Anda di halaman 1dari 24

Case Report Session

DIABETES MELITUS TIPE 2

Oleh :
Genta Pradana

0910312040

Hasra Mukhlisan

0910312117

Nining Kurniawati

0910312066

Preseptor :
dr. Roza Kurniati, Sp.PD

ROTASI II PUSKESMAS SEBERANG PADANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2014

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1.

Definisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia. Penyakit ini terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, ataupun kedua-duanya, sehingga menyebabkan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein (Gustaviani, 2006; Dewi, 2012).

1.2

Epidemiologi

Diabetes melitus merupakan ancaman global dan serius dari kelompok penyakit tidak
menular. Suatu penelitian melaporkan bahwa prevalensi DM pada penduduk dunia
dengan rentang usia 20 79 tahun mencapai 6,4% atau 285 juta orang pada tahun 2010.
Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 7,7% atau 439 juta orang pada tahun
2030. Prevalensi DM di dunia antara tahun 2010 dan 2030 akan meningkat sebesar 69%
pada kelompok usia dewasa di negara berkembang dan sekitar 20% di negara maju
(Shaw et al., 2010). Sementara itu, International Diabetes Federation (IDF) menyatakan
bahwa terdapat 366 juta (8,3%) orang penderita DM di seluruh dunia pada tahun 2011.
Angka ini diperkirakan akan bertambah menjadi 552 juta (9,9%) pada tahun 2030 jika
tidak dilakukan usaha untuk menekan pesatnya laju peningkatannya (Whiting et al.,
2011).

1.3

Faktor Risiko Diabetes Melitus Tipe 2

1.3.1 Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah


a)

Usia

Risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 meningkat seiring dengan peningkatan usia,
terutama sejak usia 45 tahun ke atas (Sooriappragasarao, 2011). Hal ini mungkin

disebabkan karena berkurangnya aktivitas fisik dan bertambahnya berat badan seiring
dengan pertambahan usia (Shaw et al., 2010). Oleh sebab itu, ADA menganjurkan
dilakukannya pemeriksaan skrining DM terhadap orang yang berusia 45 tahun ke atas
dengan interval 3 tahun sekali (Kurniawan, 2010).
b)

Jenis kelamin

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang berbeda mengenai jenis


kelamin yang paling berisiko menderita DM. Centers for Disease Control and
Prevention menyatakan bahwa perempuan lebih rentan terkena diabetes dibandingkan
laki-laki. Hal ini dibuktikan dari data yang menyebutkan bahwa lebih dari 50% penderita
diabetes melitus di Amerika Serikat adalah perempuan (CDC, 2010). Namun, penelitian
lainnya menyatakan bahwa kasus DM lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan (Grant et al., 2009).
c)

Ras

Kelompok ras kulit hitam, Hispanik, Indian, dan Kepulauan Asia Pasifik merupakan ras
yang paling rentan menderita diabetes. Prevalensi diabetes di kelompok ras tersebut
sekitar 2 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih (Hicks, 2008; CDC,
2010).
d)

Riwayat keluarga

Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2
(Baptiste-Roberts et al., 2007; Valdez, 2007). Menurut WHO, beberapa penelitian
menemukan bahwa individu dengan keluarga derajat pertama yang menderita DM tipe 2
memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk juga menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan
individu yang tidak memiliki riwayat keluarga. Selain itu, kembar monozigot juga lebih
berisiko menderita MD tipe 2 dibandingkan dengan kembar dizigot. Menurut ADA,
selain karena faktor genetik, hal ini juga dapat terjadi akibat kecenderungan anak untuk

meniru kebiasaan diet yang buruk dan kurangnya latihan fisik yang dilakukan oleh orang
tua atau keluarga mereka.
1.3.2 Faktor Risiko yang Dapat Diubah
a)

Obesitas

Obesitas didefinisikan sebagai indeks massa tubuh yang lebih dari 25 kg/m2 berdasarkan
standar Asia Pasifik (WHO, 2000). Obesitas merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya DM tipe 2 (Adiningsih, 2011). Obesitas menyebabkan terjadinya peningkatan
massa jaringan adiposa yang dikaitkan dengan resistensi insulin yang akan menyebabkan
terganggunya proses penyimpanan dan sintesis lemak (Sugondo, 2006; Suyono, 2006).
Obesitas juga dikaitkan dengan faktor diet yang tidak baik dan dislipidemia (HDL < 35
mg/dl dan trigliserida > 250 mg/dl) yang juga merupakan faktor risiko DM tipe 2
(Sooriappragasarao, 2011).
b)

