Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN DEWASA II
HIV AIDS

DISUSUN OLEH :
SUPARDI (010109a12 )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NGUDI WALUYO UNGARAN
2011/2012

A. DEFINISI
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yaitu virus yang
menyerang system kekebalan tubuh (sel-sel darah putih) manusia yang biasanya
menjadi benteng pertahanan tubuh melawan penyakit dan infeksi (Syaiful, 2002).
Sedangkan menurut BKKBN (2004), HIV adalah virus yang menurunkan system
kekebalan tubuh.
HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh
manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages komponen-komponen
utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya.
Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terusmenerus,

yang

akan

mengakibatkan

defisiensi

kekebalan

tubuh.

(Komisi

Penanggulangan AIDS, 2009)


AIDS (acquired immunodeficiencybsyndrome) diartikan sebagai bentuk paling
berat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi human
immunodeficiency virus(HIV)
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency
Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang
timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;
atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya.
AIDS adalah singkatan dari Accuired Immuno Deficiency Syndrome.
Sindroma atau kumpulan gejala dan tanda penyakit akibat ketidakmampuan system
pertahanan tubuh yang diperoleh atau didapat. (Syaiful, 2002). Sedangkan menurut
BKKBN (2004), AIDS adalah kumpulan berbagai penyakit akibat turunnya kekebalan
tubuh.
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome yang
merupakan dampak atau efek dari perkembang biakan virus hiv dalam tubuh makhluk
hidup. Virus HIV membutuhkan waktu untuk menyebabkan sindrom AIDS yang
mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit AIDS disebabkan oleh melemah atau
menghilangnya sistem kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel
darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.

B. ETIOLOGI
Faktor resiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai perilaku seksual beresiko tinggi (sekarang atau di masa lalu) yaitu
melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan banyak mitra seksual, dengan
mitra seksual yang diketahui HIV/AIDS, dengan mitra seksual dari daerah dengan
prevalensi HIV/AIDS tinggi atau kontak sek anal.
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3. Mempunyai riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa tes penapisan.
4. Mempunyai riwayat perlukaan kulit, tato, tindik atau sirkumsisi dengan alat yang
tidak steril dan bergantian.
5. Sebagai pemakai narkotik suntik terutama pemakaian jarum bersama secara
bergantian tanpa sterilisasi yang memadai.

C. PATOFISIOLOGI
HIV tergolong kedalam kelompok virus yang terkanal sebagai retrovirus yang
menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi ganetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiriribonukleat (DNA). Virion HIV (
partikel virus yang lengkap yang dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung
RNA dalam ini berbentuk peluru yang terpancung di mana p24 merupakan komponen
struktural yang utama. Tombol (knob) yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas
protein gp120 yang terkait pada protein gp41. Bagian yang secara selektif berkaitan
dengan sel-sel CD4-positif (CD4+) adalah gp120 dari HIV.
Sel-sel CD4+ mencakup monosit, makrofak dan limfosit T4 helper ( yang
dinamakan sel-sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infeksi HIV); limfosit T4 helper ini
merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel diatas. Sesudah terkait dengan
membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik
kedalam selT4 helper. Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse
transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4
yang terinveksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini
akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi
infeksi yang permanen.
Siklus replikasi virus HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang
terinfeksi diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen,
mitogen, sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen vurus seperti

sitomegalovirus (CMV; cytomegalovirus), virus Epstein-Barr, herpes simpleks dan


hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi
serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang
baru dibentuk ini kemudian dilepaskan kedalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel
CD4+ lainnya.
Infeksi monosit dan makrofag tampaknya berlangsung secara persisten dan
tidak akan menyebabkan kematian sel yang bermakna, tetapi sel-sel ini akan menjadi
reservoir bagi HIV sehingga virus tersebut dapat tersembunyi dari sistem imun dan
terangkut keseluruh tubuh lewat sistem ini untuk menginfeksi berbagai jaringan
tubuh. Sebagian besar jaringan ini dapat mengandungmolekul CD4+ atau memiliki
kemampuan untuk memproduksinya. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa
sesudah infeksi insisial, kurang-lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi
oleh HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi
HIV; tempat primernya adalah jaringan limdoid. Ketika sisitem imun terstimulasi,
replikasi virus akan terjadi dan virus tersebut menyebar ke dalam plasma darah yang
mengakibatkan infeksi berikutnya pada sel-sel CD4+ yang lain. Penelitian yang lebih
mutakhir menunjukkan bahwa sistem imun pada infeksi HIV lebih aktif dari pada
yang diperkirakan sebelumnya sebagaimana dibuktikan oleh produksi sebanyak dua
milyar limfoid CD4+ per hari. Keseluruhan populasi sel-sel CD4+ perifer akan
mengalami pergantian (turn over) setiap 15 hari sekali (Ho et al, 1995).
Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan
orang yang terjangkit infeksi tersebut. Jika orang tersebut tidak sedang berperang
melawan infeksi yang lain. Repeoduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun,
reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi
infeksi lain atau kalau sistem imunnyha terstimulasi. Keadaan ini dapat menjelaskan
periode laten yang diperlihatkan oleh sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV.
Sebagai contoh, seorang pasien mungkin bebas dari segala selama berpuluh tahun;
kendati demikian, sebagian besar orang yang terinfeksi HIV (sampai 65%) tetap
menderita penyakit HIV atau AIDS yang simtomatik dalam waktu 10 tahun sesudah
orang tersebut terinfeksi (pinching, 1992).
Dalam respon imun, limfosit T4 memainkan beberapa peranan yang penting,
yaitu: mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi
antibodi,

menstimulasi

limfosit

sitokinin,

memproduksi

limfosit

dan

mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi limfosit T4 terganggu,

mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki


kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan sakit yang serius. Infeksi dan
malignansi yang timbul sebagai akibat dari gangguan sistem imun dinamakan infeksi
oportunistik.

D. MANIFESTASI KLINIS
Manisfestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan pada dasarnya dapat
mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi IV dan
penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignansi dan atau efek langsung IV pada
jaringan tubu. Pembaasan berikut ini di batasi pada manifestasi klinis dan akibat
infeksi IV berat yang paling sering ditemukan
1. Respiratorius
Pneumonia pneumocystis carinii. Gejala napas yang pendek, sesak napas
(dispnea), batuk batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai pelbagai infeksi
oportunis, seperti yang disebabkan ole Mycobacterium ovium intracellulare (MAI),
sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi yang paling sering
di temukan di antara penderita AIDS adala pneumonia pneumocystis carinii (PCP)
yang merupakan penyakit oportunis pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan
AIDS. Pneumonia ini merupakan menisfestasi pendauluan penyakit AIDS pada 60%
pasien. Tanpa terapi profilaktik, PCP akan terjadi pada 80% orang orang yang
terinfeksi IV. P. Carinii awalny adi klasifikasikan sebagai protozoa; namun, sejumla
penelitian pemeriksaan analisis teradap struktur RNA ribosomnya menunjukan bawa
mikroorganisme ini merupakan jamur (fungus). Kendati demikian, struktur dan
sensitivitaas antimikrobanya sangat berbeda dengan jamur penyebab penyakit yang
lain. P. Carinii anya menimbulkan penyakitpad ospes yang kekebalanya terganggu.
Jamur ini menginvasi yang berpoliferasi dalam alveoli pulmonalis seingga terjadi
konsolidasi parenkim paru.
Gambaran klinis PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila di
bandingkan dengan pasien gangguan kekebalan lain. Periode waktu antara awitan
gejala dan penegakan diagnosa yang benar bisa beberapa minggu inga beberapa
bulan. Penderita AIDS pada mula mula anya memperliatkan tanda tanda dan
gejala yang tidak kas seperti demam, menggigil, batuk nonproduktif, nafas pendek,
dispnea dan kadang kadang nyeri dada. PCP dapa di temukan kendati tidak dapat
krefitasi, konsentrasi oksigen dalam dara arterial pada pasien yang bernapas dengan

udara ruangan dapat mengalami penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukan
ipoksemia minimal.
Bila tidak di atasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru
yang signifikan dan pada akirnya, kegagalan pernafasan. Beberapa pasien
memperliatkan awitan yang dramatis dan perjalanan penyakit yang fulminal yang
meliputi ipoksemia berat, sianosis, takipnea dan perubaan stasus metal. Kegagalan
pernafasan dapat terjadi dalam waktu 2 ingga 3 ari setela timbul gejala pendauluan.
Diagnosis pasti PCP dapat di tegakkan dengan mengenali mikroorganisme
dalam jaringan paru atau sekret bronkus. Penegakan diagnosa ini di laksanakan denga
prosedur seperti induksi sputum, lavase bronkial alveolar dan biopsi transbronkial
(melalui bronkoskopi dan optik)
Kompleks mycobakterium avium. Penyakit kompleks mycobakterium
avium (MAC; mycobakterium avium complex) muncul sebagai penyebab utama
infeksi bakteri pada pasien pasien AIDS. Mikroorganisme yang termasuk ke dalam
MAC adala M. Avium, M. Intracellulare dan M. Scrofulaceum. MAC, yaitu suatu
kelompok baksil taan asem, biasanya menyebabkan infeksi pernafasan kendati juga
sering di jumpai dalam traktus gastrointestinal, nodus limfatikus dan sumsum tulang.
Sebagian pasien AIDS suda menderita penyakit yang menyebar luas ketika diagnosis
di tegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang buruk. Infeksi MAC akan di
sertai dengan angka mortalitas yang tinggi.
M. tubercolosis yang berkaitan dengan IV cendrung terjadi di antara pemakai
obat bius IV dan kelompok lain dengan prevalensi infeksi tuberkulosis yang
sebelumnya suda tinggi. Berbeda dengan infeksi oportonis lainnya, penyakit
tuberkulosis (TB) cendrung terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi IV dan
biasanya mendaului diagnosa AIDS. Terjadinya tuberkulosis secara dini ini akan di
sertai denga pembentukan granuloma yang mengalami pengkijuan (kaseasi) seingga
timbul kecurigaan keara diagnosis TB. Pada stadium ini, penyakit TB akan bereaksi
dengan baik teradap terafi antituberkulosis. Penyakit TB yang terjadi kemudian dalam
perjalanan infeksi IV di tandai dengan tidakak terdapatnya respon tes kulit tuberkulin
karna sisitem kekebalan yang terganggu suda tidak mampu lagibereaksi teradap
antigen TB. Dalam stadium infeksi IV yang lanjut, penyakit TB di sertai dengan
penyebaranke tempat tempat ekstrapulmoner seperti sistem saraf pusat, tulang,
perikardium, lambung, peritonium, dan skrotum, strain multipel baksil TB yang

