Anda di halaman 1dari 22

Diagnosis dan Penatalaksanaan Klinis Penyakit Polisitemia Vera

Ni Wayan Mirah Wilayadi


Kelompok: B-6
NIM: 102011392
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510
No. Telp (021) 5694-2061, e-mail : miwakary.mw@gmail.com

Pendahuluan
Darah merupakan komponen esensial mahluk hidup, mulai dari binatang primitif sampai
manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darah sehingga
dapat menjalankan fungsinya sebagai: (a) pembawa oksigen; (b) mekanisme pertahanan
tubuh terhadap infeksi dan (c) mekanisme hemostasis. Polisitemia vera dikenal juga dengan
istilah polisitemia rubra vera, polisitemia splenomegalik, eritrositosis megalosplenik,
penyakit Vaquezs, penyakit Oslers, penyakit mielopati (Weber) dan polisitemia
kripptogenik (R.C.Cavot). Polisitemia vera selanjutnya disingkat PV merupakan suatu
penyakit kelainan pada sistem mieloproliferatif yang melibatkan unsur-unsur hemopoetik
dalam susmsum tulang mulainya diam-diam tapi bersifat progresif, kronik.
Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arti poly (banyak), cyt (sel) dan
hemia (darah) sedang vera (benar) adalah suatu penyakit kelainan pada sistem
mieloproliferatif dimana terjadi klon abnormal pada hemopoetik sel induk (hematopoietic
stem cells) dengan peningkatan sensitivitas pada groth faktors yang berbeda untuk terjadinya
maturasi yang berakibat terjadi peningkatan banyak sel.
Di dalam sirkulasi darah tepi PV didapati peninggian hematokrit yang
menggambarkan terjadinya peningkatan konsentrasi eritrosit terhadap plasma mencapai
>49% pada perempuan ( kadar Hb>16 mg/dL) dan >52% pada pria (Hb>17 mg/dL) dan di
dapat peningkatan jumlah eritrosit total ( hitung eritosit >5,5 juta/ mL pada perempuan dan
>6 juta/mL pada pria). Kelainan ini terjadi pada populasi klon sel induk darah (stem cells)
sehingga seringkali terjadi juga produksi yang berlebihan dari leukosit dan trombosit.
Salah satu masalah yang ditemukan sepeti pada kasus: Seorang anak laki-lali usia 25
tahun datang ke poliklinik RS UKRIDA dengan keluhan utama salit kepala hebat sejak 1
bulan SMSR. Setelah pusing pasien merasa cepat lelah, dan berdebar-debar. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan: kulit kemerahan, konjungtiva tidakanemis, pemeriksaan
1

lainnya dalam batas normal. Hasil lab (Hb: 19g/dL; trombosit 650.000/mL, leukosit 28.000
sel/mm3, eritosit 6.000.000/L, Ht 65%, retikulosit 2,5%). Melihat kompleksnya kasus yang
didapat, pada makalah PBL (Problem Based Learning) ini akan membahas penyakit
polisitemia vera.
Anamnesis
Anamnesis merupakan kumpulan informasi subjektif yang diperoleh dari apa yang
dipaparkan oleh pasien terkait dengan keluhan utama yang menyebabkan pasien mengadakan
kunjungan ke dokter. Anamnesis diperoleh dari komunikasi aktif antara dokter dan pasien
atau keluarga pasien.Komponen anamnesis komprehensif akan menyusun informasi yang
diperoleh dari pasien menjadi lebih sistematis. Akan tetapi ulasan dibawah ini sebaiknya
tidak mendikte rangkaian anamnesis yang akan anda lakukan diklinik, karena biasanya
wawancara akan lebih bervariasi dan anamnesis harus lebih dinamis mengikuti kebutuhan
pasien. Komponen anamnesis komprehensif mencakup :
1.

Mencantumkan tanggal pengambilan anamnesis


Mencantumkan waktu pengambilan sangat penting dan pertama kali dilakukan pada saat
mencatat hasil anamnesis yang dilakukan pada pasien.

2.

Mengidentifikasi data pribadi pasien


Komponen ini mencakup nama, usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan pekerjaan.
Sumber informasi dapat diperoleh dari pasien sendiri, anggota keluarga, teman atau data
rekam medis sebelumnya.

3.

Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan salah satu dari beberapa keluhan lainnya yang paling
dominan sehingga mengakibatkan pasien melakukan kujungan klinik. Usahakan untuk
mendokumentasikan kata-kata asli yang dipaparkan oleh pasien, misalnya sakit kepala
hebat. Terkadang pasien yang datang tidak memiliki keluhan yang jelas seperti pada
pemeriksaan rutin berkala.
Lakukan anamnesis terpimpin agar didapatkan infomasi yang lengkap, jelas, detail, dan

bersifat kronologik terkait dengan keluhan utama yang dialami pasien. Komponen ini harus
mencakupi onset keluhan, keadaan yang memicu terjadinya keluhan, manifestasinya, dan
pengobatan yang telah dilakukan. Gejala yang didapatkan harus memiliki karakteristik yang
menjelaskan (1) lokasi; (2) kualitas; (3) kuantitas atau keparahan; (4) waktu yang mencakup
onset, durasi, dan frekuensi; (5) keadaan yang memicu terjadinya keluhan; (6) faktor lain
yang memperberat atau memperingan gejala; (7) gejala lain yang terkait dengan keluhan

utama. Ketujuh poin tersebut sangat penting diperoleh untuk memahami seluruh gejala
pasien.
Adapun yang perlu ditanyakan dalam kasus kelaian darah adalah:
1. Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas waktu kerja,
angina pectoris dan gagal jantung
2. Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga berdenging, mata berkunang-kunang,
kelemah otot, iratable, lesu, perasaan dingin pada ekstermitas, gangguan pengelihatan,
nyeri
3. Sistem urogenital: gangguan haid, libido menurun
4. Epitel: warna pucat atau kemerahan pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit, rambut
tipis dan halus, gatal, kesemutan
5. Sistemik: demam, berkeringat
6. Sistem digestive: mual, muntah, penurunan nafsu makan, nyeri ulu hati