Kurangnya aktivitas fisik

Aktivitas fisik yang kurang merupakan salah satu faktor risiko DM tipe 2
(Sooriappragasarao, 2011). Menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (susenas)
2004, kecenderungan faktor resiko DM tipe 2 terutama di sebabkan oleh aktivitas fisik
yang kurang sebanyak 82,9% (Adiningsih, 2011).
Selain faktor-faktor di atas, faktor lainnya yang terkait dengan peningkatan risiko
terkena diabetes adalah penderita sindroma ovarium polikistik atau keadaan lainnya yang
terkait dengan resistensi insulin, sindroma metabolik, riwayat TGT atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT), serta riwayat penyakit kardiovaskuler, seperti stroke dan
penyakit jantung koroner (Sooriappragasarao, 2011).

1.4

Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 awalnya terjadi akibat sekresi fase 1 hormon insulin yang
inadekuat. Sekresi fase 1 atau acute insulin secretion response (AIR) merupakan sekresi

insulin yang terjadi segera setelah adanya rangsangan terhadap sel beta, seperti pada
keadaan post prandial (setelah makan). Sekresi fase 1 yang inadekuat ini mengakibatkan
hiperglikemia akut pascaprandial (HAP) atau lonjakan glukosa darah setelah makan
(postprandial spike). Selain akibat sekresi fase 1 insulin yang inadekuat, HAP juga
disebabkan oleh resistensi insulin di jaringan tubuh. Namun, pada tahap dini perjalanan
penyakit, hiperglikemia lebih dominan disebabkan oleh gangguan fase 1 sekresi insulin
(Manaf, 2006).
Kinerja fase 1 sekresi insulin yang inadekuat ini pada awalnya dapat
dikompensasi dengan peningkatan sekresi insulin secara berlebihan pada fase 2
(sustained phase atau latent phase) sehingga kadar glukosa darah tetap normal. Namun,
lama-kelamaan akan terjadi kelelahan atau disfungsi sel beta yang disebut juga dengan
tahap dekompensasi (Manaf, 2006). Menurut De Fronzo (2008) dalam Suyono (2011),
terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan penurunan fungsi sel beta, yaitu
glukotoksisitas, lipotoksisitas, penimbunan amiloid, resistensi insulin, dan efek inkretin.
Pada tahap dekompensasi tersebut, terjadi defisiensi insulin abolut sehingga fase
2 sekresi insulin juga tidak mampu mempertahankan keadaan normoglikemia. Secara
klinis, keadaan ini disebut dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Impaired
Glucose Tolerance (IGT). Tahap ini juga disebut dengan prediabetes yang
memperlihatkan kadar glukosa darah 2 jam post prandial sebesar 140 200 mg/dl pada
tes toleransi glukosa oral (TTGO). Seiring dengan perjalanan penyakit, tingkat resistensi
tubuh terhadap insulin semakin tinggi sehingga kadar glukosa darah semakin meningkat.
Peranan resistensi insulin sebagai penyebab hiperglikemia semakin dominan semenjak
konversi fase TGT menjadi fase DM Tipe 2 (Manaf, 2006). Fase DM ini ditandai dengan
kadar glukosa darah puasa sebesar 126 mg/dl, atau gula darah sewaktu sebesar 200
mg/dl, atau hasil TTGO sebesar 200 mg/dl (Gustaviani, 2006).

1.5

Diagnosis

Diagnosis DM pada umumnya akan diperkirakan dengan ditemukannya gejala khas DM


berupa poliuria, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya. Gejala lain yang mungkin ditemukan pada pasien DM adalah
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulvae pada
pasien wanita. Kemudian, diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar
glukosa darah. Sampel darah yang digunakan dapat berasal dari darah vena ataupun
kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria kadar gula darah yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO (Suyono, 2011).
Jika terdapat keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang
memberikan hasil 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Selain
itu, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga dapat digunakan
sebagai patokan diagnosis DM (Gustaviani, 2006).
Jika tidak terdapat keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru
satu kali saja memperlihatkan hasil yang abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi angka
abnormal, baik berupa kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah
sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau kadar glukosa darah 2 jam post prandial
pada TTGO 200 mg/dl (Gustaviani, 2006).
Tahap pemeriksaan TTGO adalah sebagai berikut:
1.