resisten obat kini bermunculan dan kerap kali berkaitan dengan ketidakpatuan
pasien dengan menjalani pengobatan antituberkulosis.
2. Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinala penyakit AIDS mencakup ilangnya selera makan,
mual, vometus, kandidiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Diare merupakan
masla bagi 50% ingga 90% dari keseluruan pasien AIDS. Pada sebagian kasus, gejala
gastrointestinal dapat berubungan dengan efek lansung HIV pada sel sel yang
melapisi intestinum. Sebagian microorganisme patogen enteral yang paling sering di
temukan dan identifikasi dalam pemeriksaan kultur feses atau biovsi intestinum
adalah cryptosporidium muris, salmonella, CMV, Clostridium, difficile, dan M. Avium
intracelluler. Bagi pasien AIDS, diare dapat membawa akibat yang serius
sehubungan dengan terjadinya penurunan berat badanyang nyata (lebih dari 10% berat
badan), gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit ekskoriasi kulit perianal,
kelemahan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan yang biasa dilakukan
dalam kehidupan sehari hari.
Kondidiasis oral, suatu infeksi jamur, hampir terdapat secara universal pada
semua penserita AIDS serta keadaan yang berhubungan dengan AIDS. Infeksi ini
umumnya mendahului infeksi serius lainya. Kandidiasis oral di tandai oleh bercak
bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Kalo tidak di obati. Kandidiasis oral
akan berlanjut dengan mengenai esofagus dan lambung. Tanda tanda dan gejala
yang menyertai mencakup keluahan menelan yang sulit serta nyeri dan rasa skit di
balik sternum (nyeri retrosternal). Sebagai pasien juga menderita lesi oral yang
mengalami ulserasi dan menjadi rentan terutama terhadap penyebaran kandidiasis ke
sistem tubuh yang lain.
Sindrom pelisutan. Sindrom pelisutan (wasting syndrome) kini diikutsertakan
dalam definisi kasus yang di perbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya
mencakup penurunan berat yang tidak di kehendaki yang melampaui 10% dari berat
badan dasar, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis,
dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat
menjelaskan gejala ini. Malnutrisi protein energi yang terjadi bersifat multifaktor.
Pada sebagian keadaan sakit yang berkaitan dengan AIDS, pasiennya akan mengalami
keadaan hipermetabolik di mana terjadi pembakaran kalori yang berlebihan dan
kehilangan lean body mass. Keadaan ini serupa dengan keadaan sters seperti sepsis
serta trauma dan dapat menimbulkan kegagalan organ. Pembedahan antara keadaan

kekeksia (pelisutan) dan malnutrisi atau antara kakeksia dan penurunan berat badan
yang biasa terjadisangat penting mengigat gangguan metabolik pada sindrom
pelusutan tidak dapat di ubah dengan dukungan nutrisi saja.
Anoreksia, diare, malabsorpsi gastrointestinal dan kekurangan gizi pada
penyakit kronis semuanya turut menyebabkan sindrom pelisutan. Kendati demikian,
pelisutan jaringan yang progresif terlihat pula pada pasien dengan gangguan
gastrointestinal yang ringan dan tanpa diare (Medyinski, 1993). TNF (tumor necrosis
faktor) dan interleukin 1 (IL 1 ) merupakan sitokin yang memainkan peranan
penting dalam sindrom pelesutan yang berhubungan dengan AIDS. Keduanya bekerja
langsung pada hipotalamus untuk menimbulkan anoreksia. Demam yang di timbulkan
oleh sitikin akan mempercepat metabolisme sebanyak 14% untuk kenaikan suhu
sebesar 1 F. TNF menyebabkan pengguanaan lipid yang tidak efesien dengan
menurunkan jumlah enzim yang di perlukan untuk metabolisme lema. Sementara IL
1 memicu pelepasan asam aminodari jaringan otot. Penderita AIDS pada umumnya
mengalami peningkatan metabolisme lemak yang mengakibatkan terjadinya
penurunan yang signifikan pada lean body mass sebagai akibat dari pemecahan
protein dan otot.
Hipertrigliseridemia yang terlihat pada penderita AIDS di sebabkan oleh
kenaikan kadar sitokin yang terjadi secara menahun dan dapat bertahan pada
penderita AIDS selama berbulan bulan tanpa menimbulkan pelisutan jaringan serta
kehilangan lean body mass. Infeksi dan keadaan sepsis yang menyebabkan kenaikan
sepintas kadar TNF, IL 1 dan mediator sel lainya di atas kadar yang sudah
meninggisecara menahun umumnya akan terlihat; kenaikan sepintas kadar TNF dan
IL 1 inilah yang memicu pelisutan otot.
3. Kanker
Penderita AIDS memiliki insidensi penyakit kanker yang terjadi lebih tinggi dari
insiden yang biasa terjadi. Keadaan ini mungkin terjadi dengan stimulasi HIV
terhadap sel sel kanker yang sedang tumbuh atau berkaitan dengan defisiensi
kekebalan yang memungkinkan substansi penyebab kanker, seperti virus, untuk
mengubah bentuk sel sel yang rentan menjadi sel sel malignan. Sarkoma kaposi,
tife tertentu limfoma sel-B dan karsinoma serviks yang invasif di ikutsertakan dalam
klasifikasi CDC untuk kelainan malingnitas (malingnansi) yang berhubungan dengan
AIDS. Karsinoma kulit, lambung pangkreas, rektum dan kandung kemih juga lebih
sering di jumpai dari pada yang di perkirakan dari pasien pasien AIDS.

Sarkoma kaposi. Sarkoma kaposi di (lapalkan KA-posheez), yaitu kelainan


malingnitas yang berkaitan dengan HIV yang paling sering di temukan, merupakan
penyakit yang melibatkan lapisan endotel pembuluh darah dan limfe. Ketika di
temukan pertama kali pada tahun 1872 oleh Dr. Moritz Kaposi, penyakit sarkoma
kaposi ini secara khas di temukan sebagai lesi kulit di bagian ekstremitas bawah pada
laki laki usia lanjut pada keturunan eropa timur. Penyakit tersebut berjalan lambat
dan mudah di obati; bentuk ini sering di namakan sarkoma kaposi klasik. Bentuk
endemik sarkoma kaposi yang di temukan pada anak anak dan lelaki muda di daerah
ekuatorial Afrika merupakan bentuk yang lebih virulendi bandingkan bentuk klasik.
Sarkoma kopasi ekuisita terjadi pada orang orang yang di obati dengan preparat
imunosepresif dan umumnya terjadi pada pasien yang menjalani tranplantasi organ.
Pada pasien semacam ini, sarkoma kopasi akuisita biasanya akan sembuh setelah
takaran obat imunosepresif di kurangi atau pemberian obat itu di hentikan.pada
penderita AIDS, sarkoma kopasi epidemik paling sering di jumpai oleh para biseksual
laki laki. Meskipun histopatologi semua bentuk sarkoma kaposi yang berhubungan
dengan AIDS memperlihatkan penyakit yang lebih agresif dan beragam yang berkisar
mulai dari lesi kutaneus setempat hingga kelainan yang meyebardan mengenai lebih
dari satu sistem organ.
Lesi kutaneus yang dapat timbul pada semua bagian tubuh biasanya berwarna
merah muda kecoklatan hinga ungu gelap. Lesinya dapat datar atau menonjoldan di
kelilingi oleh ekimekis (bercak bercak perdarahan) serta edema. Perkembanga lesi
yang secap meliputi daerah daerah kulityang luas akan di sertai dengan deformitas
ekstensif.
Lokasi dan ukuran beberapa lesi dapat menimbulkan stasis aliran vena,
limpedema serta rasa nyeri, lesi ulseratif akan merusak integritas kulit yang
meningkatkan ketidaknyamanan pasien serta kerentanannya terhadap infeksi. Lokasi
kelainan viseral yang paling sering di temukan adalah nodus limpatikus (kelenjar
limfe), traktus gastrointestinal dan paru paru. Kelainan pada organ internal pada
akhirnya menimbulkan kegagalan organ, perdarahan, infeksi dan kematian. Diagnosa
sarkoma kaposi di tentukan oleh biopsi lesi yang di jumpai, prognosis bergantung
pada luasnya tumor, adanya gejala konstitusional dan hitung CD4+. Kematian dapat
terjadi akibat perkembangan tumor. Kendati lebih sering di sebabkan oleh komplikasi
penyakit HIV yang lain.

Limfoma Sel-B. Limpoma sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang
terjadi di antara paisen pasien AIDS. Limpoma yang berkaitan dengan AIDS
biasanya berbeda yang terjadi dalam populasi umum. Penderita AIDS biasanya
berusia jauh lebih muda dari pada populasi biasa yang terkena limpoma hodgkin
(NHL) di samping itu limpoma yang berkaitan dengan AIDS cendrung berkembang di
luar kelenjar limfe; limpoma ini paling sering di jumpaipada otak. Sumsum tulang dan
traktus gastrointestinal. Timpo limpoma ini secara khas memiliki derajat yang lebih
tinggi yang menunjukan sifat yang lebih agresif yang resisten terhadap terapi.
Perjalanan limpoma yang berkaitan dengan AIDS mencakup lokasi organ terkena
yang multipel dan komplikasi yang berkaitan dengan terjadinya infeksi oportunis.
Meskipun kemotrapi kombinasi yang agresif kerap kali memberikan hasil yang baik
pada limpoma non-hodgkin yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV, namun
kemotrapi kombinasi ini kurang membawa hasil pada penderita HIV

karna

toksisitasnya yang hebat pada hematologi dan adanya komplikasi infeksi oportunis
yang terjadi akibat terapi.
4. Neurologik
Di perkirakan dari 80% dari semua pasien AIDS yang mengalami bentuk kelainan
neurologik tertentu selama perjalanan infeksi HIV. Banyak kelainan neuropatologik
yang kurang di laporkan mengingat pasien pasien tersebut dapat menderita kelainan
neurologik tanpa tanda tanda atau gejala yang jelas. Komlikasi neurologik tanpa
tanda tanda atau gejala yang jelas. Komplikasi neurologik meliputi fungsi saraf
sentral., perifer dan autonom. Gangguan langsung neurologik dapat terjadi akibat efek
langsung HIV pada jaringan sistem saraf, infeksi oportunis, neuplasma primer atau
metastatik, perubahan serebrovaskuler, ensefalopati metabolikatau komplikasi
sekunder karna terapi. Respons sistem imun terhadap infeksi HIV dalam sistem saaraf
pusat mencakup inplamasi, atrofi, demielinisasi, degenerasi dan nekrosis.
Ensefelopati HIV. Disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS (ADC;
AIDS demensia compleks), ensefelopati HIV terjadi sedikitnya pada dua pertiga
pasien pasien AIDS. Bukti akhir menunjukan bahwa kompleks demensia AIDS
tersebut merupakan akibat lansung infeksi HIV. HIV di temukan dalam jumlah yang
besar dalam otak maupun dalam cairan serebrospinal pasien pasien ADC. Sel sel
otak yang terinfeksi HIV di dominasi oleh sel sel CD4+ yang berasal dari
monosit/magrofak. Infeksi HIV di yakini akan memicu toksin atau limfokin yang
mengakibatkan disfungsi seluler atau yang menganggu fungsi neurotransmiter

ketimbang menyebabkan kerusaakan seluler. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang
di tandai oleh penuruna progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda
tanda dan gejalanya dapat samar samar serta sulit di berikan dengan kelelahan,
depresi atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi.
Manifestasi dini mencakup bagian daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, apatis dan ataksia. Stadium lanjut mencakup gangguan kognitif
global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan afektif seperti pandangan yang
kosong, hiperrefleksi paraparesis spastik, pskosis, halusinasi, tremor, inkontininsia,
serangan kejang, mutisme dan kematian. Tindakan memastikan diagnosise nsefalopati
HIV mungkin sulit di lakukan. Evaluasi neurologik ekstensif mencaakup pemindahan
CT yang dapat menunjukan atrofi serebral yang difusi dan pelebaran ventrikulus.
Pemeriksaan lain yang dapat mendeteksi abnormalitas adalah MRI (magnetic
resonace imaging), analisis cairan serebrospinal melali fungsi lubal dan biopsi otak.
Cryptococcus neoformans. Infeksi jamur, yaitu Cryptococcus neoformans,
merupakan infeksi oportunis paling sering keempat yang terdapat di antara pasien
pasien AIDS dan penyebab infeksi paling sering ketiga yang menyebabkan kelainan
neurologik. Meningitis kriptokokus di tandai oleh gejala seperti demam/panas, sakit
kepala, keadaan tidak enak badan (malaise), kaku kuduk, mual, vomitus, perubahan
status metal dan kejang kejang. Diagnosis di tegakan dengan analisis cairan
serebrospinal.
Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan kelainan sistem saraf
pusat dengan demielinisasi yang di sebabkan oleh virus J.C (di beri nama demikian
menurut nama pasien yang kulturnya menumbuhkan virus tersebut); virus ini
menginfeksi oligodendroglia. PML mengenai kurang lebih 3% pasien pasien
AIDS. Manisfestasi klinis dapat di mulai dengan konfusi metal dan mengalami
k(paralisis ringan) serta kematian infeksi sistem saraf yang sering ditemukan lainya
adalah Toxoplasma gondii, CMV dan M. Tuberculosis.
Kelainan neurologik lainya. Manifestasi neurologik lain mencakup neuropati
sentral dan perifer. Mielopati vaskuler merupakan kelainan degeneratif yang
mengenai kolumna lateralis dan posterior medulla spinalissehingga terjadi paraparesis
spastik

proggresiva,

ataksia

serta

inkontinensia.