Keberadaan atau absennya suatu gejala dapat membantu memikirkan diagnosis


differensial, yang merupakan beberapa diagnosis yang paling dapat menjelaskan keadaan
pasien. Anamnesis terpimpin harus dapat mengungkap respon pasien terhadap gejala yang ia
alami atau dampak yang ditimbulkan terhadap kehidupannya. Harus diingat, informasi
mengalir secara spontan dari pasien, tetapi mengorganisir informasi tersebut merupakan tugas
dokter.
Pengobatan yang telah dikonsumsi sebaiknya didokumentasi, termasuk nama obat,
dosis, cara pemberian, dan frekuensi. Catat pula mengenai vitamin, mineral, atau suplemen
herbal, dan obat KB. Meminta pasien membawa seluruh obat yang dikonsumsi merupakan
ide yang baik agar anda dapat secara langsung melihat obat apa yang digunakan. Alergi,
termasuk reaksi spesifik untuk suatu pengobatan seperti gatal atau mual, harus ditanyakan,
begitupula alergi terhadap makanan, serangga, atau faktor lingkungan lainnya. Tanyakan pula
mengenai kebiasaan merokok, termasuk jumlah dan jenis rokok yang dikonsumsi. Jika ia
telah atau pernah berhenti, tanyakan sejak kapan ia berhenti dan seberapa lama.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit pada masa kecil seperti cacar, rubella, mumps, polio, diabetes, penyakit jantung
perlu ditanyakan dalam anamnesis. Termasuk penyakit kronis yang dialami sejak masa kecil.
Selain itu, informasi mengenai riwayat penyakit pada masa dewasa perlu didapatkan dan
mencakup empat hal yaitu sebagai berikut:
3

a. Riwayat medis, tanyakan mengenai adanya diabetes, hipertensi, asma, hepatitis, HIV, dan
informasi riwayat opname.
b. Riwayat operasi, tanyakan mengenai waktu, indikasi, dan jenis operasi yang dilakukan
c. Riwayat ginekologis, tanyakan mengenai riwayat obstetrik, riwayat menstruasi, keluarga
berencana, dan fungsi seksual
d. Riwayat Psikiatrik, tanyakan mengenai waktu, diagnosis, riwayat opname, dan pengobatan
yang dijalani
Selain keempat hal tersebut anda juga perlu memperoleh infomasi mengenai vaksinasi yang
telah dilakukan, dan hasil pemeriksaan skrining yang pernah dijalani pasien.

5. Riwayat Penyakit Pada Keluarga


Dalam memperoleh informasi ini, tanyakan mengenai usia, penyebab kematian, atau penyakit
yang dialami oleh keluarga terdekat pasien seperti orang tua, kakek-nenek, saudara, anak,
atau cucu. Tanyakan mengenai keberadaan penyakit atau keadaan yang dicantumkan berikut:
hipertensi, penyakit jantung koroner, dislipidemia, stroke, diabetes, gangguan thyroid atau
ginjal, kanker, arthritis, tuberkulosis, asma atau penyakit paru lainnya, sakit kepala, kejang,
gangguan mental, kecanduan obat-obatan, dan alergi, serta keluhan utama yang dilaporkan
oleh pasien.

6. Kepribadian dan Riwayat Sosial


Hal ini mencakup kepribadian pasien dan minat, sumber dukungan, cara mengatasi masalah,
kekuatan, dan ketakutan. Sebaiknya ditanyakan mengenai: pekerjaan dan tingkat pendidikan;
sumber stress, baik yang baru muncul atau yang telah kronik; pengalaman hidup penting;
kegiatan pengisi waktu, dan aktivitas hidup sehari-hari (activities of daily living/ADL).
Fungsi dasar minimal harus ditanyakan, terutama pada pasien lansia dan orang cacat.
Kepribadian dan riwayat sosial juga melingkupi kebiasaan hidup yang sehat atau
menciptakan resiko, seperti olahraga atau pola makan, tanyakan frekuensi olahraga, pola
makan harian, suplemene, konsumsi kopi atau teh. Anda dapat pula menanyakan riwayat
pengobatan alternatif yang pernah diikuti pasien.

Pada kasus ini, ketika pasien di anamnesis oleh dokter, diperoleh identitas pasien
adalah seorang laiki-laki berusia 25 tahun. keluhan utama yang mengakibatkan pasien ini
datang berkunjung ke dokter adalah, dia sakit kepala hebat sejak 1 bulan lalu, pasien juga
mengeluhkan cepat lelah dan berdebar-debar.
4

Pemeriksaan Fisik
1. Menilai keadaan umum pasien dan pemeriksaan tanda-tanda vital
2. Pemeriksaan di daerah kepala, yaitu: konjungtiva, sklera, bibir, mata, telinga dan
lidah.
3. Pemeriksaan thoraks, jantung dan abdomen: inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
4. Pemeriksaan ektermitas: inspeksi, palpasi
Dalam kasus ini di temukan hasil pemeriksaan fisik berupa wajah kemer ahan, konjungtiva
tidak anemis dan pemeriksaan lain dalam batas normal. Pada keadaan polisitemia vera dalam
pemeriksaan fisik akan ditemukan: peningkatan tekanan darah, gangguan penglihatan,
trombosis vena, pembesaran limpa dan liver, tofus.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendapatkan penegakan diagnosis penyakit hematologi yang akurat, kira harus
melakukan pemeriksaan dengan teliti. Pemeriksaan ini meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostik yang selektif. Pemeriksaan khusus menentukan kualitas
berbagai unsur darah dan sumsum tulang. Tujuan ini dapat dicapai cengan melakukan
pemeriksaan berbagai unsur darah dan sumsum tulang. Tujuan ini dapat dicapai dengan
melakukan pemeriksaan darah dalam volume tertentu. Untuk mendapatkan hasil yang paling
tepat, sebaiknya darah diambil dari pungsi vena, meskipun demikian spesimen darah kapiler
dapat juga diambil dengan menusuk tepian bebas cuping telinga dan ujung jari bagian palmar.
A. Pemeriksaan laboratorium (darah lengkap)
1. Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera pada saat perjalanan penyakit ini,
peninggian massa eritosit haruslah didemonstrasikan. Hitung sel jumlah eritrosit dijumpai
>6 juta/mL pada pria dan >5,5 juta/mL pada perempuan, dan sedian apus eritrosit
biasanya normokrom normositik, kecuali jika terdapat defisiensi besi. Darah diambil dari
darah kapiler ujung jari atau cuping telinga, setelah hati-hati ditipiskan diatas gelas objek
dengan pewarnaan wright, yang akan memberikan berbagai macam warna kepada
berbagai struktur sel sesuai dengan pH. Poikilosistosis dan anisosotosis menunjukkan
adanya transisi ke arah metaplasia mieloid di akhit perjalanan penyakit. Nilai rujukan
normal eritrosit untuk laki-laki: 4,7-6,1 juta sel/mm3; perempuan: 4,2-5,2 juta sel/mm3.
2. Peningkatan hemoglobin
Komponen utama eritosit adalah hemoglobin (Hb) protein. Sisntesis hemoglobin dalam
eritrosit berlangsung dari stadium perkembangan eritroblas berlangsung dari stadium
perkembangan eritoblast sampai retikulosit. Fungsi utama Hb adalah traspor O2 dan CO2.
5

Konsentrasi Hb darah diukur berdasarkan intensitas warna mengguinakan fotometer dan


dinyatakan dalam gram hemoglobin/ seratus mililiter darah (g/100ml) atau gram/desiliter
(g/dl). Walaupun hemoglobin sebagian besar tidak mempunyai makna klinis, dan dapat
berfungsi dengan normal namun ada beberapa jenis Hb yang menyebabkan peningkatan
mortalitas

dan

morbiditas.