Subjek pemeriksaan tetap makan dan melakukan kegiatan jasmani seperti yang
biasa dilakukan selama tiga hari sebelum pemeriksaan.

2.

Subjek pemeriksaan berpuasa minimal 8 jam sejak malam hari sebelum


pemeriksaan. Subjek masih diperbolehkan untuk minum air putih.

3.

Lakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.

4.

Subjek pemeriksaan meminum larutan glukosa 75 gram dalam air sebanyak 250
ml dalam waktu 5 menit.

5.

Lakukan pemeriksaan kadar glukosa darah pada waktu 2 jam setelah pembebanan
glukosa pada tahap ke-4.

6.

Selama proses pemeriksaan, subjek pemeriksaan tetap beristirahat dan tidak


merokok.
Keluhan Klinik Diabetes

Keluhan Khas (-)

Keluhan Khas (+)

126

GDP

<126

GDP

126

110 - 125
< 110

atau

atau

200

GDS

<200

GDS

200

110 - 199

Ulang GDS atau GDS

GDP

126

<126

200

<200

TTGO
GD 2 Jam

atau

GDS

200

DIABETES MELITUS

Gambar 2.1

140 - 199

TGT

< 140

GDPT

NORMAL

Alur diagnosis diabetes melitus (Gustaviani, 2006)

1.6

Penatalaksanaan

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari terapi non
fakrmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non farmakologi meliputi perubahan gaya
hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis,
meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan
penyakit diabetes yang dilakukan secara terus-menerus. Terapi farmakologi meliputi
pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologi ini pada
prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologi yang telah dilakukan tidak
dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian
terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi non farmakologi yang telah
diterapkan sebelumnya.
1.6.1 Terapi Non Farmakologi
1.6.1.1 Terapi Gizi Medis
Terapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologi yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang diabetisi. Terapi gizi medis ini pada prinsipnya
adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan
melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat,
protein, dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur
sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat.
a.

Jenis Bahan Makanan

(i)

Karbohidrat

Sebagai sumber energy, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari
55-65% dari total kebutuhan energy sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika
dikombinasikan

dengan

pemberian

asam

emak

tidak

jenuh

rantai

tunggal

(monounsaturated fatty acids atau MUFA). Pada setiap gram karbohidrat terdapat
kandungan energy sebesar 4 kilokalori.
(ii)

Protein

Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori per
hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal, dimana diperlukan pembatasan asupan
protein sampai 40 gram per hari, maka perlu ditambahkan pemberian suplementasi asam
amino esensial. Protein mengandung energy sebesar 4 kilokalori/gram.
(iii)

Lemak

Lemak mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan ini sangat
penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K.
Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan
lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA) merupakan salah
satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid.
Pemberian MUFA pada diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total,
kolesterol VLDL, dan meningkatkan kadar kolesterol HLD. Sedangkan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang (poly-unsaturated fatty acid atau PUFA) dapat melindungi
jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit.
b.

Perhitungan Jumlah Kalori

Perhitungan jumlah kalori ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan
kegiatan jasmani. Penentuan status gizi dapat dipakai Indeks Massa Tubuh atau rumus
Broca. Penentuan status gizi berdasarkan IMT dihitung berdasarkan pembagian berat
badan (dalam kg) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter) kuadrat. Sedangkan
penentuan status gizi berdasarkan rumus broca, yang diawali dengan penghitngan berat
badan idaman berdasarkan rumus: BBI = (TB 100) 10%. Kemudian, ditentukan

status gizinya yang dihitung dari (BB aktual : BB idaman) x 100%, lalu dikelompokkan
sebagai berikut:
-

Berat badan kurang

< 90% BBI

BB normal

90-110% BBI

BB lebih

110-120% BBI

Gemuk

>120% BBI

Penentuan kebutuhan kalori per hari selanjutnya adalah:


1. Kebutuhan basal
-

Laki-laki

: BBI x 30 Kkal

Perempuan

: BBI x 25 Kkal

2. Koreksi atau penyesuaian


-

Umur di atas 40 tahun

: - 5%

Aktivitas ringan (duduk-duduk, nonton televisi, dll)