Neuropati

perifer

yang

berhubungan dengan HIV di perkirakan merupakan kelainan demielinisasi dengan


di sertai rasa nyeri serta patirasa pada ekstremitas, kelemahan, penurunan refleks
tendon yang dalam, hipotensi ortostatik dan impotensi.

5. Struktur integumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi opportunis serta malignasi
yang mendampinginya. Infeksi opportunis seperti herpes zoster herpes simpleks akan
disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit.
Moluskum kontagiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan
flak yang disertai deformitas. Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus,
bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga
dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering
dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema atau psoriasis. Hingga
60 % penderita yang diobati dengan trimetroprimsulfametoksazol(TMP/SMZ) untuk
mengatasi pneumonia pneumocytis carinii akan mengalami ruam yang berkaitan
dengan obat dan berupa pruritis yang disertai pembentukan papula serta makula
berwarna merah muda. Terlepas dari penyebab ruam ini, pasien akan mengalami
gangguan rasa nyaman dan menghadapi peningkatan resiko untuk menderita infeksi
tambahan akibat rusaknya keutuhan kulit.
6. Manifestasi klinis spesifik pada wanita
Kandidiasis vagina yang persisten atau recuren dapat menjadi tanda pertama
yang menujukan infeksi HIV pada wanita. Ulkus genitalis yang terjadi dimassa lalu
dan sekarang merupakan faktor resiko bagi penularan infeksi HIV. Wanita dengan
infeksi HIV lebih rentan terhadap ulkus genitalis serta kandiloma akumimata
(venereal warts), dan akan mengalami peningkatan frekuensi serta kekambuhan kedua
penyakit kelamin tersebut. Penyakit menular seksual
syangkroid,sifilis dan herpes

yang ulseratif

seperti

lebih berat pada wanita ini. Human papilomavirus

(HPV) menyebabkan kandiloma akuminata dan merupakan faktor resiko untuk


teritjadinya neoplasia intraepitel

serviks , yaitu prekusor kanker serviks. Kini

semakin bertambah jelas bahwa wanita yang menderita infeksi HIV memiliki
kemungkinan 10 kali lebih besar untuk menderita neoplasia intraepitel serviks dari
pada wanitayang tidak terinfeksi HIV. Antara hasil sediaan apus papanicoloau yang
abnormal dan hasil HIV seropositif dengan karsinoma serviks akan ditemukan dengan
stadium penyakit yang lebih lanjut dan menderita penyakit yang lebih persisten serta
rekuren dengan interval yang lebih singkat untuk terjadinya kekambuhan dan
kematian bila dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita infeksi HIV(gibbs &
zeeman,1993)

Wanita yang memerlukan perawatan di rumah sakit untuk penyakit inflamasi


pelvik (PID : pelvic inflammatory disease) menderita infeksi HIV dengan persentase
yang signifikan. Wanita wanita ini menghadapi peningkatan resiko untuk menderita
PID, dan inflamasi yang menyertai PID dapat memperbesar potensi penularan HIV.
Lebih lanjut, pada wanita yang menderita infeksi HIVakan terdapat insidensiyang
lebih tinggi untuk terjadinya abnormalitas menstruasi yang mencakup amemore atau
perdarahan pervaginam di antara saat saat haid bila dibandingkan dengan wanita
tanpa infeksi HIV.
Kegagalan petugas kesehatan untuk mepertimbangkan infeksi HIV pada
wanita dapat menyebabkan diagnosis yang terlambat sehingga wanita tersebut tidak
segera mendapatkan terapi yang tepat.

E. PATHWAY
F. KOMPLIKASI
1. Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang
memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang
terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi/jamur Pneumocystis jirovecii. Sebelum
adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negaranegara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara
berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang
yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika
jumlah CD4 kurang dari 200 per L.
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya
yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten)
melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah
diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui
terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat
merupakan masalah potensial pada penyakit .
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang
karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya,
namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV
paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per
L), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia
sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya
(tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik
(konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV
sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati,
kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat.Dengan
demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya
penyakit ekstrapulmoner.
2. Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur
makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini
terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau

virus sitomegalo). Ia pun dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya


langka.
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena
berbagai penyebab, antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti
Salmonella, Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi
oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis,
Mycobacterium avium complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan
penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang
digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari
HIV itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik
yang digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile).
Pada stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya
perubahan cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan
komponen penting dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
3. Penyakit syaraf dan kejiwaan utama
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena
gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi
organisma atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung
dari penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu,
yang disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan
menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat
menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru
Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi
otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans. Hal
ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien
juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani
dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu
penyakit yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi
serabut sel syaraf (akson), sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia
disebabkan oleh virus JC, yang 70% populasinya terdapat di tubuh manusia
dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit hanya ketika sistem

kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS.


Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal),
sehingga biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah
diagnosis.
4.

Kanker dan tumor ganas (malignan)


Sarkoma Kaposi. Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki resiko

yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh
virus DNA penyebab mutasi genetik,yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus
herpes Sarkoma

Kaposi

(KSHV),

dan

virus papiloma

manusia

(HPV).

Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi
HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah
salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari
subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia yang juga disebut virus
herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk
bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran
pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang
menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya
seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like
lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf
pusat

primer,

lebih

sering

muncul

pada

pasien

yang

terinfeksi

HIV.

Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada
beberapa kasus, limfoma adalah tanda-tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian
besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS.
Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin,

kanker usus

besar

bawah

(rectum),

dan kanker

anus.

Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan
kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi
HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART)
dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan
AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab
kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.

5. Infeksi oportunistik lainnya


Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak
spesifik, terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini
termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus
sitomegalo dapat menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti
yang dijelaskan di atas, dan gangguan radang pada retina mata (retinitis
sitomegalovirus), yang dapat menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh
jamur Penicillium marneffei, atau disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik
ketiga yang paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang
positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes Laboratorium
Tes atau pemeriksaan laboratorium kini digunakan untuk mendiagnosa HIV
dan memantau perkemnbangan penyakit serta responya terhadap terapi pada orang
yang terinfeksi HIV
2. Tes Antibodi HIV
Ada tiga buah tes untuk memastikan adanya antibodi terhadap HIV dan
membantu mendiagnosis infeksi HIV. Tes Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA)mengidentifikasi antibodi secara spesifik ditujukan kepada virus HIV. Tes
ELISA tidak menegakan diagnosis penyakit AIDS tetapi lebih menunujukan bahwa
seseorang pernah terkena atau terinfeksi virus HIV. Orang yang darahnya
mengandung antibodi untuk HIV disebut orang yamg seropositif. Pemeriksaan
Western Blot Assay merupakan tes lainnya yang dapat mengenali tes antibodi HIV
dan digunakan untuk memastikan seropositivitas seperti yang teridentifikasi lewat
prosedur ELISA. Indirect Immunofluorescence Assay (IFA)kini sedang digunakan
oleh sebagian dokter sebagai pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan
seropositivitas. Tes lainnya yaitu Radioimmunoprecipitation Assay (RIPA), lebih
mendeteksi protein HIV ketimbang antibodi.
3. Pelacakan HIV
Penentuan lansung dan keberadaan aktivitas virus HIV digunakan untuk
melacak perjalanan penyakit tersebut di samping menilai responnya terhadap terapi.

Protein inti virus disebut sebagai p24.pemeriksaan p24 antigen capture assay sangat
spesifik untuk HIV- 1. Namun demikian, kadar p24 pada penderita infeksi HIV yang
asimtomatik sangat rendah. Pasien dengan titer p24 yang terukur memiliki keadaan
yang berlanjut lebih cepat menjadi penyakit AIDS. Pemeriksaan p24 antigen capture
assay telah digunakan bersama tes lainnya seperti CD4+ untuk mengevaluasi efek
terapi preparat antivirus. Pemeriksaan ini kini dalam uji klinis obat sudah digantikan
dengan suatumproses yang dikenal sebagai reaksi rantai polimerase (PCR
:polymerase chain reaction). PCR yang juga dinamakan amplifikasi gen dipakai
untuk mendeteksi RNA virus HIV atau DNA provirus. Salah satu kekurangan pada
pemeriksaan ini adalah bahwa hasil tes false positif dapat terjadi jika reagen yang
digunakan sudah terkontaminasi. Belakangan ini PCR dipakai untuk mendeteksi virus
HIV pada orang orang dengan seronegatif HIV yang beresiko tinggi sebelum
timbulnya antibodi. Disamping itu PCR juga dipakai untuk memastikan hasil tes
ELISA yang positif, memantau beban virus atas waktu, melakukan skrinning bagi
neonatus dan menentukan strain virus yang ada. Pemeriksaan kultur HIV atau
kultur plasma kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes tambahan yang
mengukur beban virus (viral burden)
Tes lainnya dapat dilakukan untuk memantau status imun dan perjalanan
penyakit HIV ialah mikroglobulin B2 yang hasilnya protein meningkat bersamaan
dengan berlanjutnya penyakit. Yang kedua neoptein serum hasilnya kadar meningkat
dengan berlanjutnya penyakit
4. Kategori klinis .
Kategori klinis A terdiri ats satu atau lebih keadaan yang tercantum dalam
kategori A tanpa keadaan apapun yang tercantum dalam keadaan B dan C. Kategori
B terdiri atas berbagai keadaan simtomatik pada penderita infeksi HIV yang tidak
termasuk dalam keadaan yang tercantum dalam kategori C. Semua keadaan ini harus
pula memenuhi salah satu kriteria berikut ini : (1)keadaan tersebut disebabkan oleh
infeksi HIV atau oleh defek pada imunitas seluler (2)keadaan tersebut harus di anggap
memilki sebuah perjalanan klinis atau memerlukan penanganan yang dipersulit oleh
infeksi HIV. Jika seseorang pernah diobati untuk keadaan kategori B dan belum
berkembang pada kategori C tetapi kini asimtomatik,maka sakit orang itu harus di
anggap kategori B. Kategori C mencakup keadaan klinis yang tercantum dalam
definisi kasus surveilans AIDS. Begitu seseorang telah menunjukan keadaan dalam

kategori C daftar kisaran sel CD4+ dan keadaan klinis untuk kategori A,B dan C
dapat dilihat di bawah ini
Sistem klasifikasi untuk infeksi HIV dan definisi kasus surveilans AIDS yang
diperluas bagi pasien remaja dan dewasa
Kategori Kategori
klinis

sel T CD4 +

Kategori klinis
A

HIV (primer ) atau PGL Simptomatik, bukan Kondisi yang merupakan


asimtomatik,akut

kondisi (A)atau (C)

