KEPERAWATAN DEWASA II
HIV AIDS
DISUSUN OLEH :
SUPARDI (010109a12 )
A. DEFINISI
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus yaitu virus yang
menyerang system kekebalan tubuh (sel-sel darah putih) manusia yang biasanya
menjadi benteng pertahanan tubuh melawan penyakit dan infeksi (Syaiful, 2002).
Sedangkan menurut BKKBN (2004), HIV adalah virus yang menurunkan system
kekebalan tubuh.
HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh
manusia (terutama CD4 positive T-sel dan macrophages komponen-komponen
utama sistem kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya.
Infeksi virus ini mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terusmenerus,
yang
akan
mengakibatkan
defisiensi
kekebalan
tubuh.
(Komisi
B. ETIOLOGI
Faktor resiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai perilaku seksual beresiko tinggi (sekarang atau di masa lalu) yaitu
melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan banyak mitra seksual, dengan
mitra seksual yang diketahui HIV/AIDS, dengan mitra seksual dari daerah dengan
prevalensi HIV/AIDS tinggi atau kontak sek anal.
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3. Mempunyai riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa tes penapisan.
4. Mempunyai riwayat perlukaan kulit, tato, tindik atau sirkumsisi dengan alat yang
tidak steril dan bergantian.
5. Sebagai pemakai narkotik suntik terutama pemakaian jarum bersama secara
bergantian tanpa sterilisasi yang memadai.
C. PATOFISIOLOGI
HIV tergolong kedalam kelompok virus yang terkanal sebagai retrovirus yang
menunjukkan bahwa virus tersebut membawa materi ganetiknya dalam asam
ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiriribonukleat (DNA). Virion HIV (
partikel virus yang lengkap yang dibungkus oleh selubung pelindung) mengandung
RNA dalam ini berbentuk peluru yang terpancung di mana p24 merupakan komponen
struktural yang utama. Tombol (knob) yang menonjol lewat dinding virus terdiri atas
protein gp120 yang terkait pada protein gp41. Bagian yang secara selektif berkaitan
dengan sel-sel CD4-positif (CD4+) adalah gp120 dari HIV.
Sel-sel CD4+ mencakup monosit, makrofak dan limfosit T4 helper ( yang
dinamakan sel-sel CD4+ kalau dikaitkan dengan infeksi HIV); limfosit T4 helper ini
merupakan sel yang paling banyak diantara ketiga sel diatas. Sesudah terkait dengan
membran sel T4 helper, HIV akan menginjeksikan dua utas benang RNA yang identik
kedalam selT4 helper. Dengan menggunakan enzim yang dikenal sebagai reverse
transcriptase, HIV akan melakukan pemrograman ulang materi genetik dari sel T4
yang terinveksi untuk membuat double-stranded DNA (DNA utas-ganda). DNA ini
akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian terjadi
infeksi yang permanen.
Siklus replikasi virus HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang
terinfeksi diaktifkan. Aktivasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen,
mitogen, sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen vurus seperti
menstimulasi
limfosit
sitokinin,
memproduksi
limfosit
dan
D. MANIFESTASI KLINIS
Manisfestasi klinis penyakit AIDS menyebar luas dan pada dasarnya dapat
mengenai setiap sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi IV dan
penyakit AIDS terjadi akibat infeksi, malignansi dan atau efek langsung IV pada
jaringan tubu. Pembaasan berikut ini di batasi pada manifestasi klinis dan akibat
infeksi IV berat yang paling sering ditemukan
1. Respiratorius
Pneumonia pneumocystis carinii. Gejala napas yang pendek, sesak napas
(dispnea), batuk batuk, nyeri dada dan demam akan menyertai pelbagai infeksi
oportunis, seperti yang disebabkan ole Mycobacterium ovium intracellulare (MAI),
sitomegalovirus (CMV) dan Legionella. Walaupun begitu, infeksi yang paling sering
di temukan di antara penderita AIDS adala pneumonia pneumocystis carinii (PCP)
yang merupakan penyakit oportunis pertama yang dideskripsikan berkaitan dengan
AIDS. Pneumonia ini merupakan menisfestasi pendauluan penyakit AIDS pada 60%
pasien. Tanpa terapi profilaktik, PCP akan terjadi pada 80% orang orang yang
terinfeksi IV. P. Carinii awalny adi klasifikasikan sebagai protozoa; namun, sejumla
penelitian pemeriksaan analisis teradap struktur RNA ribosomnya menunjukan bawa
mikroorganisme ini merupakan jamur (fungus). Kendati demikian, struktur dan
sensitivitaas antimikrobanya sangat berbeda dengan jamur penyebab penyakit yang
lain. P. Carinii anya menimbulkan penyakitpad ospes yang kekebalanya terganggu.
Jamur ini menginvasi yang berpoliferasi dalam alveoli pulmonalis seingga terjadi
konsolidasi parenkim paru.
Gambaran klinis PCP pada pasien AIDS umumnya tidak begitu akut bila di
bandingkan dengan pasien gangguan kekebalan lain. Periode waktu antara awitan
gejala dan penegakan diagnosa yang benar bisa beberapa minggu inga beberapa
bulan. Penderita AIDS pada mula mula anya memperliatkan tanda tanda dan
gejala yang tidak kas seperti demam, menggigil, batuk nonproduktif, nafas pendek,
dispnea dan kadang kadang nyeri dada. PCP dapa di temukan kendati tidak dapat
krefitasi, konsentrasi oksigen dalam dara arterial pada pasien yang bernapas dengan
udara ruangan dapat mengalami penurunan yang ringan; keadaan ini menunjukan
ipoksemia minimal.
Bila tidak di atasi, PCP akan berlanjut dengan menimbulkan kelainan paru
yang signifikan dan pada akirnya, kegagalan pernafasan. Beberapa pasien
memperliatkan awitan yang dramatis dan perjalanan penyakit yang fulminal yang
meliputi ipoksemia berat, sianosis, takipnea dan perubaan stasus metal. Kegagalan
pernafasan dapat terjadi dalam waktu 2 ingga 3 ari setela timbul gejala pendauluan.
Diagnosis pasti PCP dapat di tegakkan dengan mengenali mikroorganisme
dalam jaringan paru atau sekret bronkus. Penegakan diagnosa ini di laksanakan denga
prosedur seperti induksi sputum, lavase bronkial alveolar dan biopsi transbronkial
(melalui bronkoskopi dan optik)
Kompleks mycobakterium avium. Penyakit kompleks mycobakterium
avium (MAC; mycobakterium avium complex) muncul sebagai penyebab utama
infeksi bakteri pada pasien pasien AIDS. Mikroorganisme yang termasuk ke dalam
MAC adala M. Avium, M. Intracellulare dan M. Scrofulaceum. MAC, yaitu suatu
kelompok baksil taan asem, biasanya menyebabkan infeksi pernafasan kendati juga
sering di jumpai dalam traktus gastrointestinal, nodus limfatikus dan sumsum tulang.
Sebagian pasien AIDS suda menderita penyakit yang menyebar luas ketika diagnosis
di tegakkan dan biasanya dengan keadaan umum yang buruk. Infeksi MAC akan di
sertai dengan angka mortalitas yang tinggi.
M. tubercolosis yang berkaitan dengan IV cendrung terjadi di antara pemakai
obat bius IV dan kelompok lain dengan prevalensi infeksi tuberkulosis yang
sebelumnya suda tinggi. Berbeda dengan infeksi oportonis lainnya, penyakit
tuberkulosis (TB) cendrung terjadi secara dini dalam perjalanan infeksi IV dan
biasanya mendaului diagnosa AIDS. Terjadinya tuberkulosis secara dini ini akan di
sertai denga pembentukan granuloma yang mengalami pengkijuan (kaseasi) seingga
timbul kecurigaan keara diagnosis TB. Pada stadium ini, penyakit TB akan bereaksi
dengan baik teradap terafi antituberkulosis. Penyakit TB yang terjadi kemudian dalam
perjalanan infeksi IV di tandai dengan tidakak terdapatnya respon tes kulit tuberkulin
karna sisitem kekebalan yang terganggu suda tidak mampu lagibereaksi teradap
antigen TB. Dalam stadium infeksi IV yang lanjut, penyakit TB di sertai dengan
penyebaranke tempat tempat ekstrapulmoner seperti sistem saraf pusat, tulang,
perikardium, lambung, peritonium, dan skrotum, strain multipel baksil TB yang
resisten obat kini bermunculan dan kerap kali berkaitan dengan ketidakpatuan
pasien dengan menjalani pengobatan antituberkulosis.
2. Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinala penyakit AIDS mencakup ilangnya selera makan,
mual, vometus, kandidiasis oral, serta esofagus, dan diare kronis. Diare merupakan
masla bagi 50% ingga 90% dari keseluruan pasien AIDS. Pada sebagian kasus, gejala
gastrointestinal dapat berubungan dengan efek lansung HIV pada sel sel yang
melapisi intestinum. Sebagian microorganisme patogen enteral yang paling sering di
temukan dan identifikasi dalam pemeriksaan kultur feses atau biovsi intestinum
adalah cryptosporidium muris, salmonella, CMV, Clostridium, difficile, dan M. Avium
intracelluler. Bagi pasien AIDS, diare dapat membawa akibat yang serius
sehubungan dengan terjadinya penurunan berat badanyang nyata (lebih dari 10% berat
badan), gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit ekskoriasi kulit perianal,
kelemahan dan ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan yang biasa dilakukan
dalam kehidupan sehari hari.
Kondidiasis oral, suatu infeksi jamur, hampir terdapat secara universal pada
semua penserita AIDS serta keadaan yang berhubungan dengan AIDS. Infeksi ini
umumnya mendahului infeksi serius lainya. Kandidiasis oral di tandai oleh bercak
bercak putih seperti krim dalam rongga mulut. Kalo tidak di obati. Kandidiasis oral
akan berlanjut dengan mengenai esofagus dan lambung. Tanda tanda dan gejala
yang menyertai mencakup keluahan menelan yang sulit serta nyeri dan rasa skit di
balik sternum (nyeri retrosternal). Sebagai pasien juga menderita lesi oral yang
mengalami ulserasi dan menjadi rentan terutama terhadap penyebaran kandidiasis ke
sistem tubuh yang lain.
Sindrom pelisutan. Sindrom pelisutan (wasting syndrome) kini diikutsertakan
dalam definisi kasus yang di perbarui untuk penyakit AIDS. Kriteria diagnostiknya
mencakup penurunan berat yang tidak di kehendaki yang melampaui 10% dari berat
badan dasar, diare yang kronis selama lebih dari 30 hari atau kelemahan yang kronis,
dan demam yang kambuhan atau menetap tanpa adanya penyakit lain yang dapat
menjelaskan gejala ini. Malnutrisi protein energi yang terjadi bersifat multifaktor.
Pada sebagian keadaan sakit yang berkaitan dengan AIDS, pasiennya akan mengalami
keadaan hipermetabolik di mana terjadi pembakaran kalori yang berlebihan dan
kehilangan lean body mass. Keadaan ini serupa dengan keadaan sters seperti sepsis
serta trauma dan dapat menimbulkan kegagalan organ. Pembedahan antara keadaan
kekeksia (pelisutan) dan malnutrisi atau antara kakeksia dan penurunan berat badan
yang biasa terjadisangat penting mengigat gangguan metabolik pada sindrom
pelusutan tidak dapat di ubah dengan dukungan nutrisi saja.
Anoreksia, diare, malabsorpsi gastrointestinal dan kekurangan gizi pada
penyakit kronis semuanya turut menyebabkan sindrom pelisutan. Kendati demikian,
pelisutan jaringan yang progresif terlihat pula pada pasien dengan gangguan
gastrointestinal yang ringan dan tanpa diare (Medyinski, 1993). TNF (tumor necrosis
faktor) dan interleukin 1 (IL 1 ) merupakan sitokin yang memainkan peranan
penting dalam sindrom pelesutan yang berhubungan dengan AIDS. Keduanya bekerja
langsung pada hipotalamus untuk menimbulkan anoreksia. Demam yang di timbulkan
oleh sitikin akan mempercepat metabolisme sebanyak 14% untuk kenaikan suhu
sebesar 1 F. TNF menyebabkan pengguanaan lipid yang tidak efesien dengan
menurunkan jumlah enzim yang di perlukan untuk metabolisme lema. Sementara IL
1 memicu pelepasan asam aminodari jaringan otot. Penderita AIDS pada umumnya
mengalami peningkatan metabolisme lemak yang mengakibatkan terjadinya
penurunan yang signifikan pada lean body mass sebagai akibat dari pemecahan
protein dan otot.
Hipertrigliseridemia yang terlihat pada penderita AIDS di sebabkan oleh
kenaikan kadar sitokin yang terjadi secara menahun dan dapat bertahan pada
penderita AIDS selama berbulan bulan tanpa menimbulkan pelisutan jaringan serta
kehilangan lean body mass. Infeksi dan keadaan sepsis yang menyebabkan kenaikan
sepintas kadar TNF, IL 1 dan mediator sel lainya di atas kadar yang sudah
meninggisecara menahun umumnya akan terlihat; kenaikan sepintas kadar TNF dan
IL 1 inilah yang memicu pelisutan otot.
3. Kanker
Penderita AIDS memiliki insidensi penyakit kanker yang terjadi lebih tinggi dari
insiden yang biasa terjadi. Keadaan ini mungkin terjadi dengan stimulasi HIV
terhadap sel sel kanker yang sedang tumbuh atau berkaitan dengan defisiensi
kekebalan yang memungkinkan substansi penyebab kanker, seperti virus, untuk
mengubah bentuk sel sel yang rentan menjadi sel sel malignan. Sarkoma kaposi,
tife tertentu limfoma sel-B dan karsinoma serviks yang invasif di ikutsertakan dalam
klasifikasi CDC untuk kelainan malingnitas (malingnansi) yang berhubungan dengan
AIDS. Karsinoma kulit, lambung pangkreas, rektum dan kandung kemih juga lebih
sering di jumpai dari pada yang di perkirakan dari pasien pasien AIDS.
Limfoma Sel-B. Limpoma sel-B merupakan malignansi paling sering kedua yang
terjadi di antara paisen pasien AIDS. Limpoma yang berkaitan dengan AIDS
biasanya berbeda yang terjadi dalam populasi umum. Penderita AIDS biasanya
berusia jauh lebih muda dari pada populasi biasa yang terkena limpoma hodgkin
(NHL) di samping itu limpoma yang berkaitan dengan AIDS cendrung berkembang di
luar kelenjar limfe; limpoma ini paling sering di jumpaipada otak. Sumsum tulang dan
traktus gastrointestinal. Timpo limpoma ini secara khas memiliki derajat yang lebih
tinggi yang menunjukan sifat yang lebih agresif yang resisten terhadap terapi.
Perjalanan limpoma yang berkaitan dengan AIDS mencakup lokasi organ terkena
yang multipel dan komplikasi yang berkaitan dengan terjadinya infeksi oportunis.
Meskipun kemotrapi kombinasi yang agresif kerap kali memberikan hasil yang baik
pada limpoma non-hodgkin yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV, namun
kemotrapi kombinasi ini kurang membawa hasil pada penderita HIV
karna
toksisitasnya yang hebat pada hematologi dan adanya komplikasi infeksi oportunis
yang terjadi akibat terapi.
4. Neurologik
Di perkirakan dari 80% dari semua pasien AIDS yang mengalami bentuk kelainan
neurologik tertentu selama perjalanan infeksi HIV. Banyak kelainan neuropatologik
yang kurang di laporkan mengingat pasien pasien tersebut dapat menderita kelainan
neurologik tanpa tanda tanda atau gejala yang jelas. Komlikasi neurologik tanpa
tanda tanda atau gejala yang jelas. Komplikasi neurologik meliputi fungsi saraf
sentral., perifer dan autonom. Gangguan langsung neurologik dapat terjadi akibat efek
langsung HIV pada jaringan sistem saraf, infeksi oportunis, neuplasma primer atau
metastatik, perubahan serebrovaskuler, ensefalopati metabolikatau komplikasi
sekunder karna terapi. Respons sistem imun terhadap infeksi HIV dalam sistem saaraf
pusat mencakup inplamasi, atrofi, demielinisasi, degenerasi dan nekrosis.
