Pendahuluan
Islam adalah kumpulan peraturan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad di dalamnya terkandung peraturan-peraturan tentang aqidah, ahklak, muamalat, dan
segala berita yang disebut di dalam al-Quran dan as-Sunnah adalah perintah agar disampaikan
kepada manusia.
Peraturan praturan tersebut bertujuan untuk kemaslahatan manusia seutuhnya, pada
dasarnya manusia berharap pada hal-hal yaitu :Kemaslahatan hidup bagi diri dan oranglain,
Tegaknya keadilan, Persamaan hak dan kewajiban dalam
kebebasan
nalar
Nafs (memelihara
berpikir), Hifdzu
hak
hidup),Hifdzu
Mal (memelihara/menjaga
Nasl (memelihara
hak
harta
untuk
mengembangkan keturunan), hajjiyah (bersifat kebutuhan ) seperti jual beli, sewamenyewa, dan
1[1] Drs. Beni Ahmad Saebani, filsafat hukum islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), h. 243
2[2] Adbul wahab Khallaf mengatakan tujuan umum syari dalam mensyariatkan hukumhukumnya ialah mewujudkan kemaslahatan manjusia dengan menjamin hal-hal yang dharuri, hajiyat,
tahsiniyat. Dan setiap hukum tidaklah dikehendaki padanya kecuali salah satu yang tiga hal tersebut yang
menjadi penyebab terwujudnya kemaslahatan manusia.Abdul Wahab Khalllaf, ilmu ushul fiqih,
terjemahan oleh Ahmad Qarib, (semarang : Dina Utama 1994), h. 310
3[3] Ahmad almursi Husain jauhari, maqasid syariah, Terjemahan oleh khikmawati (Jakarta :
Amzah, 2009), h. 16
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Qaidah Fiqhiyah
Kata qaidah atau qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa
Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, apa-apa yang dibangun
diatasnya sesuatu yang lain, pondasi, dasar misal jika dikatakan artinya pondasi
bagunan, bisa juga bermakna : prinsip dan asas ( metode/peraturan) , misal
artinya prinsip atau peraturan negara atau pemerintah. Sedangkan bagi mayoritas ulama
ushul mendefinisikan kaidah dengan: "hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan
sebagian besar bagian-bagiannya".
Fiqhiyah diambil dari kata artinya : mengerti, memahami, pemahaman
yang diberi tambahan ya' nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara
etimologi makna fiqih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh
para sahabat, makna tersebut diambil dari Firman Allah SWT surah at-Taubah: 122: "untuk
memperdalam
pengetahuan
mereka
tentang
agama". Dan
berdasarkan
Sabda
Nabi Muhammad SAW, "barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan
kepadanya kepahaman dalam agama". Dan juga sebagaiman doa nabi kepada ibnu abbas :
" ya allah pahamkanlah dia kepada ilmu agama "
Fiquh menurut istilah syara ialah pengetahuan tentang hukum-hukum syara yang
praktis, yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci. Dan bisa juga desebut dengan
kompilasi4[4] hukum syara yang bersifat praktis yang diambil dari dalilnya secara terrinci.5[5]
Jadi yang dimaksud dari kaidah fiqhiyah adalah "hukum-hukum yang berkaitan dengan
asas hukum yang di bangun oleh syari' serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam
pensyariatannya" atau hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagianbagiannya atau cabang-cabangnya.
4[4] Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan sebagai kumpulan yg tersusun secara
teratur, daftar informasi, karangan
5[5] Prof. Abdul Wahab Khallaf, ilmu ushul fiqih, (semarang : dina utama, 1994), h. 1
Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa setiap qaidah fiqhiyah telah mengatur dan
menghimpun beberapa banyak masalah fiqih dari berbagai bab.6[6]
B. Perbedaan Kaidah Ushul dengan Kaidah Fiqhiyah
Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh terletak pada kesaaman sebagai wasilah
pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-masalah
dalam kajian syariah. Oleh karena itu, dalam perspetif ini kaidah ushul sangatlah mirip dengan
kaidah fiqih. Namun, kita pun bisa melihat perbedaan yang signifikan dari kedua kaidah tersebut,
secara ringkas perbedaan kedua kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qaidah istidlaliyah yang menjadi wasilah para mujtahid
dalam istinbath(pengambilan) sebuah hukum syariyah amaliah. Kaidah ini menjadi alat yang
membantu para mujtahid dalam menentukan suatu hukum. Dengan kata lain, kita bisa
memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat
atau wasilah kepada kesimpulan suatu hukum syari. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu
susunan lafadz yang mengandung makna hukum syariyyah aghlabiyyah yang mencakup di
bawahnya banyak furu. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum syari.
Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan istinbath (mengambil)
hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul al-aslu fil amri lil wujub bahwa asal
dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah ini tidaklah mengandung suatu hukum syari. Tetapi
dari kaidah ini kita bisa mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Quran maupun Hadits)
yang bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih al-dharar yuzal
bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung hukum syari, bahwa
kemudharatan wajib dihilangkan.
2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syari (rahasia-rahasia syari) tidak pula
mengandung hikmah syari. Sedangkan kaidah fiqih dari teksnya terkandung kedua hal tersebut.
3. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhunya (objek). Jika
Kaidah ushulmaudhunya dalil-dalil samiyyah. Sedangkan kaidah fiqih maudhunya perbuatan
mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan lain-lain
4. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
5. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh
6[6] Drs. H. Abdul Mudjib kaidah-kaidah ilmu fiqih, (Jakarta : Kalam Mulia, 2010), h. 4
C. Kaidah Fiqhiyah
Ada lima kaidah fiqhiyah yang disebut juga sebagai panca kaidah yang menurut sebagian
besar ulama seluruh masalah fiqih dikembalikan kepadanya yaitu :
1.
segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya
2.
Yang sudah yakin tidak dapat dihapuskan oleh keraguan
3. 7[ 7]
Kesukaran itu menimbulkan adanya kemudahan
4.
kemudlorotan itu harus dihilangkan
5.
Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum8[8]
Dari kelima qaidah tersebut maka akan menimbulkan furunya yaitu :
1. ( Segala sesuatu perbuatan tergantung pada tujuannya)
Termasuk dalam lingkungan kaidah ini ialah kaidah-kaidah berikut :
a.
Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci ketika
dita'yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan.
Contoh Orang yang didalam niat shalat menegaskan tentang tempat shalatnya dimasjid tapi
ternyata itu mushallah maka shalatnya tetap sah9[9]
b.
7[7] Drs. Beni Ahmad Saebani meletakkannya () pada urutan yang kelima
dan pada urutan keempat, Drs. Beni Ahmad Saebani,filsafat hukum islam, (Bandung : Pustaka Setia,
2007), h. 251
Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan penjelasan
secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara rinci membahayakan.
Contoh Seseorang yang bernama Iqbal niat berjamaah kepada seorang imam bernama mbah
Arief. Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah mbah Arief tapi orang lain yang
mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin), maka shalat Iqbal tidak sah karena ia telah
berniat makmum dengan mbah Arief yang berarti telah menafikan mengikuti Seger. Perlu
diketahui, bahwa dalam shalat berjamah hanya disyaratkan niat berjamaah tanpa adanya
kewajiban menentukan siapa imamnya.
d.
Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan.
Contoh Seorang suami yan memanggil istrinya bernama thaliq ( yang ditalak) maka apabila dia
bermaksud untuk mentalak istrinya maka tercapailah maksudnya itu10[10]
2.
Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.
Termasuk dalam kaidah ini, kaidah-kaidah berikut antara lain :
a.
Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula.
Contoh Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya fajar maka
puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap malam (al-aslu baqa-u allail).
b.
10[10] ibid
dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan kemudian
dikembalikan kepada yang mendakwa (muddai).
c.
d.
zamannya. )
Contoh seorang yang berwudhu dari sebuah sumur lalu dia shalat, setelah shalat dia
menemukan bangkai di dalam sumur tempat dia berwudhu tadi maka shalatnya tetap sah kecuali
kalau dia yakin kalau dia berwudhu dengan air yang bernajis.
e.
f.
a.
d.
e.
f.
syara, dilaksanakan secara mayoritas, mendatangkan manfaat, dan juga tidak bertentangan
dengan akal sehat.11[11] Termasuk dalam kaidah ini,ialah :
( Sesuatu yang berlaku mutlak
karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi didalamnya dan tidak pula dalam bahasa,maka
segala sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan (al-"urf) yang berlaku).
Contoh Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan
menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut. Terkait dengan kaidah di atas, bahwasanya
syara telah menentukankan tempat niat di dalam hati, tidak harus dilafalkan dan tidak harus
menyebutkan panjang lebar, cukup menghadirkan hati; aku niat shalatrakaaat. itu
sudah di anggap cukup.