: + 10%

Aktivitas sedang (kerja kantoran, ibu rumah tangga, perawat, dokter) : + 20%

Aktivitas berat (olahragawan, tukang becak, dll)

: + 30%

Berat badan gemuk

: - 20%

Berat badan lebih

: - 10%

Berat badan kurus

: + 20%

3. Stres metabolik (infeksi, operasi, stroke, dll)

: + 10-30%

4. Kehamilan trimester I dan II

: + 300 Kkal

5. Kehamilan trimester III dan menyusui

: + 500 Kkal

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang
(30%), makan malam (25%), serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar.
Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturan

jadwal makan dan jumlah kalori. Usahakan untuk mengubah pola makan ini secara
bertahap sesuai dengan kondisi dan kebiasaan penderita.
1.6.1.2 Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur merupakan salah satu
pilar pengobatan dibetes mellitus tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke
pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Selain itu, kegiatan seharihari ini ditambah dengan latihan jasmani yang kontinu. Prinsip latihan jasmani bagi
diabetisi persis sama dengan prinsip patihan jasmani secara umum, yaitu memenuhi
beberapa hal, seperti: frekuensi, intensitas, durasi, dan jenis.
a.

Frekuensi : Jumlah olahraga per minggu sebaiknya dilakukan dengan teratur


sebanyak 3-5 kali per minggu

b.

Intensitas : ringan dan sedang (60-70% maximum heart rate)

c.

Durasi : 30 60 menit

d.

Jenis : latihan jasmani endurans (aerobic) untuk meningkatkan kemampuan


kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan bersepeda.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat

badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga dapat memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi serta memungkinkan
untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar. Namun, atihan jasmani
sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani seseorang. Untuk
melakukan latihan jasmani, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.

Pemanasan (warm-up)

Bagian kegiatan ini dilakukan sebelum memasuki latihan yang sebenarnya, dengan
tujuan untuk mempersiapkan berbagai sistem tubuh seperti menaikkan suhu tubuh,
meningkatkan denyut nadi hingga mendekati intensitas latihan. Pemanasan juga perlu

untuk menghindari cedera akibat latihan. Pemanasan cukup dilakukan selama 5-10
menit.
b.

Latihan inti (conditioning)

Pada tahap ini, diusahakan denyut nadi mencapai target heart rate (THR), yaitu 75%
dari maximum heart rate (MHR) atau 220-umur. Jika THR tidak tercapai, maka diabetisi
tidak akan mendapatkan manfaat dari latihan. Sedang bila lebih dari THR mungkin justru
data mengakibatkan risiko yang tidak diinginkan.
c.

Pendinginan (cooling-down)

Setelah selesai melakukan latihan jasmani, sebaiknya dilakukan pendinginan. Tahap ini
dilakukan untuk mencegah penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri
pada otot setelah melakukan latihan jasmani, atau pusing akibat masih terkumpulnya
darah pada otot yang aktif. Bila latihan berupa jogging, maka pendinginan sebaiknya
dilakukan dengan tetap berjalan untuk beberapa menit. Bila bersepeda, tetap mengayuh
sepeda, tetapi tanpa beban. Pendinginan dilakukan selama kurang lebih -10 menit,
hingga denyut jantung mendekati denyut nadi saat istirahat.
d.

Peregangan (stretching)

Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot yang
masih teregang dan menjadikan lebih elastis. Tahapan ini lebih bermanfaat terutama bagi
mereka yang berusia lanjut.
1.6.2 Terapi Farmakologi
1.6.2.1 Insulin
Insulin adalah hormon yang dihasilkan dari sel pankreas dalam merespon glukosa.
Insulin merupakan polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino tersusun dalam 2 rantai,
rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin

mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme, efek
kerja insulin adalah membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel.
Macam-macam sediaan insulin:
1. Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah setengah jam
(injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin Regular.
2. Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di cairan jaringan dan
menghambat resorpsinya dari tempat injeksi ke dalam darah. Metoda yang digunakan
adalah mencampurkan insulin dengan protein atau seng atau mengubah bentuk fisiknya,
contoh: Monotard Human.
3. Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan mencampurkan
beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan, contoh: Mixtard 30 HM
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM tipe 2 kemudian akan memerlukan
insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Untuk pasien yang sudah tidak
dapat dikendalikan kadar glukosa darahnya dengan kombinasi metformin dan
sulfonilurea, langkah selanjutnya yang mungkin diberikan adalah insulin (Waspadji,
2010).
2. Obat Antidiabetik Oral
Obat-obat antidiabetik oral ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes
mellitus tipe 2. Farmakoterapi antidiabetik oral dapat dilakukan dengan menggunakan
satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005).