Indikator - AIDS

(1)500/ l

A1

B1

C1

(2)200 499 /L

A2

B2

C2

(3) <200 L

A3

B3

C3

Indikator AIDS
Jumlah sel T
Sejak 1 januari 1993,orang orang dengan keadaan yang merupakan indikator AIDA
(kategori klinik C)dan orang orang yang termasuk dalam kategori A3 dav B3 di
anggap menderita penyakit AIDS
Kategori klinis A
Mencakup satu atau ebih keadaan berikut ini pada seseorang dewas atau remaja
dengan infeksi HIV yang sudah dipastikan dan tanpa keadaan dalam kategori klinis B
dan C

Infeksi HIV yang asimtomatik

Limfadenopati generalisata yang persisten (PGL : persistent generalized


lymphadenophaty)

Infeksi HIV (primer) yang akut dengan keadaan sakit yang menyertai atau
riwayat infeksi HIV yang akut

Kategori klinis B
Contoh contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup(tetapi tidak terbatas
pada):

Angiomatosis baksilaris

Kandidiasis orofaring (thrush) atau vulvovagianal (persisten frekuen atau


responnya jelek terhadap terapi)

Displasia serviks (yang sedang atau berat/karsinoma serviks insitu

Gejala konstitusionalseperti panas (38,5 C) atau diare yang lamanya melebihi


satu bulan

Leukoplakia oral yang berambut

Herpes zoster(shingles)yang meliputi sedikitnya dua kejadian berbeda atau


yang terjadi pada lebih dari satu dermatom saraf

Idiopatik trombositopenik purpura

Listeriosis

Penyakit inflamasi pelviks, khususnya jika disertai komplikasi abses


tuboovarii

Neuropati perifer

Kategori klinis C
Contoh contoh keadaan pasien dewasa dan remaja mencakup :

Kandidiasis bronkus,trakea atau paru paru ,esofagus

Kanker serviks yang invasif

Kriptokokosiss ekstrapulmoner

Kriptosporidiosisis intestinal yang kronis (dengan durasi lebih 1 bulan)

Koksidioidomikosis ekstrapulmoner atau diseminata

Penyakit silomegalovirus(yng bukan hati,lien,kelenjar limfe)

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Upaya penanganan medis meliputi beberapa cara pendekatan yang mencakup penanganan
infeksi yang berhubungan dengan HIV serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV
lewa praparat antivirus dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui penggunaan
preparat imonomodulator. Perawatan suportif mengupakan tindakan yang penting karena efek
infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien, efek
tersebut mencakup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan, imobilitas dan perubahan status
mental.

Obat-obatan untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV


Infeksi Umum. Trimetoprim sulfametokzasol yang disebut pula TMP-SM2 (Bactrim,
Septra) merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi brbagai mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV keapda pasien pasien dengan fungsi
gastrointestnal yang normal tidak memberikan keuntungan apapun. Penderita AIDS yang
diobati dengan TMP-SMZ dapat mengalami efek yang merugikan dengan iseidensi tinggi
yang tidak lazim terjadi, seperti demam, ruam, leukopenia, trombositopenia dan gangguan
fungsi renal. Akhir akhir ini telah dilakukan terapi desensitisasi dengan hasil yang baik
untuk mengurangi rekasi yang berhubungan dengan penggunaan obat TMP-SMZ.
Pentamidin, suatu obat antiprozoa digunakan sebagai preparat alternatif untuk
melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau jika pasien tidak memperlihatkan
perbaikan

klinis

ketika

diobati

dengan

TMP-SMZ

petugas

kesehatan

dapat

merekomendasikan pentamidin. Penyuntikan intramuskuler harus dihindari karena berpotensi


untuk terbentuknya abses steril yang nyeri. Penyuntikan pentamidin IV dapat menyebabkan
hipotensi berat jika diberikan terlalu cepat. Efek pentamidin yang merugikan juga mencakup
gangguang metabolisme glukosa (dengan dabetes melitus yang nyata) kerusakan ginjal,
gangguan fungsi hari dan neutropenia. Keberhasilan awal preparat pentamidin berbentuk
aerosol telah membuat preparat ini digunakan sebagai pengobatan bagi PCP yang ringan
hingga sedang, kendati demikian, preparat ini ternyata kurang begitu efektif dan lebih mahal
harganya bila dibandingkan dengan preparat TMP-SMZ dan ekserbasi dini sering terjadi.
Karena keterbatasan inilah preparat inhalasi perntamidin hanya digunakan untuk pasien PCP
yang ringan hingga sedang yang tidak toleran terhadap bentuk pengobatan lain. Kombinasi
TMP-SMZ dan pentamidin ternyata tidak menunjukkan manfaat tambahan penggunaan
preaparat kombinasi ini harus dihindari karena dapat mengakibatkan efek kumulatif yang
toksik.
Kombinasi trimetoprin oral dan dapson (Avlosulfon, DDS) terbukti sangat efektif
untuk PCP yang ringan hingga sedang. Obat obat lain yang tengah dievaluasi sebagai
perapi penyelamat bagi pasien pasien yang tidak berhasil disembuhkan atau yang tidak
responsif dengan terapi konvensional mencakup preparat klindamisin IV (Cleosin HCI),
primawuin oral, trimetrexate, hidroksinaftokuinon dan atovaquone (Mepron). Pemberian
kortikosteroid sistemik mungkin bermanfaat bagi sebagian pasien dengan PCP yang ringan

hingga berat, namun demikian, data data yang membenarkan penggunaan kortikosteroid
untuk terapi PCP yang ringan atau terapi penyelamatan masih belum ada.
Kompleks Mycobacterium avium. Terapi kompleks Mycobacterium avium (MAC.
Mycobacterium avium complex) masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi
penggunaan lebih dari satu macam obat selama periode waktu yang lama. Terapi kombinasi
dengan etambutol, rifampin, klofazimin (lamprene) dan siprofloksasin (Cipro) dengan atau
tanpa amikasin ternyata disertai dengan efek toksisistas obat, tidak menghasilkan
kesembuhan secara bakterial dan juga memberikan prognosis penyakit yang buruk.
Klaritromosin (Biaxin) dan azitromisin (Zithromaza0 yaitu preparat antibiotik yang lebih
baru dalam pengobatan multidrug, sedang dievaluasi efektivitasnya dalam pengobatan MAC,
Rifabutin ternyata efektif untuk mencegah MAC. Rifabutin ternyata efektif untuk mencegah
MAC pada penderita infeksi HIV dengan jumlah sel CD4 + sebesar 200/MM2 atau kurang.
Meningtis. Terapi primer yang mutakhir untuk meningtis kriptokokus adalah
amforerisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (diflucan). Keadaan pasien
harus dipantau untuk mendeteksi efek yang potensial merugikan dan serius dari amfoterisin
B, yang mencakup rekasi anafilaksis, ganguan renal serta hepar gangguan keseimbangan
elektrolit, anemia, panas dan menggigil. Pemberian amfterisin B intratekal telah digunakan
sebagai pengganti pemberian intravena atau dalam bentuk kombinasi dengan pemberian
intravena pada pasien paien yang tidak responsif terhadap cara terapi yang terakhir
antifungus yang baru itu disetujui dan digunakan untuk terapi supresif seumur hidup,
kejadian relaps yang frekuen dan angka mortalitas yang tinggi kerapkali mengharuskan terapi
yang lama dengan amfoterisi B IV. Pada sebagian kasus, pasien terus mendapatkan
amfoterisin B IV di rumah. Preparat flukonazol oral digunakan sebagai terapi supresif kalau
pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang negatif untuk mikroorganisme
tersebut. Obat ini tidak begitu toksik dan lebih ditoleransi oleh pasien ketimbang amfiterisin
B.
Retinitis

Sitomegalovirus.

Retinitis

yang

disebabkan

oleh

Sitomegalovirus

(CMV,Cytomegalovirus) merupakan penyebab utama kebutaan pada penderita penyakit


AIDS. Pada tahun utama pada penderita penyakit AIDS. Pada tahun 1989 FDA menyetujui
penggunaan gansiklovir untuk mengobati retinitis CMV. Karena gansiklovir tidak mematikan
virus tetapi lebih mengendalikan pertumbuhannya, obat ini harus diberikan sepanjang sisa
usia pasien. Penghentian pengobatan ini akan diikuti oleh eksaserbasi retinitis tersebut dalam

waktu 1 bulan. Pada awalnya gansiklovir disuntikkan IV setiap 8 hingga 12 jam sekali selama
2 hingga 3 minggu. Terapi pemeliharaan diberikan sekali sehari selama 5 hingga 7 CMV
tetap berlanjut sekalipun terapi berikan. Efek merugikan yang membuat pendidikan pasien
dan pemantauan rataw jalan sangat penting adalah supresi sumsum tulang (yang akan
menurunkan jumlah sel darah putih dan tombosit), kandidiasis oral dan gangguan hepar serta
ginjal.
Akses vena jangka panjang harus dibuat dan kepada pasien serta orang yang
merawatnya perlu diajarkan teknik pemberian gansiklovir di rumah. Reaksi merugikan yang
sering terjadi pada pemberian gansiklovir adalah neutropenia berat yang membatasi
penggunaan zidovudin (ZDV, AZT) bersama gansiklovir. Bagi pasien yang tidak dapat
mentolerir pemberian gansiklovir secara sistemik karena terjadinya neuropenia yang berat,
infeksi pada lokasi akses vena atau kerharusan untuk memakai zidovudin, maka penyuntikan
gansiklover dirumah. Reaksi merugikan yang sering terjadi pada pemberian gansiklover
adalah neutropenia berat yang membatasi penggunaan zidovudin (ZDV, AZT) bersama
gansiklovir. Bagi pasien yang tidak dapat mentolerir pemberian gansiklovir secara sistemik
karena terjadinya neutropenia yang berat, infeksi pada lokasi akses vena atau keharusan
untuk memakai zidovudin, maka penyntikan gansiklovir intravitreus merupakan terapi yang
efektif. \

foskarnet (Foscavir) yaitu preparat lain yang digunakan untuk mengobati

retinitis CMV, disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Terapi
pemeliharaan diberikan selama 2 hingga 3 jam sebanyak lima kali seminggu. Preparat ini
dapat diberikan bersama zidovudin. Rekasi merugikan yang lazim terjadi pada pemberian
foskarnet adalah nefrotoksisitas yang mencakup gagal ginjal akut dan gangguan
keseimbangan

elektrolit

yang

mencakup

hipoklasemia,

hiperfosfatemia

serta

hipomagnesemia semua keadaan ini dapat membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang
lazin dijumpai adalah serangan kejang kejang ganggungan gastrointestinal, anemia, flebitis
pada tempat infus dan nyeri punggung bawah. Obat obat yang lain yang sedang dievaluasi
untuk terapi retinitis CMV adalah asiklovir (Zovirax), alfainterferon dan terapi kombinasi
dengan gansiklovir (Cytovene) serta immune globulin.
Keadaan Lain, asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati ensefalitis
yang disebabkan oleh herpes simpleks atau herpes zoster. Pirimetamin (Daraprim) dan
sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCI) digunakan untuk pengobatan maupun terapi
supresif seumur hidup bagi infeksi Toxoplasmosis gonddi. Kandidiasis esofagus atau oral
diobati secara topikal dengan obat isap (troches) orang diobati secara topikal dengan obat

isap (troches) oral klotrimazol (Mycelex) atau suspensi nistatin. Infeksi kronis yang
membandel oleh kandidiasis (thrush) atau lesi esofagus diobati dengan ketokonazol atau
flukonazol.
Pelaksanaan Diare Kronik
Meskipun banyak bentuk diare yang infeksius akan beraksi terhadap pengobatan,
namun infeksi tersebut tidak jarang terjadi kembali sehingga menjadi masalah kronik. Terapi
dengan oktreotid

asetat (sandostatin), yaitu suatu analog sitentik somatostatin, ternyata

efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik. Kosentrasi reseptor somatostatin yang
tinggi ditemukan dalam traktus gastrointestinal maupun jaringan lainnya. Somatostatin akan
menghambat banyak fungsi fisiologi yang mencakup motilitas gastroitestinal dan sekresi
intestinal air serta elektrolit.
Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan
Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencakup penanganan penyeban yang mendasari
infeksi oportunis sistemik maupun gastrointestinal. Malnutrisi sendiri akan memperbesar
risiko infeksi dan dapat pula meningkatkan insidens infeksi oportunis. Terapi nutrisi harus
disatukan dalam keseluruhan rencana penatalaksanaan dan harus disesuaikan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi pasien, terapi bisa dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian
makanan lewat sonde (terapi nutrisi enteral) hingga dukungan nutrisi parenteral jika
diperlukan. Sebagaimana halnya dengan semua pasien, diet seimbang merupakan HIV jumlah
kalori yang diperlukan harus dihitung bagi semua penderita AIDS dengan penurunan berat
badan yang tidak jelas penyebabnya, penghitungan jumlah kalori ini dilakukan untuk
mengevaluasi status nutrisi pasien dan memulai terapi nutrisi yang tepat. Tujuannya adalah
untuk mempertahankan berat badannya. Pedoman berikut ini dapat dipakai untuk menghitung
jumlah kalori dan asupan protein yang diperlukan (Hoyt & Staats, 1991):

Kalori : 35 hingga 44 kilokalori/ kilogram berat badan/ hari.

