Oleh :
Endang Rahayu F.L.
J 500 10 0004
Gumilang Mega P.
J 500 10 0019
J 500 10 0106
PEMBIMBING :
dr. I Nyoman Sumertha, Sp.An
dr. Suko Basuki , M.Kes. Sp.An
CASE REFERAT
SPINAL ANESTESI PADA PASIEN PEREMPUAN USIA 14 TAHUN DENGAN
CYSTOMA OVARII
SINISTRA DAN ASCITES
Yang Diajukan Oleh :
Endang Rahayu F.L.
J 500 10 0004
Gumilang Mega P.
J 500 10 0019
J 500 10 0106
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari
2014
Pembimbing :
()
Pembimbing :
()
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama pasien
: Tn. S
Umur
: 31 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Ponorogo
Pekerjaan
: Wiraswasta
Status perkawinan
: Menikah
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Tgl masuk RS
: 27 Mei 2014
: 3129XX
Bangsal
: Flamboyan
: dr.Farhat, Sp.OT
Dokter Anestesi
Co-Asisten
Macam Operasi
Macam Anestesi
: General Anestesi
Tanggal Operasi
: 30 Mei 2014
: disangkal
Riwayat Stroke
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
c. Riwayat Pribadi
Merokok
: (+)
Minum-minuman beralkohol
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat alergi
: disangkal
: disangkal
e. Anamnesis Sistem
Cerbrospinal : Penurunan kesadaran (-), Nyeri kepala /wajah (-),demam (-)
Cardiovaskular : Keringat dingin (-), Nyeri dada (-)
Respirasi : Batuk (-). Pilek (-), sesak nafas (-)
Gastrointestinal : Mual (-), Muntah (-), Sulit BAB (+), Sulit BAK (-), nyeri perut
(+)
Muskuloskletal : Kelemahan anggota gerak (-), atrofi (-),deformitas lokalis
femoral dextra (+)
Integumentum : Ruam (-), gatal (-). suhu raba hangat (-)
Urogenital :disuria (-) nyeri pada saat kencing (-), urin jernih (+)
Genital : Perdarahan (-)
2. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum
a. KU
: Baik, GCS : E4 V5 M6
b. BB/TB
: 60 Kg/155cm
c. Gizi
: Cukup
d. Golongan darah
: B rhesus +
B. Vital Sign
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 84 x/menit
RR
: 20 x/menit
Suhu
: 36,80C
Kepala
Leher
Thorax
1. Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: redup
5
Auskultasi
2. Paru :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
:
Depan
Belakang
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Auskultasi:
Depan
Belakang
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Ekstremitas :
Status Lokalis:
Akral hangat
3. Pemeriksaan Laboratorium
Tangggal : 25-April-2014
Parameter
Hasil
Range
6
WBC
9.5 X 10^3/uL
4.0-10.0
Lymph#
1.7 X 10^3/uL
0.8-4.0
Mid#
0.6 X 10^3/uL
0.1-1.5
Gran#
7.2 X 10^3/uL
2.0-7.0
Lymph%
17.7%
20.0-40.0
Mid%
6.4 %
3.0-15.0
Gran%
75.9%
50.0-70.0
HGB
12.0 g/dl
11.0-16.0
RBC
4.91 X 10^6/uL
3.50-5.50
HCT
38.2 %
37.0-54.0
MCH
25.7 pq
27.0-34.0
MCV
77.9 fL
80-100
MCHC
32.9 g/dl
32.0-36.0
RDW-CV
13.6%
11.0-16.0
RDW-SD
42.6 fL
35.0-56.0
PLT
246 X 10^3/uL
100-300
MPV
8.7 fL
6.5-12.0
PDW
16.0 fL
9.0-17.0
PCT
2.16 %
0.108-0.282
Glukosa
136 mg/dl
<140 mg/dl
DBIL
0.13 mg/dl
0-0.35
TBIL
0.46 mg/dl
0.2-1.2
SGOT
68.2 U/l
0-38
SGPT
56.1 U/l
0-40
ALP
133 U/l
98-279
TP
7 g/dl
6.6-8.3
ALB
3.4 g/dl
3.5-5.5
GLOB
3.6 g/dl
2-3.9
Gamma GT
11 g/dl
10-54
7
UREA
10.68 mg/dl
10-50
Creat
0.8 mg/dl
0.7-1.4
UA
3,3 mg/dl
3.4-7
4. Pemeriksaan Penunjang
Ro Thoraks
Simpulan
EKG
Simpulan
USG
Simpulan
5. Kesimpulan
Seorang perempuan usia 14 tahun dengan diagnosis cystoma ovarii sinistra
dan ascites. Hasil laboratorium darah dalam batas normal. Hasil USG ovarian kista
ukuran 35x25 cm dan ascites.