a. Golongan Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dikelenjar pankreas, oleh sebab itu
hanya efektif apabila sel-sel Langerhans pankreas masih dapat berproduksi Penurunan
kadar glukosa darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea
disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Obat golongan ini
merupakan pilihan untuk diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang
serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes,
2005).
Sulfonilurea generasi pertama
Tolbutamid diabsorbsi dengan baik tetapi cepat dimetabolisme dalam hati. Masa
kerjanya relatif singkat, dengan waktu paruh eliminasi 4-5 jam (Katzung, 2002). Dalam
darah tolbutamid terikat protein plasma. Di dalam hati obat ini diubah menjadi
karboksitolbutamid dan diekskresi melalui ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).
Asektoheksamid dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa
paruh plasma 0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1hidroksilheksamid

yang

ternyata

lebih

kuat

efek

hipoglikemianya

daripada

asetoheksamid sendiri. Selain itu itu 1-hidroksilheksamid juga memperlihatkan masa


paruh yang lebih panjang, kira-kira 4-5 jam (Handoko dan Suharto, 1995).
Klorpropamid cepat diserap oleh usus, 70-80% dimetabolisme di dalam hati dan
metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah terikat albumin, masa paruh
kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan
dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).
Tolazamid diserap lebih lambat di usus daripada sulfonilurea lainnya dan efeknya
pada glukosa darah tidak segera tampak dalam beberapa jam setelah pemberian. Waktu
paruhnya sekitar 7 jam (Katzung, 2002).

Sulfonilurea generasi kedua


Gliburid (glibenklamid) khasiat hipoglikemisnya yang kira-kira 100 kali lebih kuat
daripada tolbutamida. Sering kali ampuh dimana obat-obat lain tidak efektif lagi, risiko
hipoglikemia juga lebih besar dan sering terjadi. Pola kerjanya berlainan dengan
sulfonilurea yang lain yaitu dengan single-dose pagi hari mampu menstimulasi sekresi
insulin pada setiap pemasukan glukosa (selama makan) (Tjay dan Rahardja, 2002). Obat
ini dimetabolisme di hati, hanya 21% metabolit diekresi melalui urin dan sisanya
diekskresi melalui empedu dan ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).
Glipizid memiliki waktu paruh 2-4 jam, 90% glipizid dimetabolisme dalam hati
menjadi produk yang aktif dan 10% diekskresikan tanpa perubahan melalui ginjal
(Katzung, 2002).
Glimepiride dapat mencapai penurunan glukosa darah dengan dosis paling rendah
dari semua senyawa sulfonilurea. Dosis tunggal besar 1 mg terbukti efektif dan dosis
harian maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg. Glimepiride mempunya waktu paruh 5
jam dan dimetabolisme secara lengkap oleh hati menjadi produk yang tidak aktif
(Katzung, 2002).
b. Golongan Biguanida
Golongan ini yang tersedia adalah metformin, metformin menurunkan glukosa darah
melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular dan menurunkan
produksi gula hati. Metformin juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak
meningkat, sehingga layak diberikan pada penderita yang overweight (Ditjen Bina
Farmasi dan Alkes, 2005).
c. Golongan Tiazolidindion
Golongan obat baru ini memiliki kegiatan farmakologis yang luas dan berupa penurunan
kadar glukosa dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan bagi insulin dari otot,

jaringan lemak dan hati, sebagai efeknya penyerapan glukosa ke dalam jaringan lemak
dan otot meningkat. Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran
kelainan yaitu resistensi insulin tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak
menyebabkan kelelahan sel pankreas. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
d. Golongan Inhibitor Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa di dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan hiperglikemia postprandrial. Obat ini bekerja
di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada
kadar insulin. Contoh: Acarbose (Tjay dan Rahardja, 2002).

BAB II
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
a. Nama/Kelamin/Umur

: Tn. S/Laki-Laki/48 tahun

b. Pekerjaan/ Pendidikan

: Guru/ S1

c. Alamat

: Seberang Padang Selatan

2. LATAR BELAKANG SOSIAL EKONOMI DEMOGRAFI-LINGKUNGAN


KELUARGA
a. Status Perkawinan

: Menikah

b. Jumlah Saudara

: 7 orang

c. Status Ekonomi Keluarga : Cukup, Penghasilan Rp. 3.000.000,- perbulan


d. Kondisi Rumah

Rumah permanen dengan 4 kamar, luas bangunan 250 m2, pekarangan


sempit.

Listrik ada

Sumber air : Air PDAM

Jamban ada di dalam rumah

Sampah dibuang ke tempat penampungan sampah yang dijemput petugas


kebersihan

Kesan : Higienitas dan sanitasi baik

e. Kondisi Lingkungan Keluarga

Jumlah penghuni 4 orang, terdiri dari pasien, istri, dan 2 orang anak

Tinggal di daerah perkotaan

f. Aspek Psikologis Keluarga


Hubungan personal dalam keluarga baik.
3. Riwayat Penyakit Dahulu dan Keluarga

Pasien telah dikenali menderita penyakit hipertensi sejak 2 tahun yang lalu
dengan tekanan darah tertinggi 190/100 mmHg. Kontrol tidak teratur.

Pasien telah dikenali menderita diabetes mellitus sejak 6 bulan yang lalu dengan
GDP tertinggi 243 mg/dl dan GD2JPP tertinggi 311 mg/dl. Kontrol tidak
teratur.

Orang tua laki-laki pasien menderita penyakit tensi tinggi dan gula.

Saudara laki-laki pasien menderita penyakit gula.

4. Keluhan Utama : badan terasa lemas sejak 1 minggu yang lalu.


5. Riwayat Penyakit Sekarang

Badan terasa lemas sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat sering haus, sering lapar, dan sering BAK ada sejak 1 tahun yang lalu.

Riwayat penurunan berat badan ada sebesar 5 kg sejak 1 tahun terakhir.

Riwayat mudah lelah ada sejak 1 tahun terakhir.

Riwayat kesemutan dan gatal pada lengan dan tungkai ada sejak 1 tahun
terakhir.

Riwayat mata kabur tidak ada.

Pasien sehari-hari bekerja sebagai pedagang yang lebih banyak duduk


menunggui warungnya.

Pasien mengaku tidak pernah berolahraga secara teratur.

Riwayat mengkonsumsi makanan tinggi lemak, tinggi gula, dan tinggi garam
ada.

6. Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital
Keadaan Umum : tampak sakit ringan
Kesadaran

: Sadar

Tekanan Darah

: 140/90 mmHg

Frekuensi Nadi

: 68 kali/menit

Frekuensi Napas : 18 kali/menit


Suhu

: 36,8OC

Tinggi Badan

: 159 cm

Berat Badan

: 68 kg

Pemeriksaan Sistemik
o Kulit

: teraba hangat

o Kepala

: bentuk bulat, simetris, rambut hitam, tidak mudah dicabut

o Mata

: tidak cekung, air mata ada, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, pupil isokor, diameter 3mm/3mm, reflex cahaya +/+
(normal)

o Mulut

: lidah dan mulut basah, oral thrush tidak ada

o Telinga

: tidak ditemukan kelainan

o Hidung

: tidak ditemukan kelainan

o Tenggorok

: tonsil T1-T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis

o Leher

: tidak teraba pembesaran KGB

o Dada

Paru

: dalam batas normal

Jantung

: dalam batas normal

o Abdomen

: dalam batas normal

o Punggung

: tidak ditemukan kelainan

o Alat kelamin : tidak diperiksa


o Ekstremitas

: akral hangat, refilling kapiler baik.