Ensefelopati HIV. Disebut juga sebagai kompleks demensia AIDS (ADC;
AIDS demensia compleks), ensefelopati HIV terjadi sedikitnya pada dua pertiga
pasien pasien AIDS. Bukti akhir menunjukan bahwa kompleks demensia AIDS
tersebut merupakan akibat lansung infeksi HIV. HIV di temukan dalam jumlah yang
besar dalam otak maupun dalam cairan serebrospinal pasien pasien ADC. Sel sel
otak yang terinfeksi HIV di dominasi oleh sel sel CD4+ yang berasal dari
monosit/magrofak. Infeksi HIV di yakini akan memicu toksin atau limfokin yang
mengakibatkan disfungsi seluler atau yang menganggu fungsi neurotransmiter
ketimbang menyebabkan kerusaakan seluler. Keadaan ini berupa sindrom klinis yang
di tandai oleh penuruna progresif pada fungsi kognitif, prilaku dan motorik. Tanda
tanda dan gejalanya dapat samar samar serta sulit di berikan dengan kelelahan,
depresi atau efek terapi yang merugikan terhadap infeksi dan malignansi.
Manifestasi dini mencakup bagian daya ingat, sakit kepala, kesulitan
berkonsentrasi, apatis dan ataksia. Stadium lanjut mencakup gangguan kognitif
global, kelambatan dalam respon verbal, gangguan afektif seperti pandangan yang
kosong, hiperrefleksi paraparesis spastik, pskosis, halusinasi, tremor, inkontininsia,
serangan kejang, mutisme dan kematian. Tindakan memastikan diagnosise nsefalopati
HIV mungkin sulit di lakukan. Evaluasi neurologik ekstensif mencaakup pemindahan
CT yang dapat menunjukan atrofi serebral yang difusi dan pelebaran ventrikulus.
Pemeriksaan lain yang dapat mendeteksi abnormalitas adalah MRI (magnetic
resonace imaging), analisis cairan serebrospinal melali fungsi lubal dan biopsi otak.
Cryptococcus neoformans. Infeksi jamur, yaitu Cryptococcus neoformans,
merupakan infeksi oportunis paling sering keempat yang terdapat di antara pasien
pasien AIDS dan penyebab infeksi paling sering ketiga yang menyebabkan kelainan
neurologik. Meningitis kriptokokus di tandai oleh gejala seperti demam/panas, sakit
kepala, keadaan tidak enak badan (malaise), kaku kuduk, mual, vomitus, perubahan
status metal dan kejang kejang. Diagnosis di tegakan dengan analisis cairan
serebrospinal.
Leukoensefalopati Multifokal Progresif (PML) merupakan kelainan sistem saraf
pusat dengan demielinisasi yang di sebabkan oleh virus J.C (di beri nama demikian
menurut nama pasien yang kulturnya menumbuhkan virus tersebut); virus ini
menginfeksi oligodendroglia. PML mengenai kurang lebih 3% pasien pasien
AIDS. Manisfestasi klinis dapat di mulai dengan konfusi metal dan mengalami
k(paralisis ringan) serta kematian infeksi sistem saraf yang sering ditemukan lainya
adalah Toxoplasma gondii, CMV dan M. Tuberculosis.
Kelainan neurologik lainya. Manifestasi neurologik lain mencakup neuropati
sentral dan perifer. Mielopati vaskuler merupakan kelainan degeneratif yang
mengenai kolumna lateralis dan posterior medulla spinalissehingga terjadi paraparesis
spastik
proggresiva,
ataksia
serta
inkontinensia.
Neuropati
perifer
yang
5. Struktur integumen
Manifestasi kulit menyertai infeksi HIV dan infeksi opportunis serta malignasi
yang mendampinginya. Infeksi opportunis seperti herpes zoster herpes simpleks akan
disertai dengan pembentukan vesikel yang nyeri yang merusak integritas kulit.
Moluskum kontagiosum merupakan infeksi virus yang ditandai oleh pembentukan
flak yang disertai deformitas. Dermatitis seboreika akan disertai ruam yang difus,
bersisik dengan indurasi yang mengenai kulit kepala serta wajah. Penderita AIDS juga
dapat memperlihatkan folikulitis menyeluruh yang disertai dengan kulit yang kering
dan mengelupas atau dengan dermatitis atopik seperti ekzema atau psoriasis. Hingga
60 % penderita yang diobati dengan trimetroprimsulfametoksazol(TMP/SMZ) untuk
mengatasi pneumonia pneumocytis carinii akan mengalami ruam yang berkaitan
dengan obat dan berupa pruritis yang disertai pembentukan papula serta makula
berwarna merah muda. Terlepas dari penyebab ruam ini, pasien akan mengalami
gangguan rasa nyaman dan menghadapi peningkatan resiko untuk menderita infeksi
tambahan akibat rusaknya keutuhan kulit.
6. Manifestasi klinis spesifik pada wanita
Kandidiasis vagina yang persisten atau recuren dapat menjadi tanda pertama
yang menujukan infeksi HIV pada wanita. Ulkus genitalis yang terjadi dimassa lalu
dan sekarang merupakan faktor resiko bagi penularan infeksi HIV. Wanita dengan
infeksi HIV lebih rentan terhadap ulkus genitalis serta kandiloma akumimata
(venereal warts), dan akan mengalami peningkatan frekuensi serta kekambuhan kedua
penyakit kelamin tersebut. Penyakit menular seksual
syangkroid,sifilis dan herpes
yang ulseratif
seperti
semakin bertambah jelas bahwa wanita yang menderita infeksi HIV memiliki
kemungkinan 10 kali lebih besar untuk menderita neoplasia intraepitel serviks dari
pada wanitayang tidak terinfeksi HIV. Antara hasil sediaan apus papanicoloau yang
abnormal dan hasil HIV seropositif dengan karsinoma serviks akan ditemukan dengan
stadium penyakit yang lebih lanjut dan menderita penyakit yang lebih persisten serta
rekuren dengan interval yang lebih singkat untuk terjadinya kekambuhan dan
kematian bila dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita infeksi HIV(gibbs &
zeeman,1993)
E. PATHWAY
F. KOMPLIKASI
1. Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis (PCP) jarang dijumpai pada orang sehat yang
memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang
terinfeksi HIV.
Penyebab penyakit ini adalah fungi/jamur Pneumocystis jirovecii. Sebelum
adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negaranegara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara
berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang
yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika
jumlah CD4 kurang dari 200 per L.
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya
yang terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten)
melalui rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah
diidentifikasi, dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui
terapi pengobatan. Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat
merupakan masalah potensial pada penyakit .
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang
karena digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya,
namun tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV
paling banyak ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per
L), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia
sering muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya
(tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik
(konstitusional) dan tidak terbatasi pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV
sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati,
kelenjar getah bening (nodus limfa regional), dan sistem syaraf pusat.Dengan
demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya
penyakit ekstrapulmoner.
2. Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur
makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini
terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau
yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh
virus DNA penyebab mutasi genetik,yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus
herpes Sarkoma
Kaposi
(KSHV),
dan
virus papiloma
manusia
(HPV).
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi
HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah
salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari
subfamili gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia yang juga disebut virus
herpes Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk
bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran
pencernaan, dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang
menyerang sel darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya
seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like
lymphoma), diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf
pusat
primer,
lebih
sering
muncul
pada
pasien
yang
terinfeksi
HIV.
Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi (prognosis) yang buruk. Pada
beberapa kasus, limfoma adalah tanda-tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian
besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS.
Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin,
kanker usus
besar
bawah
(rectum),
dan kanker
anus.