Kegawatan Bedah
: (-)
ASA
:I
C.RENCANA ANESTESI
1. Persiapan operasi
a. Persetujuan operasi tertulis
b. Puasa 8 jam pre operatif
c. Infus RL 20 tetes/menit
2. Jenis anestesi
: Spinal anestesi
3. Teknik Anestesi
: Spinal anestesi
4. Premedikasi
: Buvanest 25 mg
5..Maintenance
: O2 3 liter/menit
Enflurane 0,8%
09.30
Operasi mulai
: 09.45
Anestesi selesai
11.05
Operasi selesai
: 11.00
a. Jam 09.00 pasien masuk kamar operasi, infuse diganti dengan RL, manset dan
monitor dipasang, tekanan darah 120/80mmHg, HR 88 x/menit, Saturasi oksigen
99 %
b. Jam 09.30 mulai dilakukan spinal anestesi, dengan prosedur sebagai berikut :
1. Pasien diminta untuk duduk dengan membungkuk agar tulang belakang lebih
menonjol.
2. Dilakukan tindakan aseptic pada daerah yang akan diinjeksi.
3. Dilakukan spinal anestesi dengan menggunakan jarum spinal no 25 pada sub
arachnoid canalis spinalis antara L3-L4.
4. Dilakukan aspirasi setelah LCS tampak keluar melalui jarum maka
diinjeksikan Buvanest 25 mg.
5. Setelah itu jarum di cabut, bekas injeksi di tutup dengan plester.
6. Pasien diminta tidur terlentang di atas meja operasi dengan kepala di atas
bantal.
7. Setelah pasien tidak memberikan respon sensorik dan motorik, tindakan
operasi dapat dilakukan.
8. Untuk mempertahankan oksigenasi, diberikan oksigen 3 liter per menit
9. Dimonitoring keadaan pasien beserta tanda-tanda vital setiap 5 menit sekali.
10. Pada saat operasi terjadi penuruan tekanan darah systole < 110 mmHg, maka
dimasukkan ephedrine 10 ml.
9
Nadi
TD
Sp02
78
120/80
99%
80
120/80
99%
10
85
130/80
99%
15
80
130/80
99%
20
80
130/80
99%
25
78
120/80
99%
30
80
130/80
99%
35
80
130/80
99%
40
80
130/80
99%
45
80
130/80
99%
50
80
130/80
99%
55
80
130/80
99%
60
78
120/90
99%
65
78
120/80
99%
70
78
120/80
99%
75
80
140/90
99%
80
80
140/90
99%
85
80
140/80
99%
90
78
130/90
99%
95
78
130/90
99%
10
Keterangan
100
78
130/90
99%
105
76
130/80
99%
110
78
130/90
99%
115
78
130/90
99%
120
78
120/80
99%
Intake Cairan :
a) Infus RL : 1500cc
Cairan Keluar :
a) Urine: 150 cc
b) Darah: kira-kira 500cc
Pemeriksaan Laboratorium
Tangggal : 30-April-2014
Parameter
Hasil
Range
WBC
9.8 X 10^3/uL
4.0-10.0
Lymph#
2.1 X 10^3/uL
0.8-4.0
Mid#
0.6 X 10^3/uL
0.1-1.5
Gran#
7.1 X 10^3/uL
2.0-7.0
Lymph%
21.4%
20.0-40.0
Mid%
5.8%
3.0-15.0
11
Gran%
72.8%
50.0-70.0
HGB
9.6 g/dl
11.0-16.0
RBC
4.91 X 10^6/uL
3.50-5.50
HCT
28.9 %
37.0-54.0
MCH
26.7 pq
27.0-34.0
MCV
76.9 fL
80-100
MCHC
33.9 g/dl
32.0-36.0
RDW-CV
13.3%
11.0-16.0
RDW-SD
40.0 fL
35.0-56.0
PLT
229 X 10^3/uL
100-300
MPV
8.6 fL
6.5-12.0
PDW
16.0 fL
9.0-17.0
PCT
1.97 %
0.108-0.282
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,
tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali
oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam
menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam
anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anestetik
umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek anesthesia
yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya
menimbulkan efek analgesia. Anestesi umum bekerja di Susunan Saraf Pusat, sedangkan
anestetik lokal bekerja langsung pada Serabut Saraf di Perifer.
Anestesi umum (General Anesthesia) disebut pula dengan nama Narkose Umum
(NU). Anastesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna menghasilkan ketidak
sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan resiko yang tidak diinginkan dari
pasien.
Dengan anestesi umum, akan diperoleh triad (trias) anestesia, yaitu :
Hipnosis (tidur)
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu. Obat-obat
tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau analgesia,
sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena
anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh
dengan menggabungkan berbagai macam obat. Eter menyebabkan tidur, analgesia dan
relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan kelarutannya dalam darah tinggi sehingga agak
mengganggu dan lambat (meskipun aman) untuk induksi. Sedangkan relaksasi otot
didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk
13
mengurangi
tegangnya
tonus
otot
sehingga
akan
mempermudah
tindakan
pembedahan. Obat-obat opium seperti morfin dan petidin akan menyebabkan analdesia
dengan sedikit perubahan pada tonus otot atau tingkat kesadaran. Kombinasi beberapa
teknik dan obat dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan ini dan kombinasi ini harus
dipilih yang paling sesuai untuk pasien.
alveolar
minimal
(KAM)
atau
MAC
(Minimum
Alveolar
Concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir
yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan insisi standar.
Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95% pasien, jika kadarnya dinaikkan di atas
30% nilai KAM. Dalam keadaan seimbang tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli
sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja obat. Keterbatasan lain bahwa
konsep MAC hanya membandingkan tingkat anestesi saja dan tidak dapat memperkirakan
efek fisiologis pada sistem organ penting seperti fungsi kardiovaskular dan ginjal, terutama
pada pasien berpenyakit menahun.
Konsentrasi uap anestetik dlaam alveoli selama induksi ditentukan oleh :
a. Konsentrasi inspirasi
Induksi makin cepat kalau konsentrasi makin tinggi, asalkan tidak terjadi depresi nafas
atau kejang laring. Induksi makin cepat jika disertai oleh N2O (efek gas kedua).
14
b. Ventilasi alveolar
Ventilasi alveolar meningkat, konsentrasi alveolar makin tinggi, dan sebaliknya.
c. Koefisien gas / darah
Makin tinggi angkanya, makin cepat larut dalam darah, makin rendah konsntrasi dalam
alveoli, dan sebaliknya.
d. Curah jantung atau aliran darah paru
Makin tinggi curah jantung, makin cepat uap diambil darah.
e. Hubungan ventilasi perfusi
Gangguan hubungan ini memperlambat ambilan gas anestetik.
Sebagian besar gas anestetik dikeluarkan lagi oleh paru-paru. Sebagian lagi
dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa metabolisme yang
larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal.
Macam-macam jenis obat untuk anestesi inhalasi adapun sebagai berikut :
a) N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Zat ini dikemas dalam bentuk
cair, dalam silinder warna biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan
750 psi atau 50 atm. Pemberian anestesia dengan N2O harus disertai O2
minimal 25%. Gas ini bersifat anestesi lemah, tetapi analgesinya kuat,
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan.
Jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan
anestetik lain. Pada akhir anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan
cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pegenceran O2 dan terjadilah
hipoksia difusi. Untuk menghindarinya, berikan O2 100% selama 5-10
menit.
b) Halotan
Merupakan turunan etan, berbau enak dan tak merangsang jalan nafas.
Halotan harus disimpan dalam botol gelap (coklat tua) supaya tidak dirusak
oleh cahaya dan diawetkan oleh timol 0,01%. Selain untuk induksi dapat
juga untuk laringoskopi intubasi.
15
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon
klinis pasien. Halotan menyebbakan vasodilatasi serebral, meninggikan
aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik anestesia
hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah otak.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis,
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard dan inhibisi reflex baroreseptor. Kebalikan dari N2O, halotan
analgesinya lemah, anestesinya kuat, sehingga kombinasi keduanya ideal
sepanjang tidak ada kontraindikasi.
Kombinasi dengan adrenalin sering menyababkan disritmia, sehingga
penggunaan adrenalin harus dibatasi. Adrenalin dianjurkan dengan
pengenceran 1:200.000 (5ug/ml) dan maksimal penggunaannya 2 ug/kg.
Pada bedah sesar, halotan dibatasi maksimal 1 vol%, karena relaksasi uterus
akan menimbulkan perdarahan. Halotan menghambat pelepasan insulin,
meninggikan kadar gula darah.
Kira-kira 20% halotan dimetabolisir terutama di hepar secara oksidatif
menjadi komponen bromine, klorin, dan asam trikoloro asetat. Secara
reduktif menjadi komponen fluoride dan produk non-volatil yang
dikeluarkan lewat urin. Metabolisme reduktif ini menyebabkan hepar kerja
keras, sehingga merupakan indikasi kontra pada penderita gangguan hepar,
pernah dapat halotan dalam waktu kurang tiga bulan atau pada pasien
kegemukan. Pasca pemberian halotan sering menyebabkan pasien
menggigil.
c) Enfluran
Merupakan halogenasi eter dan cepat poluer setelah ada kecurigaan
gangguan fungsi hepar setelah pengunaan ulang oleh halotan. Pada EEG
menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi disertai hipokapnia. Kombinasi
dengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan. Di metabolisme
hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non volatil yang dikeluarkan lewat
urin. Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih
anestesi lebih cepat dibandingkan halotan. Efek depresi nafas lebih kuat,
depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan halotan,
16
tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibandingkan halotan.
d) Isofluran
Merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau sub anestetik
dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat
dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak
digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1%
terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang responsive jika
diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan
pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis
biasa jika menggunakan isofluran.
e) Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi
di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebbakan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian
dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan
yang membahayakan terhadap tubuh manusia.
2. ANESTESI INTRAVENA
Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, kurang perasaan
klaustrofobik (perasaan akan-akan wajah ditutupi topeng), tahap tidak sadar yang
lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi. Oleh karena itu, agen
intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi.
Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadangkadang sangat cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada
gangguan pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan ketidakstabilan hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan bersama dengan
17
anestesi inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang memadai dan dengan
relaksan otot untuk mendapatkan operasi yang optimum.
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia,
induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada
anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa
tindakan medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental,
ketamin dan propofol. Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan
propofol. Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh
hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan,
mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis,
mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang
tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh,
tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh
farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual
muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita
dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain. Kombinasi
beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat
menutupi pengaruh obat yang lain.
C. Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti
bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah
obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi
lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan
intracranial. Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri
punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan
dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant surgeon.
Zat anestesi lokal memberikan efek terhadap semua sel tubuh, dimana tempat
kerjanya khususnya pada jaringan saraf. Penggunaan pada daerah meradang tidak
akan memberi hasil yang memuaskan oleh karena meningkatnya keasaman jaringan
yang mengalami peradangan sehingga akan menurunkan aktifitas dari zat anestesi
lokal (pH nanah sekitar 5)8. Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi
impuls saraf, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui,
potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada
permeabilitas membran terhadap ion Na akibat depolarisasi ringan pada membran.
Proses inilah yang dihambat oleh obat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka
terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels). Dengan
bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang rangsang membran
akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun,
konduksi impuls melambat dan faktor pengaman (safety factor) konduksi saraf juga
berkurang.
Faktor-faktor
ini
akan
mengakibatkan
penurunan
kemungkinan
melakukan aksinya, obat anestesi spinal pertama sekali harus menembus jaringan
sekitarnya8.
Tabel.1. Beberapa jenis obat anestesi lokal yang dipakai pada anestesi spinal.
Potensi dan lama kerja anestesi lokal berhubungan dengan sifat individual zat
anestesi lokal dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi sistemiknya, sehingga semakin
tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin panjang lama kerja anestesi
lokal tersebut11.
Potensi dan lama kerja dapat ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi dan
dosis. Potensi yang kuat berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak,
karena hal ini akan memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat anestesi lokal
mencapai
membran
sel.
Terjadinya
vasokontriksi
akan
menghambat
serta
dari percobaan laboratorium pada suhu kamar seperti yang dilakukan Glissen
tergantung pada perubahan temperature dan serabut bermielin memberikan reaksi
terhadap pendinginan dimana serabut A resisten terhadap obat anestesi lokal, hal ini
terjadi karena serabut A-delta yang mengatur sensasi nyeri dan suhu lebih sensitif
dibanding serabut C yang juga mengatur rasa nyeri meskipun ia mempunyai daya
hantar yang lebih cepat. Nyeri patologis (dihantarkan oleh serabut C) seperti yang
terjadi pada robeknya rahim (ruptur uteri) atau plasenta, dapat dihambat dengan
melakukan blok epidural pada penanggulangan nyeri persalinan11.
Sensitivitas serabut A yang lebih besar dari pada serabut C mungkin menerangkan
fenomena ini. Serabut-serabut sensorik Aa meskipun kecepatan hantaran kedua jenis
serabut ini sama. Mungkin hal ini terjadi karena serabut sensorik menghantarkan
impuls pada frekwensi yang lebih tinggi. Semua zat anestesi spinal memblokade
bagian sensorik lebih cepat daripada motorik dan menunjukkan selektivitas yang sama
terhadap berbagai serabut saraf yang berbeda. Sensitivitas relatif dan jenis serabut
yang berbeda tergantung dari penempatannya pada berkas saraf (nerve bundle).
Kesimpulannya, tingkat sensitivitas terhadap blokade adalah sebagai berikut (dimulai
dari yang paling sensitif) : preganglionik, nyeri dan suhu sentuh, propioseptik dan
serabut motorik. Tampak bahwa serabut motorik adalah yang paling sukar di blockade
/ dihambat11.
Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya dalam
meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia dapat juga
terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe pembedahan
dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index (BMI), tekanan
darah dan denyut jantung11.
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah subarakhnoid,
dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai lumbal 1 (L1)
pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi, sedangkan
saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral 2 (S2) pada
dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak12.
21
F. Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi lambat.
Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal14.
Komplikasi sirkulasi14:
1.
Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun dibawah
75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka
kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal, jantung dan otak.
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, makin tinggi blok
23
Ada beberapa terapi yang sering dipakai untuk penanganan PDPH, baik
invasif maupun non-invasif, yang tersedia bagi tim anestesi. Walaupun tidak
semuanya didukung oleh evidence based yang lengkap, tetapi kebanyakan
telah diterima dengan baik oleh berbagai kalangan anestesiolog. Terapi noninvasif meliputi tirah baring, status hidrasi, posisi, ikatan abdominal, analgesia,
dan obat-obat farmakologis lain seperti kaffein intravena, theophylline, dsb.
Terapi invasif meliputi Epidural Blood Patch dan Epidural Dextran15.
Terapi konservatif meliputi posisi berbaring, analgesia, stagen abdomen,
pemberian cairan infus atau oral, dan kaffein. Menjaga pasien tetap supine
akan mengurangi tekanan hidrostatik yang mendorong cairan keluar dari
lubang dura dan meminimalkan nyeri kepala. Medikasi analgesia bisa berkisar
dari asetaminofen sampai NSAID. Hidrasi dan kaffein bekerja menstimulasi
produksi CSF. Kaffein membantu dengan menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah intrakranial. Salah satu yang menjadi faktor penentu
terjadinya PDPH adalah status hidrasi pasien, dimana konsep hidrasi pada
PDPH masih banyak salah dimengerti. Tujuan dari hidrasi adalah untuk
memastikan kecepatan produksi CSF optimal, dimanaselama 10 menit. Bila
terjadi perbedaan MAP lebih dari 10, maka dinyatakan Tilt Test positif dan
pasien masih belum terhidrasi dengan cukup15.