7. Pemeriksaan Penunjang
Gula darah puasa

: 136 mg/dl

Gula darah 2 jam post prandial

: 220 mg/dl

8. Diagnosis Kerja
Diabetes mellitus tipe 2
Hipertensi derajat II tidak terkontrol

9. Tatalaksana
Promotif
1. Mengatur pola makan sesuai dengan aturan terapi gizi medis yang sesuai.
Kebutuhan kalori:

Berat badan ideal = (TB 100) 10% = (159 100) 10% = 53,1 kg

Status gizi = (BB aktual : BB ideal) x 100% = (68 kg : 53,1 kg) x 100% =
128,1% (termasuk berat badan gemuk)

Jumlah kebutuhan kalori per hari:


-

Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30 kalori = 53,1 x 30 kal


= 1593 kal

Umur di atas 40 tahun dikurangi 5% = 5% x 1593 kal = 79,6 kal

Kebutuhan untuk ativitas ditambah 20% = 20% x 1593 kal = 318,6 kal

Koreksi karena kelebihan berat badan dikurangi 20% = 20% x 1593 = 318,6
kal

Jadi, total kebutuhan kalori per hari untuk pasien adalah 1593 kal + 318,6 kal
318,6 kal 79,6 kal = 1513,4 kal ~ 1500 kal

Distribusi makanan:

Karbohidrat 60% = 60% x 1500 kal = 900 kalori dari karbohidrat yang setara
dengan 225 gram karbohidrat

Protein 20% = 20% x 1500 kal = 300 kalori dari protein yang setara dengan 75
gram protein

Lemak 20% = 20% x 1600 kal = 300 kalori dari lemak yang setara dengan 33,3
gram lemak

Contoh pola diet untuk pasien dengan diet 1500 kalori:


JADWAL
Pagi

10.00
Siang

16.00
Malam

BAHAN MAKANAN
Nasi
Ikan
Tempe
Sayuran
Buah
Nasi
Ikan
Tempe
Sayuran
Buah
Nasi
Ikan
Tempe
Sayuran
Buah

JUMLAH
1 gelas
1 potong
2 potong sedang
Sekehendak
1 buah
1 gelas
1 potong sedang
2 potong sedang
Sekehendak
1 buah
gelas
1 potong sedang
2 potong sedang
Sekehendak
1 buah

2. Memvariasikan jenis makanan pada diet yang telah disarankan dengan bahan
makanan penukar lainnya yang sesuai dengan jumlah kalori yang dibutuhkan.
Misalnya:
Karbohidrat
gelas nasi setara dengan:
-

2 buah kentang ukuran sedang

1 potong singkong

3 potong sedang roti putih

gelas bihun

1 gelas mi kering

2 gelas mi basah

5 sdm tepung terigu

8 sdm tepung beras

10 sdm tepung terigu

Protein Hewani
1 potong sedang ikan segar setara dengan:

Rendah lemak

1 potong sedang ayam tanpa kulit

1 potong sedang babat

1 potong sedang daging kerbau

1 potong sedang dideh sapi

1 potong kecil ikan asin

1 sdm teri kering

5 ekor sedang udang

Lemak sedang

2/3 butir telur ayam

2/3 potong sedang daging kambing

2/3 potong sedang daging sapi

2/3 potong sedang hati ayam

2/3 potong sedang hati sapi

2/3 potong besar otak

2/3 potong besar usus sapi

Tinggi lemak
-

1/3 potong sedang daging bebek

1/3 potong sedang daging ayam dengan kulit

4/3 butir kuning telur ayam

Protein Nabati
2 potong sedang tempe setara dengan:
-

2,5 sdm kacang kedelai

2 sdm kacang merah segar

2 sdm kacang hijau

2 sdm kacang tanah

1 potong besar tahu

2 potong kecil oncom

3. Diet rendah garam


4. Melaksanakan latihan jasmani secara teratur yaitu dengan frekuensi 3-5 kali per
minggu, selama 30-60 menit per kali, berupa jalan, jogging, bersepeda, atau
berenang. Latihan jasmani harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip olahraga, yaitu
pemanasan, latihan inti, pendinginan, dan peregangan.
5. Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) atau rutin kontrol gula
darah ke Puskesmas.
6. Perhatikan kebersihan kaki dengan menyarankan tidak boleh berjalan tanpa alas kaki,
termasuk di pasir sekalipun untuk menghindari luka pada kaki dan selalu menjaga
kaki dalam keadaan bersih.
7. Edukasi tentang penyulit akut diabetes, seperti hipoglikemia, kepada pasien dan
keluarga, agar dapat mengenali tanda-tandanya dengan segera, seperti berdebardebar, banyak keringat, gemetar, pusing, gelisah, penurunan kesadaran, hingga
koma). Jika ditemukan gejaa di atas, maka pasien harus segera dibawa ke Puskesmas
atau IGD terdekat.
8. Edukasi pada keluarga pasien, terutama anak-anaknya, agar juga dapat membiasakan
gaya hidup yang sehat, seperti pola makan yang rendah gula dan rendah lemak, serta
olahraga yang teratur. Selain itu, menyarakan agar keluarga pasien dapat
memeriksakan kesehatan ke puskesmas jika mengalami keluhan sering haus, sering
lapar, atau sering buang air kecil, mengingat adanya faktor risiko diabetes mellitus
yang dimiliki.