Hukum pada hakikatnya adalah masyarakat itu sendiri. Hukum merupakan masyarakat
dari sudut pandang tertentu, karena hukum itu ada dalam masyarakat dan mengatur masyarakat
itu untuk mencapai kedamaian social. Berdasarkan titik tolak itu hubungan hukum adat dengan
masyarakat dan hukum-hukum lain yang berlaku dalam suatu masyarakat, demikian juga dengan
hukum islam yang telah di manifestasikan oleh komunitas social yang beragama islam, secara
filosofis bererak sesuai dengan aktualisasi norma social yang berlaku dengan regenerative, hal
itu karena, dengan melakukan pendekatan filosofis, akan diperoleh suatu gambaran yang netral,
hukum adat hukum islam dilihat sebagai inter subsistem hukum yang sejajar kedudukannya dan
sama perannya bagi masyarakat yang menganutnya.12[12]
Perubahan masyarakat adalah sebuah fenomena alamiah seiring dengan perputaran
waktu, disebabkan kehidupan manusia yang secara teratur terus bergerak menuju kesempurnaan.
Tidak ada masyarakat yang berada dalam kondisi stabil dan tetap pada waktu yang berbeda,
semua bergerak, mengalir, menuju sebuah peradaban yang kian sempurna.
Tata nilai dan norma dengan sendirinya hadir seiring dengan keberadaan manusia itu
sendiri,ada yang dirumuskan dengan kesepakatan, kekuasaan, dan juga agama. Hukum islam
11[11] Dalam hukum islam adat dibagi dua pertama Adat shahiha yaitu adat yang tidak bertentengan dengan hukum
yang lebih tinggi yang bersumber dari alquran dan sunnahdan tidak bertentangna dengan undang-undang yang
berlaku. Dan yang kedua, Adat fasidah yaitu bertebtangan dengan hukum yang lebih tinggi yang bersumber dari
alquran dan sunnah, dan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, Drs. Beni Ahmad Saebani,filsafat
hukum islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), h. 262
merupakan hasil dari sebuah evolusi pemikiran manusiawi dari kemajemukan norma-norma
agama yang berlandaskan nash.13[13]
Syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang dikeluarkan dari alquran dan sunnah.
Alquran dan sunnah diakuai sebagai sumber kewahyuan yang valid. Pemahaman dan penafsiran
kedua sumber kewahyuan ini disebut dengan hukum fiqih, hukum fiqih inilah yang disebut
dengan hukum islam.14[14]
13[13] Dr. Junaidi Lubis, MA, Islam Dinamis, (Jakarta : Dian Rakyat, 2010), h. 10
14[14] Ibid, h. 26
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Bahwa permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ragam
macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar terhadap jalan
penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang secara
lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini
tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang muncul
ditengah-tengah kehidupan.
Maka, hendaklah seorang muslim memahami secara baik tentang konsep disiplin ilmu ini
karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara kaum
muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam. Menjadi
kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi persoalan hukum dalam
Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.
Unsur-unsur masyarakat yaitu :
1. Mayarakat merupakan kumpulan individu dari jenis hewan yang hidup secara berkelompok.
2. Makhluk social dan Saling menopang
3.
Selalu mengalami perkembangan dan perubahan dari segi budaya dan peradaban.
Kehidupan manusia disebut berubah karena adanya perubahan disaat berubahnya waktu,
sehingga akan melahirkan keberagaman kebutuhan, karakter, kultur dan pola pikir yang amat
sangat berbeda dan akan selalu berubah seiring berjalannya waktu, hal inilah yang akan
menimbulkan perbuatan mukallaf yang tidak berdasarkan ketetapan hukum yang pasti.
Secara garis besar yang mempengaruhi perubahan itu adalah lingkungan,poulasi yang
makin bertambah, ideology pemikiran, peristiwa, inovasi kultur (iptek), dan perbuatan mukallaf.
Untuk mengikat atau mengcover hal tersebut maka perlu adanya undang-undang, aturan, kaidah
yang bersifat universal yaitu kaidah fiqhiyah.
Daftar Pustaka
Dr. Junaidi Lubis, 2010, Islam Dinamis, Jakarta : Dian Rakyat
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Abdul Wahab Khalllaf, 1994, ilmu ushul fiqih, terjemahan oleh Ahmad Qarib, semarang : Dina
Utama
Drs. H. Abdul Mudjib, 2010, kaidah-kaidah ilmu fiqih, Jakarta : Kalam Mulia,
Drs. Beni Ahmad Saebani, 2007, filsafat hukum islam, Bandung : Pustaka Setia,
Ahmad almursi Husain jauhari, 2009, maqasid syariah, Terjemahan oleh khikmawati Jakarta :
Amzah,