Protein : 2 hingga 2,5 gram protein/ kilogram berat badan/ hari.

Suplemen oral dapat diberikan untuk melengkapi diet yang kurang mengandung kalori dan
protein. Idealnya suplemen oral tersebut harus bebas laktosa (banyak pasien infeksi HIV yang
menderita intoleransi lakdisa), tinggi kalori dan protein yang mudah dicerna, rendah lemak
dengan mengandung lemak yang mudah dicerna, selain itu supelem oral harus pula memiliki

citarasa yang enak, tidak mahal dan dapat diterima pasien tanpa menimbulkan diare. Advera
merupakan suplemen nutrisi yang dibuat khusus untuk penderita infeksi HIV dan penyakit
AIDS. Nutrisi parenteral merupakan pilihan akhir karena biayanya yang tinggi dan resiko
yang menyertainya, termasuk infeksi.
Penggunaan preparat stimulan selera makan memberikan hasil yang memuaskan pada
pasien-pasien anoreksia yangberhubungan dengan penyakit AIDS. Megastrol asetat (Megace)
yaitu suatu preparat sintetik progesteron oral yang digunakan untuk pengobatan kanker
payudara, akan menggalakkan kenaikan berat badan yang signifikan dan menghambat sitesis
sitokin IL-1. Preparat ini sudah digunakan pada penderita infeksi HIV. Penggunaannya akan
meningkatkan berat badan terutama dengan menaikkan simpanan lemak tubuh. Dronabinol
(Marinol) merupakan preparat sitetik tetrahidrokanabinol (THC) yang merupakan unsur aktif
dalam marijuana. Preparat ini dapat diberikan untuk mengurangi mual dan vomitus yang
berkaitan dengan kemoterapi kanker. Hasil hasil pendahuluan memperlihatkan bahwa
sesudah terapi Marinol dimulai hampir semua pasien infeksi HIV akan mengalami kenaikan
berat badan yang cukup berarti (Gorter 1991: Medynski, 1993). Efek preparat ini pada
komposisi tubuh tidak diketahui.
Penanganan Keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit kerena sangat beragamnya gejala dan
sistem organ yang terkena. Sarkoma Kaposi jarang mengancam jiwa penderitanya kecuali
bila mengenai paru atau saluran cerna. Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala
dengan memperkecil ukuran lesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang
berkaitan dengan edema serta ulserasi dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan
lesi mukosa serta organ viseral. Tidak ada satu pun terapi sistemik yang terbukti mampu
meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Terapi lokal mencakup eksisi lesi atau pengolesan
nitrogen cair pada lesi kulit setempat dan penyuntikan lesi intraoral akan disertai rasa nyeri
dan iritasi setempat. Hingga saat ini, kemoterapi yang paling efektif tampaknya berupa ABV
(adriamisin, bleomisin dan vinkristin). Mielosupresi yang signifikan terjadi pada 40% hingga
50% pasien yang menjalani terapi ini dengan peningkatan insidens infeksi oportunis sebesar
30%. Terapi raiasi sama efektifnya seperti tindakan paliatif untuk meringankan nyeri lokal
akibat masa tumor (khususnya pada tungkai) atau untuk mengatasi sarkoma Kaposi yang
menimbulkan deformitas atau perubahan anatomis yang tidak menyenangkan.

Alfa interferon untuk Sarkoma Kaposi. Interferon dikenal karena efek anti virus dan
antirumor yang dimilikinya. Paseien yang diobati dengan alfa interferon untuk mengatasi
sarkoma Kaposi kutaneus akan mengalami regresi tumor dan perbaikan fungsi sistem imun.
Respons yang positif terlihat pada 30% hingga 50% pasien, dengan respons terbaik pada
mereka yang penyakitnya terbatas dan tanpa infeksi oportunis. Alfa interferon dapat
diberikan intravena, intramuskuler atau subkutan. Pasien dapat menyuntikkan sendiri preparat
interferon dapatd diberikan intravena, intramuskuler atau subkutan, pasien dapat
menyuntikkan diri sendiri preparat interferon di rumah atau mendapatkannya pada klinik
rawat jalan . petunjuk tentang cara penyuntikan yang benar dan penanganan efek yang
merugikan harus diberikan oleh perawat.
Limfoma keberhasilan terapi limfoma yang berhbungan dengan AIDS sangat terbatas
mengingat progresivitas malignansi ini yang cepat. Kombinasi kemoterapi dengan terapi
radiasi akan mencapai angka respons sebesar 50% dengan durasi yang pendek secara nyata.
Karena terapi standar untuk limfoma non AIDS tidak efektif banyak praktisi menganjurkan
agar limfoma yang berhubungan dengan AIDS dipelajari sebagai suatu kelompok tersendiri
dalam uji klinis.
Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan infeksi HIV, keempat preparat tersebut adalah zidovudan (ZDV: dahulu disebut
azidotimidin (AZT) atau Retrovir), dideoksinosin atau didanosin (ddl (Videx) atau retrovir),
dideoksidosin atau didanosin (ddl (Videx), didieksisitidin (ddC). Semua obat ini menghambat
kejra enzim reverse transriptase virus dan mengedah reproduksi virus HIV dengan cara
meniru salah satu subtansi molekuler yang digunakan virus tersebut untuk membangun DNA
bagi partikel partikel virus baru. Dengan mengubah komponen struktural rantai DNA,
produksi virus yang baru akan dihambat,
Zidovudan. Penemuan zidovudan sangat signifikan dalam memerangi penyakit AIDS.
Pada tahun 1987, FDA menyetujui penggunaan zidovudan untuk pengobatan infeksi
HIV/AIDS yang berat. Pada tahun 1990, zidovudan disetujui FDA untuk penggunaan yang
lebih awal dalam perjalanan infeksi terebut sebelum terjadi imonosupresi yang berat. Pada
tahun 1994, penggunaannya pada wanita hamil dengan HIV positif disetujui untuk
memperkecil risiko penularan perinatal infeksi virus tersebut.

Pengukuran jumlah CD4+ merupakan parameter penting untuk menentukan tingkat


imunosupresi. Jumlah CD4+ mencerminkan jumlah limfosit sel-T helper yang beredar.
Jumlah CD4+ yang normal berkisar dari 700 hingga 1200/mm3. saat ini terapi dengan
zidovudin sudah disetujui untuk semua orang yang terinveksi HIV dengan jumlah CD4 + di
bawah 500/mm3. penelitian memperlihatkan bahwa zidovudin memperlambat perjalanan
penyakit AIDS atau penyakit yang simtomatik pada pasien-pasien dengan HIV-positif tanpa
gejala kecuali dengan jumlah sel CD4+ di bawah 500/mm3 (Volberding et al 1990) atau pada
pasien pasien dengan gejala yang ringan sementara jumlah sel CD4+ di bawah 200/mm3
(Fischl el al, 1990). Zidovudin menurunkan kadar antigen p24 dan meningkatkan jumlah sel
T4.
Zidovudin merupakan preparat yang cukup toksik bagi sumsum tulang dengan
menimbulkan anemia yang membatasi dosis pemberiannya dan neutropenia yang
menuruskan penghentian pemberian obat tersebut. Pemberian zidovudin harus dihentikan jika
pasien memerlukan terapi untuk infeksi oportunis, limfoma dan kelainan malignansi lainnya
karena terapi bagi semua keadaan ini dapat pula menimbulkan toksisitas hematologi. Faktor
penstimulasi koloni granulosit (G-CSF; granulocyte colony-stimulating factor) dan epeotin
alfa (human recombinant arythropoietin [Epogen, proerit]) terbukti efektif untuk mengobati
anemia dan neutropenia yang berkaiatan dengan pemberian zidovudin. Faktor penstimulasikoloni merupakan substansi yang secara alami diproduksi oleh tubuh untuk menstimulasi
pertumbuhan serta produksi sel darah merah dan putih.
Efek merugikan lainnya pada pemberian zidovudin mencakup mual, rasa tidak
nyaman pada abdomen, demam/panas, mengigil, mialgia dan sakit kepala; efek merugikan
yang lebih jarang terjadi adalah konfusi., somnolen dn kejang. Kepada pasien harus
diberitahukan mengenai dan pentingnya pemeriksaan medis yang teratur, dan penilaian serta
penatalaksanaan efek yang merugikan tersebut perlu dilakukan. Rujukan untuk konseling
finansial kerapkali diperlukan mengingat penggunaan obat ini memerlukan biaya tinggi.
Didioksinosin. Bagi banyak pasien, didioksinosin (didanosine [ddl]) memberikan
hasil yang menjanjikan sebagai preparat alternatif pengganti zianidovudin. Efek toksik utama
yang membatasi dosis pemberian ddl adalah pankreatitis yang dapat berakibat fatal dan
neuropati perifer. Efek toksik lainnya mencakup diare, kegelisahan dan peningkatan kadar
asam urat (kalau ddl diberikan dengan dosis yang tinggi).