Namun demikian, banyak tumor-tumor yang umum seperti kanker payudara dan
kanker usus besar (colon), yang tidak meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi
HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi antiretrovirus yang sangat aktif (HAART)
dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai kanker yang berhubungan dengan
AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker kemudian menjadi penyebab
kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi HIV.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Tes Laboratorium
Tes atau pemeriksaan laboratorium kini digunakan untuk mendiagnosa HIV
dan memantau perkemnbangan penyakit serta responya terhadap terapi pada orang
yang terinfeksi HIV
2. Tes Antibodi HIV
Ada tiga buah tes untuk memastikan adanya antibodi terhadap HIV dan
membantu mendiagnosis infeksi HIV. Tes Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA)mengidentifikasi antibodi secara spesifik ditujukan kepada virus HIV. Tes
ELISA tidak menegakan diagnosis penyakit AIDS tetapi lebih menunujukan bahwa
seseorang pernah terkena atau terinfeksi virus HIV. Orang yang darahnya
mengandung antibodi untuk HIV disebut orang yamg seropositif. Pemeriksaan
Western Blot Assay merupakan tes lainnya yang dapat mengenali tes antibodi HIV
dan digunakan untuk memastikan seropositivitas seperti yang teridentifikasi lewat
prosedur ELISA. Indirect Immunofluorescence Assay (IFA)kini sedang digunakan
oleh sebagian dokter sebagai pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan
seropositivitas. Tes lainnya yaitu Radioimmunoprecipitation Assay (RIPA), lebih
mendeteksi protein HIV ketimbang antibodi.
3. Pelacakan HIV
Penentuan lansung dan keberadaan aktivitas virus HIV digunakan untuk
melacak perjalanan penyakit tersebut di samping menilai responnya terhadap terapi.
Protein inti virus disebut sebagai p24.pemeriksaan p24 antigen capture assay sangat
spesifik untuk HIV- 1. Namun demikian, kadar p24 pada penderita infeksi HIV yang
asimtomatik sangat rendah. Pasien dengan titer p24 yang terukur memiliki keadaan
yang berlanjut lebih cepat menjadi penyakit AIDS. Pemeriksaan p24 antigen capture
assay telah digunakan bersama tes lainnya seperti CD4+ untuk mengevaluasi efek
terapi preparat antivirus. Pemeriksaan ini kini dalam uji klinis obat sudah digantikan
dengan suatumproses yang dikenal sebagai reaksi rantai polimerase (PCR
:polymerase chain reaction). PCR yang juga dinamakan amplifikasi gen dipakai
untuk mendeteksi RNA virus HIV atau DNA provirus. Salah satu kekurangan pada
pemeriksaan ini adalah bahwa hasil tes false positif dapat terjadi jika reagen yang
digunakan sudah terkontaminasi. Belakangan ini PCR dipakai untuk mendeteksi virus
HIV pada orang orang dengan seronegatif HIV yang beresiko tinggi sebelum
timbulnya antibodi. Disamping itu PCR juga dipakai untuk memastikan hasil tes
ELISA yang positif, memantau beban virus atas waktu, melakukan skrinning bagi
neonatus dan menentukan strain virus yang ada. Pemeriksaan kultur HIV atau
kultur plasma kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes tambahan yang
mengukur beban virus (viral burden)
Tes lainnya dapat dilakukan untuk memantau status imun dan perjalanan
penyakit HIV ialah mikroglobulin B2 yang hasilnya protein meningkat bersamaan
dengan berlanjutnya penyakit. Yang kedua neoptein serum hasilnya kadar meningkat
dengan berlanjutnya penyakit
4. Kategori klinis .
Kategori klinis A terdiri ats satu atau lebih keadaan yang tercantum dalam
kategori A tanpa keadaan apapun yang tercantum dalam keadaan B dan C. Kategori
B terdiri atas berbagai keadaan simtomatik pada penderita infeksi HIV yang tidak
termasuk dalam keadaan yang tercantum dalam kategori C. Semua keadaan ini harus
pula memenuhi salah satu kriteria berikut ini : (1)keadaan tersebut disebabkan oleh
infeksi HIV atau oleh defek pada imunitas seluler (2)keadaan tersebut harus di anggap
memilki sebuah perjalanan klinis atau memerlukan penanganan yang dipersulit oleh
infeksi HIV. Jika seseorang pernah diobati untuk keadaan kategori B dan belum
berkembang pada kategori C tetapi kini asimtomatik,maka sakit orang itu harus di
anggap kategori B. Kategori C mencakup keadaan klinis yang tercantum dalam
definisi kasus surveilans AIDS. Begitu seseorang telah menunjukan keadaan dalam
kategori C daftar kisaran sel CD4+ dan keadaan klinis untuk kategori A,B dan C
dapat dilihat di bawah ini
Sistem klasifikasi untuk infeksi HIV dan definisi kasus surveilans AIDS yang
diperluas bagi pasien remaja dan dewasa
Kategori Kategori
klinis
sel T CD4 +
Kategori klinis
A
Indikator - AIDS
(1)500/ l
A1
B1
C1
(2)200 499 /L
A2
B2
C2
(3) <200 L
A3
B3
C3
Indikator AIDS
Jumlah sel T
Sejak 1 januari 1993,orang orang dengan keadaan yang merupakan indikator AIDA
(kategori klinik C)dan orang orang yang termasuk dalam kategori A3 dav B3 di
anggap menderita penyakit AIDS
Kategori klinis A
Mencakup satu atau ebih keadaan berikut ini pada seseorang dewas atau remaja
dengan infeksi HIV yang sudah dipastikan dan tanpa keadaan dalam kategori klinis B
dan C
Infeksi HIV (primer) yang akut dengan keadaan sakit yang menyertai atau
riwayat infeksi HIV yang akut
Kategori klinis B
Contoh contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup(tetapi tidak terbatas
pada):
Angiomatosis baksilaris
Listeriosis
Neuropati perifer
Kategori klinis C
Contoh contoh keadaan pasien dewasa dan remaja mencakup :
Kriptokokosiss ekstrapulmoner
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Upaya penanganan medis meliputi beberapa cara pendekatan yang mencakup penanganan
infeksi yang berhubungan dengan HIV serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV
lewa praparat antivirus dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui penggunaan
preparat imonomodulator. Perawatan suportif mengupakan tindakan yang penting karena efek
infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien, efek
tersebut mencakup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan, imobilitas dan perubahan status
mental.
klinis
ketika
diobati
dengan
TMP-SMZ
petugas
kesehatan
dapat
hingga berat, namun demikian, data data yang membenarkan penggunaan kortikosteroid
untuk terapi PCP yang ringan atau terapi penyelamatan masih belum ada.
Kompleks Mycobacterium avium. Terapi kompleks Mycobacterium avium (MAC.
Mycobacterium avium complex) masih belum ditentukan dengan jelas dan meliputi
penggunaan lebih dari satu macam obat selama periode waktu yang lama. Terapi kombinasi
dengan etambutol, rifampin, klofazimin (lamprene) dan siprofloksasin (Cipro) dengan atau
tanpa amikasin ternyata disertai dengan efek toksisistas obat, tidak menghasilkan
kesembuhan secara bakterial dan juga memberikan prognosis penyakit yang buruk.
Klaritromosin (Biaxin) dan azitromisin (Zithromaza0 yaitu preparat antibiotik yang lebih
baru dalam pengobatan multidrug, sedang dievaluasi efektivitasnya dalam pengobatan MAC,
Rifabutin ternyata efektif untuk mencegah MAC. Rifabutin ternyata efektif untuk mencegah
MAC pada penderita infeksi HIV dengan jumlah sel CD4 + sebesar 200/MM2 atau kurang.
Meningtis. Terapi primer yang mutakhir untuk meningtis kriptokokus adalah
amforerisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau flukonazol (diflucan). Keadaan pasien
harus dipantau untuk mendeteksi efek yang potensial merugikan dan serius dari amfoterisin
B, yang mencakup rekasi anafilaksis, ganguan renal serta hepar gangguan keseimbangan
elektrolit, anemia, panas dan menggigil. Pemberian amfterisin B intratekal telah digunakan
sebagai pengganti pemberian intravena atau dalam bentuk kombinasi dengan pemberian
intravena pada pasien paien yang tidak responsif terhadap cara terapi yang terakhir
antifungus yang baru itu disetujui dan digunakan untuk terapi supresif seumur hidup,
kejadian relaps yang frekuen dan angka mortalitas yang tinggi kerapkali mengharuskan terapi
yang lama dengan amfoterisi B IV. Pada sebagian kasus, pasien terus mendapatkan
amfoterisin B IV di rumah. Preparat flukonazol oral digunakan sebagai terapi supresif kalau
pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang negatif untuk mikroorganisme
tersebut. Obat ini tidak begitu toksik dan lebih ditoleransi oleh pasien ketimbang amfiterisin
B.
Retinitis
Sitomegalovirus.
Retinitis
yang
disebabkan
oleh
Sitomegalovirus
waktu 1 bulan. Pada awalnya gansiklovir disuntikkan IV setiap 8 hingga 12 jam sekali selama
2 hingga 3 minggu. Terapi pemeliharaan diberikan sekali sehari selama 5 hingga 7 CMV
tetap berlanjut sekalipun terapi berikan. Efek merugikan yang membuat pendidikan pasien
dan pemantauan rataw jalan sangat penting adalah supresi sumsum tulang (yang akan
menurunkan jumlah sel darah putih dan tombosit), kandidiasis oral dan gangguan hepar serta
ginjal.
Akses vena jangka panjang harus dibuat dan kepada pasien serta orang yang
merawatnya perlu diajarkan teknik pemberian gansiklovir di rumah. Reaksi merugikan yang
sering terjadi pada pemberian gansiklovir adalah neutropenia berat yang membatasi
penggunaan zidovudin (ZDV, AZT) bersama gansiklovir. Bagi pasien yang tidak dapat
mentolerir pemberian gansiklovir secara sistemik karena terjadinya neuropenia yang berat,
infeksi pada lokasi akses vena atau kerharusan untuk memakai zidovudin, maka penyuntikan
gansiklover dirumah. Reaksi merugikan yang sering terjadi pada pemberian gansiklover
adalah neutropenia berat yang membatasi penggunaan zidovudin (ZDV, AZT) bersama
gansiklovir. Bagi pasien yang tidak dapat mentolerir pemberian gansiklovir secara sistemik
karena terjadinya neutropenia yang berat, infeksi pada lokasi akses vena atau keharusan
untuk memakai zidovudin, maka penyntikan gansiklovir intravitreus merupakan terapi yang
efektif. \
retinitis CMV, disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Terapi
pemeliharaan diberikan selama 2 hingga 3 jam sebanyak lima kali seminggu. Preparat ini
dapat diberikan bersama zidovudin. Rekasi merugikan yang lazim terjadi pada pemberian
foskarnet adalah nefrotoksisitas yang mencakup gagal ginjal akut dan gangguan
keseimbangan
elektrolit
yang
mencakup
hipoklasemia,
hiperfosfatemia
serta
hipomagnesemia semua keadaan ini dapat membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang
lazin dijumpai adalah serangan kejang kejang ganggungan gastrointestinal, anemia, flebitis
pada tempat infus dan nyeri punggung bawah. Obat obat yang lain yang sedang dievaluasi
untuk terapi retinitis CMV adalah asiklovir (Zovirax), alfainterferon dan terapi kombinasi
dengan gansiklovir (Cytovene) serta immune globulin.
Keadaan Lain, asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati ensefalitis
yang disebabkan oleh herpes simpleks atau herpes zoster. Pirimetamin (Daraprim) dan
sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCI) digunakan untuk pengobatan maupun terapi
supresif seumur hidup bagi infeksi Toxoplasmosis gonddi. Kandidiasis esofagus atau oral
diobati secara topikal dengan obat isap (troches) orang diobati secara topikal dengan obat
isap (troches) oral klotrimazol (Mycelex) atau suspensi nistatin. Infeksi kronis yang
membandel oleh kandidiasis (thrush) atau lesi esofagus diobati dengan ketokonazol atau
flukonazol.
Pelaksanaan Diare Kronik
Meskipun banyak bentuk diare yang infeksius akan beraksi terhadap pengobatan,
namun infeksi tersebut tidak jarang terjadi kembali sehingga menjadi masalah kronik. Terapi
dengan oktreotid
efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik. Kosentrasi reseptor somatostatin yang
tinggi ditemukan dalam traktus gastrointestinal maupun jaringan lainnya. Somatostatin akan
menghambat banyak fungsi fisiologi yang mencakup motilitas gastroitestinal dan sekresi
intestinal air serta elektrolit.
Penatalaksanaan Sindrom Pelisutan
Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencakup penanganan penyeban yang mendasari
infeksi oportunis sistemik maupun gastrointestinal. Malnutrisi sendiri akan memperbesar
risiko infeksi dan dapat pula meningkatkan insidens infeksi oportunis. Terapi nutrisi harus
disatukan dalam keseluruhan rencana penatalaksanaan dan harus disesuaikan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi pasien, terapi bisa dilakukan mulai dari diet oral dan pemberian
makanan lewat sonde (terapi nutrisi enteral) hingga dukungan nutrisi parenteral jika
diperlukan. Sebagaimana halnya dengan semua pasien, diet seimbang merupakan HIV jumlah
kalori yang diperlukan harus dihitung bagi semua penderita AIDS dengan penurunan berat
badan yang tidak jelas penyebabnya, penghitungan jumlah kalori ini dilakukan untuk
mengevaluasi status nutrisi pasien dan memulai terapi nutrisi yang tepat. Tujuannya adalah
untuk mempertahankan berat badannya. Pedoman berikut ini dapat dipakai untuk menghitung
jumlah kalori dan asupan protein yang diperlukan (Hoyt & Staats, 1991):
Suplemen oral dapat diberikan untuk melengkapi diet yang kurang mengandung kalori dan
protein. Idealnya suplemen oral tersebut harus bebas laktosa (banyak pasien infeksi HIV yang
menderita intoleransi lakdisa), tinggi kalori dan protein yang mudah dicerna, rendah lemak
dengan mengandung lemak yang mudah dicerna, selain itu supelem oral harus pula memiliki
citarasa yang enak, tidak mahal dan dapat diterima pasien tanpa menimbulkan diare. Advera
merupakan suplemen nutrisi yang dibuat khusus untuk penderita infeksi HIV dan penyakit
AIDS. Nutrisi parenteral merupakan pilihan akhir karena biayanya yang tinggi dan resiko
yang menyertainya, termasuk infeksi.
Penggunaan preparat stimulan selera makan memberikan hasil yang memuaskan pada
pasien-pasien anoreksia yangberhubungan dengan penyakit AIDS. Megastrol asetat (Megace)
yaitu suatu preparat sintetik progesteron oral yang digunakan untuk pengobatan kanker
payudara, akan menggalakkan kenaikan berat badan yang signifikan dan menghambat sitesis
sitokin IL-1. Preparat ini sudah digunakan pada penderita infeksi HIV. Penggunaannya akan
meningkatkan berat badan terutama dengan menaikkan simpanan lemak tubuh. Dronabinol
(Marinol) merupakan preparat sitetik tetrahidrokanabinol (THC) yang merupakan unsur aktif
dalam marijuana. Preparat ini dapat diberikan untuk mengurangi mual dan vomitus yang
berkaitan dengan kemoterapi kanker. Hasil hasil pendahuluan memperlihatkan bahwa
sesudah terapi Marinol dimulai hampir semua pasien infeksi HIV akan mengalami kenaikan
berat badan yang cukup berarti (Gorter 1991: Medynski, 1993). Efek preparat ini pada
komposisi tubuh tidak diketahui.
Penanganan Keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit kerena sangat beragamnya gejala dan
sistem organ yang terkena. Sarkoma Kaposi jarang mengancam jiwa penderitanya kecuali
bila mengenai paru atau saluran cerna. Tujuan terapinya adalah untuk mengurangi gejala
dengan memperkecil ukuran lesi pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang
berkaitan dengan edema serta ulserasi dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan
lesi mukosa serta organ viseral. Tidak ada satu pun terapi sistemik yang terbukti mampu
meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Terapi lokal mencakup eksisi lesi atau pengolesan
nitrogen cair pada lesi kulit setempat dan penyuntikan lesi intraoral akan disertai rasa nyeri
dan iritasi setempat. Hingga saat ini, kemoterapi yang paling efektif tampaknya berupa ABV
(adriamisin, bleomisin dan vinkristin). Mielosupresi yang signifikan terjadi pada 40% hingga
50% pasien yang menjalani terapi ini dengan peningkatan insidens infeksi oportunis sebesar
30%. Terapi raiasi sama efektifnya seperti tindakan paliatif untuk meringankan nyeri lokal
akibat masa tumor (khususnya pada tungkai) atau untuk mengatasi sarkoma Kaposi yang
menimbulkan deformitas atau perubahan anatomis yang tidak menyenangkan.