Epidural blood patch merupakan penanganan yang sangat efektifterhadap
PDPH. Dengan melakukan injeksi 15-20 cc darah autologous keruang epidural
pada, satu interspace dibawahnya atau pada tempat tusukan dura. Hal ini
dipercaya akan menghentikan kebocoran yang terjadi pada CSF oleh karena
efek massa atau koagulasi. Efeknya bisa terjadi segera atau beberapa jam
setelah tindakan ketika produksi CSF secara perlahan akan meningkatkan
tekanan intrakranial yang dibutuhkan. Sebanyak 90% pasien akan memberikan
respon terhadap tindakan blood patch ini15.
4. Komplikasi respirasi
a. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paruparu normal.
b. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal
tinggi.
25
c. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
d. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tandatanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan
pernafasan buatan14.
5. Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal
merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi
dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal,
dengan kekerapan yang bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan
meningkat14.
G. Obat-obat anestesi spinal
1. BUPIVAKAIN
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af
Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 196312. Secara komersial
bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih
menghambat sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan
untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah16.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi
abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan
konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain
hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 1522,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan bila
dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling disukai dari bupivakain
selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya yang lemah.
Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain16. Bupivakain juga mempunyai
26
lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai kemampuan yang
lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan,
dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai
blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat berlangsung selama 4
jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi kaudal akan
memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25 0,375 %
merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah. Konsentrasi
yang lebih tinggi (0,5 0,75 %) digunakan untuk pembedahan. Konsentrasi
infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 0,5 %, epidural 0,5 0,75 %, spinal
0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg. Dosis rata-ratanya
3 4 mg / kgBB17.
a. Farmakologi bupivakain
Bupivakain
bekerja
menstabilkan
membran
neuron
dengan
cara
28
anatomi batang spinal, tehnik injeksi, volume Cerebro Spinal Fluid (CSF),
density CSF dan baricity obat anesthesi, posisi pasien, dosis serta volume obat
anestesi. Bupivakain 0,5% isobarik diberikan secara injeksi akan bercampur
dengan CSF (paling sedikit 1:1), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat blockade neural meliputi tingkat injeksi, tinggi badan dan anatomi
kolumna vertebralis, Sedangkan bupivakain 0,5% hiperbarik dapat diberikan
tergantung dari area spinal (secara normal T4-T8 dalam posisi telentang)11.
Efek samping anestesi spinal yang sering terjadi adalah hipotensi dan
bardikardi. Biasanya terjadi 5 menit setelah anestesi spinal. Dilaporkan juga
setelah 45 menit pemberian bupivakain 0,5% isobarik akan terjadi penurunan
tekanan darah dan penurunan denyut jantung. Disamping itu mual-muntah,
blokade spinal tinggi, keracunan, menggigil, retensi urin, post dural puncture
headache dan henti jantung dapat juga terjadi. Pasien dengan henti jantung
harus segera dilakukan resusitasi jantung paru dan jika perlu dilakukan pijat
jantung. Bretylium merupakan obat pilihan bila terjadi disritmia11.
2. KLONIDIN
Klonidin adalah salah satu contoh dari agonis 2 yang digunakan untuk obat
antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik) dan efek
kronotropik negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat 2 agonis lain juga
mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga ditemukan efek anestesi
dari pemberian secara oral (3-5g/kg), intramuscular (2g/kg), intravena (13g/kg), transdermal (0,1-0,3 mg setiap hari) intratekal 75-150g) dan epidural (12g/kg) dari pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan
anestesi dan analgesi (menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi dan
anxiolisis. Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan juga meningkatkan
stabilitias sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin.
Selama anestesi regional, termasuk peripheral nerve block, klonidin akan
meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsung pada medula spinalis mungkin
dibantu oleh reseptor postsinaptik 2 dengan ramus dorsalis. Keuntungan lain juga
mungkin berupa menurunkan terjadinya postoperative shivering, inhibisi dari
kekakuan otot akibat obat opioid, gejala withdrawal dari opioid, dan pengobatan
dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping dapat berupa bradikardia,
hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut kering11.
30
a. Manfaat klinis
Agonis alfa-adrenergik (klonidin dan dexmedetomidine) menghasilkan
sedasi, menurunkan kebutuhan obat anestesi dan meningkatkan stabilitas
hemodinamik perioperatif ( kestabilan tekanan darah dan frekuensi nadi terhadap
stimulasi bedah) dan stabilitas simpatoadrenal. Sebagai tambahan, reseptor alfa2
didalam korda spinalis memodulasi jalur nyeri yang menghasilkan analgesia.