Pemeriksaan

elektrofoesis

hemoglobin

dapat

mengidentifikasikannya. Nilai rujukan normal Hb untuk laki-laki: 13,4-17,6 g/dl dan


perempuan:12,0-15,4 g/dl.
3. Peningkatan hematokrit
Hematokrit menggambarkan volume darah lengkap yang terdiri dari eritrosit. Pengukuran
ini merupakan persentase eritrosit dalam drah lengkap setelah spesimen darah
disentrifugasi, dan dinyatakan dalam milimeter kubik packed cell/100 ml darah atau
dalam volume/dl. Hasil hitung sel darah merah, konsentrasi hemoglobin dan hematokrit
digunakan untuk menghitung indeks eritrosit, kadar hemoglobin dan konsentrasinya.nilai
rujukan normal hematokrit untuk laki-laki: 42-53% dan untuk perempuan: 38-36%
4. Retikulosit
Hitung retikulosit merupakan penentu penting lainya, yang menggambarkan aktivitas
sumsum tulang, yang menggambarkan aktivitas susmsum tulang. Retikulosit merupakan
eritosit immatur tidak berinti yang mengandung sisa-sisa RNA dalam sitoplasmanya.
Dalam keadaan normal jumlah retikulosit dalam apusan darah tepi berjumlah 1% sampai
2%. Pengambilan sama dengan diats, diwarnai dengan supravital yang memberikan warna
biru pada setiap RNA dalam eritosit immatur, sel ini tampak seperti memiliki jala-jala
atau retikulum di dalamnya. Sel-sel ini akan hilang setelah berada 1 atau 2 hari setelah
berada di luar susmsum tulang, dan sel akan menjadi eritosit matang. Peningkatan nilai
dalam darah menunjukkan adanya peningkatan aktivitas sumsum tulang , sedangkan
penurunan atau tidak adanya retikulosit menunjukkan adanya kegagalan sumsum tulang.
5. Peningkatan leukosit, berupa leukositosis neutrofil. Nilai rujukan normal leukostit
4.000-10.000 sel/mm3. Seri granulosit jumlahnya meningkat tejadi pada dua per tiga
kasus PV berkisar antara 12-25 ribu/mL tetapi dapat sampai 60ribu/ml.
6. Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/mL, bahkan dapat >1 juta/mL.
Sering ditemukan morfologi trombosit yang abnormal. Nilai rujukan normal trmbosrit:
150.000-400.000 sel/mm3
7. B12 serum

B12 serum dapat meningkat hal ini dijumpai pada 35% kasus dan dapat pula menurun hal
ini dijumpai pada 30% kasus, dan kadar UB12BC meningkat pada >75% kasus PV.
8. Visikositas darah
9. Asam urat

B. Pemeriksaan sumsum tulang


Pemeriksaan ini tidak diperluklan untuk diagnosis kecuali ada kecurigaan terhadap
penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit.
Sitologi sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas normoblastik berupa
hiperplasi trilinier sari seri eritosit, megakariosit dan mielosit. Sedangkan daro
histopatologi susmsum tulang adanya bentuk morfologi hiperseluler dengan cluster
megakariosit yang patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan patanda
patognomonik PV.
C. Pemeriksaan sitogenetika
Dalam mendiagnosis keganasan hematologik,a analisa sitogenik telah diketahui
merupakan salah satu pemeriksaan yang paling pentinh untuk menegakkan diagnosis dan
pengobatan, dan penting untuk memperkirakan respon terhadap pengobatan dan potensial
untuk remisi dan penyembuhan. Sitogentetik adalah pemeriksaan komposisi kromosom
sel. Fungsi normal, dan setiap deviasi dari yang normal. Sel dipelajari stadium metafase
mitosis. Pengambilan sampel dapat digunakan aspirsi jaringan atau biopsi sumsum tulang.
Pada pasien PV yang belum mendapat pengobatan P53 atau kemoterapi sitostatika dapat
dijumpai karyotip. Variasi abnormallitas sitogenetika dapat dijumpai selain tersebut di
atas terutama jika telah mendaptkan pengobatan P53 atau kemoterapi sitostatika
sebelumnya.
Pemeriksaan ultarsonografi abdominal dilakukan untuk menyingkirkan penyakit ginjal
dan menilai ukuran limpa.
Dari serangkaian pemeriksaan penunjang yang diajukan di dapatkan hasil sebagai berikut:
1. Hemoglobin: 19 g/dL
2. Trombosit 650.000/mL
3. Leukosit 28.000 sel/mm3
4. Eritosit 6.000.000/L
5. Hematokrit 65%
6. Retikulosit 2,5%.

Hasil pemeriksaan pada laki-laki berusia 25 tahun ini menunjukkan adanyan peningkatan
nilai diatas niali rujukan normal. Peningkatan tersebut menandakan adanya suatu kelainan
pada sel induk pluripoten (pembentukan sel darah) dengan ditemukannya eritrositosis yang
nyata, leukositosis dan trombositosis yang berakibat peningkatan visikositas dan volume
darah, umumnya peningkatan visikositas dan volume darah diserati dengan peningkatan
jumlah trombosit dan fungsi trombosit abnormal mempermudah individu mengalami
trombosis dan perdarahan.
Diagnosis
Dari serangakian anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan saya
mendiagnosa kerja pasien ini menderita polisitemia vera, merupakan suatu gangguan
mieloproliferatif, sel induk prulipoten abnormal. Ada dua istilah yang sering diartikan sama
antara polisitemia dengan eritrositosis, pada polisitemia (banyak sel) menggambarkan
peningkatan dari total kualitas atau volume (mass) dari sel darah pada tubuh tanpa
memperdulikan jumlah leukosit atau trombosit. Sedang peningkatan jumlah dan volume saja
dengan pengukuran hitung eritrosis, hemoglobin dan hematokrit adalah lebih benar disebut
eritositosis. Eritrositosis menggambarkan peningkatan volume sel darah merah atau mass
(polisitemia, juga disebut eritsitosis absolute) atau menghasilkan penurunan volume plasma
(disebut polisitemia/ eritrositosis relatif atau spurious). Penyakit ini sering mengenai laki-laki
dari pada perempuan pada usia pertengahan, gejala yang sering pasien keluhkan berupa sakit
kepala, sesak napas, pengelihatan kabur, mata meradang, berkeringat malam, gejala
epigastrial distres, ulkus peptikum, rasa gatal, kesemutan dan rasa terbakar di tungkai, sering
disertai dengan plethora (muka kemerah-merahan), splenomegali, perdarahan, hipertensi dan
artitis gout.
Polisitemia vera selanjutnya disingkat PV, merupakan suatu penyakit kelainan pada
sistem mieloproliferatif yang melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam susmsum tulang
mulainya diam-diam tapi bersifat progresif, kronik terjadi karena sebagian populasi eritrosit
berasal dari satu klon sel induk darah yang abnormal. Berbeda dengan keadaan normalnya,
sel induk darah yang abnormal ini tidak membutuhkan eritopoetin untuk proses
pematangannya (eritropoetin serum <4 mU/mL). Hal ini jelas membedakanya dari
eritrositosis atau polisitemia sekunder dimana eritropoetin tersebut meningkata secara
fisiologis (wajar sebagai kompensasi dari kebutuhan oksigen yang meningkat), biasanya pada
keadaan dengan saturasi oksigen arterial rendah, atau eritropoetin tersebut meningkat secara
non-fisiologik (tidak wajar) sebagai sindrom paraneoplastik yang dijumpai pada manifestasi
neoplasma lain yang mengsekresi eritropoetin. Di dalam sirkulasi darah tepi PV didapati
8