Preventif

Hindari makan makanan dengan kadar gula dan garam yang tinggi.

Hindari stress

Selalu mengenakan alas kaki agar mencegah terjadinya luka lainnya yang mungkin
tidak disadari dan terabaikan

Kuratif

Metformin 3 x 500 mg

Captopril 2 x 12,5 mg

Rehabilitatif

Praktikkan pola makan yang sehat sesuai dengan yang telah disusun berdasarkan
jumlah kebutuhan kalori

Praktikkan latihan jasmani sesuai dengan olahraga yang diminati dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku

Minum obat secara teratur

Kontrol secara teratur ke puskesmas

Jika merasakan keluhan pada mata, susah buang air kecil, rasa kebas-kebas dan
kesemutan yang sangat mengganggu, sakit kepala yang tidak dapat ditahan, dan
kondisi luka yang semakin memburuk segera ke puskesmas agar mendapatkan
pengobatan yang sesuai.

Meminta kerja sama keluarga untuk turut mendukung program penatalaksanaan


pasien, baik dari segi membantu pengaturan pola makan, mendukung latihan
jasmaninya, serta mengingatkan pasien untuk rutin minum obat dan kontrol.
Dinas Kesehatan Kodya Padang

Puskesmas Seberang Padang

Dokter

: dr. A

Tanggal

: 9 Desember 2014

R/ Metformin tab 500 mg No. XL


S3 dd tab 1 aaaaaaaaaaaaaaaaa
R/ Captopril tab 12,5 mg No. XX
S2 dd tab Iaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Pro : Tn. S
Umur :45 tahun

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR
Alamat : seberang padang
selatanPUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

Grant JF, Hick N, Taylor AW, Chittleborough CR, Phillips PJ, dan the North West
Adelaide Health Study Team, 2009. Gender-Specific Epidemiology of Diabetes:
a Representative Cross-Sectional Study. International Journal for Equity in
Health 2009, 8:6. http://www.equityhealthj.com/content/pdf/1475-9276-8-6.pdf.
Gustaviani R, 2006. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1879 1881.
Hicks

J,
2008.
Racial
and
Genetic
Risk
Factors
for Diabetes.
http://diabetes.about.com/lw/Health-Medicine/Healthcare-industry/Racial-andGenetic-Risk-Factors-for-Diabetes.htm.

Kurniawan I, 2010. Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Maj Kedokt Indon,
Volum:
60,
Nomor:
12,
Desember
2010.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/511/508.
Manaf A, 2006. Insulin: Mekanisme Sekresi dan Aspek Metabolisme. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 1890 1891.
Porth CM, Matfin G, 2009. Pathophysiology, Concepts of Altered Health States. Eighth
edition. China: Wolters Kluwer Health | Lippin Cott Williams & Wilkins. Hal:
1070 1075.
Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ, 2010. Global Estimates of the Prevalence of Diabetes.
Diabetes Research and Clinical Practice. Edisi 87. Elsevier Ireland Ltd.
http://blogimages.bloggen.be/diabetescheck/attach/35622.pdf.
Sugondo S, 2006. Obesitas. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal: 1944.
Suyono S, 2011. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Penyandang Diabetes.
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Edisi II. Cetakan ke-8. Jakarta: Balai
Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 6 22.
Whiting DR, Guariguata L, Weil C, Shaw J, 2011. IDF Diabetes Atlas: Global Estimates
of the Prevalence of Diabetes for 2011 and 2030. Diabetes Research and Clinical
Practice. Edisi 94. Elsevier Ireland Ltd. Hal: 311 321.
http://download.journals.elsevierhealth.com/pdfs/journals/01688227/PIIS0168822711005912.pdf.

Anda mungkin juga menyukai