Dideoksistidin, Dideoksistidin (ddC) tidak menembus cairan spinal sehingga tidak


seefektif zidovudin bila digunakan untuk mengobati ensefalopati yang berhubungan dengan
AIDS. Beberapa neuropati perifer ditemukan pada pemberian ddC dengan dosis tinggi. Efek
toksiknya yang lain adalah intoleransi gastrointestinal dan ulserasi mukosa. Karena virus HIV
dapat dapat mengadakan mutasi dengan cepat, maka resistensi obat akan terjadi; karena itu,
terapi kombinasi antivirus memberikan harapan terbaik untuk mengendalikan vinfeksi HIV.
Stavudin. Stavudin dapat dipreskripsikan nagi pasien-pasien infeksi HIV stadium
lanjut yang tidak responsif terhadap preparat antivirus lain atau yang tidak dapat mentolerir
efek sampingnya. Reaksi yang merugikan utama mencakup neuropati perifer, supresi
sumsum tulang, mialgia dan hepatotoksisitas. Neuropati perifer merupakan efek-samping
utama yang membatasi dosis pemberian obat tersebut; kepada pasien harus diberitahukan
agar melapor bila terdapat nyari, rasa terbakar, pegal-pegal, kelemahan atau perubahan
sensibilitas lainnya.
Inhibitor Proontease
Inhibitor protease merupakan obat yang menghambat kerja enzim protease, yaitu
anzim yang dibutuhkan untuk replikasi virus HIV dan produksi virion yang menular. Inhibisi
protease HIV-1 akan menghasilkan partikel virus noninfeksius dengan penurunan aktivitas
enzim reverse transcriptase. Karena menghambat replikasi virus dengan cara yang berbeda
dari inhibitor reverse transcriptase seperti zidovudin, maka preparat ini memberikan harapan
jika diberikan bersama inhibitorreverse transcriptase. L-524 dan RO 31-8959 merupakan dua
buah preparat inhibitor protease yang masih diselidiki. Efek sampingnya mencakup sakit
kepala dan gangguan gastrointestinal.
Sebagai obat mengganggu infinitas HIV untuk limfosit T4. Sebagian lainnya
mengubah membran virus dan mencegah masuknya virus kedalam sel-sel hospes. Inhibisi
reprodiksi virus merupakan mekanisme kerja yang lain. Sebagian bear preperat berada dalam
berbagai fase uji-klinis yang mengevaluasi toksisitas serta dosis maksimal yang ditoleransi
(uji-klinis fase I), aktivitas terhadap HIV (fase II), dan efektivitasnya bila dibandingkan
dengan obat-obat lain (fase III). Untuk daftar preparat antiretrovirus, lihat tabel 50-3

Imunomodulator
Untuk melawan penyakit AIDS bukan hanya diperlukan preparat yang akan
menghambat pertumbuhan virus, tetapi juga preparat yang akan memulihkan atau
menguatkan sistem imun yang rusak. Preparat oral alfa-interferon dosis rendah (IFN-alfa)
kini sedang diuji untuk meneliti sifat-sifat antivirusnya disamping kemampuannya dalam
menstimulasi sel-sel makrofag dan limfosit sel-T. Sebagaimana dibahas sebelumnya dalam
bab ini, preparat parenteral alfa-interferon juga digunakan untuk mengobati sarkoma kaposi
kutaneus. Substansi lain yang sedang dievaluasi peranannya dalam stimulasi makrofag dan
limfosit mencakup interleukin 2, isoprinosin, dietilditiokarbama; (DTC), lentinan dan G-CSF
(granulocyte macrophage colony-stimulating factor). Sebagaimana dibicarakan sebelumnya,
G-CSF

bersama-sama eritropoietin kini digunakan untuk memulihkan anemia dan

neutropenia yang disebabkan oleh terapi zidovudin.


Banyak substansi ini manyababkan reaksi mirip flu yang mencakup demam,
menggigil, artralgi, mialgia dan sakit kepala. Di samping itu, sebagai preparat menimbulkan
gejala mual, vomitus, kenaikan kadar enzim hati, neutropenia, konfusi dan perubahan
perilaku . Perawat memainkan peranan yang penting dalam bentuk terapi ini dengan turut
berpartisipasi dalam penilaian dan penanganan efek yang merugikan, memberikan dukungan.
Preparat antivirus
Obat
Analog

Efek samping
nukleosida-inhibitor

reverse

transcriptase
Animea, granulositopenia, mual, gangguan
Zidovudin(ZDV) (retrovir)

rasa nyaman pada perut, sakit kepala,

(Dahulu disebut AZT)

konfusi, hepatitis, perubahan warna kuku,


kejang,

miositis,

demam,

atau

panas,

menggigil

Didanosin (ddi) (videx)

Pankreatitis, neuropati, perifer, mual, diare,


konfusi, kejang, sakit kepala, abnormalitas
elektrolit, aritmia jantung,

Zaltisabin, dideoksisitidin

Ulkus esofagus, neuropati, perifer stomatis,

(ddc) (HIVID)

pankreatitis, demam/panas, ruam, seriawan


pada mulut (stomatitis aftosa) hiperglikemia,

Stavudin, (dt) (zerit)

Neuropati perifer, hepatotoksisitas, animea,


mual

Inhibitor

reverse

transcriptase

non- Peningkatan rasa haus, mual, anoreksia, sakit

nukleosida

kepala, rasa sakit pada pinggang, kedutan

Foskarnet(foskarvir)

otot,

kegagalan

renal,

kenaikan

kadar

kreatinin, proteinuria ringan, tremor, kejang,


ulkus genitalis

Ruam, demam/panas, trombositopenia


Nevirapin

Sakit kepala, gangguan gastrointestinal


Inhibitor protease
L-drug (L524) dan R031-8985

Serta pendidikan yang tepat kepada pasien, dan turut berpartisipasi,dalam mengumpulkan
data data untuk uji klini
Vaksin merupakan substansi yang memicu projaduksi antibody dalam upaya untuk
menghancurkan mikroorganisme penyerang. Para ahli riset telah dan sedang bekerja untuk
mengembangkan vaksin bagi virus HIV sejak virus tersebut ditemukan,. Beberapa uji vaksin
kini tengah dilakukan pada para relawan manusia yang seronegatif. Karena sifat dan prilaku
virus HIV yang kompleks, kebanyakan ilmuan yang sepakat bahwa vaksin untuk virus HIV
masih belum akan tersedia dalam beberapa tahun ini. Tanpa adanya pedoman untuk
mengembangkan perlindungan jangka-panjang, terhadap infeksi HIV, kita tidak mengetahui
tipe respon imun apa (yaitu, antibodi yang menetralkan limfosit T sitotoksik atau keduanya)
yang diperlukan untuk memberikan perlindungan secara penuh. Masalah lain yang perlu
dipertimbangkan

dalam

mengembangkan

dan

menguji

sebuah

vaksin

adalah

pengidentifikasian populasi penelitian yang tepat. Sebagai contoh, kita mungkin sulit

menentukan apakah penurunan angka infeksi pada kelompok homoseksual pria terjadi akibat
penggunaan vaksin atau akibat perubahan praktik seksual sebagai hasil dari upaya
penyuluhan yang masif. Penelitian terhadap kelompok pemakai obat bius IV selama beberapa
tahun dalam uji vaksin kemungkinan besar juga sulit terlaksana karena orang orang ini sering
tidak memiliki tempat tinggal yang tetap dan terlibat dalam aktivitas yang gelap. Akhirnya
terdapat pula beberapa masalah hukum dan etika, termasuk pertanggungjawaban pabrik
pembuat vaksin, kemungkinan timbulnya seropositivitas AIDS pada subjek penelitian dan
munculnya efeksamping yang serius
Perawatan pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun sebagai
akibat dari sakit kronik yang berkaitan dengan infeksi HIV memerlukan banyak macam
perawatan suportif. Dukungan nutrisi merupakan tindakan sederhana seperti membantu
pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan
gangguan

yang lanjut karena

penurunan asupan makanan, sindrom pelisutan atau

malabsorpsi saluran cerna, yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan pemberian
makanan melalui pembuluh darah seperti nutrisi parental total. Gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit yang terjadi akibat mual, vomitus, dan diare hebat kerapkali memerlukan
terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi pada kulit yang berkaitan
dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan imobilitas ditangani dengan perawatan
kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini mencakup tindakan membalikan tubuh pasien
secara teratur membersihkan dengan mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan kasa
steril.
Gejala paru seperti dispnea dan nafas pendek mungkin berhubungan dengan infeksi,
sarkoma kaposi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan terapi
oksigen, pelatihan relaksasi dan tehnik-tehnik penghemat tenaga. Pasien dengan gangguan
fungsi pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasa nyeri
yang menyertai lesi kulit, keram perut, neuropati perifer/ sarkoma kaposi dapat diatasi dengan
preparat analgetik yang diberikan secara teratur dalam 24jam. Tehnik relaksasi dan guided
imagery (terapi psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat membantu mengurangi
rasa nyeri dan kecemasan pada sebagian pasien.

Terapi alternatif
Ilmu kedokteran barat tradisional memfokuskan perhatiannya pada pengobatan
penyakit.pengobatan atau intervensi ini di ajarkan pada sekolah kedokteran dan di gunakan
oleh para dokter dalam merawat pasien-pasien mereka.terapi alte rnatif di pandang sebagai
cara-cara terapi yang non-konvensional dan non-ortodok sehingga tidak sama seperti yang
ajarkan secara tradisional di sekolah kedokteran .terapi alternative menekankan perlunya
penanganan secara utuh sebagai satu kesatuan dan mengakui adanya intraksadanya intraksi
tubuh ,jiwa dan roh.apa yang di anggap sebagai terapi alternatif dalam salah satu budaya
mungkin merupakan terapi tradisional dalam budaya lain.pengguna terapi alternatif pada
penyakit HIV dan penyakit AIDS mungkin terjadi karna harapan yang keliru pada terapi
medis standar yang sampai pada saat ini belum menghasilkan ksembuhan bagi penyakit
tersebut.bersama dengan terapi medis tradisional,terapi alternative mungkin dapat
memperbaiki kesejahteraan pasien secara keseluruhan.
Terapi alternatif dapat di bagi empat kategori.1)terapi spiritual yang mencangkup
tumor,hypnosis,kesembuhan karna iman kepercayaan (faith healing),guided imagery dan
afirmasi positif.2)terapi nutrisi yang mencangkup diet vegetarian mak-obiotik, suplemen
vitamin c atau beta- karoten dan kunir/kunyit (suatu umbi tanaman yang digunakan sebagai
penyedap makanan) yang mengandung curcumin. Obat tradisional cina seperti campuran
herbal tradisional serta senyawa Q (ekstrak ketimun cina) dan monmordica harantia (bitter
malon) yang diberikan sebagai enema juga digunakan dalam terapi alternative. (3) terapi obat
dan biologik termasuk obat-obat yang pemakaiannya tidak disetujui oleh FDA. Contoh terapi
ini adalah N-setiisistein (NAC), pentoksifilin (Trental) dan I-kloro-4-dinetrobenzena
(DNCB). Yang juga termasuk dalam kategori ini adalah terapi oksigen, terapi ozon dan terapi
rin. (4) terapi dengan tenaga fisik dan alat yang tercangkup akupuntur, akupresur , terapi
masase, refleksologi terapi sentuhan, yoga dan Kristal.
Banyak pasien yang menggunakan terapi alternative tidak selalu melaporkannya
kepada petugas kesehatan. Untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang lengkap, perawat
harus menanyakan penggunaan terapi alternatif. Pasien mungkin harus di dorong untuk
melaporkan penggunaan terapi alternative keada dokter atau petugas kesehatan yang
memberikan pelayanan primer. Masalah dapat timbul kalau pasien menjalani terapi alternatif
sementara turut serta dalam uji klinis obat. Mereka dapat mengalami efek-merugikan yang
signifikan yang

mempersulit penilaian khasiat obat dalam uji klinis. Perawat harus

memahami efek samping merugikan yang dapat terjadi dari terapi alternatif. Perawat yang
mencurigai terjadinya efek samping akibat terapi alternatif harus membebicarakannya dengan
pasien. Orang yang memberikan terapi alternative dan petugas pelayanan kesehatan primer.
Hal yang amat penting bagi perawat adalah memandang terapi alternative dengan pikiran
terbuka dan mencoba memahami makna terarp ini bersama pasien. Dengan melakukan hal
tersebut, komunikasi dengan pasien akan menjadi lebih baik dan kemungkinan konflik bisa
dukungan sehingga semua orang yang terlibat dalam pernyataan dalam perawatan dapat
memenuhi kebutuhan pasien.
I. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan factor resiko yang
potensial termasuk praktik seksual yang beresiko dan penggunaan obat bius
IV status fisik dan psikologis pasien harus di nilai semua factor yang
mempengaruhi pungsi system imun perlu di gali dengan seksama.
Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali
factor-faktor yang dapat mengganggu asupan oral seperti anareksia.mual
voanius nyeri oralatau kesulitan menelan.Di samping itu kemampuan pasien
untuk membeli dan mempersiapkan makanan harus di nilai.penimbangan berat
badan,penilaian

antrometrik,pemeriksaan

kadar

BUN

(blood

urea

nitrogent)protein serum,albumin dan transferin akan memberikan parameter


status nutrisi yang objektif.
Kulit dan membrane mukosa di inspeksi setiap hari untuk menemukan
tanda-tanda lesi,ulserasi atau infeksi.rongga mulut di periksa untuk memantau
gejala kemerahan,ulserasi dan adanya bercak-bercak putih seperti krim yang
menunjukkan kandidiasis.daerah perianal harus di periksa untuk menemukan
ekskoreasi dan infeksi pada pasien propus.pemeriksaan kultur luka dapat di
mintakan untuk mengidentifikasi mikro organism yang infeksius.
Status respiratorius di nilai lewat pemantauan pasien untuk mendeteksi
gejala batuk,produksi sputum,napas yang pendek,ortopnia,takepnea dan nyeri
dada.keberadaan suara pernapasan dan sifatnya juga harus di periksa.ukuran
pungsi paru yang lain mencakup hasil foto ronsen toraks,hasil pemeriksaan
gas darah arteri dan hasil tes faal paru .