peninggian hematokrit yang menggambarkan terjadinya peningkatan konsentrasi eritrosit


terhadap plasma mencapai >49% pada perempuan ( kadar Hb>16 mg/dL) dan >52% pada
pria (Hb>17 mg/dL) dan di dapat peningkatan jumlah eritrosit total ( hitung eritosit >5,5 juta/
mL pada perempuan dan >6 juta/mL pada pria). Kelainan ini terjadi pada populasi klon sel
induk darah (stem cells) sehingga seringkali terjadi juga produksi yang berlebihan dari
leukosit dan trombosit. Permaslahan yang ditimbulkan berkaitan dengan massa eritosit,
basofil dan trombosit yang bertambah serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah
fibrosis sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan neoplastik jaringan
ikat. Penyakit ini berkembang selama 10-15 tahun, selama waktu ini limfa dan hati
membesar, disebabkan kongesti eritrosit. Sumsum tulang menjadi fibrosis dan akhirnya
menjadi non prosuktif karena kehabisan tenaga atau berubah menkasi leukemia mielogenik
akut, baik sebagai akibat dari pengobatan atau perjalanan penyakit.
Karena kompleksnya penyakit ini, International Polycytemia Study Group ke dua
menetapkan 2 kriteria pedoman dalam menegakkan diagnosis polisitemia dapat ditegakkan
jika memenuhi kriteria a) dari kategori A1+A2+A3 atau b) A1+A2+2 kriteria B.
Kategori A
1. Meningkatnya massa sel darah merah, hal ini diukur dengan krom-radioaktif Cr51.
Pada pria 36 mL/kg, dan pad perempuan 32 mL/kg.
2. Saturasi oksigen arterial 92%. Eritrositosis yang terjadi sekunder terhadap
penyakit atau keadaan lainnya juga disertai massa sel darah merah yan meningkat.
Salah satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya saturasi oksigen arterial
di mana pada PV tidak didapatkan penurunan. Kesulitan ditemukan apabila pasien
tersebut berada dalam keadaan:

Alkalosis respiratorik, dimana kurva disosiasi pO2 akan bergeser ke kiri


dan

Hemoglobinopati di mana afinitas oksigen meningkat sehingga kurva pO2


juga akan bergeser ke kiri

3. Splenomegali
Kategori B
1. Trombositosis: trombosit 400.000/mL
2. Leukositosis : lekosit 12.000/mL (tidak ada infeksi)
3. Neutrofil alkaline phosfatase (NAP) score meningkat lebih dari 100 (tanpa
adanya panas atau infeksi)

4. Kadar vitamin B12 > 900 pg/mL dan UB12BC dalam serum 2200 pg/mL.
Dalam beberapa literatur disebutkan usulan modifikasi kriteria diagnostik PV sebagai berikut:
Kategori A
1. Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25% di atas rata-rata angka normal atau
Packed Cell Volume pada laki-laki 0,6 atau pad perempuan 0,56
2. Tidak ada penyebab polisitemia sekunder
3. Splenomegali yang teraba
4. Petanda klon abnormal (kariotipe abnormal)
Kategori B
1. Trombositosis > 400.000/ mm3
2. Jumlah neutrofil > 10.109/L dan bagi perokok > 12,5x109/L
3. Splenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi
4. Penurunan serum eritopoertin atau BFU-E growth yang karakteristik
Diagnosos polisitemia vera:
Kategori: A1+A2 dan A3 atau A4
Kategori : A1+A2 dan 2 kriteria kategori B
Dari data kasus yang didapat untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera berdasakan
kriteria International Polycytemia Study Group tidak dapat dilakukan karena jumlah data
yang ada terbatas. Penegakan diagnosa polisitemia vera ini diambil berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang dan gejala klinis pasien.
Klasifikasi dan Pendekatan pada Pasien dengan Eritrositosis
Klasifikasi eritositosis tergantung volume sel darah merah (red cell mass) (eritrositosis relatif
atau polisitemia dengan politemia aktual). Polisitemia terbagi dalam polisitemia primer
(polisitemia vera dan politemia famili primer) dan polisitemia yang dipengaruhi oleh
produksi eritropoeitin (polisitemia sekunder)
Tabel 1. Klasifikasi eritrositosis
Eritrositosis relatif atau polisitemia (pseudoertositosis)

Hemokonsentrasi

Polisitemia spurious (sindrom gaisbok)

Polisitemia ( eritrositosis absolut)

Polisitemia primer
Polisitemia vera
Polisitemia familial primer
10

Polisitemia sekunder
Sekunder oleh karena penurunan oksigenisasi pada jaringan
a. High-altitude erytrhrocytosis
b. Penyakit paru
c. Cyanotic congenital heart disease
d. Sindrom hipoventilasi
e. Hemoglobin abnormal
f. Polisitemia familial
Sekunder oleh karena penyimpangan respon atau produksi eritropoetin

Polisitemia idiopatik

Jelaskan hasil pasien menurut kriteria


Adapun yang di jadikan diagnosis banding
1. Polisitemia sekunder
Polisitemia sekunder terjadi saat volme plasma yang beredar di dalam pembuluh darah
berkurang (mengalami hemokonsentrasi) tetapi volume total dari SDM di dalam sirkulasi
normal. Oleh karena itu, hematokrit pad laki-laki meningkat sampai kira-kira 57% dan
peremmpuan meningkat kira-kira 54%. Penyebab yang paling sering adalah dehidrasi,
ketinggian. Bentuk lain disebut sebagai pseudo atau stres polisitemia. Walaupun
penyebab pastinya tidak diketahui, insiden paling banyak pada laki-laki usia pertengahan,
obese, sangan cemas dan hipertensi. Merokok sigaret tampaknya mengeksaserbasi
keadaan ini karena pajanan karbon monoksida jangka lama meningkatakan eritrositosis.
Kondisi medis mendasare yang merangsang produksi eritropoetin meliputi penyakit paru
dan hipoventilasi alveoler, penyakit jantung kongenital dengan sianosis, penyakit ginjal
(hidronefrosis,

kista,

karsinoma),

tumor

seperti

fibroma

uteri,

hepatoma,

hemangiobalstoma dan cerebellum.


2. Leukemia granulositik kronis
Leukemia,mula-mula dijelaskan oleh Virchow pada tahun 1847 sebagai darah putih,
adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan difrensiasi dan proliferasi sel induk
hematopoietik yang secara maligna melakukan trasformasi, yang menyebabkan
penekanan dana penggantian sumsum tulang yang normal. Walaupun penyebab dasar
leukemia tidak diketahui, predisposisi genetik maupun faktor lingungan kelihatannya
memainkan peranan. Leukemia granulositik kronik (LGK) atau leukemia mielositik
kronik (LMK) menerangkan 15% leukemia, paling sering mengenai usia pertengahan,

11

tetapi dapat juga timbul pada setiap kelompok umur. Tidak seperti LGA, LGK memiliki
awitan yang lambat, sering ditemukan pada saat melakukan pemeriksaan darah rutin atau
skrining darah. LGK dianggap sebagai suatu gangguan mieloproliferatif karena sumsum
tulang hiperseluler dengan proliferasi pada garis difrensiasi sel. Jumlah granulosit
umumnya lebih dari 30.000/mm3. Walaupun pematangannya terganggu sebagian besar sel
tetap menjadi matang dan berfungsi. Penggeseran ke kiri terjadi dengan kurang dari 5%
blas dalam darah tepi. Basofil dan eusinofil sering ditemukan. Pada 85% kasus terdapat
kelainan kromosom philadelphia. Kromosom philadelphia merupakan suatu translokasi
dari lengan kromosom 22 ke kromosom 9. kelainan kromosom ini mempengaruhi sel
induk hematopoietik dan karenanya terdapat pada garis sel mieloid, serta beberapa garis
limfoid.
Tanda dan gejala berkaitan dengan keadaan hipermetabolik: kelelahan, penurunan berat
badan, diaforesis meningkat, dan tidak tahan panas. Lien membesar pada 90% kasus yang
mengakibatkan perasaan penuh di abdomen dan mudah merasa kenyang. Anemia
biasanya tidak diobservasi pada presentasi, tetapi bila terdapat anemia, pasien akan
mengalami takikardi, pucat dan napas pendek. Memar dapat terjadi akibat fungsi
trombosit yang abnormal. Tujuan pengobatan adalah mengurangi kromosom philadelphia
dan BCR-ABL onkogenik yang terbentuk akibat translokasi 9 ke 22 t(9;22). Gen ini
dianggap mencetuskan pertumbuhan sel leukemik yang tidak terkontrol.
Pengobatan saat ini dengan kemoterapi interminten menggunakan hidroksi urea dan alfainterferon. Uji klinis menggunakan homoherringtonine, suatu alkaloid tanaman dan
sitosin arabinoid, suatu metabolit telah terbukti efektif pada lebih dari 65% pasien.
Sebagian besar pengobatan menyebabkan supresi pada hematopoesis dan pengurangan
ukuran lien. Interferon mengurangi jumlah sel positif kromosom philadelphia, yang
meningkatakan harapan hidup baik, angka harapan hidup pasien rerata dengan atau tanpa
pengobatan 5-6 tahun. Pasien yang secara bervariasi berkembang menjadi fase resisten,
lebih agresif dengan produksi mieloblas berlimpah. Kematian terjadi pada dalam
beberapa minggu sampai bulan setelah transformasi . trasnpalntasi sel induk alogenik
dilakuakan pada pasien dengan fase kronik stabil LGK menawarkan harapan hidup pada
penyakit yang fatal. Meskipun morbiditas dan mortalitas tetap tinggi selama traspalantsi,
trasplantasi induk alogenik harus dipikirkan untuk semua pasien muda dengan donior tak
terkait atau saudara kandung identik HLA.
3. Myelofibrosis (myeloproliferative disolder)

12

Merupakan suatu penyakit klonal akibat proliferasi sel yang berasal dari sel induk mieloid
karena dapat mengenai seri granulositik, monositik, eritroid, megakariosit.penyakit
proliferatif dibagi menjadi 2 golongan bear:
1. Penyakit mieloproloferatif yang jelas menunjukkan sifat maligna (frank hematologic
malignancies) , yaitu:
a. Leukemia mieloid akut
b. Leukemia mielositik kronik
c. Leukemia mielomonositik kronik
2. Penyakit mieloproliferatif yang tingkat keganasan masih perlu dibuktikan
(nonleukemic myeloproliferative disolder), yaitu:
a. Polisitemia vera
b. Mielofibrosis dengan mieloid metaplasia
c. Trombositemia esensial
d. Metaplasia mieloid tanpa mielofibrosis
Sifat-sifat penyakit mieloproliferatif nonmaligna adalah:
1. Selalu menjadi megakariosit
2. Proses mengenai lebih dari satu seri sel
3. Selalu terjadi prolifersi jaringan hemopoetik ekstra medule sehingga menimbulkan
splenomegali.
Penyakit-penyakit ini berhubungan sangat erat, terdapat bentuk transisi dan dapat terjadi
evolusi dari satu bentuk ke bentuk yang lain selama perjalanan penyakit.
Penyakit mielofibrosis dengan metaplasia mieloid (MMM) ditandai dengan fibrosis
progresif sumsum tulang disertai dengan pembentukan hemophoesis di dalam hati dan limpa
( dikenal dengan metaplasia mieloid), hal ini menyebabkan hepatosplenomegali dan anemia.
Gamabrna klinik penyakit ini adalah:
a. Umur penderita tua, lebih dari 50 tahun
b. Gejala hipermertabolik: penurunan berat badan, anoreksia, demam, keringat
malam
c. Splenomegali masif
d. Leukositosis > 50.0000/mm3, tingginya jumlah leukosit tidak sebanding dengan
besarnya splenomegali
e. Anemia sering berat
f. Tear drop cell dalam apusan darah tepi dan gambarna leukoeritroblastik

13

g. Neutrophil alkaline phosphatase normal, lactic dehydrogenase dan asam urat


meningkat
h. Sumsum tulang: fibrosis dengan cluster sel megakariosit
MMM perlu dibedakan dengan leukemia mieloid kronik, dimana MMM peningkatan leukosit
tidak sebanding dengan splenomegali, fosfatase alkali neutrofil normal dan tidak dijumpai
kromosom philadelphia. Terapi MMM berupa terapi paliatif untuk mengatasi anemia dan
splenomegali. Trasfusi dan asam folat diberikan secara teratur untuk mengatasi anemia.
Hidroksiurea dapat mengurangi splenomegali dan gejala hipermetabolik. Splenektomi hanya
dipertimbangkan jika gejala splenomegali sangat mencolok diserai sindroma hipersplenisme
berat. Ada juga yang mempertimbangkan pemberian androgen atau alkylating agent.
Epidemiologi
Polisitemia vera mengenai pasien berumur 40-60 tahun, rasio perbandingan antara pria dan
perempuan antara 2:1 dan dilaporkan insiden polisitemia vera adalah 2,3 per 100.000
populasi dalam setahun. Keseriusan penyakit polisitemia vera ditegaskan bahwa faktanya
survival median pasien sesudah terdiagnosis tanpa dioati 1,5-3 tahun sedangkan dengan
pengobatan lebih dari 10 tahun.
Etiologi
Penyebab terjadinya polisitemia vera tidak diketahui pasti, tetapi adanya pendekatan
penelitian yang didefinisikan adanya kelainan molekul. Salah satu penelitian sitogenetika
menunjukkan adanya kariotipe abnormal di sel induk hemopoisis pada pasien dengan
polisitemia vera dimana tergantung dari stadium penyakit, rata-rata 20% pada pasien
polisitemia vera saat terdiagnosis sedang meningkat 80% setalah diikuti 10 tahun. Beberapa
kelainan tersebut sama dengan penyakit meilodisplasia sindrom, yaitu : deletion 20q (8,4%),
deletion 13q (3%), trisomi 8 (7%), trisomi 1q (4%), deletion 5q atau monosomi 5 (3%),
deletion 7q atau monosomi 7 (1%).
Patofisiologi
Etiopatogenesis Polisitemia Vera belum sepenuhnya dimengerti, suatu penelitian
sitogenetik menemukan adanya kelainan molekular yaitu adanya kariotip abnormal di sel
induk hematopoisis. yaitu kariotip 20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q, trisomi 8, trisomi 9, dan tahun
2005 ditemukan mutasi JAK2V617F, yang merupakan hal penting pada etiopatogenesis
polisitemia vera. Polisitemia vera merupakan penyakit kronik progresif dan belum diketahui
penyebabnya, suatu penelitian sitogenetik menemukan adanya kelainan molekular yaitu
adanya kariotip abnormal di sel induk hemopoisis yaitu kariotip 20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q,
trisomi 8, dan trisomi 9.
14

Penemuan mutasi JAK2V617F tahun 2005 merupakan hal yang penting pada
etiopatogenesis polisitemia vera, dan membuat diagnosis polisitemia vera lebih mudah. JAK2
merupakan golongan tirosin kinase yang berfungsi sebagai perantara reseptor membran
dengan molekul signal intraselulur. Dalam keadaan normal proses eritropoisis dimulai
dengan ikatan eritropoitin (EPO) dengan reseptornya (EPO-R), kemudian terjadi fosforilasi
pada protein JAK, yang selanjutnya mengaktivasi molekul STAT ( Signal Tranducers and
Activator of Transcription), molekul STAT masuk kedalam inti sel dan terjadi proses
transkripsi. Pada polisitemia vera terjadi mutasi yang terletak pada posisi 617 (V617F)
sehingga menyebabkan kesalahan pengkodean quanin-timin menjadi valin-fenilalanin
sehingga proses eritropoisis tidak memerlukan eritropoitin, sehingga pada pasien polisitemia
vera serum eritropoetinnya rendah yaitu < 4mU/mL, serum eritropoitin normal adalah 4-26
mU/mL. Hal ini jelas membedakan dari polisitemia sekunder dimana eritropoetin meningkat
secara fisiologis (sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat), atau
eritopoetin meningkat secara non fisiologis pada sindrom paraneoplastik yang mensekresi
eritropoetin.
Peningkatan hemoglobin dan hematokrit dapat disebabkan karena penurunan volume plasma
tanpa peningkatan sel darah merah disebut polisitemia relatif, misalnya pada dehidrasi berat,
luka bakar dan reaksi alergi. Mekanisme yang diduga menyebabkan peningkatan
proliferasi sel induk hematopoitik adalah : Tidak terkontrolnya proliferasi sel induk
hematopoitik yang bersifat neoplastik, adanya faktor mieloproliferatif abnormal yang
mempengaruhi proliferasi sel induk hematopoitik normal, peningkatan sensitivitas sel induk
hematopoitik terhadap eritropoitin, Interleukin 1,3, GMCSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor), Stem cell factor.

Gejala klinis
A. Gejala awal (early symptoms).
Gejala awal dari PV sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun telah
diketahui melalui test laboratorium. Gejala awal yang terjadi biasanya sakit kepala
(48%), telinga berdenging (43%), mudah lelah (47%), gangguan daya ingat, susah
bernaps (26%), darah tinggi (72%), gangguan penglihatan (31%), rasa panas pada
tangan atau kaki (29%), gatal (pruritus) (43%),, juga terdapat perdarahan di hidung,
lambung (stomach ulser) (24%) atau sakit tulang (26%).
B. Gejala akhir (later symptoms) dan Komplikasi

15

Sebagai penyakit progresif, pasien dengan PV mengalami perdarahan (hemorrhage)


atau trombosis. Trombosis adalah penyebab kematian terbanyak dari PV. Komplikasi
lain peningkatan asam urat dalam darah sekitar 10% berkembang, menjadi gout dan
peningkatan resiko ulkus pepticum (10%).
C. Fase Spenomegali (spent phase)
Sekitar 30% gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada fase ini terjadi
kegagalan sumsum tulang dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan tranfusi
meningkat, liver dan limpa membesar.
Beberapa hal yang penting berhubungan dengan gejala yaitu:
a. Hipervisikositas.
Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatan visikositas darah yang kemudian
akan menyebabkan: (a) penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi
akan menimbulkan eritrostatis sebagai akibat dari penggumpalan eritosit dan (b)
penurunan laju trasport oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan
terganggunya

oksigenisasi

jaringan.