Alfa interferon untuk Sarkoma Kaposi. Interferon dikenal karena efek anti virus dan
antirumor yang dimilikinya. Paseien yang diobati dengan alfa interferon untuk mengatasi
sarkoma Kaposi kutaneus akan mengalami regresi tumor dan perbaikan fungsi sistem imun.
Respons yang positif terlihat pada 30% hingga 50% pasien, dengan respons terbaik pada
mereka yang penyakitnya terbatas dan tanpa infeksi oportunis. Alfa interferon dapat
diberikan intravena, intramuskuler atau subkutan. Pasien dapat menyuntikkan sendiri preparat
interferon dapatd diberikan intravena, intramuskuler atau subkutan, pasien dapat
menyuntikkan diri sendiri preparat interferon di rumah atau mendapatkannya pada klinik
rawat jalan . petunjuk tentang cara penyuntikan yang benar dan penanganan efek yang
merugikan harus diberikan oleh perawat.
Limfoma keberhasilan terapi limfoma yang berhbungan dengan AIDS sangat terbatas
mengingat progresivitas malignansi ini yang cepat. Kombinasi kemoterapi dengan terapi
radiasi akan mencapai angka respons sebesar 50% dengan durasi yang pendek secara nyata.
Karena terapi standar untuk limfoma non AIDS tidak efektif banyak praktisi menganjurkan
agar limfoma yang berhubungan dengan AIDS dipelajari sebagai suatu kelompok tersendiri
dalam uji klinis.
Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui oleh FDA untuk
pengobatan infeksi HIV, keempat preparat tersebut adalah zidovudan (ZDV: dahulu disebut
azidotimidin (AZT) atau Retrovir), dideoksinosin atau didanosin (ddl (Videx) atau retrovir),
dideoksidosin atau didanosin (ddl (Videx), didieksisitidin (ddC). Semua obat ini menghambat
kejra enzim reverse transriptase virus dan mengedah reproduksi virus HIV dengan cara
meniru salah satu subtansi molekuler yang digunakan virus tersebut untuk membangun DNA
bagi partikel partikel virus baru. Dengan mengubah komponen struktural rantai DNA,
produksi virus yang baru akan dihambat,
Zidovudan. Penemuan zidovudan sangat signifikan dalam memerangi penyakit AIDS.
Pada tahun 1987, FDA menyetujui penggunaan zidovudan untuk pengobatan infeksi
HIV/AIDS yang berat. Pada tahun 1990, zidovudan disetujui FDA untuk penggunaan yang
lebih awal dalam perjalanan infeksi terebut sebelum terjadi imonosupresi yang berat. Pada
tahun 1994, penggunaannya pada wanita hamil dengan HIV positif disetujui untuk
memperkecil risiko penularan perinatal infeksi virus tersebut.
Imunomodulator
Untuk melawan penyakit AIDS bukan hanya diperlukan preparat yang akan
menghambat pertumbuhan virus, tetapi juga preparat yang akan memulihkan atau
menguatkan sistem imun yang rusak. Preparat oral alfa-interferon dosis rendah (IFN-alfa)
kini sedang diuji untuk meneliti sifat-sifat antivirusnya disamping kemampuannya dalam
menstimulasi sel-sel makrofag dan limfosit sel-T. Sebagaimana dibahas sebelumnya dalam
bab ini, preparat parenteral alfa-interferon juga digunakan untuk mengobati sarkoma kaposi
kutaneus. Substansi lain yang sedang dievaluasi peranannya dalam stimulasi makrofag dan
limfosit mencakup interleukin 2, isoprinosin, dietilditiokarbama; (DTC), lentinan dan G-CSF
(granulocyte macrophage colony-stimulating factor). Sebagaimana dibicarakan sebelumnya,
G-CSF
Efek samping
nukleosida-inhibitor
reverse
transcriptase
Animea, granulositopenia, mual, gangguan
Zidovudin(ZDV) (retrovir)
miositis,
demam,
atau
panas,
menggigil
Zaltisabin, dideoksisitidin
(ddc) (HIVID)
Inhibitor
reverse
transcriptase
nukleosida
Foskarnet(foskarvir)
otot,
kegagalan
renal,
kenaikan
kadar
Serta pendidikan yang tepat kepada pasien, dan turut berpartisipasi,dalam mengumpulkan
data data untuk uji klini
Vaksin merupakan substansi yang memicu projaduksi antibody dalam upaya untuk
menghancurkan mikroorganisme penyerang. Para ahli riset telah dan sedang bekerja untuk
mengembangkan vaksin bagi virus HIV sejak virus tersebut ditemukan,. Beberapa uji vaksin
kini tengah dilakukan pada para relawan manusia yang seronegatif. Karena sifat dan prilaku
virus HIV yang kompleks, kebanyakan ilmuan yang sepakat bahwa vaksin untuk virus HIV
masih belum akan tersedia dalam beberapa tahun ini. Tanpa adanya pedoman untuk
mengembangkan perlindungan jangka-panjang, terhadap infeksi HIV, kita tidak mengetahui
tipe respon imun apa (yaitu, antibodi yang menetralkan limfosit T sitotoksik atau keduanya)
yang diperlukan untuk memberikan perlindungan secara penuh. Masalah lain yang perlu
dipertimbangkan
dalam
mengembangkan
dan
menguji
sebuah
vaksin
adalah
pengidentifikasian populasi penelitian yang tepat. Sebagai contoh, kita mungkin sulit
menentukan apakah penurunan angka infeksi pada kelompok homoseksual pria terjadi akibat
penggunaan vaksin atau akibat perubahan praktik seksual sebagai hasil dari upaya
penyuluhan yang masif. Penelitian terhadap kelompok pemakai obat bius IV selama beberapa
tahun dalam uji vaksin kemungkinan besar juga sulit terlaksana karena orang orang ini sering
tidak memiliki tempat tinggal yang tetap dan terlibat dalam aktivitas yang gelap. Akhirnya
terdapat pula beberapa masalah hukum dan etika, termasuk pertanggungjawaban pabrik
pembuat vaksin, kemungkinan timbulnya seropositivitas AIDS pada subjek penelitian dan
munculnya efeksamping yang serius
Perawatan pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun sebagai
akibat dari sakit kronik yang berkaitan dengan infeksi HIV memerlukan banyak macam
perawatan suportif. Dukungan nutrisi merupakan tindakan sederhana seperti membantu
pasien dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan
gangguan
malabsorpsi saluran cerna, yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan pemberian
makanan melalui pembuluh darah seperti nutrisi parental total. Gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit yang terjadi akibat mual, vomitus, dan diare hebat kerapkali memerlukan
terapi pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi pada kulit yang berkaitan
dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan imobilitas ditangani dengan perawatan
kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini mencakup tindakan membalikan tubuh pasien
secara teratur membersihkan dengan mengoleskan salep obat serta menutup lesi dengan kasa
steril.
Gejala paru seperti dispnea dan nafas pendek mungkin berhubungan dengan infeksi,
sarkoma kaposi serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan terapi
oksigen, pelatihan relaksasi dan tehnik-tehnik penghemat tenaga. Pasien dengan gangguan
fungsi pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasa nyeri
yang menyertai lesi kulit, keram perut, neuropati perifer/ sarkoma kaposi dapat diatasi dengan
preparat analgetik yang diberikan secara teratur dalam 24jam. Tehnik relaksasi dan guided
imagery (terapi psikologi dengan cara imajinasi yang terarah) dapat membantu mengurangi
rasa nyeri dan kecemasan pada sebagian pasien.