Status neorologis di tentukan dengan menilai tingkat kesadaran


pasien,orientasi terhadap orang ,tempat serta waktu dan ingatan yang
hilang.pasien juga di nilai untuk mendeteksi gangguan sensorik (perubahan
gaya jalan,paresis atau paralisis) dan serangan kejang.
Status cairan dan elektrolit di nilai dengan memeriksa kulit serta
membrane mukosa untuk menentukan turgor dan kekeringannya.peningkatan
rasa haus,penurunan pengeluaran urin,tekanan darah yang rendah dan
penurunan tekanan sistolik antara 10 dan 15 Mmhg dengan di sertai kenaikan
frekuensi dengan frekuensi denyut nadi ketika pasien duduk,denyut nadi yang
lemah serta cepat dan berat jenis urin sebesar 1,025atau lebih menunjukkan
dehidrasi.gangguan

keseimbangan

elektrolit

seperti

penurunan

natrium,kalium,kalsium,magnesium dan klorida dalam serum secara

kadar
khas

akan terjadi karna diare hebat.pemeriksaan pasien juga di lakukan untuk


menilai tanda-tanda dan gejala deplesi elektrolit.,tanda-tanda ini tanda-tanda
mencakup penurunan status mental,kedutan otot,kram otot,denyut nadi yang
tidak teratur,mual serta pomitus,dan pernapasan yang dangkal.
Tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya dan cara-cara
penularan penyakit harus di evaluasi.di samping itu,tingkat pengetahuan
keluarga dan sahabat perlu di nilai.reaksi psikologis pasien terhadap diagnosis
penyakit AIDS merupakan informasi penting yang harus di gali.reaksi dapat
berpariasi antara pasien satu dengan lainnya dan dapat mencakup
penolakan,amarah,rasa takut,rasa malu,menarik diri dari pergaulan sosial dan
depresi.pemahaman tentang cara pasien menghadapi sakitnya dan riwayat
stress utama yang pernah di alami sebelum nya kerap kali bermanfaat.sumbersumber yang di miliki pasien untuk memberikan dukungan kepadanya harus di
identifikasi.

b. Diagnosa Keperawatan
1. Diare yang berhubungan dengan patogen enterik dan infeksi HIV
2. Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pneumonia
pneumocytispeningkatan sekresi bronkial,dan penurunan kemampuan
untuk batuk yang berhubungan dengan kelemahan dan keletihan

4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


penurunan masukan oral
5. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan cara cara
pencegahan penularan HIV
6. Isolasi sosial yang berhubungan dengan penyakit,menarik diri dari
sistem dukungan,prosedur isolasi dan rasa takut terhadap orang lain
yang terinfeksi
c. Rencana Keperawatan
Diagnosa keperawatan 1

Diare yang berhubungan dengan patogen enterik dan infeksi HIV

Tujuan

Mendapatkan kembali defekasi yang lazim

Intervensi keperawatan
1. Kaji

kebiasaan

Rasional

Hasil yang diharapkan

defekasi 1. Memberikan dasar untuk 1. Kebiasaan

normal pasien

evaluasi

2. Kaji

kembali normal

terhadap 2. Mendeteksi

perubahan 2. Melaporkan

diare,sering,feses,encer,

pada

nyeri atau kram abdomen,

kehilangan

volume

feses

dan

memberikan dasar untuk

faktor

pemberat

dan

tindakan keperawatan

cair,

defekasi

status,

kuantitas

cairan,

dan

penghilang

penurunan
diare

episode

dan

abdomen
3. Mengidentifikasi dan
menghindari makanan

3. Dapatkan kultur feses dan 3. Mengidebtifikasi


berikan terapi antimikroba

yang

organisme patogenik

mengiritasi

traktus gastrointestinal

sesuai ketentuan

4. Terapi

yang

dilakukan
4. Lakukan

kram

tindakan

mengurangi

untuk 4. Tirah

pembatasan

baring

menurunkan episode akut

sesuai ketentuan dokter


a. Pertahankan pembatasan
makanan

dan

cairan

sesuai

ketentuan
5. Menunjukan

luktur

feses yang normal


a. Menurunkan stimulasi 6. Mempertahankan
usus

sesuai ketentuan dokter


b. Hindari merokok

dapat

tepat

masukan cairan yang


adekuat

b. Nikotin

bertindak 7. Mempertahankan berat

sebagai stimulan usus

badan dan melaporkan


tidak

c. Hindari

irotan

seperti

usus

c. Mencegah merangsang

makanan

ususdan
abdomen

sayuran

mentah,

mrningkatkan

kacang

berat badan tambahan

dan
nutrisi

menghindari

merokok
dalam

berikan makanan sedikit

program

berhenti

tapi sering

merokok

anti

antikolinergis,

adekuat

untuk

rasional

9. Libatkan

5. Berikan

kacangan,

penuruna

distensi 8. Menyatakan

berlemak atau gorengan,


dan

ada

spamodik, 5. Menurunkan spasme dan 10. Menggunakan


atau

obat

motilitas usus

sesuai ketentuan

sesuai ketentuan

11. Mempertahankan

6. Pertahankan
cairan

obat

masukan 6. Mencegah hipovolemia

sedikitnya

status cairan adekuat


12. Menunjukan

kecuali dikontraindikasikan

turgor

kulit normal,membran
mukosa

lembab,

haluaran urin adekuat,


dan tidak ada ras haus
berlebihan
Diagnosa keperawatan 2

Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi

Tujuan

Tidak ada infeksi

Intervensi
1. Pantau
demam,

Rasional
adanya
mengigil

diaforesis,nyeri
nyeri
berwarna
rongga

infeksi,

oral

oral,

1. Deteksi

dini 1. Mengidentifikasi tanda

dan

terhadap

infeksi

dan

penting

untuk

menelan,bercak
krim

Hasil yang diharapkan

dan gejala infeksi yang


dapat dilaporkan

melakukan tindakan 2. Melaporkan tanda dan

dalam

segera.Infeksi lama

sering

dan

gejala infeksi bila ada

berulang 3. Menunjukan

dan

berkemih,dorongan(urgensi

memperberat

melaporkan tidak ada

)atau

kelemahan pasien

demam, menggigil dan

disuria,kemerahan,bengkak,

2. Berikan deteksi dini

disforesis

atau drainase dari luka,lesi


vesikuler,di

terhadap infeksi
3. Peningkatan

wajah,bibir,atau

area

perianal

dikaitkan

4. Menunjukan
SDP

dengan

infeksi

2. Ajarkan

pasien

atau

bunyi

nafas normal tnpa bunyi


nafas adventisius
5. Mempertahan kan berat

4. Organisme

badan

pemberi perawatan tentang

pengganggu

perlunya

diidentifikasi sesuai

energi

kebutuhan

keletihan berlebihan

melaporkan

kemungkinan infeksi
3. Pantau jumlah sel darh
putih dan diferensial

memulai

kulit,urin,feses,sputum,mul

infeksi

ut,dan

penularan

ketentuan, berikan terapi

tanpa

8. Menunjukan
pada
dan
infeksi

HIV pada orang lain

sesuai

membran

mukosa

merah muda,lembab
tanpa

fisura

atau

lesi
9. Terapi

ketentuan

yang

dapat

diberikan

5. Instruksikan

pasien

cara

10. Infeksi dicegah

mencegah infeksi:
a. Bersihkan

dapur

11. Menyatakan
dan

untuk

permukaan kamar mandi


dengan disinfektan

seksama setelah terpajan


cairan tubuh

strtegi

yang

infeksi 12. Mengubah

didapatkan

dirumah , sakit

untuk

aktivitas
menurunkan

pemajanan pada infeksi


atau individu infeksius

c. Hindari pemajanan pada


tubuh lain atau

penggunaan alat makan


bersama
d. Membalik,batuk,

rasional

menghindari infeksi
6. Mencegah

b. Bersihkan tangan secara

cairan

adekuat

nafas pendek atau batuk

5. Minimalkan
pemajanan

sesuai

tingkat

tindakan 7. Melaporkan tidak ada

luka,lesi

antimikrobial

untuk

yang tepat

4. Dapatkan kultur drainase

darah

harus 6. Melaporkan

13. Mempraktikan

seks

yang aman
14. Hindari

menggunakan

alat makan dan sikat


dan

nafas dalam khususnya


ketika aktivitas dikurangi
e. Pertahankan kebersihan

gigi bersama
15. Menunjukan suhu tubuh
normal
16. Menggunakan

teknik

area perianal
f. Hindari

mempertahankan
memegang

kebersihan

kulit,

lesi

kotoran binatang piaraan

kulitdan area perianal

atau

sesuai kebutuhan

membersihkan

kontak sampah, sarang

17. Meminta

burung atau aquarium

untuk

g. Masak daging dan telur


sampai matang
6. Pertahankan teknik aseptik

seperti

vena,kateterisasi

lain

menangani

kotoran

binatang

piaraan

dan

membersihkannya

bila melakukan prosedur


invasif

orang

pungsi
kandung

18. Menggunakan

teknik

memasak

yang

dianjurkan

kemih dan injeksi


Diagnosa keperawatan 3

Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pneumonia


pneumocytispeningkatan sekresi bronkial,dan penurunan kemampuan untuk
batuk yang berhubungan dengan kelemahan dan keletihan
Tujuan

Bersihan jalan nafas membaik

Intervensi

Rasional

Hasil yang diharapkan

1. Kaji dan laporkan tanda dan 1. Menunjukan


gejala

perubahan

status

fungsi 1. Mempertahankan

pernafasn abnormal

bersihan

pernafasan,

jalan

nafas

normal :

takipnea,penggunaaan otot

a. Frekuensi

aksesori, batuk,warna dan

pernapasan

jumlah sputum, bunyi nafas

menit

abnormal,warna kulit abu

<

b. Pernapasan

20/

tidak

abu atau sianotik, gelisah,

sulit

konfusi atau somnolen

menggunakan

otot

aksesori

dan

2. Dapatkan sampel sputum 2. Membantu


untuk

kultur

yang

diprogramkan oleh dokter.


Berikan

terapi

anti

identifikasi
patogenik

dalam
organisme

pernapasan

tanpa

cuping

hidung
Kilt

berwarna

mikrobial sesuai ketentuan

merah muda (tanpa

3. Bikan perawatan paru(batu, 3. Mencegah stasis sekresi


napas

dalam.