Berbagai

gejala

dapat

timbul

karena

terganggunya oksigenasi target organ (iskemia/ infark) seperti di otak, penglihatan,


pendengaran, jantung, paru dan ekstermitas.
b. Penurunan kecepatan aliran (shear rate). Penurunan shear rete akan menimbulkan
gangguan fungsi hemostasis primer yaitu agregasi trombosit pada endotel hal tersebut
akan mengakibatkan timbulnya perdarahan, walaupun jumlah trombosis >45 ribu/mL.
Perdarahan terjadi pada 10-30% kasus PV, manifestasi dapat berupa epistaksis,
ekimosis, dan perdarahan gastrointestinal.
c. Trobositosis (hitung trombosis >400.000/mL). Trombositosis dapat menimbulkan
trombosis pada PV tidak ada kolerasi trombosis dengan trombositosis. Trombosis
vena atau tromboflebitis dengan emboli terjadi pada 30-50% kasus PV.
d. Basofilia (hitung basofil > 65%/mL) lima puluh persen kasus PV datang dengan gatal
(pruritus di seluruh tubuh terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus PV datang
dengan urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatkan kadar histamin
dalam darah sebagai akibat dari basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan
lambung terjadi karena peningkatan kadar histamin.
e. Splenomegali. Splenomegali tercatat pada sekitar 70% pasien PV. Splenomegali ini
terjadi sebagai akibat sekunder dari hiperaktif hemopoesis ekstameduler.

16

f. Hepatomegali.

Hepatomegali

dijumpai

pada

kira-kira

sejumlah

40%

PV.

Sebagaimana halnya splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder


dari hiperaktif hemopoesis ekstramedular.
g. Laju siklus sel yang tinggi. Sebagai konsekuensi logis dari hiperaktif hemopoesis dan
splenomegali adalah sekuensi sel darah merah makin cepat dan banyak dengan
demikian maka produksi asam urat darah akan meningkat, disisi lain laju filtrasi
glomerulus menurun karena penurunan shear rate. Artriris gout dijumpai pada 5-10%
kasus PV.
h. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat. Laju siklus sel darah yang tinggi dapat
mengakibatkan defisiensi asam folat dan vitamin B12 , hal ini dijumpai pada 30%
kasus PV karena penggunaan/ metabolisme untuk pembuatan sel darah, sedangkan
kapasitas protein tidak tersatursi pengikat vitamin B12 dijumpai meningkat pada >75%
kasus. Seperti diketahui defisiensi kedua vitamin ini memegang peran dalam
timbulnya kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi n.optikus serta psikosis
Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan
1. Menurunkan visikositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan
mengontrol eritropoesis dengan flebotomi
2. Mengjindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum
terkontrol
3. Menghindari pengobatan yang berlebihan (over treatment)
4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia
muda
5. Menghontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor radioaktif atau kemoterapi
sitostatika pada pasien di atas usai 40 tahun bila di dapatkan:
-

Trombositosis presisten di atas 800.000/mL terutama jika disertai gejala trombosis

Leukositosis progresif

Splenomegali yang simptomatik atau menimbulkan sitopenia problematik

Gejala sitemik yang terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan,


penurunan bert badan atau heperurikosuria yang sulit diatasi

Media pengobatan
1. Flebotomi
Flebotomi merupakan pengobatan yang adekuat bagoi seoarang pasien polisitemia selama
bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan
17

Indikasi flebotomi:

Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% ( target Ht 55%)

Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang
ditimbulkan akibat hipervisikositas dan penurunan shear rate atau sebagi
penatalaksanaan terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik.

Pada PV tujuan prosedur flebotomi tersebut adalah mempertahankan hematokrit 42% pada
perempuan dan 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hipervisikositas dan penuruna
shear rate. Indikasi fleotomi terutama pada semua pasien pada permulaan penyakit dan pada
pasien yang masih dalam usia subur.
Prosedur flebotomi: a) pada permulaan 250-500 cc darah dapat dikeluarkan dengan blood
donor collection set standar setiap 2 hari. Pada pasien dengan usia > 55 tahun atau dengan
penyakit vaskuler aterosklerotik yang serius, flebotomi hanya boleh dilakukan dengan prinsip
isovolemik yaitu mengganti plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma
darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plama (coloid/plasma expander) setiap kali,
untuk mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung karena hipovelemik; b)
sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 cc darah (normal total body iron 5 g).
Defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan flebotomi berulang. Gejala defisensi
besi seperi glositis, keilosis, disfagia dan astenia dapat cepat hilang dengan pemberian
preparat besi.
2. Fosfor radioaktif (P32)
Pengobatan dengan fosfor radioaktif ini sangat efektif, mudah dan relatif murah untuk pasien
yang tidak kooperatid atau dengan keadaan sosio-ekonomi yang tidak memungkinkan untuk
berobat secara teratur. P32 pertama kali diberikana dengan dosis sekitae 2-3 mCi/m3 secara
uintravena, apabila diberikan peroral maka dosis sinaikkan 25% selanjutnya apabila setelah
3-4 minggu pemberian P32 pertama: 1) mendapatkan hasil re-evaluasi setelah 10-12 minggu,
jika diperlukan dapat diulang akan tetapi hal ini jarang dibutuhkan. 20 tidak mendapatkan
hasil selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama dan diberikan sekitar 10-12
minggu setelah dosis pertama.
Dengan cara ini panmielosis dapat dikontrol pada seikitar 80% pasien untuk jangka waktu
sekitar 1-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia yang serius
setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali setelah
keadaan stabil.

18

Trombosis dan trobositopenia yang mengancam atau terbukti menimbulkan trombosis masih
dapat terjadi meskipun eritrositosis dan lekositosis dapat terkontol.
3. Kemoterapi sitosatistika
Tujuana pengobatan kemoterapi sitostatistika untuk sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan
menggunakan hidroksiurea salah satu sitostatistika golongan obat anti metabolik, sedangkan
penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak dianjurkan lagi
karena leukemogenik dan mielosupresi yang serius. Walaupun demikian FDA masih
membenarkan (approved) chlormbucil dan busulfan digunakan pada PV.
Indikasi penggunaan kemoterapi sitostastistika:
1. Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)
2. Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan >2 kali sebuilan
3. Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis
4. Urtikaria hebat yang tidak dapat diatsi denga antihistamin
5. Splenomegali simptomatik/ mengancam ruptura limpa
Cara pemberian kemoterapi sitostatistika:

Hidroksiurea (Hydrea 500 mh/tablet) dengan dosis 800-1200mg/m2/hari atau


diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10-15 mg/kg BB/kali, jika telah mebcapai target
dapat dilanjutkan dengan pemberian intermintten untik pemeliharaan

Chlorambucil (Leukeran 5 mg/ tablet) dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kgBB/hari


selam 3-6 minggu, dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu.