Terapi alternatif
Ilmu kedokteran barat tradisional memfokuskan perhatiannya pada pengobatan
penyakit.pengobatan atau intervensi ini di ajarkan pada sekolah kedokteran dan di gunakan
oleh para dokter dalam merawat pasien-pasien mereka.terapi alte rnatif di pandang sebagai
cara-cara terapi yang non-konvensional dan non-ortodok sehingga tidak sama seperti yang
ajarkan secara tradisional di sekolah kedokteran .terapi alternative menekankan perlunya
penanganan secara utuh sebagai satu kesatuan dan mengakui adanya intraksadanya intraksi
tubuh ,jiwa dan roh.apa yang di anggap sebagai terapi alternatif dalam salah satu budaya
mungkin merupakan terapi tradisional dalam budaya lain.pengguna terapi alternatif pada
penyakit HIV dan penyakit AIDS mungkin terjadi karna harapan yang keliru pada terapi
medis standar yang sampai pada saat ini belum menghasilkan ksembuhan bagi penyakit
tersebut.bersama dengan terapi medis tradisional,terapi alternative mungkin dapat
memperbaiki kesejahteraan pasien secara keseluruhan.
Terapi alternatif dapat di bagi empat kategori.1)terapi spiritual yang mencangkup
tumor,hypnosis,kesembuhan karna iman kepercayaan (faith healing),guided imagery dan
afirmasi positif.2)terapi nutrisi yang mencangkup diet vegetarian mak-obiotik, suplemen
vitamin c atau beta- karoten dan kunir/kunyit (suatu umbi tanaman yang digunakan sebagai
penyedap makanan) yang mengandung curcumin. Obat tradisional cina seperti campuran
herbal tradisional serta senyawa Q (ekstrak ketimun cina) dan monmordica harantia (bitter
malon) yang diberikan sebagai enema juga digunakan dalam terapi alternative. (3) terapi obat
dan biologik termasuk obat-obat yang pemakaiannya tidak disetujui oleh FDA. Contoh terapi
ini adalah N-setiisistein (NAC), pentoksifilin (Trental) dan I-kloro-4-dinetrobenzena
(DNCB). Yang juga termasuk dalam kategori ini adalah terapi oksigen, terapi ozon dan terapi
rin. (4) terapi dengan tenaga fisik dan alat yang tercangkup akupuntur, akupresur , terapi
masase, refleksologi terapi sentuhan, yoga dan Kristal.
Banyak pasien yang menggunakan terapi alternative tidak selalu melaporkannya
kepada petugas kesehatan. Untuk mendapatkan riwayat kesehatan yang lengkap, perawat
harus menanyakan penggunaan terapi alternatif. Pasien mungkin harus di dorong untuk
melaporkan penggunaan terapi alternative keada dokter atau petugas kesehatan yang
memberikan pelayanan primer. Masalah dapat timbul kalau pasien menjalani terapi alternatif
sementara turut serta dalam uji klinis obat. Mereka dapat mengalami efek-merugikan yang
signifikan yang
memahami efek samping merugikan yang dapat terjadi dari terapi alternatif. Perawat yang
mencurigai terjadinya efek samping akibat terapi alternatif harus membebicarakannya dengan
pasien. Orang yang memberikan terapi alternative dan petugas pelayanan kesehatan primer.
Hal yang amat penting bagi perawat adalah memandang terapi alternative dengan pikiran
terbuka dan mencoba memahami makna terarp ini bersama pasien. Dengan melakukan hal
tersebut, komunikasi dengan pasien akan menjadi lebih baik dan kemungkinan konflik bisa
dukungan sehingga semua orang yang terlibat dalam pernyataan dalam perawatan dapat
memenuhi kebutuhan pasien.
I. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Pengkajian keperawatan mencakup pengenalan factor resiko yang
potensial termasuk praktik seksual yang beresiko dan penggunaan obat bius
IV status fisik dan psikologis pasien harus di nilai semua factor yang
mempengaruhi pungsi system imun perlu di gali dengan seksama.
Status nutrisi dinilai dengan menanyakan riwayat diet dan mengenali
factor-faktor yang dapat mengganggu asupan oral seperti anareksia.mual
voanius nyeri oralatau kesulitan menelan.Di samping itu kemampuan pasien
untuk membeli dan mempersiapkan makanan harus di nilai.penimbangan berat
badan,penilaian
antrometrik,pemeriksaan
kadar
BUN
(blood
urea
keseimbangan
elektrolit
seperti
penurunan
kadar
khas
b. Diagnosa Keperawatan
1. Diare yang berhubungan dengan patogen enterik dan infeksi HIV
2. Resiko infeksi berhubungan dengan imunodefisiensi
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pneumonia
pneumocytispeningkatan sekresi bronkial,dan penurunan kemampuan
untuk batuk yang berhubungan dengan kelemahan dan keletihan
Tujuan
Intervensi keperawatan
1. Kaji
kebiasaan
Rasional
normal pasien
evaluasi
2. Kaji
kembali normal
terhadap 2. Mendeteksi
perubahan 2. Melaporkan
diare,sering,feses,encer,
pada
kehilangan
volume
feses
dan
faktor
pemberat
dan
tindakan keperawatan
cair,
defekasi
status,
kuantitas
cairan,
dan
penghilang
penurunan
diare
episode
dan
abdomen
3. Mengidentifikasi dan
menghindari makanan
yang
organisme patogenik
mengiritasi
traktus gastrointestinal
sesuai ketentuan
4. Terapi
yang
dilakukan
4. Lakukan
kram
tindakan
mengurangi
untuk 4. Tirah
pembatasan
baring
dan
cairan
sesuai
ketentuan
5. Menunjukan
luktur
dapat
tepat
b. Nikotin
c. Hindari
irotan
seperti
usus
c. Mencegah merangsang
makanan
ususdan
abdomen
sayuran
mentah,
mrningkatkan
kacang
dan
nutrisi
menghindari
merokok
dalam
program
berhenti
tapi sering
merokok
anti
antikolinergis,
adekuat
untuk
rasional
9. Libatkan
5. Berikan
kacangan,
penuruna
distensi 8. Menyatakan
ada
obat
motilitas usus
sesuai ketentuan
sesuai ketentuan
11. Mempertahankan
6. Pertahankan
cairan
obat
sedikitnya
kecuali dikontraindikasikan
turgor
kulit normal,membran
mukosa
lembab,
Tujuan
Intervensi
1. Pantau
demam,
Rasional
adanya
mengigil
diaforesis,nyeri
nyeri
berwarna
rongga
infeksi,
oral
oral,
1. Deteksi
dan
terhadap
infeksi
dan
penting
untuk
menelan,bercak
krim
dalam
segera.Infeksi lama
sering
dan
berulang 3. Menunjukan
dan
berkemih,dorongan(urgensi
memperberat
)atau
kelemahan pasien
disuria,kemerahan,bengkak,
disforesis
terhadap infeksi
3. Peningkatan
wajah,bibir,atau
area
perianal
dikaitkan
4. Menunjukan
SDP
dengan
infeksi
2. Ajarkan
pasien
atau
bunyi
4. Organisme
badan
pengganggu
perlunya
diidentifikasi sesuai
energi
kebutuhan
keletihan berlebihan
melaporkan
kemungkinan infeksi
3. Pantau jumlah sel darh
putih dan diferensial
memulai
kulit,urin,feses,sputum,mul
infeksi
ut,dan
penularan
tanpa
8. Menunjukan
pada
dan
infeksi
sesuai
membran
mukosa
merah muda,lembab
tanpa
fisura
atau
lesi
9. Terapi
ketentuan
yang
dapat
diberikan
5. Instruksikan
pasien
cara
mencegah infeksi:
a. Bersihkan
dapur
11. Menyatakan
dan
untuk
strtegi
yang
didapatkan
dirumah , sakit
untuk
aktivitas
menurunkan
rasional
menghindari infeksi
6. Mencegah
cairan
adekuat
5. Minimalkan
pemajanan
sesuai
tingkat
luka,lesi
antimikrobial
untuk
yang tepat
darah
harus 6. Melaporkan
13. Mempraktikan
seks
yang aman
14. Hindari
menggunakan
gigi bersama
15. Menunjukan suhu tubuh
normal
16. Menggunakan
teknik
area perianal
f. Hindari
mempertahankan
memegang
kebersihan
kulit,
lesi
atau
sesuai kebutuhan
membersihkan
17. Meminta
untuk
seperti
vena,kateterisasi
lain
menangani
kotoran
binatang
piaraan
dan
membersihkannya
orang
pungsi
kandung
18. Menggunakan
teknik
memasak
yang
dianjurkan
Intervensi
Rasional
perubahan
status
fungsi 1. Mempertahankan
pernafasn abnormal
bersihan
pernafasan,
jalan
nafas
normal :
takipnea,penggunaaan otot
a. Frekuensi
pernapasan
menit
<
b. Pernapasan
20/
tidak
sulit
menggunakan
otot
aksesori
dan
kultur
yang
terapi
anti
identifikasi
patogenik
dalam
organisme
pernapasan
tanpa
cuping
hidung
Kilt
berwarna
dalam.