Drainase

postural ,vibrasi) setiap 2

dan

meningkatkan

bersihan jalan nafas

d. Nilai

pasien

untuk 4. Memudahkan

mengambil posisi fowler

jalan

tinggi atau semi

pernapasan

5. Dorong

periose

nafas

bersihan
dan

gas

darah

arterial normal
e. Bunyi napas normal
tanpa bunyi napas

istirahat 5. Memaksimalkan

adekuat

6. Lakukan

c. Sadar dan waspada


pada sekitarnya

sampai 4 jam
4. Bantu

sianosis)

adventisius

penggunaan energi dan 2. Mulai terapi yang tepat

tindakan

menurunkan

mencegah

keletihan 3. Gunakan

berlebihan

ketentuan

untuk 6. Memudahkan ekspetorasi 4. Laporkan

viskositas

sekresi

sekresi, mencegah stasi


sekresi

sesuai

perbaikan

pernapasan
5. Mempertahankan jalan

a. Mempertahankan
masukan

obat

napas bersih
cairan

6. Batuk dan napas dalam

sedikitnya 3 L per hari

setiap 2 4 jam sesuai

kecuali

anjuran

dikontraindikasikan

7. Menunjukan posisi yang

b. Lembabkan udara yang


diinspirasikan

tepat

sesuai

2 4 jam
dengan

dokter

8. Melaporkan penurunan

mengenai

penggunaan

kesulitan

agen

fowler tinggi

melalui nebulizer atau

9. Mempraktikan

tindakan IPPB

strategi

penghematan energi dan

penghisapan 7. Membuang sekresi bila

trakeal sesuai kebutuhan

pernapasan

ketika pada posisi semi

mukolitik yang diberika

7. Lakukan

praktik

drainase poistural setiap

ketentuan dokter
c. Konsulkan

dan

pasien

tidak

melakukannya

dapat

penggantian

aktivitas

dan istirahat
10. Menunjukan penurunan
dalam

kekentalan

(viskositasi)sekresi paru
8. Berikan

terapi

oksigen 8. Meningkatkan

sesuai ketentuan
9. Bantu inubasi endotrakeal,
pertahankan

lingkunga

ventilator sesuai ketentuan

11. Melaporkan

availabilitas oksigen

peningkatan kemudahan

9. Mempertahankan

dalam

ventilasi

membatukan

sputum
12. Menggunakan

udara

yang dilembabkan atau


oksigen

sesuai

ketentuan dan indikasi


13. Menunjukan kebutuhan
terhadap

bantuan

pembuangan

sekresi

paru
14. Memahami
terhadap
sama

kebutuhan

dan

dalam

bekerja
intubasi

endotrakea
penggunaan

dan
ventilator

mekanis
15. Mengungkapkan
kekuatiran
kesulitan
intubasi,dan
mekanis

tentang
pernapasan,
ventilasi

DIAGNOSA KEPERAWATAN 3
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhyang berhubungan dengan penurunan masukan
oral.
SASARAN : perbaikan status nutrisi
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Kaji terhadap malnutrisi dengan mengukur tinggi dan berat badan,usia,BUN, protein,
serum, albumin, kadar transferin, hemoglobin, hematokrit, energi kutan dan
pengukuran antropometrik.
2. Dapatkan riwayat diet, termasuk makanan yang di sukai dan yang tidak di sukai serta
intoleransi makanan.
3. Kaji faktor yang mempengaruhi pemasukan oral.
4. Konsul dengan ahli diet untuk menentukan kebutuhan nutrisi pasien.
5. Kurangi faktor yang membatasi masukan oral.
a. Dorong pasien untuk istirahat sebelum makanan.
b. Rencana kan makan sehingga jadwal makan tidak terjadi segera setelah prosedur
yang menimbulkan nyeri atau tidak enak.
c. Dorong pasien untuk makan dengan pengunjung atau orang lain bila mungkin.
d. Hidangkan makan, makan sering :6 kali perhari
e. Batasi cairan 1 jam sebelum makan dan pada saat makan.
6. Intruksikan pasien tentang cara untuk memberi suplemen nutrisi , mengkonsumsikan
makanan kaya protein ( daging, unggas, ikan) dan karbohidrat ( pasta, buah, roti)
7. Konsul dengan dokter tentang makanan pengganti ( nutrisi interal atau parenteral)
8. Konsulkan dengan pekerja sosial atau petugas komunitas tentang bantuan , finansial,
bila pasien tidak dapat mengusahakan makanan.
RASIONAL.
1. Memberikan pengukur objektif terhadap status nutrisi
2. Memastikan kebutuhan terhadap pendidikan nutrisi.
3. Memberikan dasar dan arahan untuk intervensi
4. Memudahkan perencanaan makan.
a. Meminimalkan keletihan yang dapat menurunkan nafsu makan.
b. Menurunkan rangsang mencemaskan.

c. Membatasi isolasi sosial


d. Membatasi penggunaan energi
e. Mencegah pasien terlalu kenyang
5. Memberikan protein dan kalori tambahan
6. Memberikan dukungan nutrisi bila pasien tidak dapat mengkonsums jumlah yang
cukup perolal
7. Meningkatkan ketersedian sumber dan nutrisi.
HASIL YANG DI HARAPKAN

Mengidentifikasi faktor yang membatasi masukan oral dan menggunakan sumber


untuk meningkatkan nafsu makan.

Melaporkan peningkatan nafsu makan.

Menyatakan pemahaman kebutuhan nutrisi

Mengidentifikasi cara untuk meminimalkan faktor yang membatasi masukan oeral.

Istirahat sebelum makan.

Makan dalam lingkung yang menyenangkan dan bebas bau.

Mengatur makan untuk di sesuaikan dengan kunjungan

Melaporkan peningkatan masukan diet

Melaksanakan higine mulut sebelum makan.

Menggunakan obat nyeri sebelum makan sesuai ketentuan

Menyatakan cara untuk meningkatkan masukabn protein dan kalori

Mengidentifikasi makanan tinggi protein dan kalori

Melaporkan penurunan kecepatan berat badan

Mempertahankan masukan adekuat

Menyatakn rasional untuk nutrisi enteral atau parenteral bila diperlukan

Menunjukan ketermpilan dalam menyiapkan pengganti nutrisi

DIAGNOSA KEPERAWATAN 4
kurang pengertahuan yang berhubungan dengan cara cara pencegahan penularan HIV
SASARAN : peningkatan pengetahuan mengenai cara pencegahan penularan penyakit
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Intruksikan pasien , keluarga, dan teman tentang rute penularan HIV
2. intrusikan keluarga, teman,pasien tentang pencegahan penularan hiv
a) Menhindari

kontak

seksual

dengan

pesangan

ganda,dan

pengunaan

kewaspadaaanbila status HIV pasangan seksual tidak pasti


b) Gunakan kondom selama hubungan seksual (vaginal, oral, anal genetalia) hindari
kontak mulut dengan penis, vagina atau rektum;hindari praktik sosialyang dapat
menyebabkan robekan laporan rektum, vagina atau venis.
c) Hindarai seksual dengan protistusi dan orang lain berisiko tinggi
d) Jangan mengunakan obatb intra vena ; bila terakdiksi dan tidak mampu atau tidak
ingin mengubah prilaku mengunakan jarum dan spuit bersih
e) Wanita yang telah terpajan pada AIDS melalui pratek seksual atau obat harus
konsul dengan dokter sebelum hamil : pertimbangan pengunaan ZDV bila hamil
RASIONAL
1. Pengetahuan tentang penularan penyakit dapat membantu mencagah penebaran
penyakit juga dapat menimbulkan rasa takut
2. Resiko infeksi meningkat bersamaan dengan jumblah pasangan seksua pria atau
wanita dan kontak sosial dengan orang yg berprilaku resiko tinggi
Menurunkan resiko penularan HIV
-

Banyak prostitusi terinfeksi HIV melaui kontak seksual dengan pasangan multipel
atau pengunaan obat intravena

Bersihkan jarum dan sepuit hanya satu satunya cara mencegah HIV untuk orang
yang terus mengunakan obat. Kewaspadaan pentik untuk orang yang antibodi
positif untuk mencegah HI

Aid dapat ditularkan dari ibu

ke anak didalam kandungan

kehamilan mengurangi secara bermakna penular HIV perinatal


`HASIL YANG DI HARAPKAN

ZDV selama

Pasien, keluarga dan teman menyebutkan cara penularan

Melaporkan dan menunjukan praktek untuk menurunkan pemajanan pada orang lain
terhadap HIV

Menghindari pengunaan obat intravena

Menunjukan praktik seksual aman

Mengidenvikasi cara pencegahan penularan penyakit

Menyebutkan bahwa pasangan seksual diberi informasi tentang antibodi posif dalam
darah

Mengurangi pegunaan obat IV dan pengunaan alat bersama untuk obat

DIAGNOSA KEPERWATAN 5
isolasi sosial berhubungan dengan penyakit menarik diri dari sistem dukungan, persedur
isolasi, dan rasa takut terhadap orang lain yg interaksi
SASARAN: penurunan rasa isolasi sosial
INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Kaji pola interaksi sosial pasien yang lazim
2) Observasi terhadap prilaku indakatif isolasi sosual, seperti penurunan interaksi dengan
orang lain, bermusuhan, ketidak patuhan, efeksedih, dan merasakan perasan ditolak
dan kesepian
3) Berikan intruksi mengenai cara penularan hiv
4) Bantu pasien untuk mengidenfikasi dan mengenali sumber untuk mendukung dan
mekanisme positif untuk koping ( mis: kontak dengan keluarga, teman kelompok
kerja AIDS)
5) Berikan waktu untuk bersama pasien lebih banyak daripada untuk pengobatan dan
persedur
6) Dorong partispasi dalam aktivitas pengalih seperti membaca televisi atau kerajinan
tangan
RASIONALISASI
1) Menetapkan dasar untuk intervensi individual
2) Isolasi sosial dapat dimanifestasikan dalam beberapa cara

3) Pengawasan imformasi

yang akurat memperbaiki kesalahan konsepsi dan

mengilangnya asientas
4) Meningkatan perasaan diri bermakna dan memberikan interaksi sosial
5) Memberikan distraksi
HASIL YANG DIHARAPAN

Bagi orang lain kebutuhan terhadap interaksi sosial bermakna

Menujukan minat dalam peristiwa aktivitas dan komunikasi

Mengungkapkan persaan dan reaksi terhadap diagnosis, prognosis, dan perubahan


hidup

Mengidenfikasi cara cara penularan AIDS

Menyebutrkan cara cara vpencegahan penularan virus AIDS

pada orang lain

mempertahan kontak dengan teman dan kerabat yang berati

Menyatakan diagnosis AIDS pada orang lain bila tepat

Mengidenfikasi sumber sumber ( mis; keluarga, teman, dan kelompok pendukung)

Menukan sumber sumber bila tepat

Menerima tawaran bantuan dan dukungan

Melaporkan penurunan rasa terisolasi

Mempertahan kontak dengan yang pentik untuk dirinya

Mengembangkan atau mengajutkan hoby yang secara efektif bertindak sebagai


pengalih atau distraksi.

d. Evaluasi
Hasil yang diharapkan meliputi :
1. Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang normal
2. Tidak mengalami infeksi
3. Mempertahankan tingkat toleransi yang memadai terhadap aktivitas
4. Memperrtahankan tingkat proses berpikir yang lazim
5. Mempertahankan saluran nafas yang efektif
6. Mengalami peningkatan ras nyaman,penurunan ras nyeri
7. Mempertahankan status nutrisi yang memadai
8. Mengalami pengurangan perasaan terisolir dari pergaulan sosial

9. Melaporkan peningkatan pemahaman tentang penyakit AIDS serta


turut berpartisipasi sebanyak mungkin dalam kegietan perawatan
mandiri

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer Suzanne C, Bare Brendo G Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner,
Suddart, Edisi 8, vol 3, Jakarta: EGC 2002
Price, Wilson, Patofisiologi Konsep klinis Proses Penyakit(1995),EGC,Jakarta.
Doenges, ME and Moor House, Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi ke 3, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai