan ini paling sering muncul antara usia 20 dan 30
tahun, meski dapat terjadi di usia berapapun.
Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar berpura-pura akan simptom fisiknya.
Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik, seringkali melibatkan sistem
pencernaan atau campuran antara rasa sakit dan nyeri. Berbeda dengan gangguan konversi
yang biasanya ditemukan sikap ketidakpedulian terhadap simptom yang muncul, orang
dengan hipokondriasis sangat peduli, bahkan benar-benar terlalu peduli pada simptom dan
hal-hal yang mungkin mewakili apa yang ia takutkan.
Pada gangguan ini, orang menjadi sangat sensitif terhadap perubahan ringan dalam
sensasi fisik, seperti sedikit perubahan dalam detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri.
Padahal kecemasan akan simptom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik itu sendiri, misalnya
keringat berlebihan dan pusing, bahkan pingsan. Mereka memiliki lebih lanjut kekhawatiran
akan kesehatan, lebih banyak simptom psikiatrik, dan mempersepsikan kesehatan yang lebih
buruk daripada orang lain. Sebagian besar juga memiliki gangguan psikologis lain, terutama
depresi mayor dan gangguan kecemasan.
Etiologi
Masih belum jelas
Epidemiologi
Biasanya terjadi pada usia dewasa, rasio antara wanita dan pria sama
Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis
Untuk diagnosis pasti gangguan hipokondrik, kedua hal ini harus ada:
Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius
yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang tidak
menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang
22 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak


sampai waham)
Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya
Ciri-ciri diagnostik dari hipokondriasis:
- Perokupasi (keterpakuan) dengan ketakutan menderita, ide bahwa ia menderita suatu
penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala
tubuh.
- Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat.
- Tidak disertai dengan waham dan tidak terbatas pada kekhawatiran tentang penampilan
(seperti pada gangguan dismorfik tubuh).
- Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. Lama gangguan sekurangnya 6
bulan.
- Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum,
sgangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, gangguan depresif berat, cemas
perpisahan, atau gangguan somatoform lain.
Contoh Penulisan Diagnosis multiaksial
Aksis I: Gangguan somatoform, hipokondriasis
Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III: tidak ada diagnosis aksis III
Aksis IV:
Aksis V: GAF Scale 51-60 gejala sedang, disabilitas sedang
Tatalaksana
Tujuan pengobatan
1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan
bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment,
dan obat-obatan yang tidak perlu
3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial
4. Therapi kognitif-behaviour
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
2. Usahakan untuk mengurangi gejala hipokondriasis dengan SSRI (Fluoxetine 60-80 mg/
hari) dibandingkan dengan obat lain.
Prognosis
10 % pasien bisa sembuh, 65 % berlanjut menjadi kronik dengan onset yang
berfluktuasi, 25 % prognosisnya buruk.
F.45.3 Gangguan Disfungsi Otonomik Somatoform
Kriteria diagnostik yang diperlukan :
- Ada gejala bangkitan otonomik seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka panas, yang
sifatnya menetap dan mengganggu
- Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (tidak khas)

23 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Preokupasi dengan penderitaan mengenai kemungkinan adanya gangguan yang serius


yang menimpanya, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan maupun penjelasan
dari dokter
Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari
sistem/organ yang dimaksud
Kriteria ke 5, ditambahkan :
F.45.30 = Jantung dan Sistem Kardiovaskular
F.45.31 = Saluran Pencernaan Bagian Atas
F.45.32 = Saluran Pencernaan Bagian Bawah
F.45.33 = Sistem Pernapasan
F.45.34 = Sistem Genito-Urinaria
F.45.38 = Sistem atau Organ Lainnya

F. 45.4 . Gangguan Nyeri Yang Menetap


Definisi
Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan dengan
faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis. Pasien sering
wanita yang merasa mengalami nyeri yang penyebabnya tidak dapat ditemukan. Munculnya
secara tiba-tiba, biasanya setelah suatu stres dan dapat hilang dalam beberapa hari atau
berlangsung bertahun-tahun. Biasanya disertai penyakit organik yang walaupun demikian
tidak dapat menerangkan secara adekuat keparahan nyerinya (Tomb, 2004).
Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri
yang dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris
dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan
menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Sedangkan pada nyeri somatoform, pasien malah bertindak sebaliknya.
Etiologi
Tidak diketahui
Epidemiologi
Terjadi pada semua tingkatan usia, di USA 10-15% pasien datang dengan keluhan nyeri
punggung.
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri
- Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis
- Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
- Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan,
eksaserbasi atau bertahannya nyeri.
- Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).
- Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau
gangguan psikotik dan tidak memenuhi kriteria dispareunia.
Contoh Penulisan Diagnosis Multiaksial
Aksis I: gangguan somatoform, nyeri menetap
Aksis II: tidak ada diagnosis aksis II
Aksis III: tidak ada
Aksis IV:
Aksis V: GAF Scale 51-60 gejala sedang, disabilitas sedang

24 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Tatalaksana
Tujuan pengobatan
1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan
bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment,
dan obat-obatan yang tidak perlu
3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)
4. Jika nyerinya akut (< 6 bulan), tambahkan obat simptomatik untuk gejala yang timbul
5. Jika nyeri bersifat kronik (>6 bulan ), fokus pada pertahankan fungsi dan motilitas
tubuh daripada fokus pada penyembuhan nyeri
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial
4. Nyeri kronik: pertimbangkan terapi fisik dan pekerjaan, serta terapi kognitifbehavioural
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3. Akut: acetaminophen dan NSAIDS (tidak dicampur) atau sebagai tambahan pada
opioid
4. Kronik: Trisiklik anti depresan, acetaminophen dan NSAID
5. Pertimbangkan akupunktur
Prognosis :
Jika gejala terjadi < 6 bulan, cenderung baik, dan jika gejala terjadi > 6 bulan,
cenderung buruk (cenderung menjadi kronik).
F.45.8 Gangguan Somatoform Lainnya
Pedoman Diagnostik :
- Keluhan yang ada tidak melalui saraf otonom, terbatas secara spesifik pada bagian
tubuh/sistem tertentu
- Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan
- Termasuk didalamnya, pruritus psikogenik, globus histericus(perasaan ada benjolan
di kerongkongan>>>disfagia) dan dismenore psikogenik
Tambahan DSM IV
Gangguan Konversi
Definisi
Adalah suatu tipe gangguan somatoform yang ditandai oleh kehilangan atau kendala
dalam fungsi fisik, namun tidak ada penyebab organis yang jelas. Gangguan ini dinamakan
konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan
penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke simptom
fisik. Simptom-simptom itu tidak dibuat secara sengaja atau yang disebut malingering.
Simptom fisik biasanya muncul tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Tangan seorang
tentara dapat menjadi lumpuh saat pertempuran yang hebat, misalnya.
Dinamakan gangguan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa
gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif
yang direpresikan ke simptom fisik. Gangguan ini sebelumnya disebut neurosis histerikal
atau histeria dan memainkan peranan penting dalam perkembangan psikoanalisis Freud.
25 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Menurut DSM, simptom konversi menyerupai kondisi neurologis atau medis umum
yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik (gerakan) yang volunter atau fungsi
sensoris. Beberapa pola simptom yang klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsi, masalah
dalam koordinasi, kebutaan, dan tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat di
depan mata), kehilangan indra pendengaran atau penciuman, atau kehilangan rasa pada
anggota badan (anastesi).
Simptom-simptom tubuh yang ditemukan dalam gangguan konversi sering kali tidak
sesuai dengan kondisi medis yang mengacu. Misalnya konversi epilepsi, tidak seperti pasien
epilepsi yang sebenarnya, dapat mempertahankan kontrol pembuangan saat kambuh; konversi
kebutaan, orang yang penglihatannya seharusnya mengalami hendaya dapat berjalan ke
kantor dokter tanpa membentur mebel; orang yang menjadi tidak mampu berdiri atau
berjalan di lain pihak dapat melakukan gerakan kaki lainnya secara normal.
Etiologi
- Teori psikoanalisis, (1895/1982), Breuer dan freud: disebabkan ketika seseorang
mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun
afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan
dari kesadaran.
- Teori behavioral, Ullman & Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), terjadi
karena individu mengadopsi simptom untuk mencapai suatu tujuan. Individu berusaha
untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang
dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan
bereaksi.
Epidemiologi
Terjadi pada 11-500 per 100.000 penduduk. Biasanya terjadi pada usia anak-anak
(akhir) hingga dewasa (awal). Jarang terjadi sebelum usia 10 tahun dan setelah 35 tahun.
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi
Ciri-ciri diagnostik dari gangguan konversi adalah sebagai berikut:
Paling tidak terdapat satu simptom atau defisit yang melibatkan fungsi motorik
volunternya atau fungsi sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik.
Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut karena onset atau
kambuhnya simptom fisik terkait dengan munculnya
Orang tersebut tidak dengan sengaja menciptakan simptom fisik tersebut atau berpurapura memilikinya dengan tujuan tertentu.
Simptom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola respon, juga tidak
dapat dijelaskan dengan gangguan fisik apa pun melalui landasan pengujian yang tepat.
Simptom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam satu atau lebih
area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau cukup untuk menjamin perhatian
medis.
Simptom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah pada fungsi seksual, juga tidak
dapat disebabkan oleh gangguan mental lain. Akan tetapi, beberapa orang dengan
gangguan konversi menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutkan terhadap
simptom-simptom yang muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la belle
indifference (ketidakpedulian yang indah).
Tatalaksana
Tujuan pengobatan
1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan
bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment,
dan obat-obatan yang tidak perlu
3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)
26 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial


1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial
4. Akut: yakinkan, sugesti pasien untuk mengurangi gejala
5. Pertimbangkan narcoanalisis (sedatif hipnotik), hipnoterapi, behavioural terapi
6. Kronik: Eksplorasi lebih lanjut mengenai konflik yang bersifat interpersonal pada
pasien
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3. Pertimbangkan narcoanalisis (sedatif hipnotik)
Prognosis
Baik, jika onset awal ada faktor presipitasi yang jelas, intelegensia masih baik, segera
dilakukan treatment. Prognosis buruk jika terjadi hal sebaliknya.
Gangguan Dismorfik Tubuh
Definisi
Gangguan dismorfik tubuh (body dismorphic disorder) ditandai oleh kepercayaan
palsu atau persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat. Orang
dengan gangguan ini terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan
dalam hal penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk
memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrem untuk mencoba
memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, seperti menjalani operasi plastik yang tidak
dibutuhkan, menarik diri secara sosial atau bahkan diam di rumah saja, sampai pada pikiranpikiran untuk bunuh diri. Orang dengan gangguan dismorfik tubuh sering menunjukkan pola
berdandan atau mencuci, atau menata rambut secara kompulsif, dalam rangka mengoreksi
kerusakan yang dipersepsikan. Contoh lain, seseorang merasa wajahnya seperti piringan,
terlalu rata, sehingga tidak mau difoto. Mereka dapat melakukan apa saja untuk memperbaiki
keadaan yang rusak tersebut.
Pada gangguan dismorfik tubuh, individu diliputi dengan bayangan mengenai
kekurangan dalam penampilan fisik mereka. Membuatnya bisa berlama-lama berkaca di
depan cermin memandang bentuk tubuh yang dianggapnya kurang, sering pasien mendatangi
spesialis bedah dan kecantikan.
Etiologi
Tidak Diketahui
Epidemiologi
Muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan
biasanya berkaitan dengan depresi, fobia sosial, gangguan kepribadian (Phillips & McElroy,
2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh
- Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali
tubuh, kekhawatiran orang tersebut menjadi berlebihan.
- Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
- Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya,
ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).
Tatalaksana
Tujuan pengobatan
27 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

1. Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan pemikiran/meyakinkan


bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak untuk kehidupan nyata
2. Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes diagnosis, treatment,
dan obat-obatan yang tidak perlu
3. Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid (memperparah kondisi)
4. Khususnya menghindari pembedahan
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
1. Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2. Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3. Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke masalah sosial
4. Terapi kognitif-behavioural
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1. Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2. Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3. Usahakan untuk mengurangi gejala hipokondriacal dengan SSRI (Fluoxetine 60-80 mg/
hari) dibandingkan dengan obat lain
Prognosis
Bervariasi
Pendekatan Penanganan
Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menangani gangguan somatoform adalah
sebagai berikut:
- Penanganan Biomedis
Pada penanganan biomedis dapat digunakan antidepresan yang terbatas dalam menangani
hipokondriasis yang biasanya disertai dengan depresi.
- Terapi Kognitif-Behavioral
Terapi ini dapat berfokus pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder
(keuntungan sekunder), memperbaiki perkembangan keterampilan coping untuk mengatasi
stres, dan memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau
penampilan seseorang. Terapi ini berusaha untuk mengintegrasikan teknik-teknik terapeutik
yang berfokus untuk membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak hanya pada
perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan dan sikap yang mendasarinya.
Terapi kognitif-behavioural, untuk mengurangi pemikiran atau sifat pesimis pada
pasien. Teknik behavioral, terapis bekerja secara lebih langsung dengan si penderita
gangguan somatoform, membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau
kecemasan dengan cara yang lebih adaptif. Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan
klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dengan cara meyemangati mereka untuk
mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas.
IV. Memahami dan Menjelaskan Suami Istri dalam Islam
Hak Bersama Suami Istri
Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum:
21)
Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (AnNisa: 19 Al-Hujuraat: 10)
Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa: 19)
Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
Adab Suami Kepada Istri .
Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama.
(At-aubah: 24)
28 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan Rasul-Nya. (AtTaghabun: 14)
Hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan:
74)
Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah
(makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri
lebih dari satu. (AI-Ghazali)
Jika istri berbuat Nusyuz, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara
berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang
tidak menyakitkan. (An-Nisa: 34) Nusyuz adalah: Kedurhakaan istri kepada suami
dalam hal ketaatan kepada Allah.
Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan
paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(AthThalaq: 7)
Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya
terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi,
Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)
Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Yala)
Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang,
tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa: 19)
Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah
sendiri. (Abu Dawud).
Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan
menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim :
6, Muttafaqun Alaih)
Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukumhukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa: 3)
Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasai)
Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib
mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)
Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada
istrinya. (AI-Baqarah: ?40)

Adab Isteri Kepada Suami


Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah
pemimpin kaum wanita. (An-Nisa: 34)
Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada
istri. (Al-Baqarah: 228)
Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa: 39)
Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:
- Menyerahkan dirinya,
- Mentaati suami,
- Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,
- Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami
- Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)
29 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam
kesibukan. (Nasa i, Muttafaqun Alaih)
Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang
istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya.
(Muslim)
Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni
dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya.
(Tirmidzi)
Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam
keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi)
Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: Seandainya
dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada
suaminya. .. (Timidzi)
Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani)
Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat
suami tidak di rumah). (An-Nisa: 34)
Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3)
Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat
bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)
Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga
kemaluannya. (An-Nur: 30-31)

Isteri Sholehah
Apabila seorang istri, menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramddhan,
memelihara kemaluannya, dan mentaati suaminya, niscaya Allah swt. akan
memasukkannya ke dalam surga. (Ibnu Hibban)
Istri sholehah itu lebih sering berada di dalam rumahnya, dan sangat jarang ke luar rumah.
(Al-Ahzab : 33)
Istri sebaiknya melaksanakan shalat lima waktu di dalam rumahnya. Sehingga terjaga dari
fitnah. Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid, dan
shalatnya wanita di kamarnya lebih utama daripada shalat di dalam rumahnya. (lbnu
Hibban)
Hendaknya menjadikan istri-istri Rasulullah saw. sebagai tauladan utama.
(M. Luthfi Thomafi dalam milis mencintai-islam)

30 | Skenario 3 Blok Saraf dan Perilaku R.A. Wita Ferani K. 1102009229

Anda mungkin juga menyukai