Drainase
dan
meningkatkan
d. Nilai
pasien
untuk 4. Memudahkan
jalan
pernapasan
5. Dorong
periose
nafas
bersihan
dan
gas
darah
arterial normal
e. Bunyi napas normal
tanpa bunyi napas
istirahat 5. Memaksimalkan
adekuat
6. Lakukan
sampai 4 jam
4. Bantu
sianosis)
adventisius
tindakan
menurunkan
mencegah
keletihan 3. Gunakan
berlebihan
ketentuan
viskositas
sekresi
sesuai
perbaikan
pernapasan
5. Mempertahankan jalan
a. Mempertahankan
masukan
obat
napas bersih
cairan
kecuali
anjuran
dikontraindikasikan
tepat
sesuai
2 4 jam
dengan
dokter
8. Melaporkan penurunan
mengenai
penggunaan
kesulitan
agen
fowler tinggi
9. Mempraktikan
tindakan IPPB
strategi
pernapasan
7. Lakukan
praktik
ketentuan dokter
c. Konsulkan
dan
pasien
tidak
melakukannya
dapat
penggantian
aktivitas
dan istirahat
10. Menunjukan penurunan
dalam
kekentalan
(viskositasi)sekresi paru
8. Berikan
terapi
oksigen 8. Meningkatkan
sesuai ketentuan
9. Bantu inubasi endotrakeal,
pertahankan
lingkunga
11. Melaporkan
availabilitas oksigen
peningkatan kemudahan
9. Mempertahankan
dalam
ventilasi
membatukan
sputum
12. Menggunakan
udara
sesuai
bantuan
pembuangan
sekresi
paru
14. Memahami
terhadap
sama
kebutuhan
dan
dalam
bekerja
intubasi
endotrakea
penggunaan
dan
ventilator
mekanis
15. Mengungkapkan
kekuatiran
kesulitan
intubasi,dan
mekanis
tentang
pernapasan,
ventilasi
DIAGNOSA KEPERAWATAN 3
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhyang berhubungan dengan penurunan masukan
oral.
SASARAN : perbaikan status nutrisi
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Kaji terhadap malnutrisi dengan mengukur tinggi dan berat badan,usia,BUN, protein,
serum, albumin, kadar transferin, hemoglobin, hematokrit, energi kutan dan
pengukuran antropometrik.
2. Dapatkan riwayat diet, termasuk makanan yang di sukai dan yang tidak di sukai serta
intoleransi makanan.
3. Kaji faktor yang mempengaruhi pemasukan oral.
4. Konsul dengan ahli diet untuk menentukan kebutuhan nutrisi pasien.
5. Kurangi faktor yang membatasi masukan oral.
a. Dorong pasien untuk istirahat sebelum makanan.
b. Rencana kan makan sehingga jadwal makan tidak terjadi segera setelah prosedur
yang menimbulkan nyeri atau tidak enak.
c. Dorong pasien untuk makan dengan pengunjung atau orang lain bila mungkin.
d. Hidangkan makan, makan sering :6 kali perhari
e. Batasi cairan 1 jam sebelum makan dan pada saat makan.
6. Intruksikan pasien tentang cara untuk memberi suplemen nutrisi , mengkonsumsikan
makanan kaya protein ( daging, unggas, ikan) dan karbohidrat ( pasta, buah, roti)
7. Konsul dengan dokter tentang makanan pengganti ( nutrisi interal atau parenteral)
8. Konsulkan dengan pekerja sosial atau petugas komunitas tentang bantuan , finansial,
bila pasien tidak dapat mengusahakan makanan.
RASIONAL.
1. Memberikan pengukur objektif terhadap status nutrisi
2. Memastikan kebutuhan terhadap pendidikan nutrisi.
3. Memberikan dasar dan arahan untuk intervensi
4. Memudahkan perencanaan makan.
a. Meminimalkan keletihan yang dapat menurunkan nafsu makan.
b. Menurunkan rangsang mencemaskan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN 4
kurang pengertahuan yang berhubungan dengan cara cara pencegahan penularan HIV
SASARAN : peningkatan pengetahuan mengenai cara pencegahan penularan penyakit
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Intruksikan pasien , keluarga, dan teman tentang rute penularan HIV
2. intrusikan keluarga, teman,pasien tentang pencegahan penularan hiv
a) Menhindari
kontak
seksual
dengan
pesangan
ganda,dan
pengunaan
Banyak prostitusi terinfeksi HIV melaui kontak seksual dengan pasangan multipel
atau pengunaan obat intravena
Bersihkan jarum dan sepuit hanya satu satunya cara mencegah HIV untuk orang
yang terus mengunakan obat. Kewaspadaan pentik untuk orang yang antibodi
positif untuk mencegah HI
ZDV selama
Melaporkan dan menunjukan praktek untuk menurunkan pemajanan pada orang lain
terhadap HIV
Menyebutkan bahwa pasangan seksual diberi informasi tentang antibodi posif dalam
darah
DIAGNOSA KEPERWATAN 5
isolasi sosial berhubungan dengan penyakit menarik diri dari sistem dukungan, persedur
isolasi, dan rasa takut terhadap orang lain yg interaksi
SASARAN: penurunan rasa isolasi sosial
INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Kaji pola interaksi sosial pasien yang lazim
2) Observasi terhadap prilaku indakatif isolasi sosual, seperti penurunan interaksi dengan
orang lain, bermusuhan, ketidak patuhan, efeksedih, dan merasakan perasan ditolak
dan kesepian
3) Berikan intruksi mengenai cara penularan hiv
4) Bantu pasien untuk mengidenfikasi dan mengenali sumber untuk mendukung dan
mekanisme positif untuk koping ( mis: kontak dengan keluarga, teman kelompok
kerja AIDS)
5) Berikan waktu untuk bersama pasien lebih banyak daripada untuk pengobatan dan
persedur
6) Dorong partispasi dalam aktivitas pengalih seperti membaca televisi atau kerajinan
tangan
RASIONALISASI
1) Menetapkan dasar untuk intervensi individual
2) Isolasi sosial dapat dimanifestasikan dalam beberapa cara
3) Pengawasan imformasi
mengilangnya asientas
4) Meningkatan perasaan diri bermakna dan memberikan interaksi sosial
5) Memberikan distraksi
HASIL YANG DIHARAPAN
d. Evaluasi
Hasil yang diharapkan meliputi :
1. Mendapatkan kembali kebiasaan defekasi yang normal
2. Tidak mengalami infeksi
3. Mempertahankan tingkat toleransi yang memadai terhadap aktivitas
4. Memperrtahankan tingkat proses berpikir yang lazim
5. Mempertahankan saluran nafas yang efektif
6. Mengalami peningkatan ras nyaman,penurunan ras nyeri
7. Mempertahankan status nutrisi yang memadai
8. Mengalami pengurangan perasaan terisolir dari pergaulan sosial
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer Suzanne C, Bare Brendo G Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner,
Suddart, Edisi 8, vol 3, Jakarta: EGC 2002
Price, Wilson, Patofisiologi Konsep klinis Proses Penyakit(1995),EGC,Jakarta.
Doenges, ME and Moor House, Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi ke 3, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.