Penggunaan klonidin secara rutin sebagai adjuvan anestesia dan untuk
memenuhi kebutuhan sedasi postoperatif tanpa depresi pernafasan, telah dibatasi
karena waktu paruh yang panjang mencapai 6-10 jam11.
b. Analgesia
Klonidin tanpa bahan pengawet yang diberikan ke dalam rongga epidural
atau subarachnoid (150 sd 450 g) menghasilkan analgesia yang dose-dependent,
tidak seperti opioid, tidak menyebabkan depresi pernafasan, gatal-gatal, mual dan
muntah, atau perlambatan pengosongan lambung. Retensi urin, yang merupakan
komplikasi umum dari opioid epidural, jarang ditemukan ketika diberikan klonidin
epidural untuk analgesi post operatif. Klonidin menghasilkan analgesia
diperkirakan melalui mekanisme aktivasi reseptor alfa2 post sinaps di substansia
gelatinosa dari korda spinalis. Klonidin dan morfin, ketika digunakan secara
bersamaan sebagai analgesia neuroaxial, tidak menghasilkan toleransi silang.
Hipotensi, sedasi, dan mulut kering dapat terjadi pada penggunaan klonidin
neuroaksial untuk menghasilkan analgesia. Penambahan klonidin sebesar 1/kg
terhadap lidokain yang digunakan untuk anestesi regional intravena total akan
meningkatkan analgesia post operatif. Penggunaan klonidin regional intravena
sebesar 1/kg terbukti efektif dalam mengurangi nyeri yang difasilitasi oleh sistem
saraf simpatis11.
31
diberikan 1-1,5 jam sebelum anestesi spinal dengan tetrakain atau lidokain
menghasilkan pemanjangan anestesi sensorik yang jelas. Pada laporan yang lain,
klonidin oral sebesar 200g dapat memperpendek onset dari tetrakain untuk
memblokade sensorik dan memperpanjang waktu blokade sensorik dan motorik.
Namun, premedikasi klonidin meningkatkan risiko bradikardi dan hipotensi yang
bermakna secara klinis. Mekanisme tentang bagaimana klonidin oral dapat
memperpanjang anestesi spinal belum dapat ditentukan. Penambahan 0,5g/kg
klonidin
ke
dalam
larutan
yang
mengandung
mepivacain
1%
dapat
visceral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rangka
meningkat. Berbeda dengan Epinefrin, penurunan tekanan darah pada dosis
rendah tidak nyata pada efedrin20. Efek efedrin terhadap hemodinamik lebih
rendah dibanding epinefrin karena efek efedrin pada 1 di vena lebih dominan
dibanding di arteri, sehingga respon peningkatan TD lebih lemah 250 kali
dibanding adrenalin. Efek efedrin berupa peningkatan TD, HR, CO, aliran
darah koroner dan peningkatan SVR. Efedrin bolus 5-10 mg pada orang
dewasa normal sedikit meningkatkan SVR dan Efedrin merupakan golongan
simpatomimetik non katekolamin yang secara alami ditemukan di tumbuhan
efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai gugus OH pada cincin benzena ,
gugus ini memegang peranan dalam efek secara langsung pada sel efektor1.
peningkatan TD yang terjadi pada pemberian efedrin adalah hasil dari
akumulasi dari peningkatan SVR, preload, HR< CO. Setelah pemberian efedrin
terjadi vasokontriksi pada vascular band, juga disertai vasodilatasi pada daerah
lain melalui reseptor 2. Melalui reseptor a1 akan meningkatkan kontraktilitas
otot jantung21.
Efedrin adalah vasopresor yang sering digunakan untuk kasus hipotensi
karena subarakhnoid block (SAB), blok epidural, karena obat induksi IV dan
inhalasi. Untuk mengatasi hipotensi ini efedrin diberikan 3-10 mg IV atau 2550 mg IM. Pemberian efedrin sampai dosis 70/kgBB tidak meningkatkan TD
secara bermakna. Efedrin dapat menurunkan renal blood flow (RBF), dan efek
metabolic berupa peningkatan gula darah, namun peningkatan gula darah ini
tidak sebesar akibat epinefrin. Efek efedrin terhadap uterus akan mengurangi
aktivitas otot uterus, dan pada bronkus akan menyebabkan relaksasi otot polos
bronkus, sehingga dapat dipakai untuk pengobatan asthma bronchial .
Bronkorelaksasi oleh efedrin lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama
dibandingkan dengan epinefrin21.
Penetesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Reflek cahaya,
daya akomodasi dan tekanan intraokuler tidak berubah. Aktivitas uterus
dikurangi oleh efedrin : efek ini dapat dimanfaatkan pada dismenore. Efedrin
kurang efektif dalam meningkatkan kadar gula darah dibandingkan dengan
Epinefrin. Efek sentral efedrin menyerupai efek amfetamin tetapi lebih lemah.
b. Farmakokinetik
Efedrin yang merupakan golongan nonkatekolamin, digunakan dalam klinik
umumnya efektif pada pemberian oral karena efedrin resisten terhadap COMT
dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus, hati dan ginjal20.
c. Efek Samping, Toksisitas dan Kontraindikasi
Efek samping penggunaan efedrin serupa dengan efek samping pada
penggunaan epinefrin, dengan tambahan efek sentral efedrin. Pemberian
efedrin dapat menimbulkan gejala seperti perasaan takut, khawatir, gelisah,
tegang, nyeri kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing, pucat, sukar
bernafas dan palpitasi21.
Dosis efedrin yang besar dapat menimbulkan perdarahan otak karena
kenaikan tekanan darah yang hebat. Efedrin juga dapat menyebabkan
terjadinya aritmia yang bersifar fatal pada penderita penyakit jantung organik.
Insomnia, yang sering terjadi pada pengobatan kronik, mudah diatasi dengan
pemberian sedatif20.
Efedrin dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat -blocker
nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor pembuluh
darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak20.
4. EPINEFRIN (ADRENALIN)
Adrenalin (epinephrine), adalah hormon katekolamin yang dihasilkan oleh
bagian medula kelenjar adrenal, dan suatu neurotransmitter yang dilepas oleh
neuron-neuron tertentu yang bekerja aktif di sistem saraf pusat. Epinephrin
merupakan stimulator yang kuat pada reseptor adrenergik sistem saraf simpatis,
dan stimulan jatung yang kuat, mempercepat frekuensi denyut jantung dan
meningkatkan curah jantung, meningkatkan glikogenolisis, dan mengeluarkan efek
metabolik lain. Epinephrine disimpan dalam granul kromatin dan akan dilepas
sebagai respon terhadap hipoglikemia, stres dan rangsangan lain22.
Preparat sintetik epineprine bentuk levorotatori digunakan sebagai
vasokonstriktor topikal, stimulan jantung, dan bronkodilator, dapat diberikan
secara intranasal, intraoral, parenteral, atau inhalasi. Sedangkan norephineprine
35
menurunnya
tahanan
perifer
pembuluh
darah.
Efek
36
5. FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik narkotika
digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan injeksi IM
(intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan sakit yang disebabkan
kanker. Menghilangkan periode sakit pada kanker adalah dengan menghilangkan
rasa sakit secara menyeluruh dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang
persisten/menetap. Obat Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika23. Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat
untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh
aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat
menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai
dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara
mendadak. Sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu dilakukan
penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu sebelum pengobatan
dihentikan23.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial pusat (CNB)
meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga memperpanjang analgesia
pascaoperasi. Durasi biasa pada efek analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah
dosis tunggal intravena sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 g
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek
apapun dan dosis tinggi meningkatkan kejadian efek samping24.
Saat ini Bupivakain 0,5% digunakan umumnya untuk anestesi spinal dan
epidural. Jika digabungkan dengan fentanyl intratekal dapat memberikan
kedalaman anestesi dengan mengurangi dosis bupivakain. Fentanyl merupakan
opioid lipofilik dan mempunyai onset kerja cepat dan lama kerja pendek sehingga
insidensi depresi pernafasan lebih rendah. Dari hasil penelitian didapatkan
dimulainya blok terhadap sensorik pada T6. Dari penelitian ini terbukti bahwa
dengan penambahan fentanil pada anastesi spinal dapat mengurangi dosis
bupivacain sehingga insidensi hipotensi dan penurunan tekanan darah sistolik
dapat menurun juga25.
37
2.
Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan (tekanan darah
dan nadi cepat) atau karena hipoksia (tekanan darah turun dan nadi cepat)
misal karena perdarahan (hipovolemia).
3.
4.
Jika hipoksia cari sebabnya dan atasi penyebabnya (obstruksi jalan nafas)
karena secret/lender atau lidah jatuh ke hipofharing).
5.
Oksigen via nasal kanul 3-4 liter, selama pasien belum sadar betul tetep
diberikan.
6.
7.
Pasien bisa diberi makan dan minum jika flatus sudah ada, itu bukti peristaltik
usus sudah normal.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien perempuan dengan umur 14 tahun ini adalah pasien dengan diagnosis klinis
cystoma ovarii sinistra dan ascites. Pada kasus ini terapi yang dipilih adalah terapi operasi
laparotomy. Tehnik anestesi yang dipilih yaitu dengan spinal anestesi.
Dari pemeriksaan fisik dan penunjang, diperoleh gambaran mengenai status pasien.
Status fisik pra anestesi masuk dalam kategori ASA I, yaitu pasien dalam keadan sehat
yang memerlukan operasi.
Pada pasien ini penatalaksanaan preoperatifnya adalah pre op visite yang bertujuan
untuk mengetahui kondisi umum pasien serta komplikasi yang mungkin terjadi bila ada
38
penyakit penyulit. Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan generalisnya dalam batas
normal, tidak ada penyakit sistemik dan tidak ada kelainan hasil laboraturium.
Setelah selesai operasi, pasien dipindahkan ke Recovery Room kemudian diberi
ceftriaxon 2x1 gr dan transfuse Whole Blood 2 kolf, dengan tanda vital pasien yang
diperhatikan. Disana pasien diberikan O2 3liter/menit untuk membantu perfusi jaringan,
sedangkan pemberian oksigen yang berlebih tidak dilakukan karena dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah. Pasien juga diberi infuse sesuai dengan kebutuhan
(BBx40-50cc kgBB/24 jam) yaitu 2600cc-3250 cc/24 jam. Perlu diperhatikan pemberian
cairan yang terlalu banyak harus pula diimbangi dengan dengan pengeluaran cairan yang
mencukupi, jadi harus dipastikan fungsi miksi pada pasien normal. Volume urin normal
adalah 0,5-1 cc/kgBB/jam, maka pada pasien ini pengeluaran urin kurang lebih adalah
32,5-65 cc/jam atau 780-1560 cc/24 jam.
Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan volume cairan intravaskuler
meningkat menimbulkan kerja jantung semakin berat, yang nantinya bisa menimbulkan
gagal jantung kiri maupun edema pulmoner. Pada saat dibangsal tetap dimonitoring tandatanda vital pada pasien , jumlah cairan yang masuk dan yang keluar, baik infus, intake
nutrisi, dan volume urin. Pada pasien ini dapat juga diberikan terapi post operatif seperti
antibiotik dan anlagetik untuk mengurangi rasa nyeri post operatif. Observasi ini dilakukan
sampai kondisi pasien stabil.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gunawan, S. G. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2007. Hal 786-787.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural Blockade. In :
Cousins MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and
Management of Pain. Third Edition. Philadelphia : Lippincott- Raven. 1998. Pages
203-209
3. Marwoto.2000. Mula dan lama kerja antara lidokain, lidokain-bupivakain dan
bupivakain pada blok epidural. Dalam: Kumpulan makalah pertemuan ilmiah berkala
X-IDSAI. Bandung; 520-521.
4. Dobson, M. B. Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi. EGC. Jakarta.
1994. Hal 101-104.
39
5. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anesthesia and Analgesia.
Mediglobe. Fribourg. 1994. Pages 71-104.
6. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1. FKUI.
Jakarta. 2001. Hal 124-127.
7. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC.
Jakarta. 2006.
8. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.
Aesculapius. Jakarta. 2000. Hal 261-264.
9. Katzung BG. Basic and Clinical Pharmacology. Terjemahan Sjabana D, Isbandiati E,
Basori A. Edisi 8. Penerbit Salemba Medika. Jakarta. 2002. Hal 170-171.
10. Hodgson PS, Liu SS. 2001. Local Anesthetics. In Textbook Clinical Anesthesia. Forth
Edition. Philadelphia. Lippincott Williams and Wilkins Co. 2001. Pages 449-465.
11. Aziz, AA. Perbandingan antara Klonidin 2ug/kgbb dan 4ug/kgbb Per Oral terhadap
Level Sedasi, Pemanjangan Blokade Sensorik dan Motorik pada Anestesi Spinal
dengan Bupivakain 5 % Isobarik untuk Operasi Abdomen Bawah. Tesis. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta. 2010.
12. Morgan GE, Mikhail MS. Regional Anesthesia and Pain Management. In Clinical
Anasthesiology. Forth Edition. New York. Pretince Hall International Inc. 2006. Pages
266-267.
13. Muhiman, M, Thaib,R,dkk. Anestesi Regional dalam Buku Anestesiologi. FKUI.
Jakarta. 2004.
14. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal Anesthesia. 2009. Available in
Website : www.nysora.com.
15. Campbell, NJ. Effective Management of The Post Dural Puncture Headache.
Anaesthesia
Tutorial
of
The
Week
181.
2010.
Available
at
website
http://www.totw.anaesthesiologists.org
16. Tuominen, M. Bupivacaine Spinal Anesthesia. Acta Anesthesiology Scand. Vol 35:110.
17. Veering, B. Local Anesthesics. In Regional Anaesthesia and Analgesia. Philadelphia.
WB Saunders company. 1996. Pages 188-197.
18. Stamtiou, G. The Effect of Hyperbaric Versus Isobaric Spanal Bupivacaine on Sensory
and Motor Blockade Post Operative Pain and Analgesic Requiretments for Turp.
Anesthesiology : 43-6
40
19. Srivastava U, Kumar A, Gandhi NK. Hyperbaric or Plain Bupivacaine Combined with
Fentanyl for Spinal Anesthesia During Caesarean Delivery. Indian Journal of
Anesthesiology. Vol 48 : 44-6
20. Setiawati, A. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. FKUI. Jakarta. 2005. Pages 67-71.
21. Kusumawardhani, RR. Perbandingan Dosis Efedrin 0,1 mg/kgbb dengan 0,2 mg/kgbb
untuk Mencegah Hipotensi Akibat Spinal Anestesi. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2009.
22. Lamanepa, Maria EL. Perbandingan Profil Lipid dan Perkembangan Lesi
Aterosklerosis pada Tikus Wistar yang Diberi Diet Perasan Pare dengan Diet Perasan
Pera dan Statin. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. 2005.
23. Anonymous.
Obat
Analgetik
Antipiretik.
2006.
Available
at
website :http://www.medicastore.com
24. Harsoor, Vikram. Spinal Anaesthesia with Low Dose Bupivacaine with Fentanyl for
Caesarean Section. SAARC Journal of Anaethesia. Vol 12 : 142- 145. 2008. Available
at website : http://www.saarcaa.com
25. Bogra, Arora, Srivastava. Synergistic Effect of Intrathecal Fentanyl and Bupivacaine in
Spinal Anaesthesia for Cesarean Section. BioMed Central Journal. Vol 5. 2005.
Available at website : http://www.biomedcentral.com\
41