Busdulfan (Myleran 2 mg/tablet) 0,06 mg/kgBB/ hari atau dilanjtkan dengan


pemberian interminten untuk pemeliharaan.

Pada pasien dengan pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering. Kebanyakan klinisi
lebih sering menghentikan pengobatan jika ditemukan hematokrit :
a. Pada pria 47% dan memberikanya lagi jika >52%
b. Pada perempuan 42% dan memberikannya lagi jika >49%

4. Kemoterapi biologi (sitokin)


Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada PV terutama adalah untuk mengontol
trombositopenia (hitung trombosit >800.000/mm3), produk biologi yang digunakan adalah
interferon a. Interferon a digunakan tyerutama apada keadaaan trombositopenia yang tidak
dapat dikontol, dosis yang dianjurkan 2 juta Iu/m2/s.c atau i.m. 3 kali seminggu.

19

Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatistika Siklosdfamid (Cytoxan 25


mg dan 50 mg/tablet) dengan dosis 100mg/ m2/ hari, selama 10-14 haru atau sampai target
telah tercapai (hitung trobosis <800.000/ mm3) kemudian dapat dianjurkan dengan dosis
pemeliharaan 100 mg/m2 1-2 kali seminggu.
Pengobatan suportif
1. Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/hari oarak pada pasie dengan
penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal
2. Pruritus danurtikaria yang dapat diberikan antihistamin, jika diperlukan dapat
diberikan Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA)
3. Gastritis dapat diobati dengan memberikan pengghamabat reseptor H2
4. Antiagregasi trombosis analgrelide turunan dari Quinazolin disebutkan untuk
mengurangi trompopoesis.
Pembedahan pada pasien
1. Pemedahan darurat
Pembedahan segera sedapat mungkin ditunda atau dihindarkan. Dalam keadaan darurat dapat
dilakukan flebotomi agresif denga prinsip isovolemik dengan mengganti plasma yang
terbuang dnegan plasmafusin 4% atau cairan palsma ekspander lainnya bukan cairan isotonis
atau garam fisologis, suatu prosedur yang dapat digolongkan sebagai tindakan penyelamatan
hiduo (life saving). Tindakan splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua fase
polisitemia dan harus dihindarkan karena dalam perjalanan penyakitnya jika terjadi fibrosis
sumsum tulang organ inilah yang masih diharapakan sebagai pengganti hemopoesisnya.
2. Pembedahan bernencana
Pembedahan bernacana dapat dilakuakan setelah pasien terkontrol dengan baik. Lebih dari
75% pasien dengan PV tidak terkontrol atau belum diobati akan mengalami pedrahan dan
komplikasi trombosis pda pembedahan, kira0kira sepertiga dari jumlah pasien tersebut akan
meninggal.
Angka komplikasi akan menurun jauh jika eritrositosis sudah terkontrol dengan adekuat
sebelum pembedahan. Makin lama telah terkontrol, makin kecil kemungkinan terjadinya
komplikasi pada saat pembedahan. Darah yang si dapat dari flebotomi dapat disimpan untuk
transfusi autologus pada saat pembedahan.
3. Pencegahan tromboemboli perioperatif
Pencegahan tromboemboli perioperatif dapat dilakuakan dengan:
-

Mengguanakan alat-lat bantu mekanik seperti kaos kaki elastik atau pulsatting
boots
20

Hepaarin dosis rendah jika tidak ada kontra indikasi dapat diberikan. Untuk
dewasa, heparin i.v. drip dengan dosis 10-20 Iu/KgBB/jam dengan target 40-60
sampai pasien dapat berjalan atau ambulatorik. Kemudian 50-100 Iu/kgBB
subkutan dapat diberikan setiap 8-12 jam sampai pasien dapat kempabli ke
aktivitas normal.

Prognosis
Polisiemia adalah penyakit kronis dan keseriusan penyakit PV itegaskan bahwa fakta survival
median pasien sesudah terdiagnosa tanpa diobati 1,5-3 tahun sedang yang dengan pengobatan
bertahan hingga 10 tahun.
Penyebab utama moertalitas dan morbiditas:
1. Trombosis dilaporkan pada 15-60% pasien, tergantung pada pengendalian penyakit
tersebut dan 10-40% penyebab utama kematian
2. Komplikasi perdarahan timbul 15-35% pada pasien polisitemia vera dan 6-30%
menyebabkan kematian
3. Terdapat 3-10% pasien polisitemia vera berkembang menjadi mielofibrosis dan
pansitopenia
4. Polisitemia vera dapat berkembang menjadi leukemia akut

dan sindrom

mielodisplasia pada 1,5% pasien dengan pengobatana hanya phlebotomy. Peningkatan


resiko transformasi 13,5% dalam 5 tahun dengan pengobatan klorambusil dan 10,2%
dalam 6-10 tahun pada pasien dengan pengobatan

32

P. Terdapat juga 5,8% dalam 15

tahun resiko terjadinya trasformasi pada pasien dengan pengobatan hydroxyurea.


Pencegahan
Dalam usaha untuk mencegah berjanjutnya penyakit, suatu prosedur medis flebotomi
dilakukan, guna mengeluarkan darah secara teratur untuk mengurangi kekentalan darah.
Penderita polisitemia vera disarankan untuk mengkonsumsi aspirin dosis rendah untuk
mengurangi risiko terbentuknya bekuan darah. Pada beberapa kasus, kemoterapi dapat juga
diberikan untuk mengurangi jumlah sel darah merah yang dihasilkan pada sumsum tulang.
Kesimpulan
Dari bahasan makalah saya diatas, laki-laki usia 25 tahun datang ke poliklinik RS UKRIDA
dengan keluhan sakit kepala hebat sejak 1 bulan yang lalu menderita penyakit polisitemia
vera. Polisitemia vera merupakan suatu gangguan mieloproliferatif yang bersifat kronis
progresif, dimana ditemukan eritrositosis, leukositosis serta trombositosis yang menjadikan
volume darah dalam tubuh meningkat disertai dengan peningkatan visikositas dara. Hal
tersebut akan mengakibatkan pasien merasakan rasa penuh di kepala, sakit kepala hebat,
21

gangguan pengelihatan, kelelahan, pruritus dan kemerahan di kulit. Pemeriksaan darah akan
membantu untuk menegakkan diagnosis pasien, dan penanganan cepat dan tepat dilakukan
untuk menekan progresivitas penyakit.

22

Anda mungkin juga menyukai